Hubungan Mou dengan KPA
Oleh:
Nama :M. Rifki
Irwansyah
Meliyani
DOSPEN :Edi
Saifuddin S.Pd.I
SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM ALMUSLIM
BIREUEN PROVINSI ACEH
TAHUN 2013
BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar
Belakang
Perjanjian Internasional adalah suatu ikatan hukum yang
terjadi berdasarkan kata sepakat antara negara-negara sebagai anggota
organisasi bangsa-bangsa dengan tujuan melaksanakan hukum tertentu yang
mempunyai akibat hukum tertentu. Perjanjian internasional adalah hasil
kesepakatan yang dibuat oleh subjek hukum internasional baik yang berbentuk
bilateral, regional maupun multilateral.
Kerja sama antar
negara saat ini sudah tidak dapat lagi dihindarkan. Bentuk kehidupan sangat
kompleks sangat rentan untuk terjadi perselisihan. Untuk menghindari agar
perselisihan tidak terjadi maka masyarakat internasional harus senantiasa
bertumpu pada aturan atau norma, aturan tersebut tidak hanya dibuat untuk
menghindari perselisihan, akan tetapi juga untuk menertibkan, mengatur dan
memelihara hubungan antarnegara.perwujudan kerjasama tersebut dituangkan dalam
bentuk perjanjian. Oleh karena itu perjanjian internasional merupakan salah
satu sumber hukum internasional yang penting. Tidak semua perjanjian
internasional bisa dapat menciptakan suatu aturan hukum internasional. Ruang
lingkup perjanjian internasional meliputi subjek yang luas seperti bidang
ekonomi, politik, sosial, kebudayaan, perdagangan, dan teknik. Dewasa ini
terdapat berbagai ragam jenis perjanjian internasional yang meliputi extradisi,
batas antar negara, soal - soal pengungsi, kebudayaan, persekutuan -
persekutuan militer, hubungan - hubungan diplomatik dan konsuler, komunikasi
dan transportasi, industri, perdagangan, serta bidang - bidang lainnya.
Konvensi,conventie,convention
termasuk juga salah satu istilah yang sudah umum digunakan dalam bahasa
Indonesia untuk menyebut nama suatu perjanjian internasional multilateral, baik
yang diprakarsai oleh negara - negara maupun oleh lembaga atau organisasi
internasional. Pada umumnya konvensi digunakan untuk perjanjian - perjanjian
multilateral yang mengatur tentang masalah besar dan penting dan dimaksudkan
untuk berlaku sebagai kaidah hukum internasional yang dapat berlaku secara luas,
baik dalam ruang lingkup regional maupun umum. Perselisihan - perselisihan yang
berkenaan dengan perjanjian internasional seperti halnya perselisihan -
perselisihan dalam bidang lain pada umumnya, seyogyanya diselesaikan secara
damai sesuai dengan prinsip - prinsip keadilan dan hukum
internasional.("Affirming that disputes concerning treaties, like other
internasional disputes,should be settled by peaceful means and in conformity
with the principles of justice and international law"). Dalam konsideransi
ini terkandung suatu harapan supaya negara - negara berusaha menyelesaikan
perselisihannya yang timbul dari suatu perjanjian internasional secara damai.
