BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar
Belakang
Awal kemunculan tasawuf adalah sebagai salah
satu upaya memperbaiki budi pekerti manusia. Namun dalam perkembangannya hal
ini terus mengalami penyimpangan. Tasawuf dewasa ini sering dikaitkan dengan
bentuk-bentuk bid’ah.
Hamka yang lahir dari pergerakan kaum modernis
yang berafiliasi dalam gerakan Muhammadiyah, dimana dalam faham keagamaannya
organisasi ini menentang praktek-praktek tasawuf pada umumnya. Sehingga HAMKA
yang membawa konsep baru dalam dunia tasawuf. Walaupun beliau bukan sufi yang
menjalani perjalanan ruhani, namun ia telah telah menjadikan tasawuf jalan
untuk mendekatkan diri pada Allah yang ajarannya kemudian ia
kontekstualisasikan dengan kondisi umat saat ini. Hamka mendasarkan konsep
tasawufnya ini pada kerangka agama dibawah pondasi aqîdah yang bersih dari
praktek-praktek kesyirikan, dan amalan-amalan lain yang bertentangan dengan
syari’at.
B.
Rumusan Masalah
1.
Bagaimana riwayat hidup
HAMKA dan relasinya dengan hasil pemikirannya?
2.
Bagaimana konsep dan
pengembangan tasawuf dalam pemikiran HAMKA?
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Riwayat Hidup Hamka
Haji Abdul Malik Karim Amrullah atau lebih
dikenal dengan julukan HAMKA, yakni singkatan namanya, lahir di desa kampung
Molek, Manijau, Sumatra Barat, 17 Februari 1908. Ia adalah sastrawan Indonesia,
sekaligus ulama dan aktivis politik. Belakangan ia diberikan sebutan Buya,
yaitu panggilan buat orang Minangkabau yang berasal dari kata abi, abuya
dalam bahasa Arab, yang berarti ayahku, atau seorang yang dihormati.
Ayahnya adalah Syekh Abdul Karim bin Amrullah, yang dikenal sebagai Haji Rasul,
yang merupakan pelopor Gerakan Islah (tajdid) di Minangkabau, sekembalinya dari
Makkah pada 1906.[1] Secara langsung atau tidak dalam
perkembangannya Hamka terpengaruh alur intelektual ayahnya dalam memahami pokok
agama Islam.
Sekalipun HAMKA hidup di tengah keluarga dan
masyarakat yang kental sekali dengan iklim keagamaan tetapi menurut
pengakuannya sendiri, masa kecilnya dilalui dengan penuh kenakalan yang
memusingkan kepala orang-orang di sekitarnya.[2] Memang seharusnya buah jatuh tak jauh
dari pohonnya, namun hegemoni keluarganya yang mempunyai dasar keislaman kuat
tidak lantas begitu saja mencetak HAMKA sebagai pribadi matang karena
sebenarnya kenakalannya HAMKA kecil hanya mencari pelampiasan atas kekecewaanya
ketika sang ayah menceraikan ibunya.
HAMKA hanya sempat masuk sekolah desa selama 3
tahun dan sekolah agama di Padangpanjang dan Parabek (dekat Bukittinggi)
kira-kira 3 tahun. Tetapi, ia berbakat dalam bidang bahasa dan segera menguasai
bahasa Arab, yang membuatnya mampu membaca secara luas literatur berbahasa
Arab, termasuk terjemahan dan tulisan Barat. Sebagai seorang anak tokoh
pergerakan, sejak kanak-kanak HAMKA sudah menyaksikan dan mendengar langsung
pembicaraan tentang pembaruan dan gerakan melalui ayah dan rekan ayahnya. Sejak
berusia sangat muda, HAMKA sudah dikenal sebagai seorang kelana. Ayahnya bahkan
menamakannya ”Si Bujang Jauh”. Pada 1924, dalam usia 16 tahun, ia pergi ke
Jawa; di sana menimba pelajaran tentang gerakan Islam modern melalui H. Oemar
Said *Tjokroaminoto, Ki Bagus Hadikusumo (Ketua Muhammadiyah 1944-1952), RM.
