Riwayat Hidup Al-Ghazali dan Pemikirannya
Oleh:
Kelompok : 5
Nama :Harlina
Maghfirah
Asmaul
Husna
Murniati
Aisyah
Afdhal
Nurfajri
Mellyana
DOSPEN :Kamaruddin
S.Pd.I, MA
.
SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM ALMUSLIM
BIREUEN PROVINSI ACEH
TAHUSN 2013
BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar
Belakang
Ketika filsafat Islam dibicarakan, maka
terbayang disana hadir beberapa tokoh yang disebut sebagai filosof muslim
seperti Al-Kindi, Ibnu Sina, Al-Farabi, Ibnu Rusyd, Al-Ghazali, dan seterusnya.
Kehadiran para tokoh ini memang tidak bisa dihindarkan, tidak saja karena dari
merekalah kita dapat mengenal filsafat islam, akan tetapi juga karena pada
mereka benih-benih filsafat Islam dikembangkan.
Dalam makalah ini, penulis hanya membatasi pemaparan mengenai Al-Ghazali, seorang ulama besar yang pemikirannya sangat berpengaruh terhadap Islam dan filsafat Dunia Timur. Beliau adalah seorang sufi sekaligus seorang teolog yang mendapat julukan Hujjah al- Islam. Pemikiran Al-Ghazali begitu beragam dan banyak, mulai dari pikiran beliau dalam bidang teologi (kalam), tasawuf, dan filsafat. Dalam Hal ini akan dibahas tentang filsafat Al-Ghazali yang berkaitan dengan biografi, hasil karya, pemikirannya dan kritik terhadap filosof Muslim lainnya.
B.
Rumusan
Masalah
1. Bagaimana
Riwayat hidup Imam Alghazali ?
2. Apa
Saja Karya-karya Imam Al ghazali ?
3. Bagaimana
pemikiran Al- Alghazali tentang Filsafat ?
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Riwayat Iman Al- Ghazali
Biografi dan Pendidikannya
Nama asli
Imam al-Ghazali ialah Muhammad bin Ahmad, Al-Imamul Jalil, Abu Hamid Ath Thusi
Al-Ghazali. Lahir di Thusi daerah Khurasan wilayah Persia tahun 450 H (1058 M).
Pekerjaan ayah Imam Ghazali adalah memintal benang dan menjualnya di
pasar-pasar. Ayahnya termasuk ahli tasawuf yang hebat, sebelum meninggal dunia,
ia berwasiat kepada teman akrabnya yang bernama Ahmad bin Muhammad Ar Rozakani
agar dia mau mengasuh al-Ghazali. Maka ayah Imam Ghazali menyerahkan hartanya
kepada ar-Rozakani untuk biaya hidup dan belajar Imam Ghazali. Ia wafat di
Tusia, sebuah kota tempat kelahirannya pada tahun 505 H (1111 M) dalam usianya
yang ke 55 tahun.
Pada masa kecilnya ia mempelajari ilmu fiqh di negerinya sendiri pada Syekh Ahmad bin Muhammad Ar-Rozakani (teman ayahnya yang merupakan orang tua asuh al-Ghazali), kemudian ia belajar pada Imam Abi Nasar Al-Ismaili di negeri Jurjan. Setelah mempelajri beberapa ilmu di negerinya, maka ia berangkat ke Naishabur dan belajar pada Imam Al-Haromain. Di sinilah ia mulai menampakkantanda-tanda ketajaman otaknya yang luar biasa dan dapat menguasai beberapa ilmu pengetahuan pokok pada masa itu seperti ilmu matiq (logika), falsafah dan fiqh madzhab Syafi’i. Karena kecerdasannya itulah Imam Al-Haromain mengatakan bahwa al-Ghazali itu adalah ”lautan tak bertepi...”
Setelah Imam Al-Haromain wafat, Al-Ghazali meninggalkan Naishabur untuk menuju ke Mu’askar, ia pergi ke Mu’askar untuk melakukan kunjungan kepada Perdana Mentri Nizam al Muluk dari pemerintahan Bani Saljuk. Sesampai di sana, ia disambut dengan penuh kehormatan sebagai seorang ulama besar. Semuanya mengakui akan ketinggian ilmu yang dimiliki al-Ghazali. Menteri Nizam al Muluk akhirnya melantik al-Ghazali pada tahun 484 H/1091 M. Sebagai guru besar (profesor) pada perguruan Tinggi Nizamiyah yang berada di kota Baghdad. Al-Ghazali kemudian mengajar di perguruan tinggi tersebut selama 4 (empat) tahun. Ia mendapat perhatian yang serius dari para mahasiswa, baik yang datang dari dekat atau dari tempat yang jauh, sampai ia menjauhkan diri dari keramaian.
Pada masa kecilnya ia mempelajari ilmu fiqh di negerinya sendiri pada Syekh Ahmad bin Muhammad Ar-Rozakani (teman ayahnya yang merupakan orang tua asuh al-Ghazali), kemudian ia belajar pada Imam Abi Nasar Al-Ismaili di negeri Jurjan. Setelah mempelajri beberapa ilmu di negerinya, maka ia berangkat ke Naishabur dan belajar pada Imam Al-Haromain. Di sinilah ia mulai menampakkantanda-tanda ketajaman otaknya yang luar biasa dan dapat menguasai beberapa ilmu pengetahuan pokok pada masa itu seperti ilmu matiq (logika), falsafah dan fiqh madzhab Syafi’i. Karena kecerdasannya itulah Imam Al-Haromain mengatakan bahwa al-Ghazali itu adalah ”lautan tak bertepi...”
Setelah Imam Al-Haromain wafat, Al-Ghazali meninggalkan Naishabur untuk menuju ke Mu’askar, ia pergi ke Mu’askar untuk melakukan kunjungan kepada Perdana Mentri Nizam al Muluk dari pemerintahan Bani Saljuk. Sesampai di sana, ia disambut dengan penuh kehormatan sebagai seorang ulama besar. Semuanya mengakui akan ketinggian ilmu yang dimiliki al-Ghazali. Menteri Nizam al Muluk akhirnya melantik al-Ghazali pada tahun 484 H/1091 M. Sebagai guru besar (profesor) pada perguruan Tinggi Nizamiyah yang berada di kota Baghdad. Al-Ghazali kemudian mengajar di perguruan tinggi tersebut selama 4 (empat) tahun. Ia mendapat perhatian yang serius dari para mahasiswa, baik yang datang dari dekat atau dari tempat yang jauh, sampai ia menjauhkan diri dari keramaian.
Di samping
ia menjadi guru besar di perguruan tinggi Nizamiyah ia juga diangkat sebagai
konsultan (mufti) oleh para ahli hukum Islam dan oleh pemerintah dalam
menyelesaikan berbagai persoalan yang muncul dalam masyarakat. Akan tetapi
kedudukan yang diperoleh di Baghdad tidak berlangsung lama akibat adanya
berbagai peristiwa atau musibah yang menimpa, baik pemerintahan pusat (Baghdad)
maupun pemerintahan Daulah Bani Saljuk, di antara musibah itu ialah: pertama,
pada tahun 484 H/1092 M, tidak lama sesudah pertemuan al-Ghazali dengan permaisuri
raja Bani Saljuk, suaminya, Raja Malik Syah yang terkenal adil dan bijaksana
meninggal dunia. Kedua, pada tahun yang sama (485 H/1092 M), perdana Menteri
Nidham Al-Muluk yang menjadi sahabat karib al-Ghazali mati dibunuh oleh seorang
pembunuh bayaran di daerah dekat Nahawand, Persi. Ketiga, dua tahun kemudian,
pada tahun 487 H/1094 M, wafat pula Khalifah Abbasiyah, Muqtadi bi Amrillah.
