RESUME ILMU JIWA BELAJAR

1.      PSIKOLOGI ( Ilmu Jiwa) BELAJAR
A.    Pengertian
Psikologi belajar terdiri dari dua penggalan kata yaitu psikologi dan belajar. Psikologi berasal dari bahasa Yunani yaitu psyche yang berarti jiwa dan logos yang berarti ilmu. Dengan demikian secara harpiah psikologi dapat diartikan ilmu jiwa.
Di bawah ini akan saya uraikan tntnag beberapa pendapat ahli mengenai defenisi psikologi.
- Chilffoard T. Morgan berpendapat bahwa psikologi adalah ilmu yang mempelajari tentang tingkah laku manusia dan hewan.
- Edwin G. Boring dan Herbert mengatakan: psikologi adalah studi tentang hakikat manusia.
- Garden Murphy: psychology ilmu yang mempelajari respon yang diberikan oleh makhluk hidup terhadao lingkungannya.
- Moskondits psikologi adalah suatu ilmu pengetahuan empiric yang berdasarkan atas observasi dan penelitian eksperimental, pokok persoalannya adalah tentang tingkah laku manusia.
Dari beberapa pendapat di atas dapat di lihat bahwa antara pendapat ahli yang satu berbeda dengan yang lain. Namun pada hakekatnya memiliki defenisi yang dapat diterima oleh semua pihak. Dalam hal ini untuk lebih sederhana psikologi dapat diartikan sebaai suatu ilmu pengetahuan yang menyelidiki dan membahas tentang tingkah laku manusia baik selaku individu, maupun kelompok, dalam hubungannya dengan lingkungan.
Sedangkan belajar dapat diartikan sebagai suatu perubahan yang terjadi dalam diri seseorang mengenai hal-hal yang bermanfaat baginya.
B. Ruang Lingkup Psikologi Belajar

1. context of teaching learning (situasi dan tempat yang berkaitan dengan belajar dan mengajar)
2. process of teaching learning (proses ataun tahapan-tahapan dalam belajar mengajar)
3. out comes of teaching learning (hasil-hasil yang dicapai dalam proses belajar mengajar)
Ruang lingkup psikologi pendidikan menurut Good & Broopy ( 1997 ) 
1. Psikologi perkembangan
Adalah bidang studi psikologi yang mempelajari perkembangan manusia dan faktor-faktor yang membentuk prilaku seseorang sejak lahir sampai usia lanjut. Psikologi perkembangan berkaitan erat dengan psikologi sosial,karena sebagian besar perkembangan terjadi dalam konteks adanya interaksi sosial. Dan juga berkaitan erat dengan psikologi kepribadian, karena perkembangan individu dapat membentuk kepribadian khas dari individu tersebut
2. Psikologi sosial
Bidang ini mempunyai 3 ruang lingkup, yaitu :
·     studi tentang pengaruh sosial terhadap proses individu, misalnya : studi tentang persepsi,   motifasi, proses belajar, atribusi,(sifat)
·         studi tentang proses-proses individual bersama, seperti bahasa,sikap sosial,prilaku menirudan lain-lain
·        studi tentang interaksi kelompok, misalnya kepemimpinan, komunikasi,hubungan kekuasaan, kerjasama dalam kelompok, dan persaingan.
3. Psikologi kepribadian
Adalah bidang studi psikologi yang mempelajari tingkah laku manusia dalam menyesuaikan diri dengan lingkungannya, psikologi kepribadian berkaitan erat dengan psikologi perkembangan dan psikologi sosial, karena kepribadian adalah hasil dari perkembangan individu sejak masih kecil dan bagaimana cara individu itu sendiri dalam berinteraksi sosial dengan lingkungannya.
4. Psikologi kognitif
Adalah bidang studi psikologi yang mempelajari kemampuan kognitif, seperti: persepsi, proses belajar, kemampuan memori, atensi, kemampuan bahasa danemosi.
Wilayah terapan psikologi adalah wilayah-wilayah dimana kajian psikologi dapat diterapkan. walaupun demikian, belum terbiasanya orang-orang indonesia dengan apesialisasi membuat wilayah terapan ini rancu, misalnya, seorang ahli psikologi pendidikanmungkin saja bekerja pada  HRD sebuah perusahaan, atau sebaliknya.
C.    Metode Ilmu Jiwa Belajar
Dalam Ilmu Jiwa Belajar metode-metode yang digunakan ada:
  1. Metode Introspeksi
Metode ini adalah suatu metode yang tertua, metode ini dipergunakan untuk menyelidiki proses-proses kejiwaan yang berlangsung pada diri sendiri, banyak ahli yang keberatan untuk menggunakan metode ini sebagai alat penyelidikan dengan mengemukakan bermacam-macam alasan diantaranya yang penting adalah instrospeksi ini tidak mungkin objektif / hasilnya atau dengan kata lain mengandung beberapa kelemahan yaitu:
1)      Pada waktu mengamati apa yang terjadi pada dirinya sendiri sebenarnya  menghayati sesuatu objek yang telah merupakan campuran proses yang sebenarnya diselidiki dari proses akibat melakukan penyelidikan
2)      Instrospeksi mengandung sugesti karena pengaruh ini akan sering terjadi sesuatu yang sebenarnya masih belum jelas telha ditafsirkan sebagai sesuatu yang telah nampak dengan jelas.
  1. Metode Observasi
Metode Observasi, atau metode pengamatan, observasi atau pengamatan, adalah kegiatan pemusatan perhatian terhadap sesuatu objek dengan menggunakan seluruh alat indera. Ada dua macam observsinya, yaitu:
1)      Observasi langung (non – sistematis) tidak menggunakan instrument observasi, hanya menggunakan alat indera semata-mata
2)      Observasi sistematis, yaitu dengan menggunakan instrument pengamatan, yang telah dipersiapkan secara sistematis dan terencana sebelumnya. Dengan metode observasi sistematis, peneliti akan mendapatkan data yang objektif, namun peneliti memerlukan waktu yang lama dan sering tidak efisien, Karen observasi terikat pada waktu dan tempat terjadinya objek yang diamati. Terikat pada waktu, artinya peneliti harus menunggun samapi gejala/objek yang diamati terjadi dengan sendirinya, sedangkan terikat pada tempat, artinya peneliti harus berada di tempat kejadian gejala / objek yang diobservasi
  1. Metode Eksperimen
Metode eksperimen atau percobaan, yaitu suatu cara penelitian dengan jalan menimbulkan gejala atau perilaku tertentu, dalam situasi dan kondisi tertentu pula dengan sengaja, untuk dijadikan suatu objek penelitian. Dengan demikian semua kondisi atau keadaan situasi dan gejala-gejala yang diselidiki bisa dikontrol.
Namun eksperimen mampunyai kelemahan, yaitu: 1) bahwa tidak semua gejala-gejala psikis dapat diselidiki secara eksperimen, misalnya gejala-gejala/perilaku yang bersifat spontanitas. 2) karena alasan moral, psikologis dan pedagogis, eksperimen tidak bisa dilakukan misalnya terhadap gejala/gejala/perilaku yang tidak wajar, tidak normal, melanggar norma-norma dan sebagainya.
  1. Metode Test
Metode Test, atau pengukuran; yaitu suatu cara penelitian dengan jalan mengadakan tes atau pengukuran terhadap gejala/perilaku yang diselidiki. Tes itu sendiri adalah berupa “pertanyaan – pertanyaan yang harus dijalankan, yang berdasar atas bagaimana testee menjawab pertanyaan-pertanyaan atau melakukan perintah-perintah itu, penyelidikan mengambil kesimpulan dengan cara membandingkannya dengan standar atau testee yang lain. Ada dua macam tes, yaitu:
1)      Tes terstandar, yang sudah teruji berulang-ulang validitasnya, dan
2)      Tes non standar, yang dibuat sendiri oleh peneliti, sesuai dengan tujuan/sasaran penelitiannya, yang validitasnya belum teruji.
Menurut Pekerjaan yang diselidiki Tes Dapat Dibagi Menjadi Beberapa Macam diantaranya:
1)      Tes Kecerdasan
2)      Tes Perhatian
3)      Tes Ingatan dan sebagainya
Menurut orang yang diselidikinya tes dapat dibagi menjadi 2 macam:
1)      Tes Perseorangan
2)      Tes Gerombolan
Menurut cara menilai jawabannya, tes dapat dibagi pula dalam 2 macam, yaitu:
1)      Tes Alternatif, ialah menilai dengan betul atau salah
2)      Tes Gradual, ialah menilai dengan beberapa tingkatan misalnya: salah sama sekali, salah sedikit, agak betul, hampir betul, dan sebagainya.

