Pendekatan Manajemen Konflik Performasi Kerja
Oleh:
NAMA
:Zaki Fuad
Junaidi
Mulyana
DOSPEN :Drs. Yusri. MA
.
SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM ALMUSLIM
BIREUEN PROVINSI ACEH
TAHUSN 2013
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Perkembangan
ilmu pengetahuan dan teknologi yang berlang-sung sangat cepat, berpengaruh
terhadap kehidupan manusia khusus-nya, dan organisasi pada umumnya. Organisasi
harus dapat menyesu-aikan dengan keadaan dan bahkan harus mengantisipasi
perubahan yang akan terjadi dengan menganalisis kekuatan (strength) dan
kele-mahan (weakness) dalam
organisasi dan memanfaatkan peluang (opport-unity) dan
mengantisipasi ancaman (threats) yang mungkin dihadapi pada masa sekarang
dan di masa depan. Lewin (1971: 138) berang-gapan
bahwa dalam setiap situasi perubahan terdapat faktor-faktor pendorong (driving
forces) dan faktor-faktor penghambat (restraining forces) yang
mempengaruhi. Faktor-faktor pendorong adalah faktor-faktor yang mempengaruhi
situasi yang mendorong dalam arah ter-tentu serta mempertahankan perubahan agar
tetap berlangsung, antara lain; perlakuan
supervisor, persaingan, dan perolehan insentif. Sedang-kan faktor-faktor
penghambat adalah faktor yang bertindak mengekang atau memperkecil
faktor pendorong, antara lain; sikap apatis, permu-suhan, pemeliharaan
peralatan yang tidak baik. Lebih lanjut dijelaskan oleh lewin (1971: 139),
bahwa faktor-faktor penghambat dapat menu-runkan produktivitas karyawan,
sedangkan faktor-faktor pendorong dapat menaikkan produktivitas karyawan dan
secara keseluruhan ber-dampak pada peningkatan produktivitas organisasi.
Kemajuan organisasi ditentukan oleh para
pengelolanya, menu-rut Siagian (1992: 150), pemimpin berperan selaku motor
penggerak dalam kehidupan organisasi, dia beranggapan bahwa betapapun
ting-ginya tingkat keterampilan dan kinerja yang dimiliki oleh para pelak-sana
kegiatan operasional, para bawahan tetap memerlukan pengarah-an, bimbingan dan
pengembangan. Dijelaskan juga oleh Stoner dan Freeman
(1994), bahwa para pemimpin organisasi dewasa ini mengha-dapi tantangan
untuk mengimbangi persaingan asing, meningkatkan produktivitas, dan mengambil
keputusan guna melayani masyarakat.
Dengan demikian tantangan yang
dihadapi para pemimpin organisasi adalah menghadapi
persaingan, menurunnya produktivitas, ketepatan dalam mengambil keputusan serta
meningkatkan pelayanan kepada masyarakat.
Dalam
mengatasi masalah-masalah organisasi di butuhkan pe-mimpin yang mempunyai
kemampuan mengarahkan dan menggerak-kan
karyawan kearah tujuan yang ditetapkan serta mampu menerapkan gaya kepemimpinan secara tepat. Menurut Hersey dan
Blanchard (1982: 99), kepemimpinan yang efektif adalah apabila seseorang
atau seke-lompok orang karyawan menjalankan
pekerjaan sesuai dengan harapan pemimpin dan cocok dengan kebutuhan para
karyawan. Ini berarti ke-pemimpinan seseorang tidak hanya didasari kekuasaan
(power) akan tetapi atas kesadaran bawahan yang menganggap bahwa, pekerjaan
merupakan bagian dari kebutuhannya.
Maka manajemen
merupakan faktor penting, untuk itu pendidikan harus dikelo-la oleh
administrator pendidikan yang profesional, dalam arti mampu mendayagunakan
sumber daya yang ada dan dapat mengelola konflik.
B. Rumusan
Masalah
1. Apa
pengertian pendekatan Manajemen konflik ?
2.
Bagaimana Tujuan Pendekatan Manajemen
Konflik ?
3. Apa saja
penyebab terjadinya konflik dalam organisasi ?