Dalam
hukum internasional dikenal berbagai macam cara penyelesaian perselisihan
secara damai, misalnya melalui perundingan langsung antara pihak yang
bersengketa, dengan melalui peranan pihak ketiga, baik pihak ketiga itu sebagai
pemberi jasa baik, sebagai perantara, maupun sebagi penengah. Selain itu ada
pula penyelesaian secara damai melalui jalur lembaga peradilan atau lembaga
penyelesaian sengketa yang lain berdasarkan hukum, seperti melalui arbitrase,
melalui Mahkamah Internasiaonal maupun Mahkamah Regional. Upaya penyelesaian
sengketa secara damai lainnya yang dapat ditempuh adalah melalui lembaga atau
organisasi internasional dimana pihak - pihak yang bersengketa menjadi
anggotanya. Adanya harapan dan himbauan ini dilandasi oleh suatu anggapan
bahwa betapapun besar dan rumitnya suatu sengketa, masih tetap lebih baik
diselesaikan dengan cara damai. Penyelesaian sengketa secara damai memang
sangat sedikit, bahkan tidak ada yang menimbulkan dampak negatif terhadap para
pihak manapun, jika dibandingkan dengan penyelesaian dengan kekerasan senjata,
seperti perang maupun bentuk konflik bersenjata lainnya. Nota kesepahaman, Memorandum of Understanding (MoU)
merupakan bagian dari konsep hukum perjanjian internasional, Law of Treaty
(LT). dalam proses pembuatannya, harus mematuhi kaidah yang bersumber pada
Viena Convention Law of Treaty, 1967 dari Komisi Hukum Internasional
(International Law Commission). Prinsip-prinsip utama yang biasanya harus
diterapkan adalah, kehadiran kedua belah pihak sebagai subjek hukum
internasional. Dilakukan oleh Kepala Negara, Menteri Luar Negeri, Duta Besar
atau Konsul Jenderal, dan Wakil-wakil diplomatik lainnya. Mereka ini memiliki
kewenangan penuh Full Power Authority oleh karena memliki
kepercayaan utuh menyalurkan amanah kenegaraan (Letter of Credence). Kewenangan
mereka anatar lain, negosiasi, authenticacy, accesi, adapsi, penandatanganan
dan ratifikasi. Konsekuensi penandatanganan yang dilakukan mereka adalah
mengikat (so be bound), dan menimbulkan tanggung jawab hukum.
B.
Rumusan
Masalah
1.
Bagaimana Konvensi WINA
1969 dan UU No.24 tahun 2000 yang mengatur tentang perjanjian internasional ?
2.
Bagaimana Kaitan
Hubungan Mou dengan KPA ?
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Asas
Mou Helsinki
Gerakan Aceh Merdeka bersama Pemerintah Indonesia
telah menandatangani nota kesepahaman damai di Helsinki, 15 Agustus 2005 lalu.
Kesepakatan itu telah disepakati beberapa poin menyelesaikan konflik Aceh
berkepanjangan. GAM dan RI bertekad untuk menciptakan kondisi bersama, sehingga
pemerintahan rakyat Aceh dapat diwujudkan melalui proses demokratis dan adil
dalam negara kesatuan dan konstitusi Republik Indonesia.
MoU Helsinki memuat beberapa item kesepakatan, di antaranya bidang penyelenggaraan pemerintahan di Aceh, ekonomi, politik, HAM, peraturan perundang-undangan, amnesti, dan reintegrasi.
MoU Helsinki memuat beberapa item kesepakatan, di antaranya bidang penyelenggaraan pemerintahan di Aceh, ekonomi, politik, HAM, peraturan perundang-undangan, amnesti, dan reintegrasi.
Untuk
menyegarkan ingatan akan nota kesepahaman bersama antara RI dan GAM itu,
wartawan mengutip kembali beberapa butir kesepakatan yang dituangkan dalam MoU
Helsinki, seperti peraturan perundang-undangan.
Dalam
poin ini, kedua belah pihak sepakat mengakui adanya pemisahan kekuasaan antara
badan-badan legislatif, eksekutif dan yudikatif di Aceh. Selain itu, Legislatif
Aceh akan merumuskan kembali ketentuan hukum bagi Aceh berdasarkan
prinsip-prinsip universal hak asasi manusia sebagaimana tercantum dalam Kovenan
Internasional Perserikatan Bangsa-bangsa mengenai Hak-hak Sipil dan Politik dan
mengenai Hak-hak Ekonomi, Sosial dan Budaya.
Dalam
poin peraturan perundang-undangan tersebut juga disepakati mengenai adanya
suatu sistem peradilan yang tidak memihak dan independen, termasuk pengadilan
tinggi, dibentuk di Aceh di dalam sistem peradilan Republik Indonesia.
Selanjutnya
RI dan GAM juga sepakat mengangkat Kepala Kepolisian Aceh dan Kepala Kejaksaan
Tinggi mendapatkan persetujuan Kepala Pemerintah Aceh. Penerimaan (rekruitmen)
dan pelatihan anggota kepolisian organik dan penuntut umum akan dilakukan
dengan berkonsultasi dan atas persetujuan Kepala Pemerintahan Aceh, sesuai
dengan standar nasional yang berlaku.