Soerjopranoto (1871-1959), KH. Fakhruddin (ayah KH. Abdur Rozzaq *Fakhruddin)
yang mengadakan kursus pergerakan di Gedung Abdi Dharmo di Pakualaman,
Yogjakarta. Setelah beberapa lama di sana, ia berangkat ke Pekalongan dan
menemui kakak iparnya, A.R Sultan Mansyur, yang waktu itu ketua *Muhammadiyah
cabang Pekalongan. Di kota ini ia berkenalan dengan tokoh Muhammadiyah
setempat. Pada Juli 1925 ia kembali ke Padangpanjang dan turut mendirikan
Tablig Muhammadiyah di rumah ayahnya di Gatangan, Padangpanjang. Sejak itulah
ia mulai berkiprah dalam organisasi Muhammadiyah.[3] Dari perjalanan pendidikannya
yang relatif singkat dapat diketahui bahwa HAMKA memiliki semangat
otodidak yang tinggi. Latar belakang kehidupannya yang nakal, berubah drastis
ketika ia sadar hingga kemudian mampu mengubah jalan hidupnya yang suram
terarah menjadi sosok yang perlu diteladani. Tercapainya hal ini tidak
terlepas dengan peranan tokoh-tokoh yang mengilhami pemikirannya, karena dari
merekalah HAMKA mendapatkan pencerahan tentang konsep agama diluar yang selama
ini difahami sehingga ia dapat menginternalisasikan ilmu-ilmu yang lebih berorientasi
kepada peperangan terhadap keterbelakangan, kebodohan, dan kemiskinan.
Ia mengikuti pendirian Muhammadiyah mulai tahun
1925 untuk melawan khurafat, bidah, tarekat, dan kebatinan sesat di Padang
Panjang. Mulai tahun 1928, beliau mengetuai cabang Muhammadiyah di Padang
Panjang. Pada 1929, HAMKA mendirikan pusat latihan pendakwah Muhammadiyah di
Makasar. Kemudian beliau terpilih menjadi ketua Majelis Pimpinan Muhammadiyah
di Sumatra Barat oleh Konferensi Muhammadiyah, menggantikan S.Y Sutan Mangkuto
pada 1946. Ia menyusun kembali pembangunan dalam Kongres Muhammadiyah ke-31
Yogjakarta pada 1950.[4]
Kegiatan politik HAMKA bermula pada tahun 1925
ketika beliau menjadi anggota partai politik Sarekat Islam. Pada tahun 1945,
beliau membantu menentang usaha kembalinya penjajah Belanda ke Indonesia
melalui pidato dan menyertai kegiatan gerilya di dalam hutan di Medan. Pada
tahun 1947, HAMKA diangkat menjadi ketua Barisan Pertahanan Nasional,
Indonesia. Pada tahun 1955 HAMKA masuk Konstituante melalui partai Masyumi dan
menjadi pemidato utama dalam Pilihan Raya Umum. Pada masa inilah pemikiran
HAMKA sering bergesekan dengan mainstream politik ketika itu. Misalnya, ketika
partai-partai beraliran nasionalis dan komunis menghendaki Pancasila sebagai
dasar negara. Dalam pidatonya di Konstituante, HAMKA menyarankan agar dalam
sila pertama Pancasila dimasukkan kalimat tentang kewajiban menjalankan syariat
Islam bagi pemeluknyan sesuai yang termaktub dalam Piagam Jakarta. Namun,
pemikiran HAMKA ditentang keras oleh sebagian besar anggota Konstituante,
termasuk Presiden Sukarno. Perjalanan politiknya bisa dikatakan berakhir ketika
Konstituante dibubarkan melalui Dekrit Presiden Soekarno pada 1959. Masyumi
kemudian diharamkan oleh pemerintah Indonesia pada tahun 1960. Meski begitu,
HAMKA tidak pernah menaruh dendam terhadap Sukarno. Dari tahun 1964 hingga
tahun 1966, HAMKA dipenjarakan oleh Presiden Soekarno karena dituduh
pro-Malaysia. Semasa dipenjarakan, beliau mulai menulis Tafsir al-Azhar yang
merupakan karya ilmiah terbesarnya. Setelah keluar dari penjara, HAMKA diangkat
sebagai anggota Badan Musyawarah Kebajikan Nasional, Indonesia, anggota Majelis
Perjalanan Haji Indonesia dan anggota Lembaga Kebudayaan Nasional Indonesia.