  1. Metode Angket
Metode Angket/kuesioner yaitu suatu cara penyelidikan dalam bentuk bertanya,dengan menggunakan bentuk daftar pertanyaan yang telah dipersiapkan sebelumnya. Angket dibedakan menjadi:
1)      Angket langsung; mengenai pengalaman sendiri, (pertanyaan tentang pengalaman orang yang bersangkutan); dan
2)      Angket tidak langsung; yaitu memberikan keterangan/jawaban pertanyaan tentang orang lain.
Kebaikan dari metode ini, adalah bahwa dengan usaha dan biaya yang relatf kecil, bisa terkumpul data/lahan yang besar jumlahnya. Adapun kelemahannya, kurang terjaminnya objektifitas data yang terkumpul
Menurut luas objeknya angket dapat pula dibagi:
1)      Angket umum, ialah angket bertujuan memperoleh gambaran selengkap-lengkapnya mengenai jiwa (psikografi) seseorang
2)      Angket khusus, ialah angket yang bertujuan memperoleh gambaran-gambaran khusus mengenai satu hal saja. Misalnya watak seseorang.
  1. Metode Proyeksi
Adalah sutau metode yang dilakukan dengan jalan menyajikan suatu bahan (gambar, permainan, tulisan, dan lain sebagainya) kepada individu dimana diharapkan adanya jawaban yang berwujud pendapat atau sikap yang merupakan proyeksi dan pribadinya.
Keberatannya:
1)      Memerlukan penyelidik yang ahli dan berpengalaman
2)      Penafsiran terhadap jawaban sering dipengaruhi oleh perasaan dan sikapnya sendiri sehingga kurang objektif.
  1. Metode Case Studi
Adalah penyelidikan terhadap individu secara mendalam meliputi latar belakang social, fisik dan psikis. Waktunya cukup lama dan melalui berbagai periode pertumbuhan.
  1. Metode Klinis
Adalah metode penyelidikan secara mendalam kepada individu yang menyimpang dari tingkah laku norma untuk diagnosanya
2.      KONSEP DASAR TENTANG BELAJAR
A.    Pengertian Belajar
 Pengertian belajar menurut kamus bahasa Indonesia :
Belajar adalah berusaha memperoleh kepandaian atau ilmu, berlatih, berubah tingkah laku atau tanggapan yang disebabkan oleh pengalaman.
 Pengertian belajar menurut beberapa ahli :
1. Menurut james O. Whittaker (Djamarah, Syaiful Bahri , Psikologi Belajar; Rineka Cipta; 1999) Belajar adalah Proses dimana tingkah laku ditimbulkan atau diubah melalui latihan atau pengalaman.
2. Winkel, belajar adalah aktivitas mental atau psikis, yang berlangsung dalam interaksi aktif dengan lingkungan yang menghasilkan perubahan-perubahan dalam pengetahuan, pemahaman, ketrampilan, nilai dan sikap.
3. Cronchbach (Djamarah, Syaiful Bahri , Psikologi Belajar; Rineka Cipta; 1999) Belajar adalah suatu aktifitas yang ditunjukkan oleh perubahan tingkah laku sebagai hasil dari pengalaman.
4. Howard L. Kingskey (Djamarah, Syaiful Bahri, Psikologi Belajar; Rineka Cipta; 1999) Belajar adalah proses dimana tingkah laku ditimbulkan atau diubah melalui praktek atau latihan.
5. Drs. Slameto (Djamarah, Syaiful Bahri, Psikologi Belajar; Rineka Cipta; 1999) Belajar adalah suatu proses usaha yang dilakukan individu untuk memperoleh suatu perubahan tingkah laku yang baru secara keseluruhan, sebagai hasil pengalaman individu  itu sendiri di dalam interaksi dengan lingkungannya.
6. (Djamarah, Syaiful Bahri, Psikologi Belajar; Rineka Cipta; 1999)
Belajar adalah  serangkaian kegiatan jiwa raga untuk memperoleh suatu perubahan tingkah laku sebagai hasil dari pengalaman individu dalam interaksi dengan lingkungannya yang menyangkut kognitif, afektif dan psikomotor.
7. R. Gagne (Djamarah, Syaiful Bahri, Psikologi Belajar; Rineka Cipta; 1999) hal 22. Belajar adalah suatu proses untuk memperoleh motivasi dalam pengetahuan, ketrampilan, kebiasaan dan tingkah laku
8. Herbart (swiss) Belajar adalah suatu proses pengisian jiwa dengan pengetahuan dan pengalamn yang sebanyak-banyaknya dengan melalui hafaln
9. Robert M. Gagne dalam buku: the conditioning of learning mengemukakan bahwa: Learning is change in human disposition or capacity, wich persists over a period time, and which is not simply ascribable to process a groeth. Belajar adalah perubahan yang terjadi dalam kemampuan manusia setelah belajar secara terus menerus, bukan hanya disebabkan karena proses pertumbuhan saja. Gagne berkeyakinan bahwa belajar dipengaruhi oleh faktor dari luar diri dan faktor dalm diri dan keduanya saling berinteraksi.
10. Lester D. Crow and Alice Crow (WWW. Google.com) Belajar adalah acuquisition of habits, knowledge and attitudes. Belajar adalah upaya-upaya untuk memperoleh kebiasaan-kebiasaan, pengetahuan dan sikap.
11. Ngalim Purwanto (1992) (WWW. Google.com) Belajar adalah setiap perubahan yang relatif menetap dalam tingkah laku, yang terjadi sebagi hasil dari suatu latihan atau pengalaman.
B. Ciri-ciri Belajar
Ciri-ciri belajar adalah sebagai berikut :
1. Adanya kemampuan baru atau perubahan. Perubahan tingkah laku bersifat pengetahuan (kognitif), keterampilan (psikomotorik), maupun nilai dan sikap (afektif).
2. Perubahan itu tidak berlangsung sesaat saja melainkan menetap atau dapat disimpan.
3. Perubahan itu tidak terjadi begitu saja melainkan harus dengan usaha. Perubahan terjadi akibat interaksi dengan lingkungan.
4. Perubahan tidak semata-mata disebabkan oleh pertumbuhan fisik/ kedewasaan, tidak karena kelelahan, penyakit atau pengaruh obat-obatan.

Berikut beberapa faktor pendorong mengapa manusia memiliki keinginan untuk belajar:

1. Adanya dorongan rasa ingin tahu
2. Adanya keinginan untuk menguasai Ilmu Pengetahuan dan Teknologi sebagai tuntutan zaman dan lingkungan sekitarnya.
3. Mengutip dari istilah Abraham Maslow bahwa segala aktivitas manusia didasari atas kebutuhan yang harus dipenuhi dari kebutuhan biologis sampai aktualisasi diri.
4. Untuk melakukan penyempurnaan dari apa yang telah diketahuinya.
5. Agar mampu bersosialisasi dan beradaptasi dengan lingkungannya.
6. Untuk meningkatkan intelektualitas dan mengembangkan potensi diri.
7. Untuk mencapai cita-cita yang diinginkan.
8. Untuk mengisi waktu luang.

C. Manifestasi, dan Ragam Hasil Perbuatan Belajar

Ciri khas perubahan yang menjadi karakteristik dalam belajar meliputi perubahan-perubahan yang bersifat: intensional (disengaja), positif dan aktif (bermanfaat dan hasil usaha sendiri), serta efektif dan fungsional (berpengaruh dan mendorong timbulnya perubahan baru). Kesengajaan belajar itu tidak penting, yang penting adalah cara mengeloloah informasi yang diteerima siswa pada waktu peristiwa belajar terjadi. Tidak semua kecakapan yang kita peroleh merupakan hasil kesengajaan belajar yang kita sadari.
Manifestasi prilaku belajar tampak dalam “kebiasaan”, seperti siswa belajar bahasa berkali-kali menghindari kecenderungan penggunaan kata atau struktur yang keliru, sehingga akhirnya ia terbiasa dengan penggunaan bahasa secara baik dan benar. “keretampilan”, seperti menulis dan berolahraga yang meskipun sifatnya motorik, keterampilan-keterampilan itu membutuhkan koordinasi gerak yang teliti dan kesadaran yang tinggi. “pengamatan” yakni proses menerima, menafsirkan, dan member arti rangsangan yang masuk melalui indera-indera secara objektif sehingga siswa mampu mencapai pengertian yang benar. Berfikir “asosiatif” yakni berfikir dengan cara mengasosiasikan sesuatu dengan lainnya dengan menggunakan daya ingat. Berfikir “rasional dan kritis” yakni menggunakn prinsip-prinsip dan dasar-dasar pengertian dalam menjawab pertanyaan kritis seperti bagaimana dan mengapa. “sikap” yakni kecenderungan yang relative menetap untuk bereaksi dengan cara baik atau buruk terhadap orang atau barang tertentu sesuai dengan pengetahuan dan keyakinan. “inhibisi” atau menghindari hal yang mubazzir. “apresiasi” atau menghargai karya-karya yang bermutu. Tingkah laku “afektif” yakni tingkah laku yang bersangkutan dengan perasaan takut, marah, sedih, gembira, kecewa, senang, benci, was-was, dan sebagainya sesuai dengan pengetahuan dan keyakinan.
Adapun jenis-jenis atau ragam belajar meliputi: Ragam abstrak yaitu berfikir abstrak dengan tujuan memperoleh pemahaman dan pemecahan masalah-masalah yang tidak nyata seperti belajar matematika, kimia dll. Ragam keterampilan, menggunakan gerakan motorik hubungannya dengan urat-urat syaraf dan otot, termasuk olahraga, tari, music, dll. Ragam social, memahami masalah-masalah beserta teknik pemecahannya, contohnya masalah keluarga, persahabatan, dll. Ragam pemecahan masalah, menggunakan metode ilmiah atau berfikir secara logis demi memperoleh kemampuan untuk memecahkan masalah. Ragam rasional, berfikir logis dengan menggunakan akal sehat seperti memecahkan masalah dengan menggunakan pertimbangan sebelumnya. Ragam kebiasaan,  apresiasi, dan Ragam pengatahuan/studi, belajar dengan cara melakukan penyelidikan mendalam terhadap objek pengetahuan tertentu dengan tujuan agar siswa memperoleh atau menambah informasi dan pemahaman terhadap pengetahuan yang biasanya lebih rumit dan memerlukan kiat khusus dalam mempelajarinya, misalnya menggunakan alat-alat laboratorium.

3.      FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI PERKEMBANGAN

a. Nativisme
Perkembangan manusia dipengaruhi oleh pembawaan yang diterima ileh orang tuanya sedankan pengalaman atau lingkungan tidak berpengaruh sama sekali
b. Empirisme
Tabularasa suatu istilah dari bahasa latin yang berarti lembaran kosong, paham ini menekankan pentingnya pengalaman lingungan dan pendidikan sebagai faktor yang mempengaruhi perkembangan. Perkembangan manusia tergantung kepada lingkungan dan pendidikan.
c. Kovergensi
Berarti pembawaan dan lingkungan pada tatanan praktis jika seorang berasal dari orang tua yang cerdas dan pintar, dan mendapat pendidikan yangf berkualitas tinggi maka akan menjadi anak yang cerdas dan pintar.


