KAJIAN QANUN SYARIA’T ISLAM
Oleh:
NAMA
:Rusli
Maulidar
Safriana
Ruhamah
DOSPEN :H.T Amrullah
.
SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM ALMUSLIM
BIREUEN PROVINSI ACEH
TAHUN 2013
BAB
I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Nanggroe Aceh Darussalam di kenal dengan sebutan seramoe mekkah
(serambi mekkah). Nafas islam begitu menyatu dalam adat budaya orang Aceh
sehingga aktifitas budaya kerap berazaskan islam. Contoh paling dekat adalah pembuatan
rencong sebagai senjata tradisional di ilhami dari Bismillah. Seni tari-tarian
seudati konon katanya berasal dari kata syahadatain, dua kata untuk meresmikan
diri menjadi pemeluk islam.
Saat syariat islam secara kaffah dideklarasikan pada tahun 2001, pro
dan kontra terus bermunculan sampai sekarang. Keterlibatan pemerintah dituding
ada unsur politik untuk memblokir bantuan Negara non muslim terhadap kekuatan
GAM ( gerakan Aceh merdeka ). Nada-nada sinis kerap terdengar seperti “ pue
payah awak jawa jak peu islam tanyoe, ka dari jameun uroe jeh tanyoe ka islam”
(kenapa harus pemerintah pusat / jawa yang mengislamkan orang Aceh, sedari
zaman dulu Aceh adalah islam).
Ciri khas budaya dan sikap kontra yang diperagaka melahirkan
pertanyaan sejak kapan syariat islam sudah berlaku di NAD? Lazimnya bicara
sejarah maka kita akan mengkaji 3 ( tiga) dimensi waktu keberadaan hokum islam
di bumi serambi mekkah ini. Masa dulu yaitu pada masa orde lama dan orde baru.
Sekarang ketika pemerintah melibatkan diri.
B.
Rumusan
Masalah
1.
Bagaimana subtansi
pokok Uu No 44 tahun 1999 ?
2.
Bagaimana otonomi
khusus dalam UU no 18 tahun 2001 ?
3.
Apa pengertian Qanun ?
4.
Bagaimana kedudukan dan
fungsi qanun dalam pelaksanaan otonomi khusus ?
5.
Bagaimana kedudukan
Qanun dalam pelaksanaan Syariat Islam ?
BAB II
PEMBAHASAN
KAJIAN QANUN SYARIAT
ISLAM
A. Substansi Pokok Undang-Undang Nomor 44Tahun 1999
DenganUU
Nomor 44 Tahun 1999 ini, keistimewaan yang selalu disebut-sebut sebagai
ciriutama dan telah menjadi “identitas” Aceh sejak tahun 1959 itu diharapkan
akanmenjadi lebih menyeluruh di tengah masyarakat. Undang-Undang ini hanya
mengaturhal-hal pokok, dan setelah itu memberi kebebasan kepada Daerah untuk
mengaturpelaksanaannya melalui peraturan daerah dan keterlibatan ulama dalam
pembuatankebijakan daerah, agar kebijakan daerah lebih akomodatif terhadap
aspirasimasyarakat Aceh.
Adapun
hal-hal pokok yang ditetapkan dalam UU Nomor 44 Tahun 1999
untukmenyelenggarakan keistimewaan yang diberikan kepada Aceh adalah
sebagaiberikut: Dalam pasal 1 angka 8 disebutkan bahwa “Keistimewaan adalah
kewenangankhusus untuk menyelenggarakan kehidupan beragama, adat, pendidikan
dan peranulama dalam penetapan kebijakan daerah.” Pasal 1 angka 9 berbunyi,”
KebijakanDaerah adalah Peraturan Daerah atau Keputusan Gubernur yang bersifat
mengaturdan mengikat dalam penyelenggaraan keistimewaan”. Pasal 1 angka 10,”
Syari’atIslam adalah tuntunan ajaran Islam dalam semua aspek kehidupan;” Pasal
1angka 11, “Adat adalah aturan atau perbuatan yang bersendikan Syari’at Islamyang
lazim dituruti, dihormati, dan dimuliakan sejak dahulu yang dijadikansebagai
landasan hidup.”
Mengenai
keistimewaan dibidang kehidupan beragama, diatur dalam Pasal 4 ayat (1) dan(2),
bahwa penyelenggaraan kehidupan beragama didaerah diwujudkan dalam bentukpelaksanaan
Syari’at Islam bagi pemeluknya dalam bermasyarakat ; dengan tetapmenjaga
kerukunan hidup antar umat beragama. Sedang cakupan Syari’at Islamseperti
dijelaskan dalam Pasal 1 angka 10 di atas, telah didefinisikan secararelative
lengkap, yaitu mencakup seluruh ajarannya (tuntunan ajaran Islamdalam semua
aspek kehidupan). Jadi Undang-Undang ini telah memberikanpemahaman yang kaffah
kepada Syari’at Islam, mencakup ibadat, mu’amalat,jinayat, munakahat bahkan
lebih dari itu mencakup ‘aqidah dan akhlak sertaajaran dan tuntunan diberbagai
bidang lainya.
Sedang
mengenai kehidupan adat, Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam diberi izin
melestarikandan membentuk lembaga adat di tingkat provinsi, kabupaten/kota,
kecamatan,kemukiman, dan gampong (desa) yang seperti telah dikutip di atas tadi
harusdijiwai serta sesuai dengan ajaran Islam.
Sedang keistimewaan di bidang pendidikan,
walaupun urusan pendidikan telah diserahkankepada daerah dalam rangka
pelaksanaan otonomi daerah, namun denganundang-undang ini, Daerah Istimewa Aceh
diberikan kewenangan khusus untukmenata pendidikan, mengembangkan dan mengatur
berbagai jenis dan jenjang pendidikanserta kurikulumnya dengan menambah materi
muatan lokal yang berbasis kompetensiagar sesuai dan mendukung pelaksanaan Syari’at
Islam. Dalam hubungan ini tentuperlu diingat dan dijaga bahwa penetapan
kebijakan di bidang pendidikan iniharus tetap sejalan dengan sistem pendidikan
nasional.