Ketiga
orang tersebut di atas, bagi al-Ghazali, merupakan orang-orang yang selama ini
dianggapnya banyak memberi peran kepada al-Ghazali, bahkan sampai menjadikannya
sebagai ulama yang terkenal. Dalam hal ini, karena mengingat ketiga orang ini
mempunyai pengaruh yang cukup besar terhadap pemerintahan bani Abbas yang pada
saat itu dikendalikan oleh daulah Bani Saljuk, meninggalnya ketiga orang ini
sangat mengguncangkan kestabilan pemerintahan bergelar Mustadhhir Billah
(dilantik tahun 487 H/1094 M). Pemerintahan menjadi sangat lemah untuk
menangani kemelut yang terjadi di mana-mana terutama dalam menghadapi teror
aliran Bathiniyah yang menjadi penggerak alam pembunuhan secara gelap terhadap
Perdana Menteri Nidham Al-Muluk.
Dalam suasana kritis itulah, Al-Ghazali di minta oleh Khalifah Mustadhir Bilah (Masa Bani Abbasiyah) untuk terjun dalam dunia politik dengan menggunakan penanya. Menurutnya, tidak ada pilihan, kecuali memenuhi permintaan Khalifah tersebut. Ia kemudian tampil dengan karangannya yang berjudul Fadha’il Al-Bathiniyah wa Fadha’il Al-Mustadhhiriyah (tercelanya aliran Bathiniyah dan baiknya pemerintahan Khalifah Mustadhhir) yang disingkat dengan judul Mustadhhiry. Buku itupun disebarluaskan di tengah masyarakat umum, shingga simapti masyarakat terhadap pemerintahan Abbasiyah kala itu dapat direbut kembali. Kemudian timbullah gerakan menentang aliran Bathiniyah, tetapi sebaliknya pula, gerakan Bathiniyah ini tidak berhenti untuk menjalankan pengaruhnya untuk membuat kekacauan.
Dalam suasana kritis itulah, Al-Ghazali di minta oleh Khalifah Mustadhir Bilah (Masa Bani Abbasiyah) untuk terjun dalam dunia politik dengan menggunakan penanya. Menurutnya, tidak ada pilihan, kecuali memenuhi permintaan Khalifah tersebut. Ia kemudian tampil dengan karangannya yang berjudul Fadha’il Al-Bathiniyah wa Fadha’il Al-Mustadhhiriyah (tercelanya aliran Bathiniyah dan baiknya pemerintahan Khalifah Mustadhhir) yang disingkat dengan judul Mustadhhiry. Buku itupun disebarluaskan di tengah masyarakat umum, shingga simapti masyarakat terhadap pemerintahan Abbasiyah kala itu dapat direbut kembali. Kemudian timbullah gerakan menentang aliran Bathiniyah, tetapi sebaliknya pula, gerakan Bathiniyah ini tidak berhenti untuk menjalankan pengaruhnya untuk membuat kekacauan.
Al-Ghazali
merupakan seorang yang berjiwa besar dalam memberikan pencerahan-pencarahan
dalam Islam. Ia selalu hidup berpindah-pindah untuk mencari suasana baru,
tetapi khususnya untuk mendalami pengetahuan. Dalam kehidupannya, ia sering
menerima jabatan di pemerintahan, mengenai daerah yang pernah ia singgahi
dan terobosan yang ia lakukan antara lain:
a.
Ketika ia di Baghdad, ia pernah menjadi guru besar di perguruan Nidzamiyah
selama 4 (empat) tahun.
b.
Ia meninggalkan kota Baghdad untuk berangkat ke Syam, di Syam ia menetap hampir
2 (dua) tahun untuk berkhalwat melatih
dan berjuang keras membersihkan diri, akhlak, dan menyucikan hati hati dengan
mengingat Tuhan dan beri’tikaf di mesjid Damaskus.
c.
kemudian ia menuju ke Palestina untuk mengunjungi kota Hebron dan Jerussalem,
tempat di mana para Nabi sejak dari Nabi Ibrahim sampai Nabi Isa mendapat wahyu
pertama dari Allah.
d.
tidak lama kemudian ia meninggalkan Palestina dikarenakan kota tersebut di
kuasai Tentara Salib, terutama ketika jatuhnya kota Jerussalem pada tahun 492
H/1099 M, lalu iapun berangkat ke Mesir, yang merupakan pusat kedua bagi
kemajuan dan kebesaran Islam sesudah Baghdad.
e.
Dari Palestina (Kairo), iapun melanjutkan perjalanannya ke Iskandariyah. Dari
sana ia hendak berangkat ke Maroko untuk memenuhi undangan muridnya yang
beranama Muhammad bin Taumart (1087-1130 M), yang telah merebut
kekuasaanya dari tangan kaum Murabithun, dan mendirikan pemerintahan baru
yang bernama Daulah Muwahhidun. Ia mengurungkan niatnya untuk pergi memenuhi
undangan ke Maroko, ia tetap tinggal di Mekkah, ia berasalan untuk
melaksanakan kewajiban yang ke lima dalam rukun Islam, yakni melaksanakan
ibadah haji, kemudian ia menziarahi kuburan Nabi Ibrahim.
f.
Selanjutnya ia kembali ke Naisabur, di sana ia mendirikan Madrasah Fiqh,
madrasah ini khusus untuk mempelajari ilmu hukum, dan membangun asrama
(khanqah) untuk melatih Mahasiswa-mahasiswa dalam paham sufi di tempat
kelahirannya.[1]
B. Karya-Karya Al-Ghazali
Sebagai
seorang ulama dan pemikir dalam dunia Islam, tentunya ia sangat tekun untuk
menulis kitab. Jumlah kitab yang ditulis al-Ghazali sampai sekarang belum
disepakati secara definitif oleh para penulis sejarahnya. Menurut Ahmad Daudy,
penelitian paling akhir tentang berapa jumlah buku yang dikarang oleh
al-Ghazali seperti halnya yang dilakukan oleh Abdurrahman Al-Badawi, yang
hasilnya dikumpulkan dalan satu buku yang berjudul Muallafat Al-Ghazali.Dala
buku tersebut, Abdurrahman mengklasifikasikan kitab-kitab yang ada hubungannya
dengan karya al-Ghazali dalam tiga kelompok. Pertama, kelompok kitab yang dapat
dipastikan sebagai karya al-Ghazali yang terdiri atas 72 buah kitab. Kedua,
kelompok kitab yang diragukan sebagai karyanya yang asli terdiri atas 22 kitab.
Ketiga, kelompok kitab yang dapat dipastikan bukan karyanya, terdiri atas 31
buah kitab.
Mengenai
kitab-kitab yang ditulis oleh al-Ghazali meliputi bidang ilmu yang populer pada
zamannya, di antaranya tentang tafsir al-Qur’an, ilmu kalam, ushul fiqh, fiqih,
tasawuf, mantiq, falsafat, dan lainnya.
a. Ihya Ulum Ad-Din (membahas ilmu-ilmu agama)
Ini
merupakan kitab paling terkenal yang dikarangnya selama beberapa tahun dalam
keadaan berpindah-pindah antara syam, Yerussalem, Hijaz dan Yus, dan yang berisi
paduan indah antara fiqh, tasawuf dan falsafat, bukan saja terkenal di kalangan
kaum muslimin, tetapi juga di dunia Barat dan luar Islam.
b. Tahafut
al-Falasifah (menerangkan pendapat para filsuf ditinjau dari segi agama).
c. Al-Munqidz min adh-Dhalal (menerangkan tujuan dan rahasia-rahasia ilmu).
Kedua kitab ini , yaitu Tahafut al-Falasifah dan Al-Munqidz min Adh-Dhalal merupakan kitab yang memuat di dalamnya tentang permasalahan adanya peperangan dari kalangan fuqaha dan tasawuf (Ibnu Rusyd), disebabkan sikap al-Ghazali yang menentang para filosof Islam, bahkan ia sampai mengkafirkan dalam tiga hal, yaitu :
c. Al-Munqidz min adh-Dhalal (menerangkan tujuan dan rahasia-rahasia ilmu).