Poin
peraturan perundang-undangan yang disetujui tersebut juga mengatur tentang
semua kejahatan sipil yang dilakukan oleh aparat militer di Aceh akan diadili
pada pengadilan sipil di Aceh.
Selain
itu MoU Helsinki juga mengatur tentang kepatuhan Pemerintah RI terhadap Kovenan
Internasional Perserikatan Bangsa-bangsa mengenai Hak-hak Sipil dan Politik dan
mengenai Hak-hak Ekonomi, Sosial dan Budaya.[1]
Perjanjian
damai yang ditandatangani oleh kedua belah pihak pada 15 Agustus 2005 lalu
tersebut juga setuju adanya sebuah Pengadilan Hak Asasi Manusia yang akan
dibentuk untuk Aceh serta adanya Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi yang akan
dibentuk di Aceh oleh Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi Indonesia. Komisi ini
bertugas merumuskan dan menentukan upaya rekonsilias
B.
Dasar
Mula Terbentuk KPA
Namanya
Muzakir Manaf, tapi orang Aceh biasa menyapa lelaki ini
dengan sebutan Mualem. Pada masa perang Aceh dahulu, gelar Mualem
disematkan kepada seseorang yang memiliki pengetahuan tinggi tentang ilmu
kemiliteran dan memiliki kemampuan untuk melatih pasukannya. Namun, sekarang
sebutan itu menjadi sapaan kehormatan. Tak hanya bagi mantan Panglima Gearakan
Aceh Merdeka (GAM) ini, sapaan kehormatan tersebut juga untuk mantan kombatan
lainnya yang tersebar di provinsi paling barat Indonesia tersebut.
Pria
kelahiran Seuneudon, Aceh Utara pada 1964 itu, kini menjabat sebagai wakil
gubernur Aceh mendampingi Zaini Abdullah sebagai gubernur. Sebelumnya,
kehidupan Muzakir selalu akrab dengan sejanta dan hutan. Setelah
Abdullah Syafie wafat pada 22 Januari 2002, dia pun ditunjuk untuk
menggantikannya menjadi Panglima Gerakan Aceh
Merdeka (2002-2005). Usai Memorandum of Understanding (MoU)
Helsinki ditandangani pada 15 Agustus 2005, sayap militer GAM
dibubarkan. Kemudian dibentuk KPA (Komite Peralihan Aceh) sebagai wadah
transisi mantan kombatan GAM ke masyarakat sipil biasa. Sejak pertamakali
dibentuk pada 2005 hingga sekarang, dia menjabat Ketua KPA. Muzakir juga
sekaligus menjabat Ketua Umum Partai Aceh, sejak 2007 hingga sekarang.[2]
Meski saat ini telah terjun langsung
dalam dunia politik, namun tidak seperti kebanyakan politisi lainnya. Muzakir
Manaf dikenal sebagai sosok yang tak banyak bicara. Dirinya tidak
ingin membuat masyarakat Aceh bingung. Jika bicara pun dia memilih
hal yang pasti-pasti saja. Kini perjuangannya tidak lagi dengan senjata,
melainkan perjuangan politik untuk mewujudkan keadilan dan kesejahteraan
masyarakatnya. Sosok tangguh dan penuh optimisme itu, bertekat membangun Aceh
untuk mengejar i ketertinggalan dari daerah lainnya di Indonesia. Dia pun
mengajak seluruh elemen masyarakat untuk ikut bersama-sama memajukan daerahnya.
Bahkan, dia membuka tangannya untuk merangkul semuanya, tanpa
membeda-bedakan suku , agama, ras dan antargolongan yang ada di Aceh.
C.