4.      MOTIVASI BELAJAR
Seiring saat ini kegiatan memberikan motivasi dalam upaya meningkatkan semangat belajar peserta didik berikit pengertian definisi dasar kata motivasi dan belajar, Jadi apa itu motivasi belajar ?
Pengertian Motivasi
Motivasi adalah sebuah proses yang menjelaskan insensitas arah, dan ketekunan seorang individu untuk mencapai tujuannya, di dalam motivasi ada Tiga elemen utama yaitu adalah intensitas, arah, dan ketekunan

Pengertian Belajar
Pengertian belajar menurut Morgan, mengatakan bahwa belajar adalah setiap perubahan yang relatif menetap dalam tingkah laku yang terjadi sebagai suatu hasil dari latihan atau pengalaman (Wisnubrata, 1983:3). Sedangkan menurut Moh. Surya (1981:32), belajar adalah suatu proses usaha yang dilakukan individu untuk memperoleh suatu perubahan tingkah laku yang baru keseluruhan, sebagai hasil pengalaman individu itu sendiri dalam interaksinya dengan lingkungan. Kesimpulan yang bisa diambil dari kedua pengertian di atas, bahwa pada prinsipnya, belajar adalah perubahan dari diri seseorang.

Jadi Pengertian Motivasi Belajar adalah keseluruhan daya penggerak baik dari dalam diri maupun dari luar siswa (dengan menciptakan serangkaian usaha untuk menyediakan kondisi-kondisi tertentu) yang menjamin kelangsungan dan memberikan arah pada kegiatan belajar, sehingga tujuan yang dikehendaki oleh subjek belajar itu dapat.

B.     Bentuk- bentuk Motivasi Belajar
Secara umum, motivasi dibedakan menjadi dua jenis yaitu motivasi instrinsik dan motivasi ekstrinsik.
1)      Motivasi Instrinsik
            Hamalik (2004) berpendapat bahwa motivasi instrinsik adalah motivasi yang tercakup dalam situasi belajar yang bersumber dari kebutuhan dan tujuan-tujuan siswa sendiri. Sedangkan menurut Sardiman (2006) motivasi instrinsik adalah motif-motif yang menjadi aktif dan berfungsi tidak perlu dirangsang dari luar karena dalam diri setiap individu sudah ada dorongan untuk melakukan sesuatu. Dengan kata lain, individu terdorong untuk bertingkah laku ke arah tujuan tetentu tanpa adanya faktor pendorong dari luar. Berdasarkan pendapat-pendapat tersebut di atas dapat dikatakan bahwa motivasi instrinsik adalah motivasi yang tercakup dalam situasi belajar yang bersumber dari kebutuhan dan tujuan-tujuan siswa sendiri atau dengan kata lain motivasi instrinsik tudak memerlukan rangsangan dari luar tetapi berasal dari diri siswa.
            Siswa yang termotivasi secara instrinsik dapat terlihat dari kegiatannya yang tekun dalam mengerjakan tugas-tugas belajar karena bituh dan ingin mencapai tujuan belajar yang sebenarnya. Dengan kata lain, motivasi instrinsik dilihat dari segi tujuan kegiatan yang dilakukan adalah ingin mencapai tujuan yang terkandung di dalam perbuatan itu sendiri (Sardiman, 2001). Siswa yang memiliki motivasi instrinsik menunjukkan keterlibatan dan aktivitas yang tinggi dalam belajar.
           
            Guru dapat menggunakan beberapa strategi dalam pembelajaran agar siswa termotivasi secara instrinsik, yaitu:
  1. Mengaitkan tujuan belajar dengan tujuan siswa sehingga tujuan belajar menjadi tujuan siswa atau sama dengan tujuan siswa.
  2. Memberi kebebasan kepada siswa untuk memperluas kegiatan dan materi belajar selama masih dalam batas-batas daerah belajar yang pokok.
  3. Memberikan waktu ekstra yang cukup banyak bagi siswa untuk mengembangkan tugas-tugas mereka dan memanfaatkan sumber-sumber belajar yang ada di sekolah.
  4. Kadang kala memberikan penghargaan atas pekerjaan siswa.
  5. Meminta siswa-siswanya untuk menjelaskan dan membacakan tugas-tugas yang mereka buat, kalau mereka ingin melakukannya. Hal ini perlu dilakukan terutama sekali terhadap tugas yang bukan merupakan tugas pokok yang harus dikerjakan oleh siswa, kalau tugas dikerjakan dengan baik.
2)      Motivasi Ekstrinsik
            Motivasi ekstrinsik berbeda dari motivasi instrinsik karena dalam motivasi ini keinginan siswa untuk belajar sangat dipengaruhi oleh adanya dorongan atau rangsangan dari luar. Dorongan dari luar tersebut dapat berupa pujian, celaan, hadiah, hukuman dan teguran dari guru. Menurut Sardiman (2006) motivasi ekstrinsik adalah “motif-motif yang aktif dan berfungsinya karena adanya rangsangan atau dorongan dari luar”. Bagian yang terpenting dari motivasi ini bukanlah tujuan belajar untuk mengetahui sesuatu tetapi ingin mendapatkan nilai yang baik, sehingga mendapatkan hadiah.
            Motivasi instrinsik juga diperlukan dalam kegiatan belajar karena tidak semua siswa memiliki motivasi yang kuat dari dalam dirinya untuk belajar. Guru sangat berperan dalam rangka menumbuhkan motivasi ekstrinsik. Pemberian motivasi ekstrinsik harus disesuaikan dengan kebutuhan siswa, karena jika siswa diberikan motivasi ekstrinsik secara berlebihan maka motivasi instrinsik yang sudah ada dalam diri siswa akan hilang. Motivasi ekstrinsik dapat membangkitkan motivasi instrinsik, sehingga motivasi ekstrinsik sangat diperlukan dalam pembelajaran.
            Dimyanti (2006) mengemukakan bahwa motivasi ekstrinsik dapat berubah menjadi motivasi instrinsik jika siswa menyadari pentingnya belajar. Motivasi ekstrinsik juga sangat diperlukan oleh siswa dalam pembelajaran karena adanya kemungkianan perubahan keadaan siswa dan juga faktor lain seperti kurang meneriknya proses belajar mengajar bagi siswa. Motivasi ekstrinsik dan instrinsik harus saling menambah dan memperkuat sehingga individu dapat mencapai tujuan yang telah ditetapkan.

C.      Cara Membangkitkan Motivasi Belajar
            Upaya-upaya peningkatan motivasi belajar siswa dilakukan oleh guru dengan menggunakan berbagai cara. Pemilihan cara membangkitkan motivasi belajar siswa harus disesuaikan dengan karakteristik siswa dan juga mata pelajaran yang sedang diajarkan oleh guru. Siswa yang mempunyai motivasi belajar dan berprestasi instrinsik yang kuat berbeda penenganannya dengan siswa yang bermotivasi belajar dan berprestasi ekstrinsiknya yang kuat. Di sisi lain faktor-faktor terjadinya penurunan motivasi belajar dan berprestasi juga turut  menentukan pemilihan upaya yang akan dilakukan.
            Ada beberapa cara yang bisa dilakukan oleh guru membangkitkan motivasi belajar siswa, baik motivasi instrinsik maupun ekstrinsik antara lain dengan cara:
1.      Memberikan penghargaan kepada siswa yang berprestasi.
2.      Adanya persaingan atau kompetisi di dalam kelas.
3.      Pemberian hadiah atau pujian terhadap siswa-siswa yang memiliki prestasi baik dan memberikan hukuman kepada siswa yang prestasinya mengalami penurunan.
4.      Adanya pemberitahuan tentang kemujan belajar siswa.
Dengan mengetahui hasil pekerjaan maka siswa akan terdorong untuk lebih giat belajar, apabila jika hasil yang diperoleh menunjukkan kemajuan.
  1. Ego involvement.
Menumbuhkan kesadaran kepada siswa agar merasakan pentingnya tugas dan menerimenya sebagai tantangan.
  1. Pemberian ulangan.
Guru harus memberitahukan terlebih dahulu jika akan diadakan ulangan karena siswa akan lebih giat belajar jika mengetahui akan ada ulangan.
  1. Adanya hasrat untuk belajar.
Hasrat untuk belajar berarti kemauan yang timbul pada diri anak didik untuk belajar, sehingga menghasilkan sesuatu yang lebih baik.
  1. Minat.
Minat merupakan alat pokok dalam rangka memotivasi siswa. Cara yang bisa diambil oleh guru untuk membangkitkan minat belajar siswa menurut Sardiman (2006) adalah membangkitkan adanya kebutuhan, menghubungkan materi dengan keadaan sebenarnya, serta menggunakan berbagai metode mengajar.
  1. Tujuan yang diakui.
Rumusan tujuan yang diakui dan diterima baik oleh siswa, merupakan alat motivasi yang sangat penting. Semua cara tersebut bisa adopsi oleh guru untuk menambah motivasi siswa agar meningkatkan hasil belajarnya.


