Makalah Hakikat Cinta

BAB I
PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang
Cinta merupakan hal yang mendasar dalam hidup ini, terkadang cinta membawa bahagia bagi manusia, dan dapat pula berubah menjadi prahara. Cinta adalah instrumen untuk mencapai tujuan, pada dasarnya cinta adalah netral, tetapi terpulang siapakah yang mengemudi cinta itu sendiri, jiwa nafsu syahwat yang mendominasi maka wajarlah cinta itu akan berakhir dengan kebinasaan, tetapi ketika cinta yang bertaburan dengan bunga iman kepada Allah maka cinta adalah pengikat antara manusia dengan tuhannya, sehingga akan menjadikan dia ikhlas beribadah. Dalam mendefinisikan cinta, banyak dari para pemikir, mengkiaskan makna cinta dalam kata-katanya, Al-Ashma’i  berkata, saya pernah bertanya kepada seorang arab badui tentang cinta. Dia menjawab, “cinta itu tersembunyi di dalam batu. Apabila dinyalakan, ia akan tampak. Namun apabila dibiarkan, ia pun sembunyi di dalamnya”. menurut ibnu Al-Qoyyim, orang-orang berakal sepakat mencela orang yang mencintai sesuatu, yang membuat dirinya celaka karena kecintaanya itu. Cinta adalah fitrah yang dianugerahkan Allah kepada para Mahklukya.
Lantas bagaimana islam menyikapi emosi cinta yang selalu membawa kebahagiaan, namun sering juga membawa malapetaka bagi pecinta maupun yang dicintainya, adakah cinta  yang sejati, dan bagaimana pula pengaruhnya terhadap manusia. masalah inilah yang saya akan  paparkan dalam artikel ini.

B.     Rumusan Masalah

1.      Apa Itu Hakikat Cinta ?
2.      Bagaimana Pengertian Cinta sesama ?
3.      Bagaimana Kadar Cinta Kepada Allah ?
4.      Bagaimana Kadar Cinta Kepada Rasul ?