Pada tahun 1978, HAMKA lagi-lagi berbeda pandangan dengan pemerintah. Pemicunya
adalah keputusan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Daoed Joesoef untuk mencabut
ketentuan libur selama puasa Ramadan, yang sebelumnya sudah menjadi kebiasaan.
Idealisme HAMKA kembali diuji ketika tahun 1980 Menteri Agama Alamsyah
Ratuprawiranegara meminta MUI mencabut fatwa yang melarang perayaan Natal
bersama. Sebagai Ketua MUI, HAMKA langsung menolak keinginan itu. Sikap keras
HAMKA kemudian ditanggapi Alamsyah dengan rencana pengunduran diri dari
jabatannya. Mendengar niat itu, HAMKA lantas meminta Alamsyah untuk
mengurungkannya. Pada saat itu pula HAMKA memutuskan mundur sebagai Ketua MUI.[5]
Selain aktif dalam soal keagamaan dan politik,
HAMKA merupakan seorang wartawan, penulis, dan penerbit. Sejak 1920-an, HAMKA
menjadi seorang wartawan beberapa buah surat kabar seperti Pelita Andalas,
Seruan Islam, Bintang Islam, dan Seruan Muhammadiyah. Pada tahun
1928, beliau menjadi editor majalah Kemajuan Masyarakat. Pada tahun
1932, beliau menjadi editor dan menerbitkan majalah al-Mahdi di Makasar.
HAMKA juga pernah menjadi editor majalah Pedoman Masyarakat, Panji
Masyarakat, dan Gema Islam. HAMKA juga menghasilkan karya ilmiah Islam dan
karya kreatif seperti novel dan cerpen. Karya ilmiah terbesarnya ialah Tafsir
al-Azhar (5 jilid) dan antara novel-novelnya yang mendapat perhatian umum
dan menjadi buku teks sastra di Malaysia dan Singapura termasuk Tenggelamnya
Kapal Van Der Wijck, Di Bawah Lindungan Kabah, dan Merantau ke Deli.
HAMKA pernah menerima beberapa anugerah pada peringkat nasional dan
antar-bangsa seperti anugerah kehormatan Doctor Honoris Causa, Universitas
al-Azhar, 1958, dan Doctor Honoris Causa, Universitas Kebangsaan Malaysia,
1974, sebagai tanda jasa atas kontribusinya yang begitu besar dalam penyiaran
agama Islam di Indonesia.[6] Akhirnya Hamka meninggal dunia pada 24
juli 1981, gajah mati meninggalkan gading manusia mati meninggalkan nama, sosok
HAMKA memang telah tiada tetapi karya karyanya masih terpatri di berbagai media
baik cetak maupun Elektronik. HAMKA tidak hanya mampu berpotitik saja akan
tetapi mampu menggunakan media tulisan dalam membumikan pemikiran-pemikirannya
sehingga proses sosialisasi pemikiranyya lebih mudah dikenal dan dipahami oleh
masyarakat luas.
B.
