A. Pengertian Teologi Islam
Teologi dari segi etimologi berasal dari bahsa yunani yaitu
theologia. Yang terdiri dari kata theos yang berarti tuhan atau dewa, dan logos
yang artinya ilmu. Sehingga teologi adalah pengetahuan ketuhanan . menurut
William L. Resse, Teologi berasal dari bahasa Inggris yaitu theology yang
artinya discourse or reason concerning god (diskursus atau pemikiran tentang
tuhan) dengan kata-kata ini Reese lebih jauh mengatakan, “teologi merupakan
disiplin ilmu yang berbicara tentang kebenaran wahyu serta independensi
filsafat dan ilmu pengetahuan. Gove mengatkan bahwa teologi merupakan
penjelasan tentang keimanan, perbuatan, dan pengalaman agama secara rasional.
Sedangkan menurut Fergilius Ferm “the discipline which consern God (or yhe
divine Reality)and God relation to the word (pemikiran sistematis yang
berhubungan dengan alam semesta). Dalam ensiklopedia everyman’s di sebutkan
tentang teologi sebagai science of religion, dealing therefore with god, and
man his relation to god (pengetahuan tentang agama, yang karenanya membicarakan
tentang tuhan dan manusia dalam pertaliannya dengan tuhan). Sedangkan
pengertian teologi islam secara terminologi terdapat berbagai perbedaan.
Menurut abdurrazak, Teologi islam adalah ilmu yang membahas aspek ketuhanan dan
segala sesuatu yang berkait dengan-NYA secara rasional. Muhammad Abduh :
التوحيد علم يبحث عن وجود
الله وما يجب ان يثبت له من صفاته وما يجوز ان يوصف به وما يجب ان ينفى عنه وعن
الرسل لاثبات رسالتهم ان يكونوا عليهم ومما يجوز ان ينسب اليهم وما يمتنع ان يلحق
بهم.
“ tauhid adalah ilmu yang membahas tentang wujud Allah, tentang sifat yang wajib tetap pada-Nya, sifat-sifat yang boleh disifatkan kepada-Nya, sifat-sifat yang sma sekali wajib di lenyapkan dari pada-Nya; juga membahas tentang Rasul-rasul Allah, meyakinkan keyakinan mereka, meyakinkan apa yang ada pada diri mereka, apa yang boleh di hubungkan kepada diri mereka dan apa yang terlarang menghubungkanya kepada diri mereka”.[1]
“ tauhid adalah ilmu yang membahas tentang wujud Allah, tentang sifat yang wajib tetap pada-Nya, sifat-sifat yang boleh disifatkan kepada-Nya, sifat-sifat yang sma sekali wajib di lenyapkan dari pada-Nya; juga membahas tentang Rasul-rasul Allah, meyakinkan keyakinan mereka, meyakinkan apa yang ada pada diri mereka, apa yang boleh di hubungkan kepada diri mereka dan apa yang terlarang menghubungkanya kepada diri mereka”.[1]
Kalau melihat definisi pertama dapat di pahami bahwa Muhammad Abduh
lebih menekankan pada Ilmu Tauhid/Teologi yaitu pembahasan tentang Allah dengan
segala sifat-Nya, Rasul dan segala sifat-Nya, sedang yang kedua menekankan pada
metode pembahsan, yaitu dengan menggunakan dalil-dali yang meyakinkan.