Analisis
Hubungan MOU dengan KPA/ GAM
Peranan perjanjian internasional sebagai sumber hukum
internasional semakin bertambah penting maupun sebagai sarana untuk
mengembangkan kerjasama internasional secara damai antara bangsa - bangsa,
bagaimanapun sistem ketatanegaraan dan sistem sosial budaya masing - masing
konsideransi ini disamping menggambarkan fakta mengenai peranan perjanjian
internasional juga mengandung suatu pandangan ke depan yang sekaligus juga
merupakan suatu pengakuan mengenai peranan dan arti pentingnya perjanjian
internasional. Bahwa perbedaan sistem soaial budaya, ketatanegaraan, maupun
perbedaan - perbedaan lainnya, bukanlah faktor penghalang bagi negara - negara
untuk mengadakan perjanjian - perjanjian internasional.
Pada bagian ke 3(part III) Konvensi WINA tahun 1969 berkenaan
dengan penghormatan, penerapan, dan penafsiran internasional ( observance,
application, and intepretation of treaties), terdiri dari 4 seksi dan 12 pasal
yaitu pasal 26 sampai dengan 38. Seksi 1 terdiri dari pasal 26 dan 27. Pasal 26
menegaskan asas pacta sunt servanda, bahwa setiap perjanjian yang telah
memiliki kekuatan mengikat terhadap para pihak, maka para pihak yang
bersangkutan harus menghormati perjanjian itu dengan penuh itikad baik. Pasal
27 menegaskan, bahwa hukum nasional (internal law) tidak dapat dijadikan alasan
untuk membenarkan kegagalannya menaati perjanjian.
Seksi 2 tentang penerapan suatu perjanjian internasional
(application of treaties) terdiri dari pasal 28,29, dan 30. Pasal 28 menegaskan
tentang tidak berlaku surutnya suatu perjanjian internasional, kecuali para
pihak bermaksud menentukan sebaliknya atau tersimpul dari perjanjian itu
sendiri bahwa perjanjian itu berlaku surut. Pasal 29 menegaskan tentang ruang
lingkup wilayah dari berlakunya suatu perjanjian internasional, dengan menyatakan
bahwa suatu perjanjian internasional berlaku di dalam seluruh wilayah para
pihak, kecuali ditentuka sebaliknya oleh para pihak atau tersimpul dari
perjanjian itu sendiri.
Berkenaan dengan hubungan antara penjanjian dengan pihak
ketiga, terdiri dari lima pasal yaitu pasal 34 sampai dengan 38. Pasal 34
mengenai ketentuan umum bahwa suatu perjanjian internasional tadak menciptakan
hak maupun kewajiban bagi pihak ketiga tanpa persetujuan dari pihak ketiga yang
bersangkutan. Pasal 35 ayat 1 dan 2 maupun pasal 36 ayat 1 dan 2, masing -
masing mengatur tentang perjanjian yang menetapkan kewajiban bagi pihak ketiga
dan perjanjian yang menetapkan hak bagi pihak ketiga. Selanjutnya dalam pasal
37 diatur tentang penarikan kembali dan pengubahan atas kewajiban - kewajiban
maupun hak - hak yang ditetapkan bagi pihak ketiga tersebut. Sedangkan dalam
pasal 38 diatur tentang ketentuan dalam suatu perjanjian internasional yang
menjadi mengikat ihak ketiga melalui kebiasaan internasional.
Berkenaan dengan konsekuensi atau akibat dari ketidaksahan,
pengakhiran, atau penundaan dari berlakunya suatu perjanjian internasional,
yang semuanya terdiri dari 4 pasal yaitu dari pasal 69-72. Pasal 69 mengatur
tentang akibat hukum dari pengakhiran suatu perjanjian internasional, pasal 71
berkenaan dengan ketidaksahan suatu perjanjian internasional yang bertentangan
dengan kaidah hukum yang tergolong jus cogens dan pasal 72 mengatur tentang
akibat hukum dari penundaan berlakunya suatu perjanjian internasional.
Dan dalam UU No 24 tahun 2000 dalam pasal 1 ayat 1 yaitu
perjanjian internasional adalah perjanjian, dalam bentuk dan nama tertentu,
yangdiatur dalam hukum internasional yang dibuat secara tertulis serta
menimbulkan hak dan kewajiban di bidang hukum publik. Dan dalam pembuatan
perjanjian internasional juga harus memperhatikan kepentingan nasional dan
berdasarkan prinsip - prinsip persamaan kedudukan, saling menguntungkan, dan
memperhatikan baik hukum nasional maupun hukum internsional yang berlaku.dan
dalam pemnbuatan perjanjian internasional harus berdasarkan prinsip - prinsip
persamaan kedudukan, saling menguntungkan, dan memperhatikan, baik hukum
nasional maupun hukum internasional yang berlaku.