Kedua kitab ini , yaitu Tahafut al-Falasifah dan Al-Munqidz min Adh-Dhalal merupakan kitab yang memuat di dalamnya tentang permasalahan adanya peperangan dari kalangan fuqaha dan tasawuf (Ibnu Rusyd), disebabkan sikap al-Ghazali yang menentang para filosof Islam, bahkan ia sampai mengkafirkan dalam tiga hal, yaitu :
i. Pengingkaran terhadap kebangkitan jasmani.
ii. Membatasi pengetahuan Tuhan kepada hal-hal
yang besar saja,
iii. Adanya kepercayaan tentang qadimnya
alam dan keasliannya.
d. Al-Iqtashad fi Al-‘Itiqad (inti ilmu ahli kalam),
e. Jawahir Al-Qur’an (rahasia-rahasia yang terkandung dalam al-Qur’an),
f. Mizan Al-‘Amal (tentang falsafah keagamaan),
Dalam buku
ini, juga menyepakti bahwa persoalan yang tiga hal dalam kitab Tahafut
al-Falasifah dan Al-Munqidz min Adh-Dhalal menjadi kepercayaan orang-orang
tasawuf juga. Bahkan dalam bukunya Al-Madhum ‘ala Ghairi Ahlihi, ia mengakui
qadimnya alam.
g.
Al-Maqasshid Al-Asna fi Ma’ani Asma’illah Al-Husna (tentang arti nama-nama
Tuhan),
h.
Faishal At-Tafriq Baina Al-Islam Wa Al-Zindiqah (perbedaan antara Islam dan
Zindiq),
i.
Al-Qisthas Al-Mustaqim (jalan untuk mengatasi perselisihan pendapat).
j.
Al-Mustadhhir,
k. Hujjat
Al-Haq (dalil yang benar),
l.
Mufahil Al-Khilaf fi Ushul Ad-Din (menjauhkan perselisihan dalam masalah ushul
ad-din),
m. Kimiya
As-sa’adah (menerangkan syubhat ahli ibadah),
n.
Al-Basith (fiqh),
o. Al-Wasith
(fiqh),
p.
Al-Wajiz (fiqh),
q.
Al-Khulasahah Al-Mukhtasharah (fiqh),
r.
Yaqut At-Ta’wil fi Tafsir At-Tanzil (tafsir 40 jilid),
s.
Al-Mustasfa (ushul fiqh),
t.
Al-Mankhul (ushul fiqh),
u.
Al-Muntaha fi ‘ilmi Al-Jadal (cara-cara berdebat yang baik),
v.
Mi’yar Al-‘ilmi,
w. Al-Maqashid
(yang dituju),
x. Al-Madnun
bihi ’ala Ghairi Ahlihi,
y.
Misykat Al-anwar (pelajaran keagamaan),
z.
Mahku An-Nadhar,[2]
C. Pemikiran Filsafat Al-Ghazali
a.
Metafisika
Untuk pertama kalinya Al-Ghazali
mempelajari karangan-karangan ahli filsafat terutama karangan Ibnu Sina.
Setelah mempelajari filsafat dengan seksama, ia mengambil kesimpulan bahwa
mempergunakan akal semata-mata dalam soal ketuhanan adalah seperti
mempergunakan alat yang tidak mencukupi kebutuhan.
Al-Ghazali dalam Al-Munqidz min al-Dhalal menjelaskan bahwa jika berbicara mengenai ketuhanan (metafisika), maka disinilah terdapat sebagian besar kesalahan mereka (para filosof) karena tidak dapat mengemukakan bukti-bukti menurut syarat-syarat yang telah mereka tetapkan sendiri dalam ilmu logika.
Al-Ghazali meneliti kerja para
filsuf dengan metodenya yang rasional, yang mengandalkan akal untuk memperoleh
pengetahuan yang meyakinkan. Dia pun menekuni bidang filsafat secara otodidak
sampai menghasilkan beberapa karya yang mengangkatnya sebagai filsuf. Tetapi
hasil kajian ini mengantarkannya kepada kesimpulan bahwa metode rasional para
filsuf tidak bisa dipercaya untuk memberikan suatu pengetahuan yang meyakinkan
tentang hakikat sesuatu di bidang metafisika (ilahiyyat) dan sebagian dari
bidang fisika (thabi’iyat) yang berkenaan dengan akidah Islam. Meskipun
demikian, Al-Ghazali tetap memberikan kepercayaan terhadap kesahihan
filsafat-filsafat di bidang lain, seperti logika dan matematika.
Sebagaimana yang telah dijelaskan di atas, bahwa ada pemikiran tentang filsafat metafisika yang menurut al-Ghazali sangat berlawanan dengan Islam, dan karenanya para filosof dinyatakan kafir. Hal ini akan lebih dijelaskan dalam bagian selanjutnya.
b. Iradat Tuhan
Sebagaimana yang telah dijelaskan di atas, bahwa ada pemikiran tentang filsafat metafisika yang menurut al-Ghazali sangat berlawanan dengan Islam, dan karenanya para filosof dinyatakan kafir. Hal ini akan lebih dijelaskan dalam bagian selanjutnya.
b. Iradat Tuhan
Mengenai kejadian alam dan dunia,
Al-Ghazali berpendapat bahwa dunia itu berasal dari iradat (kehendak) tuhan
semat-mata, tidak bisa terjadi dengan sendirinya. Iradat tuhan itulah yang
diartikan penciptaan. Iradat itu menghasilkan ciptaan yang berganda, di satu
pihak merupakan undang-undang, dan di lain pihak merupakan zarah-zarah
(atom-atom) yang masih abstrak. Penyesuaian antara zarah-zarah yang abstrak
dengan undang-undang itulah yang merupakan dunia dan kebiasaanya yang kita
lihat ini.
Iradat tuhan adalah mutlak, bebas
dari ikatan waktu dan ruang, tetapi dunia yang diciptakan itu seperti yang
dapat ditangkap dan dikesankan pada akal (intelek) manusia, terbatas dalam
pengertian ruang dan waktu. Al-Ghazali menganggap bahwa tuhan adalah
transenden, tetapi kemauan iradatnya imanen di atas dunia ini, dan merupakan
sebab hakiki dari segala kejadian.
Pengikut Aristoteles, menamakan
suatu peristiwa sebagai hukum pasti sebab dan akibat (hukum kausalitas),
sedangkan Al-Ghazali seperti juga Al-Asy’ari berpendapat bahwa suatu peristiwa
itu adalah iradat Tuhan, dan Tuhan tetap bekuasa mutlak untuk menyimpangkan
dari kebiasaan-kebiasaan sebab dan akibat tersebut. Sebagai contoh, kertas
tidak mesti terbakar oleh api, air tidak mesti membasahi kain. Semua ini hanya
merupakan adat (kebiasaan) alam, bukan suatu kemestian. Terjadinya segala
sesuatu di dunia ini karena kekuasaan dan kehendak Allah semata. Begitu juga
dengan kasus tidak terbakarnya Nabi Ibrahim ketika dibakar dengan api. Mereka
menganggap hal itu tidak mungkin, kecuali dengan menghilangkan sifat membakar
dari api ituatau mengubah diri (zat) Nabi Ibrahim menjadi suatu materi yang
tidak bisa terbakar oleh api.
c. Etika
c. Etika
Mengenai filsafat etika Al-Ghazali
secara sekaligus dapat kita lihat pada teori tasawufnya dalam buku Ihya’
‘Ulumuddin. Dengan kata lain, filsafat etika Al-Ghazali adalah teori tasawufnya
itu. Mengenai tujuan pokok dari etika Al-Ghazali kita temui pada semboyan
tasawuf yang terkenal “Al-Takhalluq Bi Akhlaqihi ‘Ala Thaqah al-Basyariyah,
atau Al-Ishaf Bi Shifat al-Rahman ‘Ala Thaqah al-Basyariyah”. Maksudnya adalah
agar manusia sejauh kesanggupannya meniru perangai dan sifat-sifat ketuhanan
seperti pengasih, pemaaf, dan sifat-sifat yang disukai Tuhan, jujur, sabar,
ikhlas dan sebagainya.