4. Apa saja
bentuk-bentuk konflik dalam organisasi ?
5. Bagaimana
cara mengatasi dan mengelola konflik dalam organisasi ?
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pendekatan Manajemen
Konflik Performasi Kerja
1. Pengertian Manajemen
Konflik
Manajemen konflik merupakan serangkaian aksi
dan reaksi antara pelaku maupun pihak luar dalam suatu konflik. Manajemen
konflik termasuk pada suatu pendekatan yang berorientasi pada proses yang
mengarahkan pada bentuk komunikasi (termasuk tingkah laku) dari pelaku maupun
pihak luar dan bagaimana mereka mempengaruhi kepentingan (interests)
dan interpretasi. Bagi pihak luar (di luar yang berkonflik) sebagai pihak
ketiga, yang diperlukannya adalah informasi yang akurat tentang situasi
konflik. Hal ini karena komunikasi efektif di antara pelaku dapat terjadi jika
ada kepercayaan terhadap pihak ketiga.
Menurut
Ross (1993), manjemen konflik merupakan langkah-langkah yang diambil para
pelaku atau pihak ketiga dalam rangka mengarahka perselisihan kearah hasil
tertentu yang mungkin atau tidak mungkin menghasilkan suatu akhir berupa
penyelesaian konflik. Di samping itu, mungkin atau tidak mungkin dapat
menghasilkan ketenangan, hal positif,kreatif, bermufakat, atau
agresif.Manajemen konflik merupakan serangkaian aksi dan reaksi antarapelaku
maupun pihak luar dalam suatu konflik. Manajemen konflik termasuk pada suatu
pendekatan yang berorientasi pada proses yang mengarahkan pada bentuk
komunikasi (termasuk tingkah laku) dari pelaku maupun pihak luardan bagaimana
mereka mempengaruhi kepentingan (interests) dan interprestasi. Bagi pihak luar
(diluar yang berkonflik) sebagai pihak ketiga,yang diperlukannya adalah
informasi yang akurat tentang situasi konflik. Halini karena komunikasi efektif
di antara pelaku dapat terjadi jika ada kepercayaan terhadap pihak ketiga.
2. Pengertian pendekatan
Manajemen konflik Dalam Performasi Kerja
Pendekatan manajemen konflik bisa diartikan sebagai pelaksanaan
pendekatan manajemen konflik dalam menyikapi berbagai masalah yang timbul di
kalangan anak asuh. Hal ini dimaksudkan agar setiap anak dapat berfikir cerdas
tentang aspek positif dan negatif dari setiap tingkah laku mereka. Tidak hanya
itu, dengan adanya pendekatan manajemen konflik,diharapkan setiap anak bisa
lebih mudah berinteraksi antar sesama teman,sehingga tidak ada lagi perpecahan
dan kelompok-kelompok kecil di antara mereka.
Dengan demikian Pendekatan manajemen
konflik dalam Performansi kerja bisa diartikan sebagai fungsi perkalian usaha
(Effort) atau motivasi dengan kemampuan (ability) mencerminkan kesanggupan
seseorang untuk melaksanakan tugas sedangkan motivasi mencerminkan bagimana seseorang
dengan penuh semangat menerapkan kemampuan itu. Performansi kerja identik
dengan hasil kerja, sumber daya organisasi manusia memiliki potensi kerja yang
bepengaruh pada organisasi. Karena itu, performansi kerja setiap individu dan
kelompok akan menentukan peringakat ketentuan organsisai.
3. Tujuan Pendekatan Manajemen Konflik
Manajemen konflik adalah cara yang dilakukan oleh pimpinan pada saat
menanggapi konflik (Hardjaka, 1994), tujuan manajemen konflik untuk mencapai
kinerja yang optimal dengan cara memelihara konflik tetap fungsional dan
meminimalkan akibat konflik yang merugikan.