Di
dalam pasal 18 UU No 24 tahun 2000 dijelaskan bahwa pengakhiran
perjanjian internasional itu ada beberapa syarat yaitu :
a.
terdapat kesepakatan para pihak melalui prosedur yang ditetapkan dalam
perjanjian;
b.
tujuan perjanjian tersebut telah tercapai;
c.
terdapat perubahan mendasar yang menpengaruhi pelaksanaan perjanjian;
d.
salah satu pihak tidak melaksanakan atau melanggar ketentuan perjanjian;
e.
dibuat suatu perjanjian baru yang menggantikan perjanjian lama;
f.
muncul norma-norma baru dalam hukum internasional;
g.
objek perjanjian hilang;
h. terdapat hal-hal yang merugikan kepentingan nasional.
Pro-kontra
disekitar materi kesepakatan MoU antara GAM dengan RI, 15 Agustus di Helsinki
masih tetap bergulir. Ketidakharmonisan hubungan antara pemerintah dengan DPR
jelas tidak dapat disembunyikan. Fraksi PDIP bersikukuh menuduh bahwa
penandatanganan MoU tersebut telah melanggar konstitusi.[3]
Butir-butir
kesepakatan antara lain bendera dan hymne sebagai symbol cultural Aceh, partai
local, dan sistem pemerintahan Aceh diklaim sebagai bukti pelanggaran tersebut.
Tidak kalah agresif, Amin Rais menuding bahwa pemerintah yang melakukan
penandatanganan MoU di Helsinki, tanpa ada kesepakatan dengan DPR/MPR,
diibaratkan tindakan pukul dahulu urusan kemudian, sebagai pertanda kekalahan
pemerintah RI terhadap GAM.
Dalam
konteks penandatanganan MoU antara GAM dengan RI, sejak awal harus disasari
bahwa pemerintah dan DPR tidak pernah ada kesamaan persepsi. Keanekaragaman
persepsi telah menimbulkan implikasi dilematis, sejak setelah MoU tersebut
ditandatangani.
Kenyataan
bahwa penolakan penyelesaian damai secara internasional (internationalization)
telah ditentang oleh banyak pihak, terbukti tidak menyurutkan usaha Management
Crisis Center, Mantan Presiden Findlandia, Ahtisari pada akhirnya tidak dapat
ditolak. Namun, perlu kita ketahui mengapa internasionalisasi itu ditolak. Hal
ini terkait dalam Pemerintah Indonesia umumnya menganggap bahwa GAM itu bukan
subjek hukum internasional. Sehingga menjadi tidak pantas jika kedudukan GAM
dengan RI menjadi sejajar. Pandangan sepihak inilah yang menimbulkan dari sikap
ignorance, pemerintah terhadap hukum internasional. Padahal dalam perspektif
hukum internasional teori kedaulatan Negara telah berubah begitu substansial.
Kekuatan global termasuk Civil-Society, tidak lagi dapat dipisahkan secara
hitam putih sehingga factor lain itupun turut menentukan.