BAB II
PEMBAHASAN

A.    Hadits Tentang  ( Mahabbat )Hakikat Cinta
Memaknai cinta yang sebenarnya, tentu kita harus mengambil dari sumber yang yang benar pula, yakni Al-Qur’an dan Hadits, ada  beberapa makna cinta dalam hadits (cinta kepada sesama, cinta kepada lawan jenis, dan cinta kepada Allah) Berikut ini:
1. Cinta kepada sesama 
Di antara langkah syaitan dalam menggoda dan menjerumuskan manusia adalah dengan memutuskan tali hubungan antara sesama umat Islam. Ironinya, banyak umat Islam terpedaya mengikuti langkah langkah syaitan itu. Mereka menghindar dan tidak menyapa saudaranya sesama muslim tanpa sebab yang dibenarkan syara’. Misalnya karena percekcokan masalah harta atau karena situasi buruk lainnya.  Terkadang, putusnya hubungan tersebut langsung terus hingga setahun. Bahkan ada yang sumpah untuk tidak mengajaknya bicara selama-lamanya, atau bernadzar untuk tidak menginjak rumahnya. Jika secara tidak sengaja berpapasan di jalan ia segera membuang muka. Jika bertemu di suatu majlis ia hanya menyalami yang sebelum dan sesudahnya dan sengaja melewatinya. Inilah salah satu sebab  kelemahan dalam masyarakat Islam. Karena itu, hukum syariat dalam masalah tersebut amat tegas dan ancamanya pun sangat keras.
Abu Hurairah Radhiallahu’anhu berkata, Rasululloh Shallallahu’alaihi wasallam bersabda, yang artinya: “Tidak halal seorang muslim memutuskan hubungan dengan saudaranya (sesama muslim) lebih dari tiga hari, barang siapa memutuskan lebih dari tiga hari dan meninggal maka ia masuk neraka”  (HR: Abu Dawud, 5/215, Shahihul Jami’: 7635)
Abu khirasy Al Aslami Radhiallahu’anhu berkata, Rasululloh Shallallahu’alaihi wasallam bersabda, yang artinya: “Barangsiapa memutus hubungan dengan saudaranya selama setahun maka ia seperti mengalirkan darahnya (membunuhnya) “ (HR: Al Bukhari Dalam Adbul Mufrad no : 406, dalam Shahihul Jami’: 6557)
Untuk membuktikan betapa buruknya memutuskan hubungan antara sesama muslim cukuplah dengan mengetahui bahwa Alloh menolak memberikan ampunan kepada mereka. Dalam hadits riwayat Abu Hurairah Radhiallahu’anhu, Rasululloh Shallallahu’alaihi wasallam bersabda, yang artinya: “semua amal manusia diperlihatkan (kepada Allah) pada setiap Jum’at (setiap pekan) dua kali; hari senin dan hari kamis. Maka setiap hamba yang beriman diampuni (dosanya) kecuali hamba yang di antara dirinya dengan saudaranya ada permusuhan. Difirmankan kepada malaikat :” tinggalkanlah atau tangguhkanlah (pengampunan untuk) dua orang ini sehingga keduanya kembali berdamai” (HR: Muslim: 4/1988)
Jika salah seorang dari keduanya bertaubat kepada Alloh, ia harus bersilaturrahim kepada kawannya dan memberinya salam. Jika ia telah melakukannya, tetapi sang kawan menolak maka ia telah lepas dari tanggungan dosa, adapun kawannya yang menolak damai, maka dosa tetap ada padanya.
Abu Ayyub Radhiallahu’anhu meriwayatkan, Rasululloh Shallallahu’alaihi wasallam bersabda, yang artinya: “Tidak halal bagi seorang laki-laki memutuskan hubungan saudaranya lebih dari tiga malam. Saling berpapasan tapi yang ini memalingkan muka dan yang itu (juga) membuang muka. Yang terbaik di antara keduanya yaitu yang memulai salam” (HR: Bukhari, Fathul Bari: 10/492)
Tetapi jika ada alasan yang dibenarkan, seperti karena ia meninggalkan shalat, atau terus menerus melakukan maksiat sedang pemutusan hubungan itu berguna bagi yang bersangkutan misalnya membuatnya kembali kepada kebenaran atau membuatnya merasa bersalah maka pemutusan hubungan itu hukumnya menjadi wajib. Tetapi jika tidak mengubah keadaan dan ia malah berpaling, membangkang, menjauh, menantang, dan menambah dosa maka ia tidak boleh memutuskan hubungan dengannya. Sebab perbuatan itu tidak membuahkan maslahat tetapi malah mendatangkan madharat. Dalam keadaan seperti ini, sikap yang benar adalah terus-menerus berbuat baik dengannya menasehati, dan mengingatkannya.

2. Cinta Kepada lawan Jenis
Islam yang sempurna telah mengatur hubungan dengan lawan jenis. Hubungan ini telah diatur dalam syariat suci yaitu pernikahan. Pernikahan yang benar dalam Islam juga bukanlah yang diawali dengan pacaran, tapi dengan mengenal karakter calon pasangan tanpa melanggar syariat. Melalui pernikahan inilah akan dirasakan percintaan yang hakiki dan berbeda dengan pacaran yang cintanya hanya cinta bualan.
Dari Ibnu Abbas, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Kami tidak pernah mengetahui solusi untuk dua orang yang saling mencintai semisal pernikahan.” (HR. Ibnu Majah no. 1920. Dikatakan shohih oleh Syaikh Al Albani)
Kalau belum mampu menikah, tahanlah diri dengan berpuasa. Rasulullah shallalahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Barangsiapa yang mampu untuk menikah, maka menikahlah. Karena itu lebih akan menundukkan pandangan dan lebih menjaga kemaluan. Barangsiapa yang belum mampu, maka berpuasalah karena puasa itu bagaikan kebiri.” (HR. Bukhari dan Muslim)
Ibnul Qayyim berkata, ”Hubungan intim tanpa pernikahan adalah haram dan merusak cinta, malah cinta di antara keduanya akan berakhir dengan sikap saling membenci dan bermusuhan, karena bila keduanya telah merasakan kelezatan dan cita rasa cinta, tidak bisa tidak akan timbul keinginan lain yang belum diperolehnya.”
Cinta sejati akan ditemui dalam pernikahan yang dilandasi oleh rasa cinta pada-Nya. Mudah-mudahan Allah memudahkan kita semua untuk menjalankan perintah-Nya serta menjauhi larangan-Nya. Agama islam mengakui adanya cinta terhadap lawan jenis sebagi iringan motivasi seksual, karena itu merupakan emosi fitrah manusia, selama sesuai dengan cara yang telah disyariatkan, yaitu menikah.