Pemikiran Hamka Tentang Tasawuf
Kelompok sufi terbagi dalam 3 kelompok. Pertama,
para sufi yang berhenti hanya sebatas tujuan moral saja, yaitu meluruskan
jiwa, mengendalikan kehendak yang membuat manusia hanya konsisten terhadap
keluhuran moral. Tasawuf yang begini lebih bersifat mendidik, yang ditandai
dengan coraknya yang praktis. Kedua, para sufi yang bertujuan
mengenal Allah secara lebih dekat. Untuk merealisasikan tujuan ini dibutuhkan
syarat-syarat khusus menuju penyikapan langsung (kashf). Ketiga, para
sufi yang mengembangkan ajarannya dengan disertai filosofis.[7] Dari pembagian ini dapat diketahui bahwa
tasawuf Hamka termasuk kategori yang pertama karena HAMKA bukanlah seorang yang
telah mengalami perjalanan ruhani, namun ia dapat menerima dan mengamalkan
tasawuf sebagai jalan untuk mendekatkan diri pada Allah, selama ajarannya masih
dalam koridor keIslaman yang berdasar pada al-Qur’an dan as-Sunnah. Kemudian ia
pun mengkontekstualisasi dan menginterpretasikannya kembali hingga lebih mudah
diterima oleh masyarakat modern.
HAMKA mendefinisikan tasawuf dengan kehendak
memperbaiki budi dan men-“shifa’-kan (membersihkan batin)”. Sedangkan mengapa
HAMKA menamai “tasawuf”-nya itu sebagai “tasawuf modern”, dia menjelaskan
dengan kalimat-kalimat berikut: ”kita diberi keterangan yang modern, meskipun asalnya
terdapat dari buku-buku Tasawuf juga. Jadi Tasawuf Modern yang kita
maksudkan adalah keterangan ilmu Tasawuf yang dipermodern.[8] Tidak dapat dipungkiri ajaran tasawuf
sudah banyak terkontaminasi dengan hal-hal di luarnya baik yang menjadikannya
lebih positif ataupun negatif, di sini HAMKA hendak mengembangkan tasawuf yang
berbasis syari’at Islam, dengan penekanan bahwa setiap individu wajib
melaksanakan tasawuf dalam rangka pencapaian budi pekerti yang baik.
Selanjutnya HAMKA menamakan tasawufnya dengan nama ‘Tasawuf Modern’, agaknya
istilah ‘tasawuf modern’ merupakan lawan terhadap istilah ‘tasawuf
tradisional’, sehingga Hamka mendasarkan tasawufnya pada prinsip tauhid. Walaupun corak pemikiran Hamka seakan mengacu
pada tasawuf falsafi, mengingat konsepsi tentang Tuhan merupakan perkembangan
lebih lanjut dari pemikiran para ahli kalam dan filosof. Hamka pun mengaku
sendiri dalam tasawuf modernnya, bahwa itu bukan ciptaan otaknya mengingat
beliau masih muda dan sedikit pengetahuannya akan tetapi, itu hanyalah di tilik
dari buku karangan ahli ahli filsafat dan tasawuf islam di bandingkan dengan
Al-Qur’an dan Hadits. Hamka mereformulasikan konsep ilmu tasawuf dengan caranya
sendiri, hal ini karena ketidak inginannya melihat umat Islam lemah di bidang
ekonomi , akhirnya Hamka merumuskan dan memberikan wajah baru dalam dunia
tasawuf yang sama sekali tidak mendakwahkan untuk meninggalkan urusan dunianya.
Sebenarnya munculnya tasawuf Hamka tak lebih dari sekedar solusi agar umat
Islam tidak menyalah artikan zuhud yang harus meninggalkan dunia.