Menurut Handoko (1992) terdapat 3 cara dalam menghadapi konflik:
1. Stimulasi konflik
2. Pengurangan/penekanan konflik
3. Penyelesaian konflik
Mencegah terjadinya konflik:
1. Tujuan organisasi lebih penting dari pada tujuan kelompok
2. Struktur tugas yang stabil dan dapat diramalkan
3. Meningkatkan dan mengembangkan komunikasi
4. Menghindari situasi menang-kalah yang dapat mengorbankan pihak
lain
Stimulasi konflik dilakukan dengan cara:
1. Meningkatkan kompetensi dan peluang konflik
2. Menumbuhkan ketidakpastian antar kelompok
3. Memperbaharui sistem penggajian
Winardi (1994) berpendapat bahwa manajemen konflik meliputi
kegiatan-kegiatan:
1. Menstiulasi konflik
2. Mengurangi/menekankan konflik
3. Menyelesaikan konflik
Pendekatan-pendekatan yang umum dilakukan terhadap manajemen konflik
adalah:
1. Menetapkan peraturan-peraturan
2. Mengubah peraturan arus kerja
3. Mengubah sistem ganjaran
4. Membentuk unit khusus
5. Memberikan kesempatan kepada pihak-pihak yang mempunyai tujuan
6. Melatih pejabat-pejabat kunci untuk mendalami teknik-teknik
manajemen konflik.[1]
B. Proses Terjadinya Konflik Dalam Performasi
Kerja
Konflik tidak terjadi secara
seketika, melainkan melalui tahapan-tahapan tertentu. Robbins (2003)
menjelaskan konflik terjadi melalui lima tahap, yaitu tahap oposisi atau
ketidakcocokan potensial; tahap kognisi dan personalisasi; tahap maksud; tahap
perilaku; dan tahap hasil.
Gambar 1 Proses Konflik dari Robbins (2003)
Tahap I: Oposisi atau Ketidakcocokan Potensial
Langkah pertama dalam proses
komunikasi adalah adanya kondisi yang menciptakan kesempatan untuk munculnya
konflik itu. Kondisi itu tidak perlu langsung mengarah ke konflik, tetapi salah
satu kondisi itu perlu jika konflik itu harus muncul. Demi sederhananya,
kondisi ini (yang juga dapat dipandang sebagai kasus atau sumber konflik) telah
dimampatkan ke dalam tiga kategori umum: komunikasi, struktur, dan variabel
pribadi.
Tahap II: Kognisi dan Personalisasi
Jika kondisi-kondisi yang disebut
dalam Tahap I mempengaruhi secara negatif sesuatu yang diperhatikan oleh satu
pihak, maka potensi untuk oposisi atau ketidakcocokan menjadi teraktualkan
dalam tahap kedua. Kondisi anteseden hanya dapat mendorong ke konflik bila satu
pihak atau lebih dipengaruhi oleh, dan sadar akan adanya, konflik itu. Tahap II
penting karena di situlah persoalan konflik cenderung didefinisikan.
Tahap III: Maksud
Maksud berada di antara persepsi serta emosi orang dan
perilaku terang-terangan mereka. Maksud merupakan keputusan untuk bertindak
dalam suatu cara tertentu. Dapat diidentifikasikan lima maksud
penanganan-konflik: bersaing (tegas dan tidak kooperatif), berkolaborasi (tegas
dan kooperatif), menghindari (tidak tegas dan tidak kooperatif), mengakomodasi
(kooperatif dan tidak tegas), dan berkompromi (tengah-tengah dalam hal
ketegasan dan kekooperatifan)
Tahap IV: Perilaku
Perilaku konflik ini biasanya secara terang-terangan
berupaya untuk melaksanakan maksud-maksud setiap pihak. Tetapi
perilaku-perilaku ini mempunyai suatu kualitas rangsangan yang terpisah dari
maksud. Sebagai hasil perhitungan atau tindakan yang tidak terampil, kadangkala
perilaku terang-terangan menyimpang dari maksud-maksud yang orsinil.
Tahap V: Hasil
Jalinan aksi-reaksi antara pihak-pihak yang berkonflik
menghasilkan konsekuensi. Hasil ini dapat fungsional, dalam arti konflik itu
menghasilkan suatu perbaikan kinerja kelompok, atau disfungsional dalam arti
merintangi kinerja kelompok.