Dengan demikian, aturan tentang penyelenggaraan keistimewaan dalam bidang kehidupanadat dan pendidikan, kelihatannya hanyalah untuk lebih memudahkan danmengukuhkan pelaksanaan Syari’at Islam dalam kehidupan masyarakat muslim diProvinsi Nanggroe Aceh Darussalam.
Dengan demikian, aturan tentang penyelenggaraan keistimewaan dalam bidang kehidupanadat dan pendidikan, kelihatannya hanyalah untuk lebih memudahkan danmengukuhkan pelaksanaan Syari’at Islam dalam kehidupan masyarakat muslim diProvinsi Nanggroe Aceh Darussalam.
Setelah
ini pelaksanaan Syari’at Islam secara formal diperkuat dan dipertegas lagimelalui
Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2001, tentang Otonomi Khusus bagi ProvinsiDaerah
Istimewa Aceh sebagai Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam.[1]
B. Otonomi Khusus dalam Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2001
Didalam konsideran “Menimbang “ UU
No. 18 Tahun 2001 huruf”d” antara laindisebutkan bahwa ketentuan dalam UU No.22
Tahun 1999 dan UU No. 25 Tahun 1999“… belum menampung sepenuhnya hak asal usul
dan keistimewaan Provinsi DaerahIstimewa Aceh.” Sedang dalam huruf “e”
disebutkan “bahwa pelaksanaanUndang-Undang Nomor 44 Tahun 1999 … perlu
diselaraskan dalam penyelenggaraanpemerintahan di Provinsi Daerah Istimewa Aceh
sebagai Provinsi Nanggroe AcehDarussalam.” Dari kutipan ini dapat dipahami
bahwa otonomi khusus adalahotonomi yang diberikan sebagai tambahan atas otonomi
yang sudah ada dan jugapenyempurnaan atas penyelenggaraan keistimewaan yang
sudah diberikansebelumnya. Dalam Pasal 3 Undang-Undang ini ditemukan rumusan :
(1)“Kewenangan Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam yang diatur dalam
Undang-Undangini adalah kewenangan otonomi khusus”. (2) “Kewenangan Provinsi
Nanggroe AcehDarussalam selain yang diatur pada ayat (1) tetap berlaku sesuai
denganperaturan perundang-undangan”. Dalam kaitan ini, sekiranya diingat bahwayang
tidak diotonomikan oleh UU Nomor 22 Tahun 1999 pada pokoknya hanyalah limabuah
urusan yaitu : hukum, agama, fiskal, hubungan luar negeri, dan pertahanan,maka
otonomi khusus seyogyanya dipahami sebagai pemberian paling kurangsebagian
kewenangan dalam lima urusan yang belum diotonomikan oleh UU No.22Tahun 1999
sebelumnya. Di dalam “Penjelasan Umum” UU No.18/01 disebutkanbahwa “Hal
mendasar dari Undang-Undang ini adalah pemberian kesempatan yanglebih luas
untuk mengatur dan mengurus rumah tangga sendiri termasuksumber-sumber ekonomi,
menggali sumber daya alam dan sumber daya manusia, …danmengaplikasikan Syariat
Islam dalam kehidupan bermasyarakat.” Dalam alinialainnya disebutkan
“Kewenangan yang berkaitan dengan bidang pertahanannegara merupakan kewenangan
Pemerintah. Dalam hal pelaksanaan kebijakan tataruang pertahanan untuk
kepentingan pertahanan Negara Kesatuan Republik Indonesia di wilayah Provinsi
Nanggroe Aceh Darussalam yang tidak bersifat rahasia,Pemerintah berkoordinasi
dengan Gubernur Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam.”[2]
Tetapi
rumusan tentang masalah yang diserahkan melalui otonomi khusus kepada Acehtidak
disebutkan secara jelas di dalam UU No. 18 Tahun 2001 ini. Memang
didalamundang-undang ini ada beberapa hal yang secara jalas dinyatakan berbeda
denganperaturan sebelumnya, seperti besaran nisbah “dana perimbangan” dan
adanya “penerimaan Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam dalam rangka otonomi
khusus” sertajumlah anggota DPR Provinsi “maksimal 25 % dari jumlah yang
ditetapkanUndang-Undang”. Begitu juga ada beberapa masalah yang oleh
Undang-Undang ini,secara jelas diserahkan (didelegasikan) kepada Qanun untuk
mengaturnya. Sebagianmasalah ini hanya merupakan tambahan atas otonomi dalam
bidang yang sebelumnyasudah merupakan otonomi daerah, sedang sebagian lagi
merupakan hal baru,merupakan salah satu dari lima urusan yang menurut UU No. 22
Tahun 1999 tidakdiotonomikan (misalnya hukum dan agama). Lebih dari itu di
dalam UU No. 18Tahun 2001 ada 15 hal yang secara jelas dinyatakan “perlu diatur
dalam qanun”yang spektrumnya relatif luas, meliputi pemerintahan, keuangan,
DPRD, pemilihankepala daerah, hak pemilih di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam,
kepolisianserta peradilan. Tetapi semua ini belumlah menjelaskan secara tegas
cakupanotonomi khusus tersebut dan juga batas yang menjadi kewenangan
pemerintah danpemerintah Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam.[3]
Dengandemikian, karena luasnya
jangkauan bidang yang didelegasikan kepada (disuruhatau dengan) qanun disatu
pihak dan tidak adanya rincian yang jelas dan tegastentang masalah yang
diotonomi-khususkan, maka peluang untuk terjadinyaperbedaan tafsir yang relatif
luas dan bersegi banyak tentang kandungan dancakupan otonomi khusus serta
“kekuatan hukum”dari qanun dalam hirarkiperundangan di Indonesia, kelihatanya
sangat terbuka lebar dan tidak akan dapatdihindari.