Perbandingan pemikiran ulama sufi dengan HAMKA[9]
“Ulama Sufi”
|
Ulama Muda “HAMKA”
|
Sebelum
merumuskan atau menuliskan ajaran-ajarannya, dia telah menghayati lebih
dahulu apa yang disebut “pengalaman kesufian” menurut versinya. Contoh: Hasan
al-Basri, Rabi’ah al-‘Adawiyah, Yazid al-Bistimy, Zunnun al-Misry, Imam
al-Ghazaly, Ibnu ‘Araby, al-Hallaj dan sebagainya.
|
Dalam
pengakuannya dia “mencintai hidup dalam tasawuf”, tetapi hampir tidak ada
keterangan sedikitpun tentang pengakuannya pernah mnengalami pengalaman
kesufian, walau dalam bentuk yang sangat sederhana. Jadi, motif “senang”
dalam mengamati hidup kesufian yang nampak dominan, kalau diamati dari
luar dan atas data literatur yang ada.
|
Dalam
sejarah hidupnya, senantiasa ketat menjaga hidupnya, termasuk terhadap hal
yang sekecil-kecilnya, seperti dalam masalah makan, menikmati keindahan
duniawi, dan sebagainya.
|
Dalam
sejarah hidupnya (usia 24 tahun dan 34 tahun), dia kalau makan suka sekali
sate kambing, dan hiburannya berupa hobi melihat bioskop, setiap film
berganti, dia pasti melihat, walaupun dia berusaha selektif, yaitu film yang
berkarakter saja yang ditonton.
|
Konsep
dan ajaran yang ditawarkan merupakan hasil pengalaman langsung dari
kesufiannya dan ini jauh lebih dominan daripada hasil telaah terhadap
pengalaman atau konsep dan ajaran sufi lainnya.
|
HAMKA
mengakui bahwa bahan karangan tasawufnya didominasi oleh bahan bacaan yang
ia baca, bahkan beragam, seperti filsafat Islam, filsafat Barat, akhlaq,
tasawuf, tarikh, pembaruan Islam dan sebagainya. HAMKA memang dikenal “kutu
buku”, dan sangat produktif menulis. Itu sebabnya dia mengakui bahwa
pikiran-pikiran dalam “tasawuf modern” bukan hasil ciptaan otaknya,
bukan hasil kerja falsafi-nya, tetapi lebih bersifat “gubahan atau
karangan”-unsur peramu kosep-konsep dalam “Tasawuf Modern” yang lain adalah:
Pikiran dan penderitaan” dirinya sendiri
|
HAMKA dalam beberapa kitab tasawuf yang
dikarangnya mengakui bahwa tasawuf banyak dirusak orang dalam bentuk bid’ah dan
sebagainya maka beliau menghimbau agar tasawuf baik isi dan prakteknya kembali
pada al-Qur’an dan al-Hadits (sunnah Rasulullah).[10] Dengan demikian, sebenarnya positif dan
negatif tasawuf HAMKA adalah sangat bergantung bagaimana ia dipraktikkan. HAMKA
memerinci beberapa hal sebagai berikut:
1)
Tasawuf
menjadi negatif, bahkan sangat negatif kalau tasawuf:
a)
Dilaksanakan
dengan bentuk kegiatan yang tidak digariskan oleh ajaran agama Islam yang
terumus dalam al-Qur’an dan A-Sunnah, seumpama mengharamkan pada diri
sendiri terhadap hal-hal yang oleh Allah s.w.t sendiri dihalalkan, yang hal
ini sudah mulai bersinggungan dengan kawasan peka yaitu “kawasan i’tiqadiyah”
b)
Dilaksanakan
dalam wujud kegiatan yang dipangkalkan terhadap pandangan bahwa “dunia ini
harus dibenci”, justru pandangan semacam itu telah nampak melembaga dalam
kalangan penganut tarekat
2)
Tasawuf
akan menjadi positif, bahkan sangat positif kalau tasawuf:
a)
Dilaksanakan
dalam bentuk kegiatan keagamaan yang searah dengan muatan-muatan peribadahan
yang telah dirumuskan sendiri oleh Al-Qur’an dan A-Sunnah: mana yang diwajibkan
dan dihalalkan akan dikerjakan dan mana yang diharamkan dikerjakan
ditinggalkan; sementara itu wajah peribadatan musti berkorelasi antara
ibadah yang “hablun minallah” (ibadah murni) dengan ibadah yang “hablun
minannas” (ibadah sosial nyata);
b)
Dilaksanakan
dalam bentuk kegiatan yang berpangkal pada kepekaan sosial yang tinggi dalam
arti kegiatan yang dapat mendukung “pemberdayaan umat Islam” agar kemiskinan
ekonomi, ilmu pengetahuan, kebudayaan, politik, dan mentalitas, yang dengan
demikian kalau umat Islam ingin berkorban maka ada hal atau barang yang akan
dikorbankan, kalau akan mengeluarkan zakat maka ada bagian kekayaan yang akan diberikan
kepada orang yang berhak dan sebagainya; untuk itu bukan tradisi pandangan
tarekat yang cenderung membenci dunia yang patut diangkat kembali, melainkan
roh asli “tasawuf” yang semula bermaksud untuk zuhud terhadap dunia,
yaitu sikap hidup agar hati tidak “dikuasai” oleh keduniawian.