Persoalan mengetahui tuhan sangatlah mendasar dalam perkembangan
pemikiran dan hubungan seseoang dengan tuhan dalam batasan teologi islam. Akal
dengan berbagai kualitasnya telah berkewajiban mengatahui tuhan. Abu Hanifah
Umpanya, Menyatakan Bahwa tidak ada satu alasan apapun bagi seseorang untuk
tidak mengetahui tuhan, sekalipun tuhan belum mengutus rasul. Seseorang dengan
kapasitas penalaran akalnya berkewajiban untuk mengetahui tuhan.[2]
1. Esensi dan
Eksistensi Tuhan Menurut Abu Hanifah
Pandangan Abu Hanifah tentang konsep Tuhan tidak jauh berbeda dengan
pandangan Mutakallim yang berfaham Ahlussunnah, meskipun dalam masalah
fiqh beliau banyak berpegang pada penalaran. Para ulama Ahlussunnah ini
banyak berpegang kepada Al-Qur’an dan Sunnah di dalam menyelesaikan
masalah-masalah teologi yang dihadapi, kemudian membawa argumen-argumen
rasional kedalamnya.[3] Dan Abu Hanifah, sebagai salah ulama Ahlussunnah,
dalam menjelaskan konsep ketuhanannya banyak menggunakan dalil dari Al-Qur’an
dan Sunnah, dan beliau sangat sedikit dalam menggunakan dalil rasional. Hal ini
tidak lepas dari kesadaran dan pengakuan akan batas-batas kemampuan kerja akal
manusia dalam bidang metafisika.[4]
Di dalam menjelaskan esensi dari Tuhan, Abu Hanifah menitikberatkan pada
pemahaman akan makna Tauhid (keesaan Tuhan). Dan Abu Hanifah Di dalam
penjelasannya tentang konsep keesaan Tuhan menyatakan, bahwasanya Tuhan itu
esa. Hakikat keesaan Tuhan itu tidak hanya terbatas pada keesaan jumlah saja.
Akan tetapi, keesaan Tuhan itu juga meliputi keesaan pada dzat dan sifatnya.
Esensi dari Tuhan berbeda dari makhluk, dan tidak mungkin bagi makhluk
untuk menyamai Tuhan di dalam esensi-Nya. Hal ini dikarenakan Tuhan itu
bersifat absolut (qadim) baik pada esensi dan Eksistensi-Nya. Sedangkan
makhluk itu bersifat temporal (Muhdats), dan segala sesuatu bersifat
temporal senantiasa memiliki jism (bentuk), jauhar
(Substansi) dan ‘ardl (Aksidensi). Maka, apabila esensi dari Tuhan itu
seperti makhluk, niscaya Ia bersifat temporal dan membutuhkan jism, jauhar dan
‘ardl untuk menopang keberadaan-Nya. Dan sebagaimana yang telah kita
ketahui bahwasanya keberadaan ketiga materi tersebut senatiasa membutuhkan
ruang dan waktu untuk menopangnya. Maka, mustahil bagi Tuhan untuk terikat
dengan ruang dan waktu, karena keduanya adalah ciptaan.
Sementara itu, di dalam menjelaskan tentang eksistensi Tuhan Abu Hanifah
menggunakan istilah Wajibul wujud dan Mumkinul Wujud. Wajibul Wujud merujuk
pada dzat Tuhan yang mana keberadaanya adalah absolute dan tidak membutuhkan
yang lain untuk menopang keberadaan-Nya. Akan tetapi, keberadaan-Nya dibutuhkan
oleh yang lainnya. Jadi, eksistensi dari Tuhan itu absolut, artinya jika Tuhan
itu tidak ada, maka segala yang ada di alam ini juga tidak ada. Sedangkan
istilah Mumkinul Wujud merujuk kepada segala sesuatu yang dibentuk oleh
sesuatu yang lain.[5] Sesuatu dikatakan mumkinul wujud
menandakan bahwasanya eksistensinya itu dalam keadaan antara ada dan tiada.
Jadi, ia dikatakan ada ketika diadakan oleh sesuatu yang lain.