5.      TIPE-TIPE BELAJAR DARI BELAJAR
A.  Tipe- tipe Belajar Pada Umumnya
Mengetahui pola belajar peserta didik adalah modal bagai seorang guru untuk menentukan strategi pembelajaran. Robert M. Gagne (1979) membedakan pola-pola belajar peserta didik ke dalam delapan tipe, yang tiap tipe merupakan prasyarat bagi lainnya yang lebih tinggi hierarkinya.
Kedelapan tipe belajar sebagaimana disebutkan di atas akan dijelaskan satu per satu secara singkat dan jelas sebagai berikut:
a.        Belajar Tipe 1: Signal Learning (Belajar Isyarat)
Belajar tipe ini merupakan tahap yang paling dasar. Jadi, tidak ada persyaratan, namun merupakan hierarki yang harus dilalui untuk menuju jenjang belajar yang paling tinggi. Signal learning dapat diartikan sebagai penguasaan pola-pola dasar perilaku bersifat involuntary (tidak sengaja dan tidak disadari tujuannya). Dalam tipe ini terlibat aspek reaksi emosional di dalamnya. Kondisi yang diperlukan untuk berlangsungnya tipe belajar ini adalah diberikannya stimulus (signal) secara serempak dan  perangsang-perangsang tertentu secara berulang kali. Signal learning. Ini mirip dengan conditioning menurut Pavlov yang timbul setelah sejumlah pengalaman tertentu. Respon yang timbul bersifat umum dan emosional selain timbulnya dengan tidak sengaja dan tidak dapat dikuasai. Contohnya yaitu seorang guru yang memberikan isyarat kepada muridnya yang gaduh dengan bahasa tubuh tangan diangkat kemudian diturunkan.
b.        Belajar Tipe 2: Stimulus-Respons Learning (Belajar Stimulus­-respon)
Bila tipe di atas digolongkan dalam jenis classical condition, maka belajar 2 ini termasuk ke dalam instrumental conditioning atau belajar dengan trial and error (mencoba-coba). Proses belajar bahasa pada anak-anak merupakan proses yang serupa dengan ini. Kondisi yang diperlukan untuk berlangsungnya tipe belajar ini adalah faktor inforcement. Waktu antara stimulus pertama dan berikutnya amat penting. Contohnya yaitu seorang guru memberikan suatu bentuk pertanyaan atau gambaran tentang sesuatu yang kemudian ditanggapi oleh muridnya. Guru member pertanyaan kemudian murid menjawab.
c.         Belajar Tipe 3: Chaining (Rantai atau Rangkaian)
Chaining adalah belajar menghubungkan satuan ikatan S-R (Stimu­lus-Respons) yang satu dengan yang lain. Kondisi yang diperlukan bagi berlangsungnya tipe belajar ini antara lain, secara internal anak didik sudah harus terkuasai sejumlah satuan pola S-R, baik psikomotorik maupun verbal. Selain itu prinsip kesinambungan, pengulangan, dan reinforce­ment tetap penting bagi berlangsungnya proses chaining.
Contohnya yaitu pengajaran tari atau senam yang dari awal membutuhkan proses-proses dan tahapan untuk mencapai tujuannya. Chain­ing terjadi bila terbentuk hubungan antara beberapa S-R, sebab yang terjadi segera setelah yang satu lagi. Jadi berdasarkan hubungan conntiguity).
d.        Belajar Tipe 4. Verbal Association (Asosiasi Verbal)
Tipe ini merupakan belajar menghubungkan suatu kata dengan suatu obyek yang berupa benda, orang atau kejadian dan merangkaikan sejumlah kata dalam urutan yang tepat. Contohnya yaitu Membuat langkah kerja dari suatu praktek dengan bntuan alat atau objek tertentu. Membuat prosedur dari praktek kayu.
Baik chaining maupun verbal association, yang kedua tipe belajar ini,  menghubungkan satuan ikatan S-R yang satu dengan lain. Bentuk verbal association yang paling sederhana adalah bila diperlihatkan suatu bentuk geometris, dan si anak dapat mengatakan “bujur sangkar”, atau mengatakan “itu bola saya”, bila melihat bolanya. Sebelumnya, ia harus dapat membedakan bentuk geometris agar dapat mengenal `bujur sangkar’ sebagai salah satu bentuk geometris, atau mengenal ‘bola’, `saya’, dan ‘itu’. Hubungan itu terbentuk, bila unsur­nya terdapat dalam urutan tertentu, yang satu segera mengikuti satu lagi (conntiguity).
e.         Belajar Tipe 5: Discrimination Learning (Belajar Diskriminasi)
Discrimination learning atau belajar membedakan. Tipe ini peserta didik mengadakan seleksi dan pengujian di antara­ perangsang atau sejumlah stimulus yang diterimanya, kemudian memilih pola-pola respons yang dianggap paling sesuai. Kondisi utama berlangsung proses belajar ini adalah anak didik sudah mempunyai pola aturan melakukan chaining dan association serta pengalaman (pola S-R)
Contoh:. Guru mengenal peserta didik serta nama masing-masing karena mampu mengadakan diskriminasi di antara anak ­itu. Diskriminasi didasarkan atas chain. Anak misalnya harus mengenal mobil tertentu berserta namanya. Untuk mengenal model lain diadakannya chain baru  dengan kemungkinan yang satu akan mengganggu yang satunya lagi. Makin banyak yang dirangkaikan, makin besar kesulitan yang dihadapi, karena kemungkinan gangguan atau interference itu, dan kemungkinan suatu chain dilupakan.
f.          Belajar Tipe 6: Concept Learning (Belajar Konsep)
Concept learning adalah belajar pengertian. Dengan berdasarkan kesamaan ciri-ciri dari sekumpulan stimulus dan objek-objeknya, ia membentuk suatu pengertian atau konsep. Kondisi utama yang diperlukan adalah menguasai kemahiran diskriminasi dan proses kognitif fundamen­tal sebelumnya.
Belajar konsep dapat dilakukan karena kesanggupan manusia untuk mengadakan representasi internal tentang dunia sekitarnya dengan menggunakan bahasa. Manusia dapat melakukannya tanpa batas berkat bahasa dan kemampuannya mengabstraksi. Dengan menguasai konsep, ia dapat menggolongkan dunia sekitarnya menurut konsep itu, misalnya menurut warna, bentuk, besar, jumlah, dan sebagainya. la dapat menggolongkan manusia menurut hubungan keluarga, seperti bapak, ibu, paman, saudara, dan sebagainya; menurut bangsa, pekerjaan, dan sebagainya. Dalam hal ini, kelakuan manusia tidak dikuasai oleh stimulus dalam bentuk fisik, melainkan dalam bentuk yang abstrak. Misalnya kita dapat menyuruh peserta didik dengan perintah: “Ambilkan botol yang di tengah! ” Untuk mempelajari suatu konsep, peserta didik harus mengalami berbagai situasi dengan stimulus tertentu. Untuk itu, ia harus dapat mengadakan diskriminasi untuk membedakan apa yang termasuk dan tidak termasuk konsep itu. Proses belajar konsep memakan waktu dan berlangsung secara berangsur-angsur.
g.        Belajar Tipe 7: Rule Learning (Belajar Aturan)
Rule learning belajar membuat generalisasi, hukum, dan kaidah. Pada tingkat ini peserta didik belajar mengadakan kombinasi berbagai konsep dengan mengoperasikan kaidah-kaidah logika formal (induktif, dedukatif, sintesis, asosiasi, diferensiasi, komparasi, dan kausalitas) sehingga peserta didik dapat menemukan konklusi tertentu yang mungkin selanjutnya dipandang sebagai “rule “: prinsip, dalil, aturan, hukum, kaidah, dan sebagainya.
h.        Belajar Tipe 8: Problem Solving (Pemecahan Masalah)
Problem solving adalah belajar memecahkan masalah. Pada tingkat ini para peserta didik belajar merumuskan memecahkan masalah, memberikan respons terhadap rangsangan yang menggambarkan atau membangkitkan situasi problematik, yang mempergunakan berbagai kaidah yang telah dikuasainya. Belajar memecahkan masalah itu berlangsung sebagai berikut: Individu menyadari masalah bila ia dihadapkan kepada situasi keraguan dan kekaburan sehingga merasakan adanya semacam kesulitan. Contohnya yaitu seorang guru memberikan kasus atau permasalahan kepada siswa-siswanya untuk memancing otak mereka mencari jawaban atau penyelesaian dari masalah tersebut.

B.     Mastery Learning
Pembelajaran tuntas (mastery learning) adalah pendekatan dalam pembelajaran yang mempersyaratkan peserta didik menguasai secara tuntas seluruh standar kompetensi maupun kompetensi dasar mata pelajaran tertentu.
Pembelajaran tuntas dilakukan dengan pendekatan diagnostik. Strategi pembelajaran tuntas sebenarnya menganut pendekatan individual.
Landasan konsep dan teori tentang Mastery Learning adalah pandangan tentang kemampuan siswa yang dikemukakan oleh John B. Carroll pada tahun 1963 berdasarkan penemuannya yaitu “Models of School Learning”. Manfaat model yang telah ditemukan Carroll ini secara essensial merupakan suatu paradigma konseptual yang mana garis besar faktor-faktor yang mempengaruhi kesuksesan siswa belajar di sekolah ditunjukkan dengan bagaimana faktor-faktor tersebut diinteraksikan. Di sini Carroll menemukan bahwa bakat siswa tidak diramal hanya pada tingkat dimana dia belajar dalam suatu waktu yang diberikan, tetapi juga menyangkut banyaknya waktu yang dia perlukan untuk belajar pada tingkat tersebut. Dalam hal ini Carroll mendefinisikan bahwa bakat sebagai tolok ukur untuk mengetahui banyaknya waktu yang diperlukan siswa untuk belajar dari satuan pelajaran untuk memberikan criteria terhadap kondisi pembelajaran yang ideal.