Misalnya
apakah masih relevan bilamana GAM dipandang sebagai separatis atau musuh
Negara. Tentu saja tidak demikian. Sebab, ketika nilai-nilai HAM diterima
sebagai prinsip yang dapat membimbing kehidupan bernegara dan bermasyarakat,
maka GAM mestinya harus diakui sebagai entitas politik yang diakui kedudukannya
sebagai subjek hukum internasional. Atas dasar pengakuan tersebut, jika tidak
pemerintah RI ketika itu menerima konsep GAM itu sebagai kelompok belligerensi
atau insergency. Sungguh tidaklah akan menurunkan martabat RI ataukah juga
mengangkat martabat GAM.[4]
Dari
praktek penandatanganan MoU antara GAM dengan RI di Helsinki tersebut, bukan
saja pandangan terhadap GAM itu bukan subjek HI tidak relevan, juga telah
menunjukkan bahwa pada penyelesaian sengketa dalam negeri melalui mekanisme
internasional kali ini cukup berhasil dan efektif. Efektif hasil perundingan
MoU Helsinki didukung oleh beberapa faktor. Pertama, faktor kemauan politik (Political
Will) dari Pimpinan Nasional. Meskipun dalam parktek prosedural negoisasi itu
diragukan mengingat perundingan tersebut tidak dilakukan oleh Presiden. Namun,
mengingat sistem pemerintahan Indonesia Presidensil, maka perbuatan Wakil
Presiden sebenarnya juga mewakili Presiden. Soal mengapa tidak Menteri Luar
Negeri sebagai pelaku yang menandatangani memang agak menyamping di luar
kelaziman, sekaligus merupakan ruang yang lemah. Sebab, mekanisme lobi
negosiasi termasuk delegasi untuk perjanjian bilateral secara umum, Menlu
memilki surat kepercayaan penuh dari kepala Negara Letters of Credence.
Bagaimana peran Menteri Hukum dan HAM, serta Menteri Komunikasi dan Informasi
memiliki mandat ini tentang praktek yang sungguh baru. Fakta, dimana Menteri
Hukum dan HAM tersebut dalam negoisasi ini mengundang ruang yang sensitif,
terutama bilamana ada pihak-pihak yang tidak mau patuh pada MoU tersebut. Tokoh
Yusuf Kalla dan Hamid Awaludin adalah legendaris era reformasi dalam memediasi
konflik di Poso dan Ambon adalah modal yang tidak disanksikan ketegasan mereka
untuk tetap mempertahankan NKRI sebagai sesuatu yang final adalah patut
dibanggakan.
Kedua,
kesadaran masyarakat Eropa yang terdiri AMM, Monitoring Mission mendorong
tokoh-tokoh GAM yang ada di Eropa turut peduli mendukung perdamaian. Tokoh
Hasan Tiro, Malik Mahmood, Dr. Dahlan Zaeni, dan tokoh lainnya tidak
menentangnya. Kedudukan Mantan Presiden Ahtisari, menanamkan peranan
kharismatik. Sehingga modal utama keberhasilan perundingan adalah terletak pada
full frast. Kepercayaan penuh diberikan untuk GAM maupun RI. Menumbuhkan modal
kepercayaan ini sungguh tidak mudah. Sehingga kesepakatan yang dibuat
itupun menjadi kuat, ketika AMM juga turut mengawasi proses negosiasi dan juga
realisasi teknis di lapangan.
Kondisi
psikologis lapangan, yakni Aceh yang baru saja didera bencana Tsunami merambat
masyarakat Eropa dan Barat menaruh perhatian dan iba hati. No more War, let the
People of Aceh line in Peace.
Ketiga,
masyarakat Aceh tanpa disanksikan i’tikad mereka akan kebutuhan hidup yang
damai. Secara seremonial berbagai acara telah diselenggarakan dalam menyambut
perdamaian abadi tanpa ragu dengan NKRI. Situasi ini sungguh menjadi lebih
kuat, ketika hampir seluruh masyarakat Indonesia Aceh penghuni NKRI abadi.
No more War, No Redemption, No Violance.
Dengan
demikian, penandatanganan MoU antar GAM dengan NKRI 15 Agustus di Helsinki
adalah fakta sejaah berakhirnya permusuhan kekerasan, pertumpahan darah dan
perang. Lebih berat beban setelah peristiwa penandatanganan MoU adalah
menerapkan, memelihara dan mempertahankannya kesepakatan-kesepakatan tersebut
dalam perilaku kehidupan sehari-hari yang lebih tertib, aman, sejahtera, adil
dan makmur dalam NKRI.
Penolakan
sebagaian elit politik nasional terhadap penandatanganan MoU Helsinki 15
Agustus 2005 antara GAM dengan tim NKRI mengisyaratkan adanya cacat hukum,
invaliditas perundingan tersebut. Meskipun, pada akhirnya DPR menyetujui MoU,
termasuk Keppres Presiden tentang Amnesti di abolisi atas mantan GAM, fraksi
PDIP bersikukuh bahwa penandatanganan MoU tersebut melanggar UUD 1945 dan
sejumlah undang-undang lainnya.