Dan dari sini kita bisa melihat bahwasanya sesuatu apabila dikatakan
keberadaanya itu karena diadakan sesuatu yang lain maka, keberadaanya adalah
tergantung yang mengadakannya, dengan kata lain ia senantiasa mengalami
perubahan, perubahan ini secara tidak langsung akan mempengaruhi substansinya,
perubahan substansi inilah yang menyebabkan keadaan mumkinul wujud tidak
kekal. Oleh karena itu, tidak mungkin bagi makhluk untuk menyamai Tuhan dalam
esesnsi dan eksistensi, sebagaimana yang dikatakan oleh imam Abu Hanifah:“Laa Yasybihu syaian minal asyyaa min kholqihi wa laa
yusbihuhu syaiun min kholqihi”.[6]
2.
Sifat Tuhan
Sifat Tuhan menurut Abu Hanifah adalah bagian dari dzat-Nya. Lebih lanjut
lagi ia menjelaskan bahwasanya sifat Tuhan itu bukanlah sesuatu yang
ditambahkan pada dzat. Akan tetapi, sifat itu adalah sesuatu yang mana Allah
mensifati dirinya didalam Al Qur’an tanpa ada pertanyaan bagaimana wujudnya.
Pendapatnya ini sangat berlawanan terhadap golongan yang mensifatkan Allah
seperti makhluk sebagaimana yang dilakukan oleh penganut aliran Hasywiyyah dan
Mujassimah yang berpendapat bahwasanya esensi dari Tuhan adalah seperti
makhluk, yaitu mempunyai Jism. Mereka berpendapat demikian karena mereka
melihat bahwasanya Fi’il (action) membutuhkan suatu Jism dalam
menjalankanya, dan Tuhan di dalam menciptakan, mengatur dan lainnya adalah
berada dalam posisi fail (pelaku). Oleh karena itu, Tuhan memiliki Jism.[7]
Pada dasarnya pendapat yang dianut
oleh para penganut Hasywiyyah dan Mujassimah tersebut justru menyebabkan Tuhan
kehilangan sifat keilahian-Nya. Karena, setiap Jism itu mempunyai
bentuk, dan bentuk dalam setiap tindakan akan menimbulkan gerakan, dan gerakan
itu membutuhkan ruang dan waktu. Maka, apabila Tuhan memiliki Jism Maka
Tuhan itu terikat pada ruang dan waktu.
Abu Hanifah melihat bahwasanya kesalahan penafsiran dari kedua golongan
tersebut adalah terletak pada pemahaman tentang hubungan antara esensi dan
aksidensi Tuhan. Oleh karena itu, dalam menjelaskan hubungan antara esensi
Tuhan dengan sifat-Nya. Abu Hanifah membagi sifat Tuhan menjadi dua:
1.
Ash Shifat adz Dzatiyah
Sifat ini
adalah sifat yang keberdaannya eternal bersama dengan dzat Tuhan. Sifat
ini menurut Abu Hanifah ada 7, yaitu:
a.
Al Hayah, sifat ini menunjukkan kepastian bahwasanya yang
disifati adalah begitu adanya, artinya bahwasanya Allah itu hidup dengan sifat
ini yang kekal bersama diri-Nya.
b.
Al Qudrah, sifat ini merujuk kepada kuasa Tuhan atas segala
sesuatu, kekuasaan ini bersifat absolut bukan temporal, sebagaimana Tuhan
menciptakan segala sesuatu dan keteraturan didalamnya ataupun menghilangkan dan
memusnahkannya.
c.
Al ‘Ilm, sifat ini merujuk kepada pengetahuan Tuhan atas segala
sesuatu. Sifat ini tidak hanya terbatas pada kulliyat (general) saja,
akan tetapi ia mencakup segala sesuatu baik itu yang bersifat nampak ataupun
tidak tampak, fisik atupun metafisik, apa yang ada dan tidak ada, dan apa yang
mungkin dan yang mustahil. Dan sifat ini juga bersifat absolut, artinya
bahwasanya sifat Al ‘Ilm tidak terbatas pada setelah penciptaan saja.