3. Cinta Kepada Allah dan Rasul
Mencintai dan mengagungkan sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam yang sebenarnya adalah dengan meneladani petunjuk dan sunnah beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam, dengan berusaha mempelajari dan mengamalkannya dengan baik. Dan bukanlah mencintai dan mengagungkan sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dengan melakukan perbuatan-perbuatan bid’ah dengan mengatasnamakan cinta kepada beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam, atau memuji dan mensifati beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam secara berlebihan, dengan menempatkan beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam melebihi kedudukan yang telah Allah Subhanahu wa Ta’ala tempatkan beliau padanya.
Dalam sebuah hadits shahih, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Janganlah kalian memuji diriku secara berlebihan dan melampaui batas, sebagaimana orang-orang nasrani melampaui batas dalam memuji (Nabi Isa) bin Maryam, karena sesungguhnya aku hanyalah seorang hamba Allah, maka katakanlah: hamba Allah dan Rasul-Nya.
Inilah makna cinta kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam yang dipahami dan diamalkan oleh generasi terbaik umat ini, para sahabat radhiallahu ‘anhum. Anas bin Malik radhiallahu ‘anhu berkata, “Tidak ada seorangpun yang paling dicintai oleh para sahabat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam melebihi beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam, akan tetapi jika mereka melihat beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam, mereka tidak berdiri (untuk menghormati beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam), karena mereka mengetahui bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam membenci perbuatan tersebut. Hadits lainnya yang mengungkapkan keutamaan cinta kepada Allah dan Rasu-Nya, adalah:
Rasulullah SAW bersabda, ”tiga golongan yan akan merasakan manisnya iman yaitu: golongan yang mencintai Allah dan Rasul-Nya lebih dari apapun, golongan yang tidak mencintai orang lain melainkan hanya karena Allah, dan golongan yang tidak kembali kepada kekufuran sebagaimana ia tidak ingin dilemparkan ke dalam api neraka.” (HR. Al Bukhari dan Muslim, At-Tirmidzi, serta An-Nasa’i, dari Anas)
Nabi SAW menjelaskan bahwa ada tiga hal yang apabila diamalkan oleh seseorang maka ia akan merasakan manisnya iman. Manis disini menunjukkan arti nikmat, senang, suka terhadap iman. Apabila seseorang merasa nikmat terhadap sesuatu maka ia tidak akan rela apabila sesuatu itu lepas dan hilang dari dirinya, apalagi kenikmatan itu adalah kenikmatan iman, suatu anugerah terbesar yang seharusnya kita syukuri dan harus benar-benar dipertahankan sampai akhir hayat kita. Jika kita berhasil mempertahankan iman sampai ajal menjemput, maka demi Allah, surga telah menanti kita.[1] 