C. Sumber-sumber Konflik
Konflik dalam organisasi tidak
terjadi secara alamiah dan terjadi bukan tanpa sumber penyebab. Penyebab
terjadinya konflik pada setiap organisasi sangat bervariasi tergantung pada
cara individu-individu menafsirkan, mempersepsi, dan memberikan tanggapan
terhadap lingkungan kerjanya. Sumber-sumber konflik organisasi menurut
pandangan Feldman, D.C. dan Arnold, H.J. (1983: 513) dapat dilihat pada gambar
3. Feldman, D.C. dan Arnold, H.J. menyatakan bahwa, konflik pada umumnya
disebabkan kurangnya koordinasi kerja antar kelompok/departemen, dan lemahnya
sistem kontrol organisasi. Permasalahan koordinasi kerja antar kelompok
berkenaan dengan saling ketergantungan pekerjaan, keraguan dalam menjalankan
tugas karena tidak terstruktur dalam rincian tugas, perbedaan orientasi tugas.
Sedangkan kelemahan sistem kontrol organisasi yaitu, kelemahan manajemen dalam
merealisasikan sistem penilaian kinerja, kurang koordinasi antar unit atau
bagian, aturan main tidak dapat berjalan secara baik, terjadi persaingan yang
tidak sehat dalam memperoleh penghargaan.
Tosi, H.L.
Rizzo, J.R. dan Carrol, S.J. (1990:523) mengelompokkan sumber-sumber konflik
menjadi tiga yaitu,
(1) Individual
characteristic,
(2) Situational
conditions,
(3) Organizations
structure.
Karakteristik individu meliputi;
perbedaan individu dalam hal nilai-nilai, sikap, keyakinan, kebutuhan dan
kepribadian, persepsi ataupun pendapat. Situasi kerja terdiri dari; saling
ketergantungan untuk menjalin kerjasama, perbedaan pendapat antar departemen,
perbedaan status, kegagalan komunikasi, kekaburan bidang tugas. Penyebab
konflik yang ketiga adalah struktur organisasi yaitu, spesialisasi pekerjaan,
saling ketergantungan dalam tugas dalam tugas, perbedaan tujuan, kelangkaan
sumber-sumber, adanya pengaruh dan kekuasaan ganda, perbedaan kriteria dalam
sistem penggajian.[2]
D. Bentuk-bentuk Konflik
Dalam aktivitas organisasi, dijumpai
bermacam-macam konflik yang melibatkan individu-individu maupun
kelompok-kelompok. Beberapa kejadian konflik telah diidentifikasi menurut jenis
dan macamnya oleh sebagian penulis buku manajemen, perilaku organisasi,
psikolog maupun sosiologi.
Tabel
2 Berbagai Pandangan Mengenai Bentuk Konflik
No.
|
Penggagas
|
Bentuk Konflik
|
Soekanto, S. (1981),
|
|
|
Polak, M. (1982)
|
|
|
Champbell, Corbally, dan Nystrand
(1983)
|
|
|
Walton (1987)
|
|
|
Owens (1991), Winardi (2004),
Davis and Newstron (1981)
|
|
|
Wexley, et al. (1992)
|
|
|
Handoko, T.H. (1992)
|
|
|
Ruchyat (2001)
|
|
Berdasarkan tabel di atas, pada hakekatnya konflik terdiri
atas lima bentuk, yaitu: 1) konflik dalam diri individu, 2) konflik antar
individu, 3) konflik antar anggota dalam satu kelompok, 4) konflik antar
kelompok, 5) konflik antar bagian dalam organisasi, dan konflik antar
organisasi.
- Konflik dalam diri individu
Konflik ini merupakan konflik
internal yang terjadi pada diri seseorang. (intrapersonal conflict).
Konflik ini akan terjadi ketika individu harus memilih dua atau lebih tujuan
yang saling bertentangan, dan bimbang mana yang harus dipilih untuk
dilakukan. Handoko (1995:349) mengemukakan konflik dalam diri individu,
terjadi bila seorang individu menghadapi ketidakpastian tentang pekerjaan yang
dia harapkan untuk melaksanakannya, bila berbagai permintaan pekerjaan saling
bertentangan, atau bila individu diharapkan untuk melakukan lebih dari
kemampuannya.