Dengan memperhatikan rincian
kemungkinan-kemungkinan tasawuf menjadi negatif atau positif diatas, HAMKA
menyimpulkan bahwa tasawuf yang bermuatan zuhud yang benar, dilaksanakan
lewat peribadatan dan i’tiqad yang benar, mampu berfungsi sebagai media
pendidikan moral yang efektif.
Dari kesimpulan tersebut, HAMKA lalu menawarkan
pendapatnya yaitu bahwa:
1.
Tasawuf
yang patut diintroduksi dan diamalkan ”zaman modern” adalah tasawuf yang
memiliki ciri berikut:
a.
Bermuatan
memahami, menyadari dan menghayati zuhud yang tepat seperti yang
dicontohkan oleh Rasulullah s.a.w yang cukup sederhana pengertiannya, yaitu:
memegang sikap hidup dimana hati tidak berhasil “dikuasai” oleh keduniawian.
b.
Sikap
hidup zuhud tersebut diambil dari hasil pemahaman terhadap makna di
balik kewajiban peribadatan yang diajarkan resmi dari agama Islam, karena dari
peribadatan itu dapat diambil makna metaforiknya, yang tentu saja
peribadatan berdasarkan I’tiqad yang benar.
c.
Sikap
zuhud yang dilaksanakan berdampak mempertajam kepekaan sosial yang
tinggi dalam arti mampu menyumbang kegiatan pemberdayaan umat (social
empowering), seperti bergairah mengeluarkan zakat dan infaq sebergairah
menerima keuntungan dalam kerja dan sebagainya.
2.
Memfungsikan
tasawuf yang bersemangat juang seperti terumus di atas perlu dibahasakan
(diartikulasikan) secara modern.[11]
Dari paradigma di atas maka
konsepsi zuhud Hamka dapat menjawab permasalahan di atas. Yaitu dengan jalan
meninggalkan hal-hal yang berlebihan, walaupun halal, menunjukkan sikap hemat,
hidup sederhana, dan menghindari berlebih-lebihan, kemewahan atau pemilikan
harta yang lebih bernilai sebagai promotor status dari pada sebagai harta
kekayaan produktif. Zuhud juga dapat melahirkan sikap menahan diri memanfaatkan
harta untuk kepentingan produktif. Zuhud mendorong untuk mengubah harta bukan
saja aset ilahiyah yang mempunyai nilai ekonomis, tetapi juga sebagai aset
sosial dan mempunyai tanggung jawab pengawasan aktif terhadap pemanfaatan harta
dalam masyarakat. Tasawuf akan menjadi sangat positif jika dilakukan
dalam bentuk kegiatan yang berpangkal pada kepekaan sosial yang tinggi. Dalam
arti, kegiatan mendukung pemberdayaan umat agar berbagai kemiskinan yang
melanda umat Islam bisa teratasi dengan baik. Namun tasawuf akan menjadi sangat
negatif ketika dilaksanakan
dengan berbentuk kegiatan yang tidak digariskan oleh ajaran agama Islam yang
terumus dalam Al-Qur’an dan As-Sunnah dan diwujudkan dalam kegiatan yang
dipangkalkan terhadap pandangan bahwa dunia ini harus dibenci.