C. Pengertian Qanun
Istilah qanun sudah digunakan sejak
lama sekali dalam bahasa atau budaya Melayu. Kitab“Undang-Undang Melaka” yang
disusun pada abad ke limabelas atau enambelas Masehi telah mengunakan istilah
ini.1 Menurut Liaw Yock Fangistilah ini dalam budaya Melayu digunakan semakna
dengan adat dan biasanya dipakaiketika ingin membedakan antara hukum yang
tertera dalam adat dengan hukum yangtertera dalam kitab fiqih. (Liaw Yock Fang
1975:178). Kuat dugaan istilah inimasuk kedalam budaya melayu dari bahasa Arab
karena mulai digunakan bersamaandengan kehadiaran agama Islam dan pengunaan
bahasa Arab Melayu di Nusantara.2Bermanfaat disebutkan, dalam literatur Barat
pun istilah ini sudah digunakansejak lama, diantaranya merujuk kepada hukum
kristen (Canon Law) yang sudah adasejak sebelum zaman Islam.
Dalam bahasa Aceh istilah ini
relatif sangat populer dan tetap digunakan di tengahmasyarakat, karena salah
satu pepatah adat yang menjelaskan hubungan adat dansyari’at yang tetap hidup
dan bahkan sangat sering dikutip mengunakan istilahini.3Dalam literatur Melayu
Aceh pun qanun sudah digunakan sejak lama, dan diartikansebagai aturan yang
berasal dari hukum Islam yang telah menjadi adat. Salahsatu naskah tersebut
berjudul Qanun Syara ‘Kerajaan Aceh yang ditulis oleh Teungku di Mulek pada
tahun 1257 H , atas perintah Sultan Alauddin Mansur Syahyang wafat pada tahun
1870 M.Naskah pendek ini (hanya beberapa halaman) berisiberbagai hal di bidang
hukum tatanegara, pembagian kekuasaan, berbagai badanperadilan dan kewenangan
mengadili,fungsi kepolisian dan kejaksaan serta aturanprotokoler dalam berbagai
upacara kenegaraan.4 Dapat disimpulkan dalamarti sempit, qanun merupakan suatu
aturan yang dipertahankan dan diperlakukanoleh seorang sultan dalam wilayah
kekuasaanya yang bersumber pada hukum Islam,sedangkan dalam arti luas, qanun
sama dengan istilah hukum atau adat. Didalamperkembangan nya boleh juga
disebutkan bahwa qanun merupakan suatu istilahuntuk menjelaskan aturan yang
berlaku di tengah masyarakat yang merupakanpenyesuaian dengan kondisi setempat
atau penjelasan lebih lanjut atas ketentuandidalam fiqih yang ditetapkan oleh
Sultan.[4]
Sekarang ini Qanun digunakan sebagai
istilah untuk “Peraturan Daerah Plus” atau lebihtepatnya Peraturan Daerah yang
menjadi peraturan pelaksaaan langsung untukundang-undang (dalam rangka otonomi
khusus di Provinsi Nanggroe AcehDarussalam). Hal ini ditegaskan dalam Pasal 1
angka 8 “Ketentuan Umum” dalamUndang-Undang Nomor 18 Tahun 2001 yang telah
dikutip di atas.
Sejak dimulainya pemnyelenggaraan
otonomi khusus berdasarkan UU No. 18/01, sudahbanyak qanun yang disahkan.
Menurut notulen di Sekretariat DPRD ProvinsiNanggroe Aceh Darussalam, sampai
Agustus 2004 telah dihasilkan 49 qanun yangmengatur berbagai materi untuk
merealisasikan kewenangan khusus yang diserahkanPemerintah kepada Pemerintah
Provinsi Aceh termasuk pelaksanaan Syari’at Islam.Untuk yang terakhir ini di bawah
akan diuraikan lebih lanjut.
D. Kedudukan dan Fungsi Qanun dalam Pelaksanaan Otonomi Khusus
Qanun dibentuk oleh DPRD Provinsi
Nanggroe Aceh Darussalam dan disahkan oleh KepalaDaerah setelah mendapatkan
persetujuan bersama. Ketentuan ini mengikutisemangat rumusan Pasal 20 ayat (1)
dan (2) UUD 1945 amandemen pertama yangberisi : Dewan Perwakilan Rakyat
memegang kekuasaan membentuk Undang-Undang.Setiap RUU dibahas oleh DPR dan
Presiden untuk mendapat persetujuan bersama.Dengan demikian qanun merupakan
peraturan perundang-undangan di daerah yangdibuat untuk menyelenggarakan
otonomi khusus bagi Provinsi Nanggroe AcehDarussalam dan karena itu merupakan
bagian yang tak terpisahkan dari kesatuansistem perundang-undangan nasional.
Dalam kaitan ini, kedudukan
peraturan daerah dalam tata urutan sistemperundang-undangan Republik Indonesia
telah diatur dalam Ketetapan MPR NomorIII/MPR/2000 tentang Tata Urutan
Peraturan Perundang-undangan Negara Republik Indonesia sebagai berikut:
1. UUD 1945
2. Ketetapan MPR
3. Undang-undang
4. Peraturan Pemerintah Penganti
Undang-undang
5. Peraturan Pemerintah
6. Keputusan Presiden
7. Peraturan Daerah
Tata urutan peraturan
perundang-undangan menurut TAP MPR diatas, dengan sendirinya menempatkan qanun
sebagai subsistem dalam tataperaturan perundang-undangan nasional, bahkan
sistem hukum nasional padaumumnya. Karena itu qanun sebagai peraturan daerah
“plus”-tidak bolehbertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang lebih
tinggi tingkatnya.(Bagir Manan, 1995;9) Tetapi persoalan yang sekarang yang
kita hadapi, UU No.18 Tahun 2001 Pasal 31 ayat (2) yang telah dikutip diatas
tadi, menjadikanqanun tidak sama persis dengan peraturan daerah. Walaupun dari
satu segi qanundisebutkan sebagai peraturan daerah, tetapi dia diberi kekuatan
khusus yaitumerupakan peraturan pelaksanaan langsung untuk undang-undang dalam
urusanotonomi khusus yang menjadi kewenangan Provinsi Nanggroe Aceh
Darussalam.Dengan kata lain qanun merupakan peraturan pelaksanaan yang secara
hirarkisberada langsung dibawah undang-undang, tidak diselingi oleh
peraturanperundangan lainnya. Mengikuti ketentuan ini, maka barangkali tidak
adakeraguan bahwa untuk pelaksanaan otonomi khusus yang menjadi
kewenanganProvinsi, qanun setingkat dengan peraturan pemerintah.