  Penerapan Metode Pembelajaran Mastery Learning
Cara Kerja Mastery Learning
Intinya, Mastery Learning menyempurnakan tujuan pembelajaran dengan mengerjakan tiga (3) hal: a) memberikan siswa perbedaan jumlah waktu untuk mencapai tujuan bahan ajar, b) memberikan penambahan waktu atau remedial untuk siswa yang belum menyelesaikan bahan ajar dengan cepat, c) mengatur satuan kurikulum yang berbeda, yang mana masing-masing siswa dapat diajar dan dievaluasi secara terpisah dari yang lain. Untuk lebih jelasnya akan kami coba untuk menguraikan masing-masing tahap cara kerja Mastery Learning.
1)      Menyediakan waktu pencapaian tujuan
Mastery Learning biasanya mengambil hubungan antara waktu dan prestasi siswa di sekolah. Sebagai ganti alokasi banyaknya waktu belajar yang ditetapkan dan mengikuti tingkat kecerdasan siswa yang beragam, maka Mastery Learning mengharuskan semua siswa untuk mencapai suatu unit belajar tertentu dan memberikan waktu yang diperlukan untuk menguasai unit belajar tersebut secara berbeda-beda antar individu. Dengan kata lain secara sederhana seorang guru harus mencurahkan waktu ekstra untuk siswa yang perlu waktu
2)      Memberikan Perbaikan Pembelajaran
Dalam rangka mengambil keuntungan dari fleksibilitas waktu belajar, pendekatan mastery menawarkan pembelajaran ekstra, yang disebut dengan perbaikan pembelajaran (corrective instruction), untuk siswa yang terlalu lama memahami tujuan pembelajaran. Corrective instruction ini dapat dalam bentuk tutorial secara individu atau pembelajaran dalam bentuk kelompok kecil yang disesuaikan pada pengulangan ketidakfahaman atau kebingungan yang dihadapi siswa.
Perbaikan pembelajaran dapat terjadi selama jam pembelajaran berlangsung ataupun di luar jam pembelajaran. Misalnya pada jam istirahat, waktu makan siang, ataupun jam setelah sekolah selesai. Contoh kasus, misalnya dalam pelajaran matematika, siswa akan dikategorikan belum tuntas (dari tingkat ketuntasan yang ditargetkan 90% tes tiap unit belajar), maka siswa akan ada pada criteria perbaikan pembelajaran.
Pada perbaikan ini bisa saja digunakan metode dan media mengajar yang berbeda tetapi tetap pada konsep/unit yang sama dan bekerja ke arah yang sama pula secara obyektif sebagaimana sebelumnya. Akhirnya siswa akan dibawa pada tes lain pada unit tersebut, dan jika mereka masih belum beranjak dari daerah kriteria belum tuntas, mereka masih akan perlu perbaikan pembelajaran sampai akhirnya mereka berhasil. Setelah mereka mencapai ketuntasan akan diijinkan untuk melangkah pada unit selanjutnya.
3)      Mangatur Satuan Kurikulum
Untuk membuat perbaikan pembelajaran yang efektif, dalam Mastery Learning guru-guru juga perlu mengatur kurikulum ke dalam satuan pelajaran yang berlainan, masing-masing difokuskan pada satuan khusus pembelajaran yang obyektif. Fokus pendekatan guru pada awal pembelajaran lebih jelas dan membantu memonitor perkembangan siswanya. Selanjutnya mendesain tes dasar pada tiap unit secara tepat. Keuntungannya adalah membantu para guru merencanakan perbaikan pembelajaran yang tepat dan benar-benar membantu.
Pada sekolah umum, Mastery Learning hampir pasti dikatakan cocok pada periode dan waktu pembelajaran, walaupun masih diperlukan schedule yang fleksibel. Oleh karena itu, solusi terbanyak yang direkomendasikan pada Mastery Learning adalah dengan menggunakan group-based mastery learning, yaitu Mastery Learning yang didasarkan pada penggunaan pendekatan secara kelompok (Block & Anderson, 1975; Slavin, 1987b).
Dalam group-based Mastery Learning, meskipun siswa bekerja secara kelompok secara perorangan siswa bertanggung jawab terhadap belajarnya sendiri dan akan lebih memotivasi siswa jika dalam belajar kelompok tersebut ada pemberian reward dengan mempertimbangkan kerjasama antar anggota kelompok, misalnya dengan memberikan bonus nilai pada setiap anggota kelompok, apabila seluruh anggota kelompok mencapai skor tertentu dalam suatu tes. Dengan demikian diharapkan rasa kerjasama, saling membantu dan tanggung jawab diharapkan akan ada dan memotivasi belajar siswa itu sendiri. Karena keberhasilan kelompok berarti keberhasilan seluruh anggota kelompok.

PRINSIP-PRINSIP PEMBELAJARAN TUNTAS
1. Kompetensi yang harus dicapai peserta didik dirumuskan dengan urutan yang hirarkis,
2. Penilaian acuan patokan, dan setiap kompetensi harus diberikan feedback,
3. Pemberian pembelajaran remedial serta bimbingan yang diperlukan,
 4. Pemberian program pengayaan bagi peserta didik yang mencapai ketuntasan belajar lebih awal.
Metode Pembelajaran
Dalam pembelajaran tuntas, metode pembelajaran yang sangat ditekankanadalah pembelajaran individual, pembelajaran dengan teman atau sejawat (peer instruction), dan bekerja dalam kelompok kecil. Berbagai jenis metode (multi metode) pembelajaran harus digunakan untuk kelas atau kelompok.
Pembelajaran tuntas lebih efektif menggunakan pendekatan tutorialdengan sesion-sesion kelompok kecil, tutorial orang perorang, pembelajaran terprogram, buku-buku kerja, permainan dan pembelajaran berbasis komputer (Kindsvatter, 1996)
Peran Peserta Didik
Peserta didik sebagai subjek didik. Fokus pada `Peserta didik dan yang akan dikerjakannya’. Kemajuannya bertumpu pada usaha serta ketekunannya secara individual.
Peran Guru Pada Pembelajaran Tuntas
1. Menjabarkan KD (Kompetensi Dasar) ke dalam satuan-satuan (unit-unit) yang lebih kecil dengan memperhatikan pengetahuan prasyarat.
2. Menata indikator berdasarkan cakupan serta urutan unit.
3. Menyajikan materi dengan metode dan media yang sesuai.
4. Memonitor seluruh pekerjaan peserta didik.
5. Menilai perkembangan peserta didik dalam pencapaian kompetensi (kognitif, psikomotor, dan afektif).
6. Menggunakan teknik diagnostik.
7. Menyediakan sejumlah alternatif strategi pembelajaran bagi peserta didik yang mengalami kesulitan.

           Kelebihan serta Kekurangan metode Mastery Learning
Kelebihan Mastery Learning
Mastery Learning menawarkan kemungkinan yang mengasyikan bagi yang akan menggunakan dan/atau mempelajarinya. Para guru akan mencari sebagaimana yang mereka pahami dan mencari penjelasan di sini bahwa: pertama, Mastery Learning memberi suatu pikiran yang efisien dan efektif untuk mentransformasikan pendekatan yang didasarkan pada group-based mastery learning ke dalam kualitas pembelajaran secara optimal masing-masing siswa. Oleh karena itu, prosedur ketuntasan akan bermanfaat pada masing-masing guru untuk membuat investasi dan usaha dalam group-based mastery learning yang memberi hasil dalam bentuk ketuntasan belajar hampir pada semua siswa, tidak hanya pada beberapa siswa.
Kedua, strategi Mastery Learning relatif mudah dan murah. Artinya menyesuaikan metode pembelajaran yang ada, bahan yang diperlukan, dan karakteristik dari semua siswa sehingga dapat menjadi tawaran bagi siswa-siswa untuk memenuhi pengembangan siswa. Ketiga, dengan menggunakan pendekatan mastery pengatur kurikulum (administrator) dapat melakukan perubahan besar di sekolah-sekolah sehingga diharapkan segala distribusi pencapaian cenderung naik. Mereka dapat memastikan bahwa masing-masing siswa diberi kemampuan, perhatian/minat, dan sikap yang mana akan mendorongnya untuk menyelesaikan suatu level tertentu dan untuk melihat keuntungan dari suatu belajar. Mereka juga dapat memastikan bahwa masing-masing siswa akan memperoleh pengalaman kesuksesan belajar yang akan membantu memperkuat kepercayaan dirinya dan membentenginya melawan rasa minder.
Manfaat pendekatan Mastery Learning yang lain dikemukakan oleh Guskey & Gates, 1986, pertama, Mastery Learning memotivasi siswa karena akan membangun rasa percaya diri mereka bahwa semua dari mereka dapat menguasai tujuan pendidikan secara pasti. Lebih lanjut, Mastery Learning menuntut bahwa komunikasi adalah faktor esensi dari tujuan tersebut. Mastery menjadi lebih dari hanya sekedar sesuatu yang biasanya hanya dapat dicapai oleh sedikit siswa. Kedua, ketika direncanakan dengan baik, mastery membuat belajar dan pembelajaran menjadi lebih efisien. Siswa menjadi tahu bahwa mereka perlu belajar, dan guru tahu bahwa mereka perlu untuk memberi bantuan macam apa yang secara individu diperlukan siswa. Dengan demikian siswa yang paling lambanpun bisa tetap terangkum dalam bimbingan untuk mengejar yang lain sampai mencapai ketuntasan.
Kekurangan Mastery Learning
Tetapi walaupun manfaat mastery learning, seperti yang telah diuraikan di atas, tetap saja sistem tersebut tidaklah sempurna. Masalah utama yang paling dirasakan terletak pada inti dari pendekatan Mastery Learning: dalam setting sekolah umum, waktu pembelajaran terlalu beragam (Slavin, 1987b). Jika guru memberikan perbaikan dalam jam kelas, maka perhatian guru secara kontinyu terpecah antara siswa pandai dan siswa kurang pandai. Dan hal ini kadang-kadang secara tidak disadari oleh guru telah menghabiskan waktu lebih lama sengan siswa yang lamban, Sehingga bagi siswa yang cepat mengerti akan merasa banyak waktu terbuang hanya untuk menunggu siswa lain yang belum memahami pelajaran.
Memberikan perbaikan pembelajaran di luar jam kelas juga mempunyai kendala. Salah satunya, hal ini akan menambah jam kerja guru secara substansi, tidak realistik pada peluang guru untuk menambah jam lembur mereka pada substansi dasar. Akibatnya, yang paling banyak dipersembahkan guru mungkin tidak dapat memberikan siswa yang paling lamban cukup waktu ekstra untuk mencapai ketuntasan. Dengan demikian, guru-guru sepertinya tidak membuang waktu mengajar terlalu banyak atau sedikit untuk kelas tersebut, dan siswa-siswa yang “lamban”pun tetap terangkum dalam bimbingan.