Menurut
Winardi (2004:169), terdapat tiga tipe konflik pada tingkat individu,
yaitu:
1)
Konflik Mendekat-mendekat (Approach-approach Conflict)
Konflik demikian meliputi suatu
situasi di mana seseorang harus memilih antara dua macam alternatif positif dan
yang sama-sama memiliki daya tarik yang sama. Contoh: apabila individu
harus memilih antara tindakan menerima sebuah promosi yang sangat dihargai di
dalam organisasi yang bersangkutan dan menerima pekerjaan baru yang menarik
yang ditawarkan oleh perusahaan lain.
2)
Konflik Menghindari-menghindari (Avoidance-avoidance Conflict)
situasi yang mengharuskan seseorang memilih
antara dua macam alternatif negatif yang sama tidak memiliki daya tarik sama
sekali. Contoh: apabila kita menghadapi pilihan transfer pekerjaan ke kota lain
yang berada pada lokasi yang tidak menyenangkan atau di PHK oleh organisasi di
mana kita bekerja.
3)
Konflik Pendekatan-menghindari (Approach-avoidance Conflict)
Konflik ini meliputi sebuah situasi
di mana seseorang harus mengambil keputusan sehubungan dengan sebuah alternatif
yang memiliki konsekuensi positif maupun negatif yang berkaitan dengannya.
Contoh: apabila seseorang diberi tawaran promosi yang menjanjikan gaji lebih
besar, tetapi yang juga sekaligus mengandung tanggung jawab yang makin
meningkat dan yang tidak disukai.
- Konflik antar individu
Konflik antar individu (interpersonal
conflict) bersifat substantif, emosional atau kedua-duanya. Konflik ini
terjadi ketika adanya perbedaan tentang isu tertentu, tindakan dan tujuan di
mana hasil bersama sangat menentukan.
- Konflik antar anggota
dalam satu kelompok
Setiap kelompok dapat mengalami
konflik substantif atau efektif. Konflik subtantif terjadi karena adanya latar
belakang keahlian yang berbeda, ketika anggota dari suatu komite menghasilkan
kesimpulan yang berbeda atas data yang sama. Sedangkan konflik efektif
terjadi karena tanggapan emosional terhadap suatu situasi tertentu.
- Konflik antar kelompok
Konflik intergroup terjadi
karena adanya saling ketergantungan, perbedaan persepsi, perbedaan tujuan, dan
meningkatnya tuntutan akan keahlian.
- Konflik antar bagian dalam
organisasi
Tentu saja yang mengalami konflik
adalah orang, tetapi dalam hal ini orang tersebut “mewakili” unit kerja
tertentu. Menurut Mulyasa (2004:244) konflik ini terdiri atas
1)
Konflik vertikal. Terjadi antara pimpinan dengan bawahan yang tidak sependapat
tentang cara terbaik untuk menyelesaikan sesuatu. Misalnya konflik antara
kepala sekolah dengan guru.
2)
Konflik horizontal. Terjadi antar pegawai atau departemen yang memiliki
hierarki yang sama dalam organisasi. Misalnya konflik antar tenaga
kependidikan.
3)
Konflik lini-staf. Sering terjadi karena adanya perbedaan persepsi tentang
keterlibatan staf dalam proses pengambilan keputusan oleh manajer lini.
Misalnya konflik antara kepala sekolah dengan tenaga administrasi.
4)
Konflik peran. Terjadi karena seseorang memiliki lebih dari satu peran.
Misalnya kepala sekolah merangkap jabatan sebagai ketua dewan pendidikan.
- Konflik antar organisasi
Konflik antar organisasi terjadi karena mereka memiliki
saling ketergantungan pada tindakan suatu organisasi yang menyebabkan dampak
negatif terhadap organisasi lain. Misalnya konflik yang terjadi antara sekolah
dengan salah satu organisasi masyarakat.
E.