Jalan pikiran atau kesimpulan di atas menjadi penting karena didalam “PenjelasanUmum” UU No. 18 Tahun 2001 disebutkan bahwa, “Qanun Provinsi Nanggroe AcehDarussalam adalah Peraturan Daerah Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam, yangdapat mengesampingkan peraturan Perundang-undangan yang lain dengan mengikutiasas lex specialis deregat lex generalis dan Mahkamah Agung berwenangmelakukan uji materiel terhadap Qanun“. Dari bunyi rumusan ini munculpertanyaan, ketentuan atau peraturan apa yang dapat disingkirkan oleh QanunProvinsi Nanggroe Aceh Darussalam. Untuk menjawab ini, sekiranya jalan pikirandiatas tadi diterima maka qanun dapat menyingkirkan peraturan pemerintah dankeputusan presiden sekiranya hal itu menyangkut otonomi khusus yang menjadikewenangan Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam.
Jalan pikiran atau kesimpulan di atas menjadi penting karena didalam “PenjelasanUmum” UU No. 18 Tahun 2001 disebutkan bahwa, “Qanun Provinsi Nanggroe AcehDarussalam adalah Peraturan Daerah Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam, yangdapat mengesampingkan peraturan Perundang-undangan yang lain dengan mengikutiasas lex specialis deregat lex generalis dan Mahkamah Agung berwenangmelakukan uji materiel terhadap Qanun“. Dari bunyi rumusan ini munculpertanyaan, ketentuan atau peraturan apa yang dapat disingkirkan oleh QanunProvinsi Nanggroe Aceh Darussalam. Untuk menjawab ini, sekiranya jalan pikirandiatas tadi diterima maka qanun dapat menyingkirkan peraturan pemerintah dankeputusan presiden sekiranya hal itu menyangkut otonomi khusus yang menjadikewenangan Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam.
Selanjutnya dalam Pasal 33
disebutkan, “Perubahan atas undang-undang ini dapat dilakukandengan
memperhatikan pertimbangan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Provinsi Nanggroe
Aceh Darussalam.” Ketentuan ini secara tidak langsung menyatakanbahwa
undang-undang yang tidak sejalan dengan UU No. 18 Tahun 2001 yang datangsesudahnya,
tidak secara serta merta berlaku di Provinsi Nanggroe AcehDarussalam.
Undang-undang tersebut baru akan berlaku setelah mendapatkanpertimbangan dari
DPRD Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam. Jalan pikiran inisecara tidak langsung
menyatakan bahwa Qanun Provinsi Nanggroe Aceh Darussalamdapat mengenyampingkan
undang-undang baru (yang datang belakangan) yang tidaksejalan dengan UU No.
18/01.
Dari uraian diatas dapat dipahami
bahwa Qanun Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam berfungsi sebagai berikut:
a. Menyelenggarakan peraturan
hal-hal yang belum jelas yang olehundang-undang otonomi khusus diminta
(diserahkan) kepada qanun untukmengaturnya.
b. Menyelenggarakan pengaturan
hal-hal yang tidak bertentangan denganperaturan perundang-undangan yang lebih
tinggi yaitu undang-undang.
c. Menyelenggarakan pengaturan
hal-hal yang belum diatur oleh peraturanperundang-undangan yang lebih tinggi
yaitu undang-undang.
Menurut penulis kedudukan qanun
dalam hubungan dengan penyelenggaraan otonomi khusus bagiProvinsi Nanggroe Aceh
Darussalam perlu dikaji dan dijelaskan oleh paraakademisi dan praktisi secara
jernih dan tanpa prasangka, sehingga posisinyadan kewenanganya yang di atas
tadi dikatakan setingkat dengan peraturanpemerintah dan bahkan undang-undang,
dapat dipahami dan diterima oleh parapembuat kebijakan dan pencari keadilan.