C.    Meaningfull Learning
BELAJAR BERMAKNA (MEANINGFUL LEARNING) Suasana belajar yang kondusif dan menyenangkan dapat diupayakan, salah satunya dengan menciptakan strategi pembelajaran yang bermakna bagi siswa. Proses pembelajaran menitikberatkan pada bagaimana proses belajar siswa. Dalam hal ini peran guru sebagai penyampai informasi dinomorduakan. Pembelajaran secara nyata berorientasi pada bagaimana siswa belajar, bukan bagaimana guru mengajar.
Pembelajaran akan bermakna bagi siswa apabila ada informasi dan pengetahuan baru. Informasi dan pengetahuan tersebut sesuai dengan struktur kognitif siswa. Artinya, pencernaan segala informasi dan pengetahuan sesuai dengan ukuran dan nalar siswa. Persoalannya, apakah informasi selama belajar tidak kalah oleh informasi yang siswa terima melalui media informasi? Jika siswa telah menrima informasi itu di luar, guru perlu menyajikannya dengan model dan cara yang lebih menarik. Kalau tidak demikian, siswa akan mengaanggap gurunya ketinggalan informasi! Ini yang lebih gawat!
           Faktor lain yang mendukung pembelajaran bermakna adalah  cara dan gaya guru dalam mengajar. Misalnya, intonasi suara, mimik muka (ekspresi) dan sikap guru. Guru tidak pelit  memberikan pujian dan penguatan terhadap apa yang telah dilakukan siswa. Sebaliknya., tidak sungkan memberikan hukuman jika siswa melanggar aturran belajar.
           Memang, perkembangan teknologi khususnya dibidang informasi cukup pesat. Berbagai media seperti: cetak, elektronik dan jaringan, saling berjibaku untuk menampilkan informasi terbaru. Jika tak ingin terpinggirkan oleh keberadaan media informasi tersebut, tak ada jalan lain bagi guru. Pembelajaran bermakna bagi siswa harus menjadi prinsip utama dalam pembelajaran
Dasar Teori Belajar Bermakna
Menurut Ausubel bahan subjek yang dipelajari siswa mestilah “bermakna” (meaningfull). Pembelajaran bermakna merupakan suatu proses mengaitkan informasi baru pada konsep-konsep relevan yang terdapat dalam struktur kognitif seseorang. Struktur kognitif ialah fakta-fakta, konsep-konsep, dan generalisasi-generalisasi yang telah dipelajari dan diingat siswa.  Pembelajaran bermakna adalah suatu proses pembelajaran di mana informasi baru dihubungkan dengan struktur pengertian yang sudah dimiliki seseorang yang sedang melalui pembelajaran. Pembelajaran bermakna terjadi apabila siswa boleh menghubungkan fenomena baru ke dalam struktur pengetahuan mereka.
Langkah-langkah yang dilakukan untuk menerapkan belajar bermakna adalah sebagai berikut :
1.      Advance Organizer (Handout)
Penyampaian awal tentang materi yang akan dipelajari siswa diharapkan siswa secara mental akan siap untuk menerima materi kalau mereka mengatahui sebelumnya apa yang akan disampaikan guru.
2.      Progressive Differensial
Materi pelajaran yang disampaikan guru hendaknya bertahap. Diawali dengan hal-hal atau konsep yang umum, kemudian dilanjutkan ke hal-hal yang khusus, disertai dengan contoh-contoh.


3.      Integrative Reconciliation
Penjelasan yang diberikan oleh guru tentang kesamaan dan perbedaan konsep-konsep yang telah mereka ketahui dengan konsep yang baru saja dipelajari.
4.      Consolidation
Pemantapan materi dalam bentuk menghadirkan lebih banyak contoh atau latihan sehingga siswa bisa lebih paham dan selanjutnya siap menerima materi baru.
Pembelajaran bermakna erat kaitannya dengan teori konstruktivisme pemikiran Vygotsky (Social and Emancipator Constructivism). Paham ini berpendapat bahwa siswa mengkonstruksikan pengetahuan atau menciptakan makna sebagai hasil dari pemikiran dan berinteraksi dalam suatu konteks sosial. Teori belajar ini merupakan teori tentang penciptaan makna. Selanjutnya, teori ini dikembangkan oleh Piaget (Piagetian Psychological Constructivism) yang menyatakan bahwa setiap individu menciptakan makna dan pengertian baru berdasarkan interaksi antara apa yang telah dimiliki, diketahui dan dipercayai dengan fenomena, ide atau informasi baru yang dipelajari.

6.    TINJAUAN TEORITIS TENTANG BELAJAR
Secara garis besar teori-teori belajar dapat dikelompokkan menjadi 3, yaitu :
1. Teori belajar menurut Psikologi Behavioristik
2. Teori belajar menurut Psikologi Kognitif
3. Teori belajar menurut Psikologi Humanistik

1. Teori Belajar Menurut Psikologi Behavioristik
Mereka biasa juga disebut “S-R Psychologis”. Mereka berpendapat, bahwa tingkah laku manusia itu dikendalikan oleh ganjaran (reward) atau penguatan (reinforcement) dari lingkungan. Dengan demikian dalam tingkah laku belajar terdapat jalinan yang erat antara reaksi-reaksi behavioral dengan stimulasinya.
Guru yang menganut pandangan teori ini berpendapat, bahwa tingkah laku murid merupakan reaksi-reaksi terhadap lingkungan mereka pada masa lalu dan masa sekarang, dan segenap tingkah laku adalah merupakan hasil belajar. Kita dapat menganalisis kejadian tingkah laku dengan jalan mempelajari latar belakang penguatan (reinforcement) terhadap tingkah laku tersebut.

Tokoh-tokoh Teori Belajar Psikologi Behavioristik
a.    Thorndike (1874 – 1949)
Teori belajarnya disebut “Connectionism”, yaitu belajar merupakan proses pembentukan hubungan antara stimulus (S) dan respons (R). Dari hasil penelitiannya, Thorndike mendapatkan 3 hukum dalam belajar, yaitu :
1. Law of effect, hubungan S-R bertambah erat kalau disertai oleh perasaan senang atau puas. Dan sebaliknya menjadi kurang kuat atau lenyap kalau disertai rasa tidak senang. Maka memuji dan membesarkan hati anak lebih baik dalam pelajaran daripada menghukum atau mencela.
2. Law of exercise, hubungan S-R bertambah erat kalau sering digunakan, dan akan kurang erat atau lenyap jika jarang digunakan. Karena itu perlu digunakan banyak latihan, ulangan-ulangan dan pembiasaan.
3. Law of readness, kesiapan untuk berbuat akan lebih mempermudah antara hubungan S dan R. Tetapi apabila telah siap kemudian dicegah, maka akan menyebabkan rasa negatif bagi yang bersangkutan.
b. Ivan Pavlov (1849 – 1936)Teori belajarnya disebut “Stimulus Substitution” atau Classical Conditioning”. Dalam percobaan laboratoriumnya Pavlov memberikan stimuli bersyarat terhadap anjing sehingga terjadi reaksi bersyarat pada anjing. Dalam teori ini ditunjukkan bahwa bagaimana tingkah laku dapat dibentuk dengan pengaturan dan manipulasi lingkungan. Dan tingkah laku tertentu dapat dibentuk dengan secara berulang-ulang. Tingkah laku itu tadi dipancing dengan sesuatu yang memang dapat menimbulkan tingkah laku itu.
Dalam laboratoriumnya, diberikan pembiasaan baru pada anjing karena adanya latihan terus menerus. Bunyi bel yang senantiasa diikuti dengan munculnya makanan memberikan pengalaman bagi anjing untuk secara refleks mengeluarkan air liur begitu mendengar bel. Kebiasaan anjing tersebut di atas akan berangsur-angsur hilang apabila diikuti dengan pemberian makanan
b.    John B. Watson (1878 – 1958)
Belajar merupakan proses terjadinya respons-respons bersyarat melalui stimulus pengganti. Menurut Watson, manusia dilahirkan dengan beberapa refleks dan reaksi-reaksi emosional berupa takut, cinta dan marah. Semua tingkah laku lainnya terbentuk oleh hubungan-hubungan S-R, baru kemudian melalui “conditioning”d. E. R Guthrie (1886 – 1959)
Ia mengemukakan prinsip belajar yang disebut law of association, yang berbunyi: “Suatu kombinasi stimuli yang telah menyertai suatu gerakan, cenderung akan menimbulkan gerakan itu, apabila kombinasi stimuli itu muncul kembali.” Dengan kata lain, jika anda mengerjakan sesuatu dalam situasi tertentu, maka nantinya dalam situasi yang sama anda akan mengerjakan hal serupa lagi.
Menurut Ghutrrie, belajar memerlukan reward dan kedekatan antara stimulus dan respons. Bahwa hukuman itu tidak baik dan tidak pula buruk. Efektif tidaknya hukuman tergantung pada apakah hukuman itu menyebabkan murid belajar ataukah tidak.