Akan tetapi, ia juga meliputi sebelum penciptaan. Karena, tidak mungkin
menciptakan segala sesuatu tanpa adanya pengetahuan sebelumnya.
d.
As Sam’u, yaitu bahwasanya Tuhan itu mengetahui segala suara
baik itu yang terang maupun yang samar. Dan sifat dari As Sam’u ini
tidak seperti apa yang dimiliki oleh makhluk.
e.
Al Bashar, yaitu bahwasanya Tuhan itu
mengetahui segala sesuatu yang nampak dan tersembunyi. Sebagaiman As Sam’u sifat
ini tidak seperti apa yang dimiliki makhluk dan kedua sifat ini adalah termasuk
sifat kesempurnaan Tuhan.
f.
Al Iradah, sifat ini meliputi ketentuan, dan
perintah Tuhan di alam ini. sifat ini terdiri dari dua macam:[8].
·
Iradah Kauniyah, yaitu ketentuan Tuhan atas yang
terjadi di Alam ini secara umum.
·
Iradah Diniyyah, yaitu segala ketentuan yang
berhubungan dengan perintah Tuhan kepada makhluk untuk menjalankan apa yang
diperintahkan-Nya.
g.
Al Kalam. Termasuk dari esensi Tuhan bahwasanya, Tuhan berfirman
dengan sifat kalam-Nya. Sifat dari kalam tersebut adalah absolut.
Sebagaimana yang telah ditetapkan oleh Tuhan sebelumnya.
2.
Ash Shifat al Fi’liyah
Sedangkan
sifat fi’liyah adalah sifat yang mana keberadaannya tergantung dari aksidensi
tuhan, contoh: sifat Tuhan yang maha pencipta tidak akan pernah ada jika Tuhan
tidak mencipta, begitu juga sifat Tuhan yang lainnya seperti: maha memberi
rezeki, pengasih dan lain-lainnya.
Abu Hanifah
memahami bahwasanya sifat dzatiah Tuhan itu berada dalam esensi Tuhan.
Sedangkan, sifat fi’liyah yang bersifat aksidensi itu disematkan pada diri
Tuhan dan bukan esensi dari Tuhan. Akan tetapi, Abu Hanifah juga tidak setuju
dengan pendapat yang menyatakan perlunya intepretasi terhadap ayat-ayat yang
menunjukkan bahwa Tuhan mempunyai sifat-sifat Jasmani, sebagaimana yang dianut
oleh kaum Mu’tazilah dan Rafidlah yang juga menafikkan beberapa
sifat Tuhan. Menurut kedua golongan tersebut, bahwsanya karena Tuhan bersifat
immateri, tidaklah dapt dikatakan Tuhan mempunyai sifat-sifat jasmani. Oleh
karena itu, ayat-ayat Al-Qur’an yang menggambarkan bahwa Tuhan mempunyai
sifat-sifat jasmani harus diberi intepretasi lain.[9]
Namun,
menurut Abu Hanifah bahwasanya apabila kita menafikkan sifat Tuhan, maka
sesungguhnya secara tidak langsung kita telah menafikkan imanensi Tuhan. Karena
sifat fi’liyah tersebut merupakan manifestasi dari keberadaan wujud Tuhan di
alam ini. Yaitu, sebagai misal, ketika Tuhan menciptakan alam ini secara tidak
langsung Ia telah menunjukkan keberadaan-Nya Dengan kata lain, nampaknya Abu Hanifah
berusaha untuk mengatakan bahwasanya Tuhan transenden di dalam sifat
dzatiyah-Nya dan imanen di dalam sifat fi’liyah-Nya.