C. Konsep
Struktur Tasawuf
Struktur tasawuf ada empat, dan HAMKA
mendefinisikan sebagai berikut:
1.
Konsep
tentang Tuhan dan manusia serta hubungan antara keduanya, aqidah “tauhid” (mengesakan
Allah s.w.t) bahwa Allah s.w.t bersifat transenden secara mutlak. Hubungan
manusia mestilah antara “khaliq” (Pencipta, Allah s.w.t.) dan “makhluk”
(yang diciptakan), dan oleh karena itu ada yang disembah (Ma’bud) yaitu
Allah s.w.t. dan ada yang menyembah (‘abid), yaitu manusia. Oleh sebab
itu manusiaharus beribadah sesuai yang telah diturunkan oleh Allah s.w.t.
sendiri lewat Al-Qur’an dan As-Sunnah. Proses-proses hidup secara sufi harus
berdasar aqidah “tauhid” ini.
2.
Jalan
tasawuf, HAMKA memilih jalan tasawuf dengan mengedepankan makna tasawuf sebagai
sikap zuhud yang dapat dilaksanakan lewat peribadatan resmi
(seperti shalat, siyam, zakat, infaq, dan sebagainya) dan akidah
yang benar (prinsip “tauhid”)
3.
Penghayatan
tasawuf, bagi HAMKA jalan tasawuf itu adalah peribadatan resmi yang
telah diajarkan Al-Qur’an dan As-Sunnah (yang disistematisasikan oleh para faqih
(fuqaha’)) sebagaimana terjadi dalam sejarah (seperti shalat, siyam,
zakat, infaq, dan sebagainya), maka jika jalan tasawuf yang
termuat dalam peribadatan itu berhasil dilaksanakan dengan sungguh-sungguhnya
maka jalan tasawuf tersebut akan menghasilkan (membuahkan) pengalaman
tasawuf yang berupa taqwa.
4.
Refleksi
pekerti tasawuf, Hamka menghendaki agar zuhud yang dijalankan,
yaitu dalam berkehidupan bertasawuf, utamanya dalam menjalankan peribadatan
sehari-hari, dapat melahirkan sikap etos sosial yang tinggi, kepekaan
sosial yang tinggi. Dengan demikian, derajar yang diperoleh oleh si sufi bukan
karena “karamah” dalam arti magis, tetapi “karamah” dalam arti sosio-religius,
yakni kehormatan karena kiprah dan jasa sosial yang dimotivasi oleh
dorongan kesalehan beragama.[12]
Secara garis besar, konsep sufistik yang
ditawarkan Hamka adalah sufisme yang berorientas “ke depan” yang ditandai dengan
mekanisme dari sebuah sistem ketasawufan yang unsur-unsurnya meliputi: prinsip
“tauhid”, dalam arti menjaga transendensi Tuhan dan sekaligus merasa “dekat
dengan Tuhan”. Memanfaatkan peribadahan sebagai media bertasawuf. Dan
menghasilkan refleksi hikmah yang berupa sikap positif terhadap hidup dalam
wujud memiliki etos sosial yang tinggi.
BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
Haji
Abdul Malik Karim Amrullah atau lebih dikenal dengan julukan HAMKA, yakni
singkatan namanya, lahir di desa kampung Molek, Manijau, Sumatra Barat, 17
Februari 1908. Ia adalah sastrawan Indonesia, sekaligus ulama dan aktivis
politik. Hamka meninggal dunia pada 24 juli 1981.HAMKA bukanlah
seorang yang telah mengalami perjalanan ruhani, namun ia dapat menerima dan
mengamalkan tasawuf sebagai jalan untuk mendekatkan diri pada Allah, selama
ajarannya masih dalam koridor keIslaman yang berdasar pada al-Qur’an dan
as-Sunnah. Kemudian ia pun mengkontekstualisasi dan menginterpretasikannya
kembali hingga lebih mudah diterima oleh masyarakat modern.
HAMKA
mendefinisikan tasawuf dengan kehendak memperbaiki budi dan men-“shifa’-kan
(membersihkan batin)”. Sedangkan mengapa HAMKA menamai “tasawuf”-nya itu
sebagai “tasawuf modern”, dia menjelaskan dengan kalimat-kalimat berikut: ”kita
diberi keterangan yang modern, meskipun asalnya terdapat dari buku-buku
Tasawuf juga. Jadi Tasawuf Modern yang kita maksudkan adalah keterangan
ilmu Tasawuf yang dipermodern. HAMKA dalam beberapa kitab tasawuf yang
dikarangnya mengakui bahwa tasawuf banyak dirusak orang dalam bentuk bid’ah dan
sebagainya maka beliau menghimbau agar tasawuf baik isi dan prakteknya kembali
pada al-Qur’an dan al-Hadits (sunnah Rasulullah). Dengan demikian, sebenarnya
positif dan negatif tasawuf HAMKA adalah sangat bergantung bagaimana ia
dipraktikkan.
DAFTAR PUSTAKA
Al-Ghanimi
al-Taftzani, Abu al-Wafa’. 1985. Sufi dari Zaman ke Zaman. Bandung:
Pustaka
Damami,
Mohammad. 2000. Tasawuf Positif dalam Pemikiran Hamka .Yogjakarta:
Fajar Pustaka Baru.
Ensikoklopedi
Islam. 1994. Jakarta, PT. Ichtiar Baru Van Hoeve
HAMKA.
1974. Kenang-kenangan Hidup. Jakarta: Bulan Bintang
Mustofa.
1997. Akhlak Tasawuf. Bandung: Pustaka Setia
Ramayulis
dan Samsul Nizar. 2009. Filsafat Pendidikan Islam: Telaah Sistem
Pendidikan dan Pemikiran Para Tokohnya. Yogjakarta: Kalam Mulia
Susanto,
A. 2009. Pemikiran Pendidikan Islam. Jakarta: Amzah, 2009
Syamsul
Kurniawan dan Erwin Mahrus. 2011. Jejak Pemikiran Tokoh Pendidikan Islam.Yogjakarta,
Ar-Ruzz Media
[1] . Ramayulis dan Samsul Nizar, Filsafat Pendidikan
Islam: Telaah Sistem Pendidikan dan Pemikiran Para Tokohnya (Yogjakarta:
Kalam Mulia, 2009),h: 349.
[4] . Syamsul Kurniawan dan Erwin Mahrus, Jejak
Pemikiran Tokoh Pendidikan Islam (Yogjakarta, Ar-Ruzz Media, 2011), h:227.
[8] . Mohammad Damami, Tasawuf Positif dalam
Pemikiran Hamka (Yogjakarta: Fajar Pustaka Baru, 2000),h:164-165.
[9] . Mohammad Damami, Tasawuf Positif dalam
Pemikiran Hamka (Yogjakarta: Fajar Pustaka Baru, 2000), h:166-167.
[11] . Mohammad Damami, Tasawuf Positif dalam
Pemikiran Hamka (Yogjakarta: Fajar Pustaka Baru, 2000),h:177-180.
[12] . Mohammad Damami, Tasawuf Positif dalam
Pemikiran Hamka (Yogjakarta: Fajar Pustaka Baru, 2000),h: 182-192.
0 Response to "MAKALAH BUYA HAMKA"
Post a Comment