Sesuai dengan prinsip Islam, Al-Ghazali menganggap Tuhan sebagai pencipta yang aktif berkuasa, yang sangat memelihara dan menyebarkan rahmat (kebaikan) bagi sekalian alam. Berbeda dengan prinsip filsafat klasik Yunani yang menganggap bahwa Tuhan sebagai kebaikan yang tertinggi, tetapi pasif menanti, hanya menunggu pendekatan diri dari manusia, dan menganggap materi sebagai pangkal keburukan sama sekali.
Al-Ghazali sesuai dengan prinsip Islam, mengakui bahwa kebaikan tersebar di mana-mana, juga dalam materi. Hanya pemakaiannya yang disederhanakan, yaitu kurangi nafsu dan jangan berlebihan.
Sesuai dengan prinsip Islam, Al-Ghazali menganggap Tuhan sebagai pencipta yang aktif berkuasa, yang sangat memelihara dan menyebarkan rahmat (kebaikan) bagi sekalian alam. Berbeda dengan prinsip filsafat klasik Yunani yang menganggap bahwa Tuhan sebagai kebaikan yang tertinggi, tetapi pasif menanti, hanya menunggu pendekatan diri dari manusia, dan menganggap materi sebagai pangkal keburukan sama sekali.
Al-Ghazali sesuai dengan prinsip Islam, mengakui bahwa kebaikan tersebar di mana-mana, juga dalam materi. Hanya pemakaiannya yang disederhanakan, yaitu kurangi nafsu dan jangan berlebihan.
Bagi Al-Ghazali, taswuf bukanlah
suatu hal yang berdiri sendiri terpisah dari syari’at, hal ini nampak dalam isi
ajaran yang termuat dalam kitab Ihya’nya yang merupakan perpaduan harmonis
antara fiqh, tasawuf dan ilmu kalam yang berarti kewajiban agama haruslah
dilaksanakan guna mencapai tingkat kesempurnaan. Dalam melaksanakan haruslah
dengan penuh rasa yakin dan pengertian tentang makna-makna yang terkandung di
dalamnya.[3]
D.
Pandangan Al-Ghazali terhadap
Filsafat
Mengenai
pandangan al Ghazali, para ilmuwan berpendapat bahwa ia bukan seorang filosof,
karena ia menentang dan memerangi filsafat dan membuangnya. Tentangan yang di
lontarkan al-Ghazali ini tercermin dari bukunya yang berjudul Tahafut al-Falasifah,
yakni sebagai berikut :
”...sumber kekufuran manusia pada saat itu adalah terpukau dengan nama-nama filsuf besar seperti Socrates, Epicurus, Plato, Aristoteles dan lain-lainnya ..., mereka mendengar perilaku pengikut filsuf dan kesesatannya dalam menjelaskan intelektualitas dan kebaikan prinsip-prinsipnya, ketelitian ilmu para filsuf di bidang geometri, logika, ilmu alam, dan telogi ..., mereka mendengar bahwa para filsuf itu mengingkari semua syari’at dan agama, tidak percaya pada dimensi-dimensi ajaran agama. Para filsuf menyakini bahwa agama adalah ajaran-ajaran yang disusun rapi dan tipu daya yang dihiasi keindahan ...”
Jikalau melihat ungkapan di atas, terlihat bahwa al-Ghazali lebih tepat digolongkan dalam kelompok pembangunan agama yang jalan pemikirannya didasarkan pada sumber ajaran Islam yaitu al-Qur’an dan al-Hadits. Apabila memakai sumber lain dari Islam maka sumber-sumber ini hanya dijadikan sebagai alat untuk maksud menghidupkan ajaran-ajaran agama dan untuk membantu menerangi jalan menuju Allah SWT. Hal ini dikuatkan dengan kitabnya Ihya’Ulum Ad-din. Dalam buku Tahafut al-Falasifah al-Ghazali juga diterangkan tentang keremehan pemikiran-pemikiran filsafat. Sehingga apakah mungkin filsafat justru menghukumi atas dirinya sendiri? Al-Ghazali dengan beberapa kali menyatakan, bahwa tujuan penyusunan buku tersebut untuk menghancurkan filsafat dan menggoyahkan kepercayaan orang terhadap filsafat. Dari sinilah, apakah tepat orang yang menetapkan kegagalan filsafat disebut sebagai seorang filosof?.
Dalam
bukunya pula yang berjudul Munqiz min al-Dhalal, al-Ghazali mengelompokkan filsosof
menjadi 3 (tiga) golongan:
1. Filosof
Materialis (Dhariyyun)
Mereka
adalah para filosof yang menyangkal adanya Tuhan. Sementara itu, kosmos ini ada
dengan sendirinya.
2. Filosof
Naturalis (Thabi’iyyun)
Mereka
adala para filosof yang melaksanakan berbagai penelitian di alam ini. Melalui
penyelidikan-penyelidikan tersebut mereka cukup banyak menyaksikan
keajaiban-keajaiban dan memaksa mereka untuk mengakui adanya Maha Pencipta di
alam raya ini. Kendatipun demikian, mereka tetap mengingkari Allah dan
Rasul-Nya dan Hari berbangkit. Mereka tidak mengenal pahala dan dosa sebab
mereka hanya memuaskan nafsu seperti hewan.
3. Filosof
Ke-Tuhanan (Ilahiyun)
Mereka
adalah filosof Yunani, sperti Socrates, Plato dan Aristoteles. Aristoteles
telah menyanggah pemikiran filosof sebelumnya (Materialis dan Naturalis), namun
ia sendiri tidak dapat membebaskan diri dari sia-sia kekafiran dan
keherodoksian. Oleh karena itu, ia sendiri termasuk orang kafir dan begitu juga
al-Farabi dan Ibnu Sina yang menyebarluaskan pemikiran ini di dunia Islam.
Dalam
bidang Ke-Tuhanan, al-Ghazali memandang para filosof sebagai ahl al-bid’at dan
kafir. Kesalahan para filosof tersebut diterangkan oleh al-Ghazali dalam
bukunya Tahafut al-Falasifah, dan ia membaginya menjadi 20 bahagian, antara
lain:
1.
Membatalkan pendapat mereka bahwa alam ini azali,
2.
Membatalkan pendapat mereka bahwa akal ini kekal,
3.
Menjelaskan keragu-raguan mereka bahwa Allah Pencipta alam
semesta dan sesungguhnya alam ini diciptakan-Nya,
4.
Menjelaskan kelemahan mereka dalam membuktikan Yang Maha Pencipta,
5. Menjelaskan kelemahan mereka dalam menetapkan dalil bahwa mustahil adanya dua Tuhan,
5. Menjelaskan kelemahan mereka dalam menetapkan dalil bahwa mustahil adanya dua Tuhan,
6.
Membatalkan pendapat mereka bahwa Allah tidak mempunyai sifat,
7. Membatalkan pendapat mereka bahwa Allah tidak terbagi ke dalam al-jins dan al-fashl,
8. Membatalkan pendapat mereka bahwa Allah mempunyai substansi basith (simple) dan tidak mempunyai mahiyah (hakikat),
7. Membatalkan pendapat mereka bahwa Allah tidak terbagi ke dalam al-jins dan al-fashl,
8. Membatalkan pendapat mereka bahwa Allah mempunyai substansi basith (simple) dan tidak mempunyai mahiyah (hakikat),
9.
Menjelaskan kelemahan pendapat mereka bahwa Allah mengetahui yang selain-Nya,
10. Menjelaskan pernyataan mereka tentang al-dhar (kekal dalam arti tidak bermula dan tidak berakhir),
10. Menjelaskan pernyataan mereka tentang al-dhar (kekal dalam arti tidak bermula dan tidak berakhir),
11.
Menjelaskan kelemahan pendapat mereka bahwa Allah mengetahui yang selain-Nya
12. Menjelaskan kelemahan pendapat mereka dalam membuktikan bahwa Allah hanya mengetahui zat-Nya,
12. Menjelaskan kelemahan pendapat mereka dalam membuktikan bahwa Allah hanya mengetahui zat-Nya,
13.