Melalui pengkajian dan penjelasan
ini nanti, para pembuat kebijakan dan pencari keadilan dan bahkan para pengamat
hukum secara umum akan secara mudah dapat memahami bahwa qanun dalam rangka
pelaksanaan otonomi khusus bagi Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam dapat
mengesampingkan peraturan lain yang lebihtinggi, yang dalam keadaan biasa tidak
dapat disingkirkan oleh peraturandaerah. Akan tetapi sebagai konsekuensi
diberikannya otonomi khusus kepadaProvinsi Nanggroe Aceh Darussalam maka produk
legislatif daerah ini dapatsaja menyimpang dari produk eksekutif di tingkat
pusat. Misalnya suatu materi qanun yang telah ditetapkan secara sah ternyata
bertentangan isinya dengan materi Keputusan Presiden (apalagi hanya dengan
keputusan menteri) yangbersinggungan dengan otonomi khusus, maka Mahkamah Agung
tentu harus menyatakanbahwa qanun itulah yang berlaku untuk Provinsi Nanggroe
Aceh Darussalam,sedangakan Keputusan Presiden atau Peraturan Menteri berlaku secara
umum diseluruh Indonesia (Jimly Asshiddiqie, 2000:29)
Didalam praktek, pembuatan dan
pengesahan qanun, terutama dari segi materil atausubtansi masalah yang diatur,
tidaklah berjalan mulus dalam arti mungkin sekaliakan terjadi tolak tarik
karena adanya perbedaan kepentingan antara berbagaiunsur yang ada di dalam
masyarakat. Perbedaan mana harus diakomodir dandimusyawarahkan sedemikian rupa
sehingga tidak menimbulkan gejolak ataukesulitan yang tidak perlu. Sebagai
contoh, qanun pertama yang dibuat oleh DPRDProvinsi Nanggroe Aceh Darussalam
untuk implementasi otonomi khusus adalahqanun di bidang keuangan dan
perimbangan bagi hasil minyak dan gas bumi.Pengesahan qanun ini telah
mengundang kritik terutama dari masyarakat Kabupatenpenghasil gas bumi yakni
Kabupaten Aceh Utara. Mereka mengatakan substansiqanun tersebut tidak lebih
sebagai perpindahan sentralisasi dari Jakarta ke Ibukota Provinsi sebab
pembagian hasil gas bumi tidak memenuhi keinginan darimasyarakat yang
bersangkutan sehingga mereka menuntut DPRD Kabupaten dan BupatiAceh Utara untuk
tidak menerima qanun tentang pembagian keuangan tersebut(Humam Hamid,2004 : 8-9.)[5]
E. Kedudukan Qanun dalam PelaksanaanSyari’at Islam
Pelaksanaan Syari’at Islam sebagai inti
dari keistimewaan Aceh, yang sebelumnya hanyamerupakan slogan, mendapat
legalitas dan landasan formal dalam Undang-UndangNomor 44 Tahun 1999. Dalam
Undang-undang ini pelaksanaan syari’at Islamsebagai keistimewaan didang agama akan
didukung oleh pelaksanaan keistimewaandi bidang adat dan pendidikan.
Pelaksanaan syari’at Islam ini diperkuat kembalidi dalam Undang Undang No. 18
Tahun 2001. Di dalam UU yang terakhir ini adatiga bab tentang penegakan hukum
yaitu Bab X tentang Kepolisian Daerah, Bab XItentang Kejaksaan Provinsi
Nanggroe Aceh Darussalam dan Bab XII tentangMahkamah Syar’iyah Provinsi
Nanggroe Aceh Darussalam. Mengenai Kepolisian,undang-undang menyatakan bahwa
tugas fungsional kepolisian di bidang ketertibandan ketenteraman masyarakat di
Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam diatur lebihlanjut dengan Qanun Provinsi
Nanggroe Aceh Darussalam (Pasal 22 ayat 4). Sedangmengenai Kejaksaan tidak ada
perintah untuk mengaturnya dengan qanun. MengenaiMahkamah Syari’ah, karena
merupakan pusat perhatian penulis kutipkan secaralengkap: Pasal 25,(1)
Peradilan Syariat Islam di Provinsi Nanggroe AcehDarussalam sebagai bagian dari
sistem peradilan nasional dilakukan olehMahkamah Sya’riah yang bebas dari
pengaruh pihak manapun. (2) KewenanganMahkamah Sya’riah sebagaimana dimaksud
pada ayat (1), didasarkan atas SyariatIslam dalam sistem hukum nasional, yang
diatur lebih lanjut dengan QanunProvinsi Nanggroe Aceh Darussalam (3)
Kewenangan sebagaimana dimaksud pada ayat(2) diberlakukan bagi pemeluk agama
Islam. Pasal 26 (1) MahkamahSyari’ah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 25 ayat
(1) terdiri atas MahkamahSyari’ah Kabupaten/Sagoe dan Kota/Banda atau Provinsi
sebagai pengadilantingkat pertama, dan Mahkamah Syar’iyah Provinsi sebagai
pengadilan tingkatbanding di ibukota Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam. (2)
Mahkamah Syar’iyahuntuk pengadilan tingkat kasasi dilakukan pada Mahkamah Agung
Republik Indonesia. (3) Hakim Mahkamah Syar’iyah diangkat dan diberhentikan
oleh Presiden sebagaiKepala Negara atas usul Menteri Kehakiman setelah mendapat
pertimbanganGubernur Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam dan Ketua Mahkamah
Agung.
Seperti telah disinggung di atas,
urusan yang menurut UU No.22/99 tidak diotonomikankepada daerah, tetapi oleh UU
No. 18 Tahun 2001 dijadikan sebagai otonomikhusus adalah peradilan Syari’at
Islam yang dilaksanakan oleh MahkamahSyar’iyah. Melihat redaksi dalam dua pasal
di atas, dan juga sistematikanyayang terletak sesudah kepolisian dan kejaksaan,
maka dapat dikatakan bahwapelaksanaan Syari’at Islam di Aceh menurut UU
No.18/01 ini termasuk ke dalambidang (urusan) hukum, bukan bidang (urusan)
agama. Dengan demikian pelaksanaanSyari’at Islam sebagai bagian dari otonomi
khusus di Aceh dapat dikatakanberinduk kepada dua bidang, ada yang ke agama berdasarkan
Undang-Undang Nomor44 Tahun 1999 dan ada yang ke hukum berdasarkan
Undang-Undang Nomor 18 Tahun2001. Berhubung kajian ini berkaitan dengan qanun
(UU No.18/2001), maka uraiandi bawah difokuskan pada bidang hukum, bukan bidang
agama.