B.      Makna Cinta Dalam Perspektif Psikologi
Dari paparan diatas, mengenai hadits tentang cinta, jika ditinjau dari sisi psikologis pada manusia dapat di lihat manfaatnya sebagai berikut:
1.  Cinta kepada sesama. Manusia adalah makhluk sosial, mustahil rasanya jika manusia mampu untuk hidup  sendiri, manusia terlahir di dunia dengan segala kebatasan pada kemampuannya, dan di anugerahi dengan segala kelebihannya. Dalam memenuhi kebutuhan hidup, manusia harus berinteraksi dengan manusia lainnya dalam bentuk sebuah masyarakat. Dalam hal ini, Cinta kepada sesama, merupakan hal yang mendasar dalam mengatur interaksi seseorang dengan yang lainnya, dari faktor cinta inilah timbulnya rasa kemanusiaan pada diri seseorang, ia dengan senang hati untuk menolong orang lain hanya karena-Nya. Timbulnya rasa solidaritas antar sesama manusia, sebenarnya berasal dari rasa cinta yang melahirkan empati terhadap sesama.
2. Cinta kepada lawan jenis. islam sebagai agama yang sempurna,  memperhatikan juga aspek-aspek  duniawi dan sekaligus memberi solusinya. Dalam hal cinta kepada lawan jenis, islam memandangnya sebagai fitrah, manusia dibekali rasa cinta kepada lawan jenis untuk memotivasi memperbanyak keturunan, tetapi islam juga memberi rambu-rambu atas cinta kepada lawan jenis ini, dengan solusinya adalah dengan membangun keluarga dengan jalan menikah.  Islam mengecam perzinaan, tetapi sangat menganjurkan untuk menikah bagi yang mampu secara fisik dan psikis, andaikata tidak atau belum mampu menikah, islam mengajurkan untuk berpuasa dan menahan diri dari segala hal yang membangkitkan syahwat.
3. Cinta kepada Allah dan Rasul-Nya
Menurut utsman najati,  cinta kepada Allah merupakan bentuk tertinggi dari rasa cinta yang ada pada diri manusia. Jika kita mau melihat realita, banyak gangguan jiwa berawal dari rasa cinta yang tinggi kepada hal-hal yang bersifat materi, misalnya rasa cinta kepada kekasih (suami atau istri), cinta kepada harta, cinta kepada pekerjaan dan rasa cinta yang semisalnya. Yang mengakibatkan seseorang terus memuaskan rasa cintanya –yang pada hakikatnya tidak akan pernah terpuaskan—  dengan berlebihan. Pada akhirnya, hanya kekecewaan yang ia dapatkan karena cintanya itu bisa saja bertepuk sebelah tangan ataupun cinta itu hanya semu dan nisbi. Jika kondisi ini terus menerus terjadi dan ia terus terombang ambing dalam kesedihan yang mendalam maka sederet gangguan jiwa menantinya.[2]
Cinta kepada Allah yang di refleksikan dalam rasa pengharapan yang tinggi kepada-Nya, menumbuhkan sikap pasrah dan ridho kepadanya, semua yang terjadi terhadapnya akan dihadapi dengan lapang dada, sehingga menimbulkan optimistis, rasa syukur atas nikmatnya, karena semua yang terjadi padanya pasti ada hikmah  yang cukup besar bagi dirinya, hal inilah yang menjadikan seseorang, selalu dalam keadaan tenang dan bahagia.















BAB III
PENUTUP

Kesimpulan
Setelah membicarakan tentang hakikat cinta yang, hendaknya kita menyadari bahwa, cinta kepada dunia dan seisinya adalah nisbi dan relatif. Cinta yang sejati adalah cinta kepada Allah dan Rasul-Nya.
Cinta kepada Allah dan Rasulnya yang di refleksikan dalam rasa pengharapan yang tinggi kepada-Nya, menumbuhkan sikap pasrah dan ridho kepadanya, semua yang terjadi terhadapnya akan terima dengan lapang dada, sehingga menimbulkan optimistis, rasa syukur atas nikmatnya, karena semua yang terjadi padanya pasti ada hikmah  yang cukup besar bagi dirinya, hal inilah yang menjadikan seseorang, selalu dalam keadaan tenang dan bahagia.





























DAFTAR PUSTAKAN

Najati, Muhammad Utsman. 2006. Ilmu Jiwa Dalam Al-Qur’an (Terj). Jakarta: Pustaka Azzam.
                                                                                                                          



[1] . Najati, Muhammad Utsman. 2006. Ilmu Jiwa Dalam Al-Qur’an (Terj). Jakarta: Pustaka Azzam.

0 Response to "Makalah Hakikat Cinta"

Post a Comment

Labels

Aceh ( 4 ) ARTIKEL ( 23 ) Bollywood ( 1 ) CERPEN ( 16 ) HABA ( 1 ) Hollywood ( 1 ) INDO ( 2 ) Makalah ( 97 ) Skript ( 1 ) SOSOK ( 10 ) Wisata ( 2 )