Mengatasi dan Mengelola Konflik dalam Organisasi
Konflik antar individu atau antar
kelompok dapat menguntungkan atau merugikan bagi kelangsungan organisasi. Oleh
karena itu, pimpinan organisasi dituntut memiliki kemampuan manajemen konflik
dan memanfaatkan konflik untuk meningkatkan kinerja organisasi. Criblin
(1982:219) mengemukakan manajemen konflik merupakan teknik yang dilakukan
pimpinan organisasi untuk mengatur konflik dengan cara menentukan peraturan
dasar dalam bersaing. Tosi, et al. (1990) berpendapat bahwa, “Conflict
management mean that a manager takes an active role in addressing conflict
situations and intervenes if needed. Manajemen konflik dalam organisasi
menjadi tanggung jawab pimpinan (manajer) baik manajer tingkat lini (supervisor),
manajer tingkat menengah (middle manager), dan manajer tingkat
atas (top manager), maka diperlukan peran aktif untuk mengarahkan
situasi konflik agar tetap produktif. Manajemen konflik yang efektif dapat
mencapai tingkat konflik yang optimal yaitu, menumbuhkan kreativitas anggota,
menciptakan inovasi, mendorong perubahan, dan bersikap kritis terhadap
perkembangan lingkungan.
Tujuan manajemen konflik adalah
untuk mencapai kinerja yang optimal dengan cara memelihara konflik tetap
fungsional dan meminimalkan akibat konflik yang merugikan (Walton, R.E.
1987:79). Mengingat kegagalan dalam mengelola konflik dapat menghambat
pencapaian tujuan organisasi, maka pemilihan terhadap teknik pengendalian
konflik menjadi perhatian pimpinan organisasi.
Tidak ada teknik pengendalian
konflik yang dapat digunakan dalam segala situasi, karena setiap pendekatan
mempunyai kelebihan dan kekurangan. Gibson, (1996) mengatakan, memilih resolusi
konflik yang cocok tergantung pada faktor-faktor penyebabnya, dan penerapan
manajemen konflik secara tepat dapat meningkatkan kreativitas, dan
produktivitas bagi pihak-pihak yang mengalami Menurut Handoko (1992) secara
umum, terdapat tiga cara dalam menghadapi konflik yaitu, (1) stimulasi konflik,
(2) pengurangan atau penekanan konflik, dan (3) penyelesaian konflik. Stimulasi
konflik diperlukan apabila satuan-satuan kerja di dalam organisasi terlalu
lambat dalam melaksanakan pekerjaan karena tingkat konflik rendah. Situasi
konflik terlalu rendah akan menyebabkan para karyawan takut berinisiatif akhirnya
menjadi pasif. Perilaku dan peluang yang dapat mengarahkan individu atau
kelompok untuk bekerja lebih baik diabaikan, anggota kelompok saling
bertoleransi terhadap kelemahan dan kejelekan pelaksanaan pekerjaan. Pimpinan
(manajer) organisasi perlu merangsang timbulnya persaingan dan konflik yang
dapat mempunyai dampak peningkatan kinerja anggota organisasi. Pengurangan atau
penekanan konflik, manajer yang mempunyai pandangan tradisional berusaha
menekan konflik sekecil-kecilnya dan bahkan berusaha meniadakan konflik
daripada menstimuli konflik. Strategi pengurangan konflik berusaha meminimalkan
kejadian konflik tetapi tidak menyentuh masalah-masalah yang menimbulkan
konflik. Penyelesaian konflik berkenaan dengan kegiatan-kegiatan pimpinan
organisasi yang dapat mempengaruhi secara langsung pihak-pihak yang
bertentangan.
Demikian
halnya, Winardi (2004) berpendapat bahwa, manajemen konflik meliputi
kegiatan-kegiatan;
(1)
Menstimulasi konflik,
(2)
Mengurangi atau menekan konflik, dan
(3)
Menyelesaikan konflik.
Stimulasi
konflik diperlukan pada saat unit-unit kerja mengalami penurunan produktivitas
atau terdapat kelompok-kelompok yang belum memenuhi standar kerja yang
ditetapkan. Metode yang dilakukan dalam menstimulasi konflik yaitu;
(a) memasukkan anggota yang memiliki
sikap, perilaku serta pandangan yang berbeda dengan norma-norma yang berlaku,
(b) merestrukturisasi organisasi
terutama rotasi jabatan dan pembagian tugas-tugas baru,
(c) menyampaikan informasi yang
bertentangan dengan kebiasaan yang dialami,
(d) meningkatkan persaingan dengan
cara menawarkan insentif, promosi jabatan ataupun penghargaan lainnya,
(e) memilih pimpinan baru yang lebih
demokratis.