Membatalkan pendapat mereka bahwa Allah tidak mengetahui juz’iyyat,
14. Menjelaskan pendapat mereka bahwa planet-planet adalah hewan yang bergerak dengan kemauan-Nya,
14. Menjelaskan pendapat mereka bahwa planet-planet adalah hewan yang bergerak dengan kemauan-Nya,
15.
Membatalkan apa yang mereka sebutkan tentang tujuan penggerak dari planet-planet,
16. Membatalkan pendapat mereka bahwa planet-planet mengetahui semua yang juz’iyyat,
17. Membatalkan pendapat mereka yang mengatakan bahwa mustahil terjadinya sesuatu di luar hukum alam,
16. Membatalkan pendapat mereka bahwa planet-planet mengetahui semua yang juz’iyyat,
17. Membatalkan pendapat mereka yang mengatakan bahwa mustahil terjadinya sesuatu di luar hukum alam,
18.
Menjelaskan pendapat mereka bahwa roh manusia adalah jauhar (substansi) yang
berdiri sendiri tidak mempunyai tubuh,
19.
Menjelaskan pendapat mereka yang menyatakan tentang mustahilnya fana (lenyap)
jiwa manusia,
20.
Membatalkan pendapat mereka yang menyatakan bahwa tubuh tidak akan dibangkitkan
dan yang akan menerima kesenangan dalam surga dan kepedihan dalam nereka hanya
roh.
Kemudian
al-Ghazali menjelaskan lagi, dari 20 masalah tersebut ada tiga hal yang bisa
menyebabkan seorang filosof itu menjadi kafir, antara lain :
-
Alam semesta dan semua substansi
qadim.
Para
filosof muslim di kala itu mengatakan bahwa alam ini qadim. Sebab qadimnya
Tuhan atas alam sama halnya dengan qadimnya illat atas ma’lulnya (ada sebab
akibat), yakni dari zat dan tingkatan, juga dari segi zaman. Alasan dari para
filosof itu adalah tidak mungkin wujud yang lebih dahulu, yaitu alam, keluar
dari yang qadim (Tuhan), karena dengan demikian berarti kita bisa membayangkan
bahwa yang qadim itu sudah ada, sedangkan alam belum ada.
Menurut
al-Ghazali, bila alam itu dikatakan qadim (tidak mempunyai permulaan atau tidak
pernah ada) maka mustahil dapat dibayangkan bahwa alam itu diciptakan oleh
Tuhan. Jadi, paham qadimnya alam membawa pada kesimpulan bahwa alam itu ada
dengan sendirinya. Tidak diciptakan Tuhan dan ini berarti bertentangan dengan
ajaran al-Qur’an yang jelas menyatakan bahwa Tuhanlah yang menciptakan segenap
alam (langit, bumi, dan segala isinya). Bagi al-Ghazali, alam haruslah tidak
qadim dan ini berarti pada awalnya Tuhan ada, sedangkan alam tidak ada,
kemudian Tuhan menciptakan alam maka alam ada di samping adanya Tuhan.
Al-Ghazali
juga menjawab argumen filosof-filosof mulsim itu. Katanya; tidak ada halangan
apa pun bagi Allah menciptakan alam sejak azali dengan iradah-Nya yang qadim
pada waktu diadakan-Nya. Sementara itu, ketiadaan wujud alam sebelumnya karena
memang belum dikehendaki-Nya. Iradah menurut al-Ghazali adalah suatu sifat bagi
Allah berfungsi membedakan (memilih) sesuatu dari lainnya yang sama. Jika tidak
demikian fungsinya, tentu bagi Allah cukup saja dengan sifat qudrat. Akan
tetapi, karena sifat qudrat antara mencipta dan tidaknya sama kedudukannya,
harus ada suat sifat khusus yang membedakannya, yaitu sifat iradah. Andaikata
para filosof Muslim menganggap sifat tersebut tidak tepat disebut sebagai iradah,
dapat diberi nama lain asal itu yang dimaksud atau dengan arti sama. Sekedar
istilah tidak perlu diperdebatkan, yang penting adalah isinya.
Apakah yang menjadi landasan berpikir al-Ghazali sehingga mengatakan bahwa alam itu tidak qadim dan Tuhan yang qadim. Kerangka filosofis yang ia tawarkan adalah titik tolak yang benar dan ortodoks harus diawali dengan mengakui Tuhan sebagai wujud tertinggi dan kehendak unik yang bertindak secara aktual. ”Prinsip Pertama adalah Maha Mengetahui, Maha Perkasa, dan Maha Berkehendak. Ia bertindak sekehendak-Nya dan menentukan sesuatu yang ia kehendaki; ia menciptakan semua makhluk dan alam sebagaimana ia kehendaki dan dalam bentuk yang Dia kehendaki”.
Sebenarnya perbedaan yang terjadi pada al-Ghazali dan tentang qadimnya alam hanya sebuah perbedaan penafsiran antara teolog Muslim dan filosof Muslim. Memang filosof Muslim berkeyakinan bahwa penciptaan dari tiada (nihil) adalah suatu kemustahilan. Dari nihil yang kosong, tidak bisa timbul sesuatu. Hal yang terjadi ialah sesuatu yang diubah menjadi sesuatu yang lain. Justru itu materi asal (al-hayula alula), yang darinya alam ini disusun, mesti qadim. Materi asal ini diciptakan Allah secara emanasi sejak qadim dan tidak di batasi oleh zaman. Oleh karena itu, apa yang diciptakan semenjak qidam dan azali tentu ia qidam dan azali. Justru itu alam ini qidam pula. Interprestasi filosof Muslim ini sudah jelas lebih liberal dari teolog Muslim dan juga dipengaruhi oleh ilmu alam, yakni antara sebab dan musabab tidak ada perbedaan. Allah menciptakan alam semenjak azali, berarti materinya berasal dari energi yang qadim. Sementara susunan materi yang menjadi alam adalah baru. Agaknya, interprestasi ini sejalan dengan ilmu fisika modren.
Apakah yang menjadi landasan berpikir al-Ghazali sehingga mengatakan bahwa alam itu tidak qadim dan Tuhan yang qadim. Kerangka filosofis yang ia tawarkan adalah titik tolak yang benar dan ortodoks harus diawali dengan mengakui Tuhan sebagai wujud tertinggi dan kehendak unik yang bertindak secara aktual. ”Prinsip Pertama adalah Maha Mengetahui, Maha Perkasa, dan Maha Berkehendak. Ia bertindak sekehendak-Nya dan menentukan sesuatu yang ia kehendaki; ia menciptakan semua makhluk dan alam sebagaimana ia kehendaki dan dalam bentuk yang Dia kehendaki”.
Sebenarnya perbedaan yang terjadi pada al-Ghazali dan tentang qadimnya alam hanya sebuah perbedaan penafsiran antara teolog Muslim dan filosof Muslim. Memang filosof Muslim berkeyakinan bahwa penciptaan dari tiada (nihil) adalah suatu kemustahilan. Dari nihil yang kosong, tidak bisa timbul sesuatu. Hal yang terjadi ialah sesuatu yang diubah menjadi sesuatu yang lain. Justru itu materi asal (al-hayula alula), yang darinya alam ini disusun, mesti qadim. Materi asal ini diciptakan Allah secara emanasi sejak qadim dan tidak di batasi oleh zaman. Oleh karena itu, apa yang diciptakan semenjak qidam dan azali tentu ia qidam dan azali. Justru itu alam ini qidam pula. Interprestasi filosof Muslim ini sudah jelas lebih liberal dari teolog Muslim dan juga dipengaruhi oleh ilmu alam, yakni antara sebab dan musabab tidak ada perbedaan. Allah menciptakan alam semenjak azali, berarti materinya berasal dari energi yang qadim. Sementara susunan materi yang menjadi alam adalah baru. Agaknya, interprestasi ini sejalan dengan ilmu fisika modren.
Menurut
ilmu fisika modren, antara energi dan materi tidak bisa lagi ditarik garis
pemisah yang tegas, energi dapat berubah menjadi materi dan materi dapat
berubah menjadi energi. Dengan kata lain, energi ialah materi yang
direnggangkan, sedangkan materi adalah energi yang dipadatkan.