2. Konsep Teologi Imam Syafi’i
Madzhab
Syafi’i, satu dari sekian banyak madzhab fiqih yang sampai saat ini masih
mendapat apresiasi luar biasa dari mayoritas kaum muslimin dunia. Keunggulan
utama Madzhab Syafi’i terletak pada sifatnya yang moderat. Di awal
pertumbuhannya, pendiri madzhab ini Muhammad bin Idris asy-Syafi’i (150-204 H),
mengakomodasi dua aliran hukum Islam yang berkembang saat itu, yaitu aliran
tekstualis (madrasatul hadits) dan aliran rasionalis (madrasatur ra’y). Hasil
kolaborasi keduanya dapat dilihat dari produk hukum Imam Syafi’i yang selalu
mengacu pada substansi nash (al-Qur’an dan as-Sunnah), dan dalam kasus tertentu
dipadukan dengan dalili analogi (qiyas). Sebagai Bapak Ushul Fiqih, Imam
Syafi’i mewariskan seperangkat metode istimbath hukum yang berfungsi untuk
menganalisa beragam kasus hukum baru yang terjadi di kemudian hari. Dari tangan
Imam Syafi’i lahir ribuan ulama yang konsen menafsirkan, menjabarkan, dan
mengembangkan pemikiran beliau dalam ribuan halaman karya ilmiah di bidang
hukum Islam.
Di sini dikatakan bahwa ia seorang Salafy di mana ‘aqidahnya sama
dengan ‘aqidah para ulama Salaf; menetapkan apa yang ditetapkan Allah dan
Rasul-Nya dan menafikan apa yang dinafikan Allah dan Rasul-Nya tanpa
melakukan Tahrif (perubahan), Ta`wil (penafsiran
yang menyimpang), Takyif (Pengadaptasian alias mempertanyakan;
bagaimana), Tamtsil (Penyerupaan) dan Ta’thil (Pembatalan
alias pendisfungsian asma dan sifat Allah).
Beliau, misalnya, mengimani bahwa Allah memiliki Asma` dan Sifat
sebagaimana yang dijelaskan Allah dalam kitab-Nya dan Rasulullah dalam
haditsnya, bahwa siapa pun makhluk Allah yang sudah ditegakkan hujjah atasnya,
al-Qur’an sudah turun mengenainya dan menurutnya hadits Rasulullah sudah shahih
karena diriwayatkan oleh periwayat yang adil; maka tidak ada alasan baginya
untuk menentangnya dan siapa yang menentang hal itu setelah hujjah sudah
benar-benar valid atasnya, maka ia kafir kepada Allah. Beliau juga menyatakan
bahwa bila sebelum validnya hujjah atas seseorang dari sisi hadits, maka ia
dapat ditolerir karena kejahilannya sebab ilmu mengenai hal itu tidak bisa
diraba hanya dengan akal, dirayah atau pun pemikiran.
Beliau juga
mengimani bahwa Allah Ta’ala Maha Mendengar, memiliki dua tangan, berada di
atas ‘arasy-Nya dan sebagainya.[10]Beliau
juga menegaskan bahwa iman adalah ucapan, perbuatan dan keyakinan dengan hati.
Mazhab Syafi’i
artinya adalah pendapat imam Syafi’i tentang masalah suatu hukum yang beliau
ambil dari Al-Qur’an dan Hadist berdasarkan analisis dan Ijtihad beliau.
Selanjutnya bila seseorang dikatakan bermazhab Syafi’i maka artinya orang
tersebut mengikuti jalan fikiran atau pendapat Syafi’i tentang masalah yang
beliau ambil dari Al-Qur’an dan Hadist (Tohir, 1983).
Mazhab Syafi’i terdiri dari dua macam, hal tersebut
didasarkan pada masa dan tempat beliau mukim. Yang pertam adalah Qaul Qodim,
yaitu mazhab yang dibentuk sewaktu beliau hidup di Irak, dan yang kedua adalah
Qaul Jadid, yakni mazhab yang dibentuk sewaktu beliau hidup di Mesir yaitu
setelah pindah dari Irak. Keistimewaan Imam Syafi’i dibandingkan deng an Imam
yang lainnya adalah beliau merupakan peletak batu pertama ilmu Ushul Fiqh
dengan kiitabnya Ar Risalah serta kitab Al-Umm dalam bidang Fiqh yang menjaid
induk dari mazhabnya (Mansur, 1984).