Tindakan mengurangi konflik
dilakukan apabila tingkat konflik tinggi dan menjurus pada tindakan destruktif
disertai penurunan produktivitas kerja di tiap unit/bagian. Metode pengurangan
konflik dengan jalan mensubstitusi tujuan-tujuan yang dapat diterima oleh
kelompok-kelompok yang sedang konflik, menghadapkan tantangan baru kepada kedua
belah pihak agar dihadapi secara bersama, dan memberikan tugas yang harus
dikerjakan bersama sehingga timbul sikap persahabatan antara anggota-anggota
kelompok.
Penyelesaian konflik (conflict
resolution) merupakan tindakan yang dilakukan pimpinan organisasi dalam
menghadapi pihak-pihak yang sedang konflik. Metode penyelesaian konflik yang
paling banyak digunakan menurut Winardi (2004) adalah dominasi, kompromis, dan
pemecahan problem secara integratif.
F. Dampak Konflik terhadap Kinerja
Organisasi
Suatu konflik merupakan hal wajar
dalam suatu organisasi. Tjutju Yuniarsih, dkk. (1998:115), mengemukakan bahwa
konflik tidak dapat dihindari dalam organisasi, akan tetapi konflik antar
kelompok sekaligus dapat menjadi kekuatan positif dan negatif, sehingga
manajemen seyogyanya tidak perlu menghilangkan semua konflik, tetapi hanya pada
konflik yang menimbulkan dampak gangguan atas usaha organisasi mencapai tujuan.
Beberapa jenis atau tingkatan konflik mungkin terbukti bermanfaat jika
digunakan sebagai sarana untuk perubahan atau inovasi.
Dengan demikian konflik bukanlah
sesuatu yang harus ditakutkan, tetapi merupakan sesuatu hal yang perlu untuk
dikelola agar dapat memberikan kontribusinya bagi pencapaian tujuan organisasi.
Phillip L. Hunsaker (2001:481) mengemukakan bahwa: Conflict are not
negative; they are a natural feature of every organization and can never be
completely eliminated. However, they can be managed to avoid hostility, lack of
cooperation, and failure to meet goals. When channeled properly, conflicts can
lead to creativity, innovative solving, and positive change (Konflik itu
bukan sesuatu yang negatif, tetapi hal itu secara alami akan tetap ada dalam
setiap organisasi. Bagaimanapun konflik itu bila dikelola dengan baik maka
konflik dapat mendukung percepatan pencapaian tujuan organisasi. Ketika konflik
dikelola secara baik, dapat menumbuhkan kreativitas, inovasi dalam pemecahan
masalah dan menumbuhkan perubahan positif bagi pengembangan organisasi).
Sejalan dengan pendapat di atas,
Richard J. Bodine (1998:35) mengemukakan bahwa: conflict is a natural,
vital part of life. When conflict is understood, it can become an opportunity
to learn and create. The synergy of conflict can create new alternative ‑
something that was not possible before. The challenge for people in conflict is
to apply the principles of creative cooperation in their human relationship. .
. . without conflict, there would likely e no personal growth or social change
(Konflik itu terjadi secara alami dan bagian vital dalam kehidupan. Ketika konflik
dapat dipahami secara wajar, ia dapat menjadi peluang dan kreativitas dalam
pembelajaran/pendidikan. Konflik secara sinergis dapat menumbuhkan kreativitas
baru, kadang‑kadang tidak dapat diduga sebelumnya. Tanpa konflik tidak akan
terjadi perubahan bagi pengembangan pribadi maupun perubahan masyarakat).
Mengingat bahwa konflik tidak dapat
dihindari, maka pendekatan yang baik untuk diterapkan para manajer adalah
pendekatan yang mencoba memanfaatkan konflik sedemikian rupa sehingga konflik
dapat memberikan sumbangan yang efektif untuk mencapai sasaran‑sasaran yang
diinginkan. Konflik sesungguhnya dapat menjadi energi yang kuat jika dikelola
dengan baik, sehingga dapat dijadikan alat inovasi. Akan tetapi sebaliknya jika
tidak dapat dikendalikan mengakibatkan kinerja organisasi rendah. Hal senada
juga diungkapkan oleh Depdikbud (1983) yang dikutip oleh D. Deni Koswara (1994:
2), bahwa selain mempunyai nilai positif, konflik juga mempunyai kelemahan,
yaitu :
- Konflik dapat menyebabkan
timbulnya perasaan “tidak enak” sehingga menghambat komunikasi.