- Tuhan tidak mengetahui yang
juz’iyyat (hal-hal yang terperinci/kecil) yang terjadi di alam.
Sebuah
pemahaman bahwa Tuhan tidak mengetahui juz’iyyat (hal-hal yang sifatnya
terperinci/kecil), bukanlah sebuah pemahaman yang dianut oleh para filosof
Muslim. Sedangkan pemahaman yang banyak digunakan filosof Muslim itu adalah
pemahaman yang dianut oleh Aristoteles. Menurut al-Ghazali para filosof Muslim
itu mempunyai pemahaman bahwa Allah sebagai Tuhan umat Muslim hanya mengetahui
zat-Nya sendiri dan tidak bisa mengetahui yang selain-Nya.
Pendapat
para filosof Muslim ini di jawab oleh al-Ghazali. Al-Ghazali mengatakan bahwa
para filosof itu telah melakukan kesalahan fatal. Menurut al-Ghazali lebih
lanjut adalah sebuah perubahan pada objek ilmu tidak membawa perubahan pada ilmu.
Karena ilmu berubah tidak membawa perubahan pada zat, dalam artian keadaan
orang yang mempunyai ilmu tidak berubah. Kemudian al-Ghazali memberikan sebuah
ilustrasi, bila seseorang berada di sebelah kanan Anda, lalu orang itu
berpindah kesebelah kiri Anda, kemudian berpindah lagi kedepan atau kebelakang,
maka yang berubah adalah orang itu, bukanya Anda. Ia mengetahui segala sesuatu
dengan ilmu-Nya yang satu (Esa) semenjak azali dan tidak berubah meskipun alam
yang diketahui-Nya itu mengalami perubahan. Untuk
memperkuat argumennya, al-Ghazali mengeluarkan dalil-dalil al-Qur’an yang
menyatakan bahwa Allah Maha Tahu segalanya, baik yang besar atau yang kecil.
Dalil pertama:
Dalil pertama:
$tBur ãbqä3s? Îû 5bù'x© $tBur (#qè=÷Gs? çm÷ZÏB `ÏB 5b#uäöè% wur tbqè=yJ÷ès? ô`ÏB @@yJtã wÎ) $¨Zà2 ö/ä3øn=tæ #·qåkà øÎ) tbqàÒÏÿè? ÏmÏù 4 $tBur Ü>â÷èt `tã y7Îi/¢ `ÏB ÉA$s)÷WÏiB ;o§s Îû ÇÚöF{$# wur Îû Ïä!$yJ¡¡9$# Iwur ttóô¹r& `ÏB y7Ï9ºs Iwur uy9ø.r& wÎ) Îû 5=»tGÏ. AûüÎ7B ÇÏÊÈ
Artinya: ”Kamu tidak berada dalam suatu keadaan dan tidak membaca suatu ayat dari Al Quran dan kamu tidak mengerjakan suatu pekerjaan, melainkan kami menjadi saksi atasmu di waktu kamu melakukannya. tidak luput dari pengetahuan Tuhanmu biarpun sebesar zarrah (atom) di bumi ataupun di langit. tidak ada yang lebih kecil dan tidak (pula) yang lebih besar dari itu, melainkan (semua tercatat) dalam Kitab yang nyata (Lauh mahfuzh).”(Q.S. Yunus: 61)
Dalil kedua :
ö@è>% cqßJÏk=yèè?r& ©!$# öNà6ÏZÏÎ/ ª!$#ur ãNn=÷èt $tB Îû ÏNºuq»yJ¡¡9$# $tBur Îû ÇÚöF{$# 4 ª!$#ur Èe@ä3Î/ äóÓx« ÒOÎ=tã ÇÊÏÈ
Artinya:”Katakanlah: "Apakah kamu akan memberitahukan kepada Allah tentang agamamu, padahal Allah mengetahui apa yang di langit dan apa yang di bumi dan Allah Maha mengetahui segala sesuatu?"(Q.S. Al-Hujurat: 16).
Dalam ayat
ini jelaslah bahwa Allah Maha Tahu atas segala sesuatu. berbeda dengan Ibnu
Rusyd yang mengatakan Tuhan hanya tahu yang universal, bukan perkara yang kecil
(partikular). Tudingan al-Ghazali ini berbentuk sebuah ucapan seperti di
bawah ini :
Yang menjadi persoalan adalah pernyataan mereka (para filsafat) ”Tuhan yang Mahamulia mengetahui hal-hal yang bersifat universal, tetapi tidak hal-hal yang bersifat partikular” pernyataan ini jelas-jelas telah menyelewengkan dalil-dalil di atas, ini menunjukkan ketidakberimanannya mereka. Maka yang benar adalah ”tidak ada sebutir atom pun di langit maupun di bumi yang luput dari pengetahuan-Nya.”
Kalau dilihat pendapat Ibnu Rusyd maka akan berlawanan, menurut Ibnu Rusyd; pengetahuan Allah tidak dapat dikatakan juz’i (parsial) dan kully (umum). Juz’i adalah satuan yang ada di alam yang berbentuk materi dan materi hanya bisa ditangkap dengan pancaindera. Kully, mencakup berbagai jenis (nu’). Kully bersifat abstrak, hanya dapat diketahui melalui akal. Allah bersifat imateri (rohani), tentu saja pada zat-Nya tidak terdapat pancaindera untuk mengetahui yang parsial. Oleh karena itu, kata Ibnu Rusyd, tidak ada para filosof muslim yang mengatakan ilmu Allah bersifat juz’i dan kully.
Yang menjadi persoalan adalah pernyataan mereka (para filsafat) ”Tuhan yang Mahamulia mengetahui hal-hal yang bersifat universal, tetapi tidak hal-hal yang bersifat partikular” pernyataan ini jelas-jelas telah menyelewengkan dalil-dalil di atas, ini menunjukkan ketidakberimanannya mereka. Maka yang benar adalah ”tidak ada sebutir atom pun di langit maupun di bumi yang luput dari pengetahuan-Nya.”
Kalau dilihat pendapat Ibnu Rusyd maka akan berlawanan, menurut Ibnu Rusyd; pengetahuan Allah tidak dapat dikatakan juz’i (parsial) dan kully (umum). Juz’i adalah satuan yang ada di alam yang berbentuk materi dan materi hanya bisa ditangkap dengan pancaindera. Kully, mencakup berbagai jenis (nu’). Kully bersifat abstrak, hanya dapat diketahui melalui akal. Allah bersifat imateri (rohani), tentu saja pada zat-Nya tidak terdapat pancaindera untuk mengetahui yang parsial. Oleh karena itu, kata Ibnu Rusyd, tidak ada para filosof muslim yang mengatakan ilmu Allah bersifat juz’i dan kully.
-
Pembangkitan Jasmani Tidak Ada.
Banyak
dari para filosof berpendapat bahwa yang akan dibangkitkan nantinya di alam
akhirat adalah rohani semata, sedangkan jasmani (jasad) akan hancur. Maka dari
itu, ketika di akhirat nanti, tentang adanya kebahagiaan ataupun kepedihan di
sana yang dapat merasakan adalah rohani. Sedangkan jasmani (jasad) merasakan
kebahgiaan dan kepedihan hanya saat di dunia saja.