Tak
kalah seru, Amin Rais sebagai tokoh PAN di Muhammadiyah menuding bahwa
penandatanganan MoU tanpa persetujuan DPR/MPR manandakan kekalahan pemerintah
RI. Gerakan Nusantara Bangkit Bersatu, yang diusung oleh Abdurrahman Wahid ,
Try Sutrisno, Akbar Tanjung, Taufiq Kiemas, Norman Siregar dan Muhaemin
Iskandar juga menolak MoU tersebut. Argumentasi mereka selain MoU tersebut
melanggar UUD 1945 dan sejumlah UU yang lain, juga cenderung mengarah pada
lakernya negara berbentuk Federalistik. Ketentuan Bendera, Hymne, Partai Lokal,
dan Sistem pemerintahan adalah indikator yang dipandang menyimpang.
Terhadap
pandangan negatif elit-elit politik tersebut, tampaknya pemerintah, khususnya
Yusuf Kalla dengan Hamid Awaludin, MenKumdam tidaklah terlalu peduli. Bahkan
Presiden SBY berkali-kali menegaskan, bahwa penandatanganan MoU oleh wakil GAM
dan NKRI perlu dipegang teguh dalam rangka membangun Aceh.
Eksistensi
MoU yang sedang diimplementasikan tersebut, memang sudah final sejak
terjadinya penadatanganan. Namun, suara-suara elit politik yang tidak setuju
akan tetap berpengaruh negatif dalam proses realisasinya. Tulisan ini
dikemukakan dalam upaya menjelaskan alasan mengapa validitas MoU dipertanyakan.
Kemudian berikutnya, bagaimana bangsa Indonesia seharusnya menyikapi hsil-hasil
perundingan tersebut secara gentlement agreement dan penuh kearifan.
Nota
kesepahaman, Memorandum of Understanding (MoU) merupakan bagian dari konsep
hukum perjanjian internasional, Law of Treaty (LT). dalam proses pembuatannya,
harus mematuhi kaidah yang bersumber pada Viena Convention Law of Treaty, 1967
dari Komisi Hukum Internasional (International Law Commission).
Prinsip-prinsip
utama yang biasanya harus diterapkan adalah, kehadiran kedua belah pihak
sebagai subjek hukum internasional. Dilakukan oleh Kepala Negara, Menteri Luar
Negeri, Duta Besar atau Konsul Jenderal, dan Wakil-wakil diplomatik lainnya.
Mereka ini memiliki kewenangan penuh Full Power Authority oleh
karena memliki kepercayaan utuh menyalurkan amanah kenegaraan (Letter of
Credence). Kewenangan mereka anatar lain, negosiasi, authenticacy, accesi,
adapsi, penandatanganan dan ratifikasi. Konsekuensi penandatanganan yang
dilakukan mereka adalah mengikat (so be bound), dan menimbulkan tanggung jawab
hukum pula.
Bagaimana
kaitannya dengan kasus penandatanganan MoU antara GAM dengan NKRI. Secara
jujur, sejak inisiatif perundingan yang oleh Presiden Gus Dur tahun 2001 di
Davos, Swedia, dan dilanjutkan dengan DOHA di Tokyo 2003, pemerintah khususnya
Departemen Luar Negeri bersikap ambigu atau tidak tegas. Sikap ambigu inilah
yang menyisakan problematika lanjut atas lahirnya kesepakatan-kesepakatan MoU
Helsinki. Pandangan yang menempatkan GAM bukan subjek hukum internasional, dan
lebih mengakui GAM sebagai kelompok separatis. Kelompok separatis dalam
khazanah ilmu politik adalah musuh negara berdaulat yang wajib dihancurkan.