Qaul Qodim merupakan pendapat-pendapat Imam Syafi’i yang
dihasilkan dari perpaduan antara mazhab iraqy yang bersifat rasional dan
pendapat Ahlu al-Hadist yang bersifat tradisional, tetapi fiqh yang demikian
lebih sesuai terhadap ulama-ulama yang datang dari berbagai negara Islam ke
Makah pada saat itu, mengingat situasi dan kondisi negara-negara yang sebagian
ulamanya datang ke Makah pada waktu itu berbeda-beda satu sama lain. Mereka
dapat memilih pendapat yang sesuai dengan kondisi negaranya. Hal tersebut juga
menyebabkan pendapat Imam syafi’i mudah diterima dan tersebar ke berbagai
negara Islam. Kedatangan Imam Syafi’i kedua kalinya ke Irak hanya beberapa
bulan saja tinggal disana dan kemudian pergi ke Mesir, di mesir inilah tercetus
Qaul jadid yang didektekannya kepada muridnya di Mesir. Qaul jadid Imam Syafi’i
ini dicetuskan setelah bertemu dengan para ulama Mesir dan mempelajari fiqih
dan hadist dari mereka serta adat istiadat, situasi dan kondisi masyarakat
Mesir pada waktu itu, sehingga Imam Syafi’i merubah sebagian hasil ijtihadnya
yang telah difatwakan di Irak (Huzaemah, 1997).
Pokok-pokok
fiqih Syafi’i ada lima:
1.
Al-Qur’an dan
Al-Sunnah
Imam Syafi’i
memandang al-Qur’an dan al-Sunnah berada dalam satu martabat. Beliau
menempatkan al-Sunnah sejajar dengan al-Qur’an, karena menurut beliau Sunnah
menjelaskan al-Qur’an kecuali hadits ahad tidak sama nilainya dengan al-Qur’an
dan hadits mutawatir.[11]
2.Al-Ijma’
Imam Syafi’i mengatakan, bahwa ijma’ adalah
hujjah dan beliau menempatkan ijma’ sesudah al-Qur’an dan al-Sunnah sebelum
qiyas.
3. Pendapat sahabat yang tidak ada yang
menentangnya.
4. Ikhtilaf sahabat Nabi.
5. Qiyas.
DAFTAR PUSTAKA
Nata, Abuddin, Ilmu Kalam, Filsafat, dan Tasawwuf, (Jakarta:
Lembaga Studi Islam dan Kemasyarakatan, 1998).
Hanafi, Ahmad, Pengantar Theology
Islam, (Jakarta: Pustaka Al-Husna, 1992)
Hanifah, Abu, Fiqhul Akbar, (Beirut: Darul
Kutub al Ilmiyah, 1995)
Syafi’I, Hasan Mahmud, An Nushus al Kalamiyyah, (Ponorogo:
Muqoror Likuliyyah Ushuluddin, 2000),
Hanafi, ‘Ali al Qori, Syarhu Kitab Al Fiqhul Akbar,
(Beirut: Darul Kutub Al Ilmiyyah, 1995)
Huzaemah. 1997. Pengantar
Perbandingan Mazhab. Jakarta: Logos
Al-Mansur.1984. Keduduan Mazhab
Dalam Syari’at Islam. Jakarta: Indonesia
[2]
.Dr.Teuku Safir Iskandar,MA, Falsafah Kalam, (Yayasan Nadiya, 2003)Cet.1,
Hal:75
[5] . Hanafi, ‘Ali al Qori, Syarhu Kitab Al Fiqhul
Akbar, (Beirut: Darul Kutub Al Ilmiyyah, 1995), P.30
0 Response to "Makalah Teologi Islam"
Post a Comment