2.    Teori Belajar menurut Psikologi Kognitif
Menurut aliran kognitifis, tingkah laku seseorang senantiasa didasarkan pada kognisi, yaitu tindakan mengenal atau memikirkan situasi dimana tingkah laku terjadi. Dalam situasi belajar, seseorang terlibat langsung dalam situasi itu dan memperoleh insight untuk pemecahan masalah. Jadi, tingkah laku seseorang lebih bergantung kepada insight terhadap hubungan-hubungan yang ada di dalam suatu situasi.
Tokoh-tokoh Teori Belajar Psikologi Kognitif
a.    Mex Wertheirmer (1880 – 1943)
Ia adalah peletak dasar psikologi Gestalt, yang meneliti tentang pengamatan dan problem solving. Suatu konsep terpenting dalam Psikologi Gestalt adalah tentang “insight” yaitu pengamatan/pemahaman mendadak terhadap hubungan-hubungan antar bagian-bagian di dalam sutu situasi permasalahan. Contoh insight seperti pernyataan spontan “aha” atau “ooh” atau I see now.
Wertherimer menyesalkan penggunaan metode menghafal di sekolah dan menghendaki agar murid belajar dengan pengertian, bukan hafalan akademis. Menurut pendapat Gestaltis, semua kegiatan belajar menggunakan insight atau pemahaman terhadap hubungan-hubungan, terutama hubungan-hubungan antara bagian keseluruhan. Tingkat kejelasan atau keberartian dari apa yang diamati dalam situasi belajar adalah lebih meningkatkan belajar seseorang daripada dengan hukuman dan ganjaran.
b.    Kurt Lewin (1892 – 1947)
Teori belajarnya disebut “Cognitive Field”. Lewin berpendapat, bahwa tingkah laku merupakan hasil interaksi antara kekuatan-kekuatan, baik yang dari dalam individu seperti tujuan, kebutuhan, tekanan kejiwaan; maupun dari luar diri individu seperti tantangan dan permasalahan.
Menurut Lewin, belajar berlangsung sebagai akibat dari perubahan dalam struktur kognitif. Perubahan struktur kognitif itu adalah hasil dari dua macam kekuatan, satu dari struktur medan kognisi itu sendiri, yang lainnya dari kebutuhan dan motivasi internal individu. Peranan motivasi lebih penting daripada reward.
c.    Piaget, teorinya disebut “Cognitive Developmental”
Dalam teorinya, Piaget memandang bahwa proses berpikir sebagai aktivitas gradual dan fungsi intelektual dari konkret menuju abstrak.

3.    Teori Belajar menurut Psikologi Humanistik
Menurut para pendidik aliran Humanistik penyusunan dan penyajian materi pelajaran harus sesuai dengan perasaan dan perhatian siswa. Tujuan utama para pendidik ialah membantu siswa untuk mengembangkan dirinya, yaitu membantu masing-masing individu untuk mengenal diri mereka sendiri sebagai manusia yang unik dan membantunya dalam mewujudkan potensi-potensi yang ada pada diri mereka. Psikologi ini berusaha untuk memahami perilaku seseorang dari sudut Si pelaku (behaver), bukan dari Si pengamat (observer).
Dalam menyoroti masalah perilaku, ahli psikologi humanistik mempunyai pandangan yang sangat berbeda dengan psikologi behavioral. Perbedaan ini dikenal sebagai “Freedom determination issue”. Para behaviorest memandang bahwa manusia sebagai makhluk reaktif yang memberikan responsnya terhadap lingkungan. Sebaliknya para humanistik mempunyai pendapat bahwa tiap orang itu menentukan perilaku mereka sendiri. Mereka bebas dalam memilih kualitas hidup mereka, tidak terikat oleh lingkungannya.
Tokoh-tokoh teori belajar Psikologi Humanistik
1. Combs, ia menyatakan bila kita ingin memahami perilaku orang kita harus mencoba memahami persepsi orang itu. Apabila ingin mengubah perilaku seseorang, kita harus berusaha mengubah keyakinan atau pandangan orang itu, perilaku dalamlah yang membedakan seseorang dari yang lain.
2. Maslov, bahwa di dalam diri kita ada 2 hal, yaitu :
a. Suatu usaha yang positif untuk berkembang
b. Kekuatan untuk melawan atau menolak perkembangan itu.
3. Rogers : Dalam bukunya Freedom to Learn, ia menunjukkan sejumlah prinsip-prinsip belajar humanistik yang penting, diantaranya ialah :
o Manusia itu mempunyai kemampuan untuk belajar secara alami.
o Belajar yang signifikan terjadi apabila Subject mater dirasakan murid mempunyai relevansi dengan maksud-maksudnya sendiri
o Belajar yang menyangkut suatu perubahan di dalam persepsi mengenai dirinya sendiri dianggap mengancam dan cenderung untuk ditolaknya.
o Tugas-tugas belajar yang mengancam diri adalah lebih mudah dirasakan dan diasimilasikan apabila ancaman-ancaman dari luar itu semakin kecil.
o Apabila ancaman terhadap diri siswa rendah, pengalaman dapat diperoleh dengan berbagai cara yang berbeda-beda dan terjadilah proses belajar.
o Belajar yang bermakna diperoleh siswa dengan melakukannya.
o Belajar diperlancar bilamana siswa dilibatkan dalam proses belajar dan ikut bertanggung jawab terhadap proses belajar itu
o Belajar atas inisiatif sendiri yang melibatkan pribadi siswa seutuhnya, baik perasaan maupun intelek, merupakan cara yang dapat memberikan hasil yang mendalam dan lestari.
o Kepercayaan terhadap diri sendiri, kemerdekaan, kreativitas lebih mudah dicapai terutama siswa dibiasakan untuk mawas diri dan mengeritik dirinya sendiri dan penilaian diri orang lain merupakan cara kedua yang penting.
Belajar yang paling berguna secara sosial di dalam dunia modern ini adalah belajar mengenai proses belajar, suatu keterbukaan yang terus menerus terhadap pengalaman dan penyatuannya ke dalam dirinya sendiri mengenai proses perubahan itu.
7.      MASALAH KESULITAN BELAJAR
A.  Pengertian kesulitan belajar
Setiap anak didik datang ke sekolah agar menjadi orang berilmu pengetahuan,  sebagaian besar waktu yang tersedia harus digunakan oleh anak untuk belajar, tidak mesti di sekolah, di rumah pun harus ada waktu yang disediakan untuk kepentingan belajar. Namun, sayangnya hambatan dan gangguan dialami oleh anak didik tertentu. Sehingga mereka mengalami kesulitan dalam belajar.
Pada tingkat tertentu memang ada anak didik yang dapat mengatasi kesulitan belajarnya, karena anak didik belum mampu mengatasi kesulitan belajarnya, maka bantuan guru atau orang lain sangat diperlukan oleh anak didik.
Dalam setiap bulan atau bahkan dalam setiap minggu tidak jarang ditemukan anak didik yang kesulitan belajar. Walaupun sebenarnya masalah yang menggangu keberhasilan belajar anak didik ini  sangat tidak disenangi oleh guru dan bahkan oleh anak didik itu sendiri.
Suatu pendapat yang keliru dengan mengatakan bahwa kesulitan belajar anak didik disebabkan rendahnya inteligensi. Karena pada kenyataannya cukup banyak anak didik yang memiliki intelegensi tinggi, namun hasil belajarnya rendah. Begitu pula sebaliknya. Selain faktor intelegensi, faktor non-intelegensi dapat menyebabkan kesulitan dalam belajar bagi anak didik.
 Kesulitan belajar yang dirasakan oleh anak didik dapat dikelompokkan menjadi 4 macam, yaitu sebagai berikut:
1.    Dilihat dari jenis kesulitan belajar.
| Ada yang berat;
| Ada yang ringan.
2.    Dilihat dari mata pelajaran yang dipelajari.
| Ada yang sebagian mata pelajaran;
| Ada yang sifatnya sementara.
3.    Dilihat dari sifat kesulitannya.
| Ada yang sifatnya menetap;
| Ada yang sifatnya sementara.
4.    Dilihat dari segi faktor penyebabnya.
|  Ada yang karena faktor inteligensi;
|  Ada yang karena faktor non-inteligensi.
Berdasarkan uraian diatas, dapat disimpulkan bahwa kesulitan belajar adalah suatu kondisi di mana anak didik tidak dapat belajar secara wajar, disebabkan adanya ancaman, hambatan ataupun gangguan dalam belajar.
B.  Beberapa penyebab kesulitan belajar
Menurut Muhibbin Syah, meninjau dari sudut internal anak didik dan ekternal anak didik, yakni sebagai berikut:
1.    Bersifat kognitif : rendahnya kapasitas intelektual/intelegensi.
2.    Bersifat afektif : labilnya emosi dan sikap.
3.    Bersifat psikomotor : terganggungnya alat-alat indra penglihatan dan pendengaran (mata dan telinga).
Sedangkan faktor ekternal anak didik meliputi kondisi lingkungan sekitar. Faktor lingkungan ini meliputi:
1.         Lingkungan keluarga.
 Contohnya: ketidakharmonisan hubungan antara ayah dengan ibu dan rendahnya kehidupan ekonomi keluarga.
2.         Lingkungan masyarakat.
Contohnya: wilayah perkampungan kumuh (slum area) dan teman sepermainan (peer group) yang nakal.
3.         Lingkungan sekolah.
 Contohnya: kondisi dan letak gedung sekolah yang buruk seperti dekat pasar, kondisi guru serta alat-alat belajar yang berkualitas rendah.
Adapun faktor-faktor lain yang menimbulkan kesulitan belajar anak didik yang bersifat khusus. Misalnya Sindrome psikologi berupa learning disability (ketidakmampuan belajar), sindrom ini contohnya:
a.    disleksia (dyslexia), yaitu ketidakmampuan belajar membaca.
b.    Disgrafia (dysgraphia), yaitu ketidakmampuan belajar menulis.
c.    Diskalkulia (dyscalculia), yaitu ketidakmampuan belajar matematika.
Anak didik yang memiliki sindrom-sindrom di atas secara umum sebenarnya memiliki IQ yang normal dan bahkan diantaranya ada yang memiliki kecerdasan diatas rata-rata. Oleh karenanya kesulitan belajar anak tersebut disebabkan adanya gangguan ringan pada otak (minimal) brain dysfunction. (Muhibbin Syah, 1999: 165)

Jika sudut pandang diarahkan pada aspek lainnya, maka faktor-faktor penyebab kesulitan belajar anak didik dapat dibagi menjadi 4 (empat) yaitu:
1.    Faktor anak didik
Anak didik adalah subjek yang belajar. Kesulitan belajar yang diderita anak didik tidak hanya yang bersifat menetap, tetapi juga yang bisa di hilangkan dengan usaha tertentu.
Faktor-faktor yang dapat menjadi penyebab kesulitan belajar anak didik:
a.    Inteligensi (IQ) yang kurang baik.
b.    Bakat yang kurang atau tidak sesuai dengan bahan pelajaran yang dipelajari atau yang diberikan oleh guru.
c.    Faktor emosional yang kurang stabil.
d.   Aktivitas belajar yang kurang.
e.    Penyesuaian sosial yang sulit.
f.     Lantar belakang pengalaman yang pahit.
g.    Cita-cita yang tidak relevan.
h.    Latar belakang pendidikan dengan sistem sosial dan kegiatan belajar mengajar di kelas yang kurang baik.
i.      Lama belajar yang tidak sesuai dengan tuntutan waktu belajarnya.
j.      Keadaan fisik yang kurang menunjang.
k.    Kesehatan yang kurang baik.
l.      Seks atau pernikahan yang tak terkendali.
m.  Pengetahuan dan keterampilan dasar yang kurang memadai atas bahan yang dipelajari.
n.    Tidak ada motivasi belajar.