Dibalik pemikiran inilah penggunaan kekerasan mendapatkan pembenaran. Tentu
saja, perilaku negeri seperti itu, bertentangan dengan nilai-nilai HAM.[5]
Dapat
dimaklumi mengapa pemerintah tidak setuju melaksanakan perjanjian dengan
perangkat internasional. GAM buka sebjek HI, melainkan kelompok masyarakat
sebangsa. Sepertinya, jika GAM dilakukan sebagai subjek HI, seakan-akan
pemerintah Indonesia akan jatuh martabatnya. Dan dipihak lain GAM meningkat
derajatnya. Atas dasar pemikiran inilah, sikap tidak tegas pemerintah Indonesia
terhadap GAM dengan jelas terbaca. Keengganan sebagai masyarakat Indonesia
untuk menyelesaikan kasus GAM dan NKRI juga didasarkan oleh persepsi tersebut.
Menurut
hukum internasional dalam keadaan tertentu pihak yang berperang/pemberontak
dapat memperoleh kedudukan dan hak sebagai pihak yang bersengketa. Keadaan
tertentu itu ditentukan oleh pengakuan pihak ketiga bagi pemberontak/pihak yang
berperang.
BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
MoU Helsinki memuat beberapa item kesepakatan, di
antaranya bidang penyelenggaraan pemerintahan di Aceh, ekonomi, politik, HAM,
peraturan perundang-undangan, amnesti, dan reintegrasi.
Untuk
menyegarkan ingatan akan nota kesepahaman bersama antara RI dan GAM itu,
wartawan mengutip kembali beberapa butir kesepakatan yang dituangkan dalam MoU
Helsinki, seperti peraturan perundang-undangan.
Dalam
poin ini, kedua belah pihak sepakat mengakui adanya pemisahan kekuasaan antara
badan-badan legislatif, eksekutif dan yudikatif di Aceh. Selain itu, Legislatif
Aceh akan merumuskan kembali ketentuan hukum bagi Aceh berdasarkan
prinsip-prinsip universal hak asasi manusia sebagaimana tercantum dalam Kovenan
Internasional Perserikatan Bangsa-bangsa mengenai Hak-hak Sipil dan Politik dan
mengenai Hak-hak Ekonomi, Sosial dan Budaya. Usai Memorandum of
Understanding (MoU) Helsinki ditandangani pada 15 Agustus 2005,
sayap militer GAM dibubarkan. Kemudian dibentuk KPA (Komite
Peralihan Aceh) sebagai wadah transisi mantan kombatan GAM ke masyarakat
sipil biasa. Sejak pertamakali dibentuk pada 2005 hingga sekarang, Muzakkir
manaf dia menjabat Ketua KPA.Muzakir juga sekaligus menjabat Ketua Umum
Partai Aceh, sejak 2007 hingga sekarang.
Nota
kesepahaman, Memorandum of Understanding (MoU) merupakan bagian dari konsep
hukum perjanjian internasional, Law of Treaty (LT). dalam proses pembuatannya,
harus mematuhi kaidah yang bersumber pada Viena Convention Law of Treaty, 1967
dari Komisi Hukum Internasional (International Law Commission), Jadi KPA
adalah kelompok saparatis peralihan yang
berperan sebagai pemegan terwujudnya Mou
Helsinki segaimana yang telah disepakati pada tahu 2005 lalu.
DAFTAR PUSTAKA
Chairul Anwar SH;1989; Hukum Internasional Pengantar Hukum Bangsa -
Bangsa; Djambatan ; Jakarta.
I Wayan Parthiana SH.MH; 2005; Perjanjian Internasional Bagian I1; Mandar
Maju; Bandung
Jawahir Thontowi SH., Ph.D; Direktur Center for Local Law
Development Studies (CLDS), dan Dosen Universitas Islam Indonesia
Yogyakarta.
www.http.google.artikel pembentukan kpa.or.co.id
www.http.blog.mouhelsinki.or.google,co.id
[3] .
Chairul Anwar SH;1989; Hukum
Internasional Pengantar Hukum Bangsa - Bangsa; Djambatan ; Jakarta.
[5] . Jawahir Thontowi SH., Ph.D; Direktur Center for Local Law
Development Studies (CLDS), dan Dosen Universitas Islam Indonesia
Yogyakarta.
0 Response to "Hubungan Mou dengan KPA"
Post a Comment