Karena tidak jelas apakah Mahkamah
Syar’iyah merupakan lembaga baru atau pengubahanatas lembaga yang sudah ada,
dan apakah merupakan lembaga daerah (otonomikhusus) ataukah lembaga Pusat
(masuk ke Departemen Kehakiman dan DepartemenAgama atau ke Mahkamah Agung) maka
sebuah team yang mewakili Aceh, sejak awal tahun2002 aktif berkonsultasi dengan
Pemerintah, dalam hal ini Mahkamah Agung,Departemen Kehakiman dan HAM,
Departemen Agama, Kejaksaan Agung, KepolisianRepublik Indonesia dan Departemen
Dalam Negeri. Rangkaian konsultasi ini pada akhirnya memberikan rekomendasi
agar pada tingkat pusat dibentuk sebuah teamantar departemen di bawah pimpinan
Departemen Dalam Negeri, yang bertugas menyiapkan segala sesuatu yang berkaitan
dengan pembentukan dan peresmian Mahkamah Syar’iyah di Aceh. Team ini dibentuk
oleh Menteri Dalam Negeridiketuai oleh Sekretaris Jenderal dalam hal ini Ibu
Siti Nurbaya dan beranggotakan utusan dari departemen dan lembaga terkait,
termasuk utusan Pemerintah Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam. Salah satu tugas
yang dianggap mendesak adalah menyiapkan Rancangan Peraturan Pemerintah tentang
Peradilan Syari’at Islam atau Mahkamah Syar’iyah sebagai bagian dari
pelaksanaan otonomi khusus. Di pihak lain, sementara Team Pusat bekerja, dan
konsultasi antara Pemerintah Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam dan Pemerintah
berlangsung,Pemerintah Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam juga bekerja
menyiapkan rancangan Qanun tentang Peradilan Syari’at Islam, (terutama sekali
untuk menetapkan kewenangannya), yang menurut undang-undang diserahkan kepada
qanun.
Pada bulan Oktober 2002 disahkan
Qanun Nomor 10 tahun 2002 tentang Peradilan Syari’at Islam, tepatnya tanggal 14
Oktober 2002, yang diantara isinya mengubah Pengadilan Agama menjadi Mahkamah
Syar’iyah, Pengadilan Tinggi Agama menjadi Mahkamah Syar’iyah Provinsi (Pasal
2) dan menetapkan kewenangannya (Pasal 49)yang meliputi bidang hukum perdata
kekeluargaan (al ahwal as-syakhshiyyah),perdata keharta bendaan (mu’amalah) dan
pidana (jinayat).
Rancangan Peraturan Pemerintah yang disiapkan
oleh Team Pusat sesuai dengan masukan yang disampaikan utusan dari Aceh dan
juga hasil pembicaraan dalam beberapa kalipertemuan dan diskusi, berisi
pengukuhan atas pengubahan Pengadilan Agama menjadi Mahkamah Syar’iyah seperti
yang telah tercantum di dalam Qanun, serta menjelaskan hubungan antara
kepolisian dan kejaksaan dengan Mahkamah Syar’iyahdi bidang pidana telah dapat
diselesaikan dalam Februari 2003. Tetapi dengan sebab yang tidak jelas
Rancangan Peraturan Pemerintah yang dengan susah payah disiapkan oleh team
interdep tadi, tidak disahkan dan sebagai ganti dikeluarkan Keputusan Presiden
Nomor 11 Tahun 2003 tanggal 3 Maret 2003 tentang Mahkamah Syar’iyah dan
Mahkamah Syar’iyah Provinsi di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam.Dalam Keppres
yang terdiri atas 11 pasal ini, di samping menetapkan pengubahan Pengadilan
Agama menjadi Mahkamah Syar’iyah (Pasal1), juga menetapkan kewenangannya yaitu
semua kewenangan Pengadilan Agama “ditambah dengan kekuasaan dan kewenangan
lain yang berkaitan dengan kehidupan masyarakat dalam ibadah dan syi’ar Islam
yang ditetapkan dalam Qanun” (Pasal 3 ayat (1).Sedang hubungan antara
kepolisian dan kejaksaan dengan Mahkamah Syar’iyah yangdi Aceh sangat
ditunggu-tunggu (karena dianggap bukan merupakan kewenanganQanun), tidak disebut-sebut
di dalam KEPPRES ini.
Lepas dari apa yang dimaksud dengan
“kekuasan dan kewenangan lain yang berkaitan dengan kehidupan masyarakat dalam
ibadah dan syi’ar Islam,” kena perangkaian kata ini muncul sebagai kewenangan
Mahkamah Syar’iyah di dalamKEPPRES dan bagaimana melaksanakannya di lapangan,
satu hal ingin dikomentari bahwa UU No.18/01 secara jelas menyatakan bahwa
kewenangan Mahkamah Syar’iyah ditetapkan dengan qanun dan qanun untuk itu telah
disahkan sebelum KEPPRES lahir. Tetapi KEPPRES kembali mengaturnya dan ternyata
isinya tidak sama dengan yang ditentukan di dalam Qanun. Dengan demikian
KEPPRES ini mengatur sesuatu yang sebetulnya tidak perlu diatur karena berada
di luar kewenangannya. Tetapi karena hal ini sudah terlanjur terjadi, maka mana
yang harus digunakan?Dapatkan KEPPRES itu dianggap tidak berlaku karena
bertentangan dengan ketentuan yang terdapat dalam undang-undang? Meneruskan
jalan pikiran ini,apakah yang dianggap tidak berlaku tersebut hanya pasal yang
dianggap bertentangan dengan undang-undang (yang melampaui kewenangannya)
ataukah seluruh isi KEPPRES ini harus dianggap tidak ada? Perlukah Mahkamah
Agung melakukan uji materiil atas keberadaan kedua peraturan ini?
Kembali kepada qanun untuk
pelaksanaan Syari’at Islam, Qanun Nomor 10 Tahun 2002 menetapkan dalam Pasal 53
dan Pasal 54 bahwa hukum materiil dan formil dari Syari’at Islamyang akan
dilaksanakan oleh Mahkamah Syar’iyah perlu ditetapkan di dalam Qanun terlebih
dahulu. Untuk ini telah disahkan Qanun Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam Nomor
11 Tahun 2002 tentang Aqidah, Ibadah, dan Syi’ar Islam, Qanun Provinsi Nanggroe
Aceh Darussalam No. 12 Tahun 2003 tentang Minuman Khamar dan Sejenisnya; Qanun
Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam No. 13 Tahun 2003 tentang Maisir (Perjudian),
Qanun Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam No.14 Tahun 2003tentang Khalwat (Mesum)
dan Qanun Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam Nomor 7Tahun 2004 tentang
Pengelolaan Zakat. Di masa depan qanun-qanun ini akan ditambah sedikit demi
sedikit sesuai dengan kebutuhan dan kemampuan. Sedang mengenai hukum acara pada
dasarnya akan menggunakan hukum acara yang berlakusecara nasional (KUHAP)
kecuali dalam hal yang memang ada perbedaan denganSyari’at Islam.