Kesesuaian
suasana rohani maka ketika dibangkitkan nanti saat di akhirat bersifat rohani
pula. Akan tetapi, kebangkitan jasmani tidak sampai ke akhirat atau
dikembalikan. Dalam mengulas alasan-alasan, mereka mengemukakan bahwa
pengembalian jasad memiliki tiga kemungkinan. Pertama, manusia terdiri atas
badan dan kehidupan, ini sama halnya seperti dikatakan oleh sebagian ulama
kalam, sedangkan jiwa berdiri dengan sendirinya dan yang mengatur badan tidak
ada wujudnya. Pengertian mati berarti terputus hidup, yakni Tuhan tidak lagi
menciptakan hidup, oleh karena itu hidup ini tidak ada, dan badan tidak ada
pula. Jadi, arti kebangkitan adalah bahwa Tuhan mengembalikan badan yang sudah
tidak ada karena mati kepada wujudnya, dan mengembalikan hidupnya yang sudah
tidak ada. Dalam perkataan lain, badan manusia setelah menjadi tanah
dikumpulkan dan disusun kembali menurut bentuk manusia dan diberikan hidup
kepadanya. Kedua, atau dikatakan bahwa jiwa (roh) manusia tetap wujud sesudah
mati, tetapi badan yang pertama (yang terjadi di dunia ini) nantinya
dikembalikan lagi dengan anggota-anggota badannya sendiri dengan lengkap.
Ketiga, atau dikatakan, jiwa manusia dikembalikan kepada badan, baik badan dengan
anggota-anggotanya yang semula ataupun badan yang lain samasekali. Jadi, yang
dikembalikan ialah manusianya, sebab badannya (bendanya) tidak terpenting,
sedangkan manusia disebut karena jiwanya (rohnya), bukan karena bendanya
(badannya).
Atas dasar ini, para filosof muslim ini berpendapat bahwa mustahil mengembalikan rohani kepada jasad ketika keduanya telah berpisah. Menurut mereka, setelah berpisah antara roh dengan jasad, berarti kehidupan telah berakhir dan tubuh menjadi hancur. Penciptaan kembali berarti penciptaan baru yang tidak sama dengan yang berlalu. Pengandaian hal ini berarti mengimplikasikan qadimnya suatu hal dan baharunya hal yang lain. Akan tetapi, jika diandaikan terjadi kebangkitan jasad, maka akan menempuh jalan yang sulit dan membutuhkan pemikiran yang panjang, seperti adanya manusia pincang, manusia buta, dan lainnya. Kalau ini yang terjadi maka di surga nantinya akan ada sidat kekurangan dan ada pula satu jiwa dengan dua tubuh atau sebaliknya. Sesungguhnya di surga yang suci tidaklah demikian. Jika demikian terjadilah proses yang panjang, seperti panjangnya proses kapas hingga menjadi kain.
Atas dasar ini, para filosof muslim ini berpendapat bahwa mustahil mengembalikan rohani kepada jasad ketika keduanya telah berpisah. Menurut mereka, setelah berpisah antara roh dengan jasad, berarti kehidupan telah berakhir dan tubuh menjadi hancur. Penciptaan kembali berarti penciptaan baru yang tidak sama dengan yang berlalu. Pengandaian hal ini berarti mengimplikasikan qadimnya suatu hal dan baharunya hal yang lain. Akan tetapi, jika diandaikan terjadi kebangkitan jasad, maka akan menempuh jalan yang sulit dan membutuhkan pemikiran yang panjang, seperti adanya manusia pincang, manusia buta, dan lainnya. Kalau ini yang terjadi maka di surga nantinya akan ada sidat kekurangan dan ada pula satu jiwa dengan dua tubuh atau sebaliknya. Sesungguhnya di surga yang suci tidaklah demikian. Jika demikian terjadilah proses yang panjang, seperti panjangnya proses kapas hingga menjadi kain.
Menurut
al-Ghazali, berdasarkan gambaran al-Qur’an dan al-Hadits Nabi Muhammad SAW.
Tentang kehidupan di akhirat bukanlah mengacu pada kehidupan rohani saja.
Tetapi pada kehidupan rohani dan jasmani. Jasad dibangkitkan dan disatukan
dengan jiwa-jiwa manusia yang pernah hidup di dunia untuk merasakan nikmat
surgawi yang bersifat rohani-jasmani. Kehidupan di surga dan neraka yang
bersifat rohani-jasmani itu, menurut al-Ghazali, bukanlah kehidupan di surga
dan neraka bersifat rohaniah saja, menurut al-Ghazali adalah pemahaman yang
mengingkari adanya kebangkitan jasad di hari akhirat. Pemahaman demikian,
menurutnya bertentangan dengan apa yang diajarkan oleh al-Qur’an dan al-Hadits,
karena itu dikufurkannya. Al-Ghazali berpandangan bahwa yang akan dibangkitkan
itu adalah jasmani. Ini terbukti dengan perkataannya :
”... adalah bertentangan dengan seluruh keyakinan seorang Muslim, keyakinan mereka yang mengatakan bahwa badan jasmani manusia tidak akan dibangkitkan pada hari kiamat, tetapi hanya jiwa yang terpisah dari badan yang akan diberi pahala dan hukuman, dan pahala atau hukuman itu pun akan bersifat spritual dan bukannya bersifat jasmaniah. Sesungguhnya, mereka itu benar di dalam menguatkan adanya pahala dan hukuman yang bersifat spritual karena hal itu memang ada secara pasti; tetapi secara salah, mereka menolak adanya pahala dan hukuman yang bersifat jasmaniah dan mereka dikutuk oleh hukum yang telah diwahyukan dalam pandangan yang mereka nyatakan itu.”
Dalam bukunya Tahafut al-Falasifah al-Ghazali juga mengatakan; banyak hadits yang mengatakan bahwa roh-roh manusia merasakan adanya kebaikan atu siksa kubur dan lainnya. Semua ini sebagai indikasi adanya kekekalan jiwa. Sedangkan kebangkitan jasmani secara eksplisit telah ditegaskan dalam syara’, yakni berarti jiwa dikembalikan pada tubuh, baik tubuh semula maupun tubuh yang lain, atau tubuh yang baru dijadikan. Ini dikarenakan tubuh manusia dapat berganti bentuk, seperti dari kecil menjadi besar, kurus menjadi gemuk, dan seterusnya. Namun, hal yang terpenting ada satu tubuh berbentuk jasmani yang dapat merasakan kepedihan dan kebahagiaan. Allah Mahakuasa menciptakan segala sesuatu. dan dengan KeMahakuasaan-Nya tidak merasa sulit bagi-Nya menjadikan setetes sperma menjadi aneka macam organ tubuh, seperti tulang, daging, kulit, urat saraf, otoit, lemak, dan sebagainya. Dari hasil ini detik berganti menit, menit berganti jam, dan jam berganti hari. Akhirnya menjadi mata, gigi, perasaan yang berbeda antara setiap manusia. Justru itu, Allah jauh lebih mudah mengembalikan rohani pada badan (jasmani) di akhirat ketimbang penciptaan-Nya pertama kali.
”... adalah bertentangan dengan seluruh keyakinan seorang Muslim, keyakinan mereka yang mengatakan bahwa badan jasmani manusia tidak akan dibangkitkan pada hari kiamat, tetapi hanya jiwa yang terpisah dari badan yang akan diberi pahala dan hukuman, dan pahala atau hukuman itu pun akan bersifat spritual dan bukannya bersifat jasmaniah. Sesungguhnya, mereka itu benar di dalam menguatkan adanya pahala dan hukuman yang bersifat spritual karena hal itu memang ada secara pasti; tetapi secara salah, mereka menolak adanya pahala dan hukuman yang bersifat jasmaniah dan mereka dikutuk oleh hukum yang telah diwahyukan dalam pandangan yang mereka nyatakan itu.”
Dalam bukunya Tahafut al-Falasifah al-Ghazali juga mengatakan; banyak hadits yang mengatakan bahwa roh-roh manusia merasakan adanya kebaikan atu siksa kubur dan lainnya. Semua ini sebagai indikasi adanya kekekalan jiwa. Sedangkan kebangkitan jasmani secara eksplisit telah ditegaskan dalam syara’, yakni berarti jiwa dikembalikan pada tubuh, baik tubuh semula maupun tubuh yang lain, atau tubuh yang baru dijadikan. Ini dikarenakan tubuh manusia dapat berganti bentuk, seperti dari kecil menjadi besar, kurus menjadi gemuk, dan seterusnya. Namun, hal yang terpenting ada satu tubuh berbentuk jasmani yang dapat merasakan kepedihan dan kebahagiaan. Allah Mahakuasa menciptakan segala sesuatu. dan dengan KeMahakuasaan-Nya tidak merasa sulit bagi-Nya menjadikan setetes sperma menjadi aneka macam organ tubuh, seperti tulang, daging, kulit, urat saraf, otoit, lemak, dan sebagainya. Dari hasil ini detik berganti menit, menit berganti jam, dan jam berganti hari. Akhirnya menjadi mata, gigi, perasaan yang berbeda antara setiap manusia. Justru itu, Allah jauh lebih mudah mengembalikan rohani pada badan (jasmani) di akhirat ketimbang penciptaan-Nya pertama kali.