- Konflik dapat membawa
organisasi ke arah disintegrasi.
- Konflik menyebabkan ketegangan
antara individu atau kelompok.
- Konflik dapat menghalangi
kerjasama di antara individu mengganggu saluran komunikasi.
- Konflik dapat memindahkan
perhatian anggota organisasi tujuan organisasi.
Untuk itu pendekatan konflik sebagai
bagian normal dari perilaku dapat dimanfaatkan sebagai alat untuk mempromosikan
dan mencapai perubahan‑perubahan yang dikehendaki sehingga tujuan organisasi
dapat dicapai secara efektif dan efisien.
Berkaitan dengan hal ini Robbins
(2003:162) mengemukakan bahwa konflik dapat konstruktif maupun destruktif
terhadap berfungsinya suatu kelompok atau unit. Seperti ditunjukkan pada Gambar
3. Tingkat konflik dapat atau terlalu tinggi atau terlalu rendah. Ekstrim
manapun merintangi kinerja. Suatu tingkat yang optimal adalah kalau ada cukup
konflik untuk mencegah kemacetan, merangsang kreativitas, memungkinkan lepasnya
ketegangan, dan memprakarsai benih-benih untuk perubahan, namun tidak terlalu
banyak, sehingga tidak menggangu atau mencegah koordinasi kegiatan.[3]
Tingkat konflik yang tidak memadai
atau berlebihan dapat merintangi keefektifan dari suatu kelompok atau
organisasi, dengan mengakibatkan berkurangnya kepuasan dari anggota,
meningkatnya kemangkiran dan tingkat keluarnya karyawan, dan pada akhirnya akan
menurunkan produktivitas. Tetapi bila konflik itu berada pada tingkat yang
optimal, puas-diri dan apatis seharusnya diminimalkan, motivasi ditingkatkan
lewat penciptaan lingkungan yang menantang dan mempertanyakan dengan suatu
vitalitas yang membuat kerja menarik, dan sebaiknya ada sejumlah karyawan yang
keluar untuk melepaskan yang tidak cocok dan yang berprestasi buruk dari
organisasi itu.
BAB
III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Konflik
dalam organisasi bisa terjadi dalam diri individu pegawai, antar individu,
dalam kelompok, antar kelompok dan antar organisasi, baik secara vertikal
maupun horizontal sebagai akibat adanya perbedaan karakteristik individu,
masalah komunikasi dan struktur organisasi. Konflik dapat bersifat fungsional
dan disfungsional. Kemampuan manajemen konflik dari seorang manajer dituntut
untuk mengoptimalkan semua konflik menjadi fungsional. Kegagalan dalam
manajemen konflik mengakibatkan efektivitas organisasi dipertaruhkan.
Jadi Dengan demikian Pedekatan manajemen konflik dalam performasi
kerja akan dapat mengatasi segala kendala yang terjadi dalam setiap organisasi
yang mengalami segala pertikaian konflik dalam segala aspek organisasi.
B.
Saran
Demikian makalah yang
dapat kami susun dan kami sangat menyadari makalah ini jauh dari kesempurnaan
maka kritik dan saran yang membangun demi perbaikan dan pengembangan sangat
kami harapkan. Dan semoga ini dapat menambah pengetahuan kita dan bermanfaat. Amin
DAFTAR PUSTAKA
Kar. DR.
Wahyudi, “ Manajemen Konflik Organisasi “
. Quantum Teaching. Jakarta 2006
[2] .
Www.http/Blogspot.com. Tandeas_william .”Pengaruh
konflik kerja terhadap kinerja”, March 18, 2011
[3] . Www.http/Blogspot.com. Tandeas_william .”Pengaruh
konflik kerja terhadap kinerja”, March 18, 2011
0 Response to "Pendekatan Manajemen Konflik Performasi Kerja"
Post a Comment