Dalam kaitan dengan qanun mengenai
hukum materiil dan formil Syari’at Islam khususnya tentang sanksi,
kadang-kadang muncul pertanyaan, apakah sanksi yang ada dalam Syari’at Islam
terutama sekali cambuk dapat ditetapkan dengan qanun, karena menurut
Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah, hukumanyang
dapat diatur di dalam Perda (menurut mereka termasuk Qanun) hanyalah denda maksimal
Rp. 5.000.000,- atau kurungan maksimal enam bulan. Untuk menjawab pertanyaan
ini ada tiga hal yang perlu diperhatikan. Pertama sekali UUNo.18Tahun 2001
menyatakan bahwa kewenangan Mahkamah Syar’iyah untukmenjalankan peradilan
Syari’at Islam ditetapkan dengan Qanun berdasarkan Syari’at Islam dan sistem
hukum nasional. Sedang mengenai Syari’at Islamyang akan dilaksanakan oleh
Mahkamah tersebut, tidaklah disebutkan harus ditetapkan di dalam qanun terlebih
dahulu. Aturan bahwa Syari’at yang akan dijalankan itu akan ditetapkan ke dalam
qanun terlebih dahulu diatur olehqanun, yaitu Qanun No.10 Tahun 2002. Qanun
inilah yang menetapkan bahwa Syari’at Islam yang akan dilaksanakan itu harus
ditetapkan di dalam Qanun terlebih dahulu, seperti telah disebutkan di atas.
Kebijakan ini ditempuh untuk lebih memudahkan dan lebih mewujudkan kepastian
hukum. Dengan kata lain, karena dituliskan di dalam qanun maka siapa saja yang
berminat dapat dengan mudah mencari dan mempelajarinya. Sebetulnya qanun boleh
saja menetapkan bahwa Syari’at Islam yang akan dijalankan adalah ketentuan yang
terdapat dalam suatubuku fiqih tertentu, atau langsung meminta hakim mencarinya
ke dalam ayat Al-qur’an atau hadis Rasulullah, tidak perlu dirumuskan ke dalam
qanun-qanun terlebih dahulu. Tetapi cara ini tidak ditempuh, karena diduga akan
sangat menyulitkan hakim. Cara ini memerlukan tenaga hakim dengan kualifikasi
yang sangat ketat. Juga akan sangat menyusahkan para pihak bahkan para
pengacara karena yang menguasai buku fiqih untuk kepentingan beracara ini relative
tidaklah banyak. Dengan penulisan di dalam qanun, maka yang dicari hakim
kedalam buku fiqih atau ayat Al-qur’an serta hadis hanyalah penjelasan atau rincian
tertentu. Kedua, walaupun sanksi tersebut dituliskan di dalam qanun,tetapi
sanksi ini bukanlah sanksi PERDA, melainkan sanksi Syari’at Islam itu sendiri,
dalam hal ini ta’zir hudud atau qishash/diyat. Maksudnya tanpa dituliskan di
dalam qanun pun para ulama Islam sudah mengetahui bahwa hududatau qishash/diyat
yang akan diajukan untuk perbuatan pidana tertentu itu adalah seperti itu,
tidak boleh yang lain. Jadi penulisan sanksi di dalam qanun sebagaimana telah
disebutkan di atas, adalah sekedar untuk lebih mudah mewujudkan kepastian
hukum, mengurangi alternatif atas berbagai pilihan yang kadang-kadang ditemukan
di dalam fiqih. Ketiga, masyarakat Aceh sejak dari awal kemerdekaan sudah
menuntut izin untuk melaksanakan Syari’at Islam secara sempurna di tengah
masyarakat tanpa pernah berhenti. Setelah hampir enam puluh tahun merdeka
barulah keinginan ini mendapatkan pengakuan dan landasan juri disperundangan
yang relatif memadai. Tetapi oleh sebagian pihak landasan dan pengakuan ini
dianggap masih belum cukup kuat dan karena itu tidak dapat digunakan untuk
melaksanakan syari’at Islam secara kaffah. [6]
Untuk ini menurut penulis, para
akademisi dan praktisi selayaknya memberikan tafsir berdasar tujuan (teologis)
sedemikian rupa. Keinginan rakyat Aceh yang sudah cukup lamauntuk melaksanakan
Syari’at Islam, yang oleh undang-undang di atas ingin diakomodir dengan baik,
tetapi karena keterbatasan rumusan dan pilihan kataternyata tidak mampu
menampung semuanya, perlu diatasi dengan cara memberi kantafsir berdasar
tujuan. Bahwa ketentuan dalam undang-undang di atas seyogyanya dipahami
berdasar tujuannya yaitu, memberikan kesempatan kepada rakyat Aceh untuk
melaksanakan Syari’at Islam secara sempurna melalui lembaga pengadilan ditengah
masyarakatnya.
BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
Kewenangan mengatur pelaksanaan atau penyelenggaraan otonomi khusus oleh UU No. 18 Tahun2001 diberikan kepada Pemerintah Provinsi untuk dituangkan ke dalam qanun.Namun penguatan atau pengaturannya melalui (oleh) peraturan pemerintah tetapdirasa perlu, karena otonomi khusus ini sifatnya sangat unik hanya ada diProvinsi NAD dan Provinsi Papua (tetapi dengan isi yang tidak sama). Rincian otonomi khusus tidak disebutkan secara jelas di dalam undang-undang, sedang bidang seberannya relatif sangat luas, sehingga persinggungan antara kewenangan Pemerintah Provinsi dengan kewenangan Pemerintah akan sering terjadi, dan sekiranya terjadi batasannya tidak mudah ditentukan.