2.    Faktor sekolah
Sekolah adalah lembaga pendidikan formal tempat pengabdian guru dan rumah rehabilitasi anak didik. Sekolah ikut terlibat menimbulkan kesulitan belajar bagi anak didik. Faktor-faktor dari lingkungan sekolah yang dapat menimbulkan kesulitan belajar bagi anak didik adalah sebagai berikut:
a.    guru dengan anak didik kurang harmonis.
b.    Guru menuntut standar pelajaran di atas kemampuan anak.
c.    Guru tidak memiliki kecakapan dalam usaha mendiagnosis kesulitan belajar anak didik.
d.   Cara guru mengajar kurang baik.
e.    Alat media yang kurang baik.
f.     Perpustakaan sekolah kurang memadai.
g.    Suasana sekolah yang kurang menyenangkan.
h.    Bimbingan dan penyuluhan yang tidak berfungsi.
i.      Kepemimpinan dan administrasi yang kurang menunjang.
j.      Waktu sekolah dan disiplin yang kurang.
3.    Faktor keluarga
Keluarga adalah lembaga pendidikan informal (luar sekolah) yang diakui keberadaannya dalam dunia pendidikan. Oleh karena itu, ada beberapa faktor dalam keluarga yang mennjadi penyebab kesulitan belajar anak didik sebagai berikut:
a.    Kurangnya kelengkapan alat-alat belajar bagi anak di rumah.
b.    Kurangnya biaya pendidikan yang disediakan orang tua.
c.    Anak tidak mempunyai ruang dan tempat belajar yang khusus.
d.   Ekonomi keluarga yang lemah atau tinggi yang membuat anak berlebih-lebihan.
e.    Kesehatan keluarga yang kurang baik.
f.     Perhatian orang tua yang tidak memadai.
g.    Kebiasaan dalam keluarga yang tidak menunjang.
h.    Kedudukan anak dalam keluarga yang menyedihkan.
i.      Anak terlalu banyak membantu orang tua.
4.    Faktor masyarakat sekitar
Jika keluarga adalah komunitas masyarakat terkecil, maka masyarakat adalah komunitas masyarakat kehidupan sosial yang tersebar. Dalam masyarakat terpatri strata sosial yang merupakan penjelmaan dari suku, ras, agama, antar golongan, pendidikan, jabatan, status, dan sebagainya. Pergaulan yang terkadang kurang bersahabat sering memicu konflik sosial. Keributan, pertengkaran, pembunuhan, perjudian, perampokan, gossip dan perilaku jahiliyah lainya sudah menjadi santapan sehari-hari dalam masyarakat. Ketergantungan pada obat terlarang membuat anak didik pasrah pada nasib. Anak didik tidak bisa lagi dididik karena pengaruh obat terlarang. Keributan lingkungan sekitar berpotensi memecahkan konsentrasi anak didik dalam belajar. Akhirnya anak didik tidak betah belajar karena sulit membangkitkan daya konsentrasi.
Kesulitan belajar bagi anak didik juga bersumber dari media cetak dan media elektronik. (Sarwono, 1981:28). Anak didik sering berkhayal tentang kenikmatan seks.
Kelompok gengster yang menjadi teman anak didik di masyarakat dapat mempersulit dalam belajar. Gengster adalah manusia kanibalisme yang wajib dijauhi oleh anak didik.
C.  Cara Mengenal Anak Didik yang Mengalami Kesulitan Belajar
Beberapa gejala sebagai pentujuk adanya kesulitan belajar anak didik dapat dilihat sebagai berikut.
1.    Menunjukan prestasi belajar yang rendah
2.    Hasil belajar yang dicapai tidak seimbang dengan usaha yang dilakukan.
3.    Anak didik lambat dalam mengerjakan tugas-tugas belajar.
4.    Anak didik menunjukan sikap yang kurang wajar.
5.    Anak didik menunjukan tingkah laku yang tidak biasanya.
6.    Anak didik yang tergolong memiliki IQ, tetapi kenyataanya mereka mendapatkan prestasi belajar yang rendah.

7.    Anak didik yang selalu menunjukan prestasi belajar yang tinggi untuk sebagian mata pelajaran, tetapi dilain waktu prestasi belajarnya menurun.
Dari semua gejala kesulitan belajar dengan cara lain yaitu melakukan penyelidikan dengan cara:
a.    Obervasi
Observasi merupakan suatu cara memperoleh data dengan langsung mengamati terhadap objek.
b.    Interview
Interview merupakan suatu cara mendapatkan data dengan wawancara lansung terhadap orang yang diselidiki atau terhadap orang lain (guru, orang tua, atau teman akrab) yang dapat memberikan informasi tentang orang yang diselidiki.
c.    Dokumentasi
Dokumentasi merupakan suatu cara untuk mengetahui sesuatu dengan melihat catatan-catatan, arsip-arsip, dokumen-dokumen, yang berhubungan dengan orang yang diselidiki.
Di antara dokumen anak didik yang perlu dicari adalah berhubungan dengan:
|  Riwayat hidup anak didik.
|  Prestasi anak didik.
|  Kumpulan ulangan.
|  Catatan kesehatan anak didik.
|  Buku rapor anak didik.
|  Buku pribadi anak didik.
|  Buku catatan untuk semua mata pelajaran, dan sebagainya.
d.   Tes Diagnostik
Tes ini dimaksudkan untuk mengetahui kesulitan belajar yang dialami anak didik berdasarkan hasil tes formatif sebelumnya.
D.  Usaha Mengatasi Kesulitan Belajar
Secara garis besar, lankah-langkah yang perlu ditempuh dalam rangka usaha mengatasi kesulitan belajar anak didik, dapat dilakukan melalui 6 (tahap) yaitu:
1.    Pengumpulan Data
Usaha yang dapat dilakukan dalam usaha pengumpulkan data melalui kegiatan sebagai berikut:
a.    Kunjungan rumah.
b.    Case study dan case history.
c.    Daftar pribadi.
d.   Meneliti pekerjaan anak.
e.    Meneliti tugas kelompok.
f.     Melaksanakan tes, baik IQ maupun tes prestasi.
2.    Pengolahan Data
Data yang telah terkumpul tidak akan ada artinya jika tidak diolah secara cermat. Langkah yang dapat ditempuh dalam rangka pengolahan data adalah sebagai berikut:
a.    Identifikasi kasus.
b.    Membandingkan antar kasus.
c.    Membandingkan dengan hasil tes.
d.   Menarik kesimpulan.
3.    Diagnosis
Diagnosis merupakan keputusan  (penentuan) mengenai hasil dari pengolahan data. Diagnosis dapat berupa hal-hal sebagai berikut:
a.    Keputusan mengenai jenis kesulitan belajar anak didik yaitu berat dan ringannya tingkat kesulitan yang dirasakan anak didik.
b.    Keputusan mengenai faktor-faktor yang ikut menjadi sumber penyebab kesulitan belajar anak didik.
c.    Keputusan mengenai faktor utama yang menjadi sumber penyebab kesulitan belajar anak didik.
4.    Prognosis
Keputusan yang diambil berdasarkan hasil diagnosis menjadi dasar pijakan dalam kegiatan prognosis. Dalam prognosis dilakukan kegiatan penyusunan program dan penetapan ramalan mengenai bantuan yang harus diberikan kepada anak untuk membantunya keluar dari kesulitan belajar. Adapun pertanyaan yang harus diajukan menggunakan rumus 5W+1H.
5.    Treatment
Bentuk treatment yang mungkin dapat diberikan adalah:
a.    Melalui bimbingan belajar individual.
b.    Melalui bimbingan belajar kelompok.
c.    Melalui remedial teaching untuk mata pelajaran tertentu.
d.   Melalui bimbingan orang tua di rumah.
e.    Pemberian bimbingan pribadi untuk mengatasi masalah-masalah psikologis.
f.     Pemberian bimbingan mengenai cara belajar yang baik secara umum.
g.    Pemberian bimbingan mengenai cara belajar yang baik sesuai dengan karakteristik setiap mata pelajaran.
6.    Evaluasi
Evaluasi dimaksudkan untuk menegtahui apakah treatment yang telah diberikan berhasil dengan baik. Artinya ada kemajuan, yaitu anak dapat dibantu keluar dari lingkaran masalah kesulitan belajar atau gagal sama sekali.
Jika terjadi kegagalan treatment, langkah yang perlu ditempuh adalah Re-ceking (baik yang berhubungan dengan masalah pengumpulan maupun pengolahan data), Re-diagnosis, Re-prognosis, Re-treatment, Re-evaluasi.



0 Response to "RESUME ILMU JIWA BELAJAR"

Post a Comment

Labels

Aceh ( 4 ) ARTIKEL ( 23 ) Bollywood ( 1 ) CERPEN ( 16 ) HABA ( 1 ) Hollywood ( 1 ) INDO ( 2 ) Makalah ( 97 ) Skript ( 1 ) SOSOK ( 10 ) Wisata ( 2 )