Sungguh
pertentangan antara al-Ghazali dengan filosof Muslim kalau di kaji secara
mendalam, maka pertentangan tersebut hanya sebuah perbedaan Interprestasi
karena bedanya titik pijak. Al-Ghazali seorang teolog al-Asy’ari, ia aktif
mengembangkan Asy’arisme selama delapan tahun (1077-1085) pada Universitas
Nizhamiyah Baghdad, tentu saja pemikirannya dipengaruhi oleh aliran ini, yakni
dengan kekuasaan kehendak mutlak Tuhan dan interprestasinya tidak seliberal
para filosof. Sementara itu, pemikiran para filosof Muslim dipengarhui oleh
pemikiran rasional, tentu saja interprestasi mereka lebih liberal dari
al-Ghazali. Namun, antara kedua pihak sependapat bahwa di akhirat nanti ada
kebangkitan.
- Pandangannya terhadap Ilmu
Ilmu
merupakan sumber kebutuhan bagi setiap manusia, karena tanpa ilmu manusia akan
bodoh dan tidak mengetahui arah hidup dalam prikehidupan. Sebagai seorang
ilmuwan besar, Al-Ghazali berupaya membuat sebuah karya-karya tulis yang
bersifat memotivasi seseorang untuk selalu menggali ilmu pengetahuan, khususnya
ilmu agama. Di dalam karyanya al-Ghazali yang berjudul Ihya Ulum Ad Din yang
artinya menghidupkan ilmu-ilmu agama. Ini merupakan sebuah karya al-Ghazali
yang banyak dipakai oleh para ulama-ulama kalam sebagai bahan kajian untuk
amalan-amalan baik manusia. Karena di dalam buku itu banyak menjelaskan tentang
ilmu-ilmu keagamaan Islam, ke-Esaan Allah, dan ilmu-ilmu yang bersangkutan
dengan syari’at.
Pada
karyanya yang lain, dan juga terkenal di tengah masyarakat yang berjudul Al
Munqiz min Ad Dhalal Al-Ghazali berpendapat bahwa :
”ilmu hati
merupakan konsekuensi logis bagi ilmu-ilmu manusia, karena ada dua alam, yakni
alam lahir dan alam bathin. Jika ilmu-ilmu (pengetahuan) menguasai ilmu lahir
dengan analisa dan keterangan, maka harus ada ilmu khusus untuk menjelaskan
ilmu bathin. Pengetahuan-pengetahuan itu sendiri ada dua, yaitu inderawi dan
sufi (lahir dan bathin). Sarana untuk mengenal pengetahuan-pengetahuan lahir
adalah panca indera, sedang metoda untuk mencapai pengetahuan-pengetahuan
bathin harus kembali kepada mereka (kaum sufi) yang mengatakan bahwa
kesederhanaan, zuhud, dan amal-amal praktis seluruhnya adalah jalan untuk
mempersepsi berbagai realitas yang tersembunyi dan ilham yang melampaui
penglihatan dan pendengaran. Maka ma’rifat adalah tujuan yang luhur bagi
tasawuf. Al-Ghazali menentang kesatuan antara manusia dengan Tuhan (teori Al
Ijtihad) karena bertentangan dengan ajaran agama.”
Di lain
karyanya yang berjudul The Juwels of the Qur’an (mutiara al-Qur’an) dan Mizan
Al-Amal (timbangan amal), al-Ghazali mengklasifikasikan ilmu menjadi empat
bagian :
1.
Pembagian ilmu-ilmu menjadi bagian teoritis dan praktis.
2.
Pembagian pengetahuan menjadi pengetahuan yang dihadirkan
(hudhuri) dan pengetahuan yang dicapai (hushuli).
3.
Pembagian atas ilmu-ilmu religius (sya’iyyah) dan intelektual (aqliyah).
4. Pembagian ilmu menjadi ilmu-ilmu fardhu’in (wajib atas setiap individu) dan fardhu kifayah (wajib atas umat).
4. Pembagian ilmu menjadi ilmu-ilmu fardhu’in (wajib atas setiap individu) dan fardhu kifayah (wajib atas umat).
Di antara
empat hal dari klasifikasi ilmu di atas yang telah diuraikannya, yang paling
luas di bahas olehnya dalam melakukan pengajaran/diskusi adalah pembagian ilmu
menjadi ilmu-ilmu intelektual dan religius. Namun menurutnya, yang jelas
keempat sistem klasifikasi di atas sangat absah, dan mempunyai derajat yang
sama.
Kalau
dilihat pemikiran dari al-Ghazali, maka akan terlihat pendapatnya yang banyak
menentang aliran-aliran filsafat. Menurutnya banyak orang-orang yang menyimpang
dari ajaran agama saat mempelajari filsafat, karena kebanyakan manusia di saat
mempelajari filsafat tanpa sebuah pegangan yang kuat atau dasar yang kuat. Filsafat
menurutnya lebih banyak mengedepankan akal daripada dalil untuk mencari sebuah
kebenaran. Oleh sebab itu, al-Ghazali banyak dikenal oleh para masyarakat
seorang ahli tasawuf, akan tetapi ia tidak melibatkan dirinya kedalam aliran
tasawuf yang terkenal saat itu, yakni tasawuf inkarnasi dan tasawuf pantheisme.
Sedangkan pengetahuan yang dimiliki oleh al-Ghazali berdasarkan atas rasa yang
memancar dalam hati, bagaikan sumber air yang bersih/jernih, bukan dari
penyelidikan akal, dan tidak pula dari hasil argumen-argumen ilmu kalam.[4]
BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
Dari uraian diatas dapat ditarik kesimpulan bahwa Al-Ghazali adalah seorang teolog sekaligus seorang pemikir Islam yang banyak menyumbangkan pikirannya sampai ke generasi sekarang.
Dari uraian diatas dapat ditarik kesimpulan bahwa Al-Ghazali adalah seorang teolog sekaligus seorang pemikir Islam yang banyak menyumbangkan pikirannya sampai ke generasi sekarang.
Al-Ghazali
mengktitik para filosof tentang tiga persoalan tentang kekeliruan para filosof
yaitu; (1) Bahwa materi dapat merusak sedangkan jiwa tidak, karena materi
adalah entitas material yang terpisah dan hanya jiwa yang abadi yang karena
inilah esensi logos yang merupakan ruh (2) Menolak klaim bahwa pengetahuan yang
khusus berubah jelas mungkin. Tuhan tidak mungkin berubah, dan (3) Al-Ghazali
mengatakan tidak ada satu kasus pun yang tidak abadi,mulai dari yang abadi.
DAFTAR PUSTAKA
Al-Ghazali,
Mukasyafatul Qulub (Rahasia Ketajaman Mata Hati), Surabaya: Terbit Terang, t.t
Ahmad,
Zainal Abidin, Riwayat Hidup Al-Ghazali, Jakarta: Bulan Bintang, 1975
A.
Hanafi, Antara Imam Al-Ghazali dan Imam Rusyd Dalam Tiga Metafisika, Jakarta:
Pustaka al-Husna, 1981
Zar, Filsafat Islam: Filosof dan
Filsafatnya, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2004),
[2] A.
Hanafi, Antara Imam Al-Ghazali dan Imam Rusyd Dalam Tiga Metafisika, Jakarta:
Pustaka al-Husna, 1981
0 Response to "Riwayat Hidup Al-Ghazali dan Pemikirannya"
Post a Comment