Kewenangan mengatur pelaksanaan atau penyelenggaraan otonomi khusus oleh UU No. 18 Tahun2001 diberikan kepada Pemerintah Provinsi untuk dituangkan ke dalam qanun.Namun penguatan atau pengaturannya melalui (oleh) peraturan pemerintah tetapdirasa perlu, karena otonomi khusus ini sifatnya sangat unik hanya ada diProvinsi NAD dan Provinsi Papua (tetapi dengan isi yang tidak sama). Rincian otonomi khusus tidak disebutkan secara jelas di dalam undang-undang, sedang bidang seberannya relatif sangat luas, sehingga persinggungan antara kewenangan Pemerintah Provinsi dengan kewenangan Pemerintah akan sering terjadi, dan sekiranya terjadi batasannya tidak mudah ditentukan.
Karena
hal itu adanya peraturan pemerintah yang memberi ketegasan tentang kewenangan
Pemerintah di samping kewenangan Pemerintah Provinsi merupakan suatu hal yang
sangat diperlukan.Adanya peraturan pemerintah di samping di perlukan oleh
masyarakat Aceh juga diperlukan oleh para petugas dan pembuat kebijakan di
berbagai Departeman diJakarta, karena sangat boleh jadi ketika membuat sebuah
kebijakan Aceh yangberotonomi khusus yang telah mempunyai qanun menjadi
terlupakan.
Secara manusiawi adalah wajar
sekiranya para pembuat keputusan di Jakarta tidak mengetahui qanun yang sudah
disahkan dan berlaku di Aceh, atau walaupun sudah mengetahuinya tidak
menghayatinya atau lebih dari itu, boleh jadi terlupa ketika membuat kebijakan
tersebut (karena tertuang didalam Qanun yang dibuatdan berlaku di Aceh). Jadi
penjelasan tambahan atau penulisan kembali beberapa halyang merupakan otonomi
khusus di dalam peraturan pemerintah akan lebih mantap dan akan lebih
memudahkan para pembuat keputusan dan kebijakan di Jakarta.Tanpa adanya
peraturan pemerintah yang akan memberikan penjelasan tambahan tentang otonomi
khusus bagi Provinsi NAD, maka benturan antara qanun sebagai peraturan
pelaksanaan atas undang-undang dengan peraturan pemerintah atau peraturan
eksekutif lainnya yang lebih rendah di tingkat pusat kuat dugaan tidak akan
dapat dihindari malah mungkin akan sering terjadi.
Demikianlah,semoga ada manfaatnya.
Kritik dan saran dari berbagai pihak tetap diharapkan untuk penyempurnaan di
masa depan dan bahkan perbaikan sekiranya ada yang dianggap keliru atau salah.
DAFTAR
PUSTAKA
Abdullah Sani(tesis Nagister), Qanun
Syarak Kerajaan Aceh pada zaman Sultan
Alaudin Mansur Syah: Tahkik dan Kajian bandingan dengan Bustanus Salatin,Fakultas Pengajian Islam UKM, Kuala Lumpur, 2000
Alaudin Mansur Syah: Tahkik dan Kajian bandingan dengan Bustanus Salatin,Fakultas Pengajian Islam UKM, Kuala Lumpur, 2000
Al YasaAbubakar, Tanya Jawab
Pelaksanaan Syari’at Islam di Provinsi NanggroeAceh Darussalam, Dinas Syari’at
Islam Provinsi NAD, Banda Aceh,cet. 1, 2003.
Dinas Syari’atIslam Prov. NAD,
Himpunan Undang-Undang Keputusan Presiden,Peraturan daerah, Qanun, Intruksi
Gubernur dan Edaran Gubernur,Dinas Syari’at Islam Prov. NAD Banda Aceh, 2003
Human Hamid.2004 “Beberapa Catatatan
Awal Tentang Otonomi Khusus di ProvinsiNAD’Kanun Jurnal Ilmu Hukum No. 38 FH
UNSYIAH : Banda
Aceh.
Aceh.
JimlyAsshiddiqie. 2000 Penataan
Kembali Sumber Tertib Hukum RI Dalam
Rangka Amendemen Kedua UUD 1945 BP MPR-RI Jakarta.
Rangka Amendemen Kedua UUD 1945 BP MPR-RI Jakarta.
Kaoy Syah, M.Lukman Hakim 2000 Keistimewaan
Aceh Dalam Lintasan SejarahAl- Jamiatul Washliyah: Jakarta. Liaw Yock
Fang,Undang-Undang Melaka, KITLV, Den Haag, 1976
[2].JimlyAsshiddiqie. 2000 Penataan
Kembali Sumber Tertib Hukum RI Dalam Rangka Amendemen Kedua UUD 1945 BP MPR-RI
Jakarta.
[4].Abdullah Sani(tesis Nagister), Qanun
Syarak Kerajaan Aceh pada zaman Sultan
Alaudin Mansur Syah: Tahkik dan Kajian bandingan dengan Bustanus Salatin,Fakultas Pengajian Islam UKM, Kuala Lumpur, 2000
Alaudin Mansur Syah: Tahkik dan Kajian bandingan dengan Bustanus Salatin,Fakultas Pengajian Islam UKM, Kuala Lumpur, 2000
[5] . Human Hamid.2004 “Beberapa
Catatatan Awal Tentang Otonomi Khusus di ProvinsiNAD’Kanun Jurnal Ilmu Hukum No.
38 FH UNSYIAH : BandaAceh
[6] . Al YasaAbubakar, Tanya Jawab Pelaksanaan Syari’at Islam di
Provinsi NanggroeAceh Darussalam, Dinas Syari’at Islam Provinsi NAD, Banda
Aceh,cet. 1, 2003.
0 Response to "KAJIAN QANUN SYARIA’T ISLAM"
Post a Comment