KAJIAN QANUN SYARIA’T ISLAM


KAJIAN QANUN SYARIA’T ISLAM

D
I
S
U
S
U
N

Oleh:

 NAMA       :Rusli
                    Maulidar
                    Safriana
                   Ruhamah
         
                                      DOSPEN  :H.T Amrullah
.



   


SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM ALMUSLIM
BIREUEN PROVINSI ACEH

TAHUN 2013




BAB I
PENDAHULUAN

A.    Latar Belakang
Nanggroe Aceh Darussalam di kenal dengan sebutan seramoe mekkah (serambi mekkah). Nafas islam begitu menyatu dalam adat budaya orang Aceh sehingga aktifitas budaya kerap berazaskan islam. Contoh paling dekat adalah pembuatan rencong sebagai senjata tradisional di ilhami dari Bismillah. Seni tari-tarian seudati konon katanya berasal dari kata syahadatain, dua kata untuk meresmikan diri menjadi pemeluk islam.
Saat syariat islam secara kaffah dideklarasikan pada tahun 2001, pro dan kontra terus bermunculan sampai sekarang. Keterlibatan pemerintah dituding ada unsur politik untuk memblokir bantuan Negara non muslim terhadap kekuatan GAM ( gerakan Aceh merdeka ). Nada-nada sinis kerap terdengar seperti “ pue payah awak jawa jak peu islam tanyoe, ka dari jameun uroe jeh tanyoe ka islam” (kenapa harus pemerintah pusat / jawa yang mengislamkan orang Aceh, sedari zaman dulu Aceh adalah islam).
Ciri khas budaya dan sikap kontra yang diperagaka melahirkan pertanyaan sejak kapan syariat islam sudah berlaku di NAD? Lazimnya bicara sejarah maka kita akan mengkaji 3 ( tiga) dimensi waktu keberadaan hokum islam di bumi serambi mekkah ini. Masa dulu yaitu pada masa orde lama dan orde baru. Sekarang ketika pemerintah melibatkan diri.
B.   Rumusan Masalah

1.      Bagaimana subtansi pokok Uu No 44 tahun 1999 ?
2.      Bagaimana otonomi khusus dalam UU no 18 tahun 2001 ?
3.      Apa pengertian Qanun ?
4.      Bagaimana kedudukan dan fungsi qanun dalam pelaksanaan otonomi khusus ?
5.      Bagaimana kedudukan Qanun dalam pelaksanaan Syariat Islam ?






BAB II
PEMBAHASAN

KAJIAN QANUN SYARIAT ISLAM
A.    Substansi Pokok Undang-Undang Nomor 44Tahun 1999

DenganUU Nomor 44 Tahun 1999 ini, keistimewaan yang selalu disebut-sebut sebagai ciriutama dan telah menjadi “identitas” Aceh sejak tahun 1959 itu diharapkan akanmenjadi lebih menyeluruh di tengah masyarakat. Undang-Undang ini hanya mengaturhal-hal pokok, dan setelah itu memberi kebebasan kepada Daerah untuk mengaturpelaksanaannya melalui peraturan daerah dan keterlibatan ulama dalam pembuatankebijakan daerah, agar kebijakan daerah lebih akomodatif terhadap aspirasimasyarakat Aceh.
Adapun hal-hal pokok yang ditetapkan dalam UU Nomor 44 Tahun 1999 untukmenyelenggarakan keistimewaan yang diberikan kepada Aceh adalah sebagaiberikut: Dalam pasal 1 angka 8 disebutkan bahwa “Keistimewaan adalah kewenangankhusus untuk menyelenggarakan kehidupan beragama, adat, pendidikan dan peranulama dalam penetapan kebijakan daerah.” Pasal 1 angka 9 berbunyi,” KebijakanDaerah adalah Peraturan Daerah atau Keputusan Gubernur yang bersifat mengaturdan mengikat dalam penyelenggaraan keistimewaan”. Pasal 1 angka 10,” Syari’atIslam adalah tuntunan ajaran Islam dalam semua aspek kehidupan;” Pasal 1angka 11, “Adat adalah aturan atau perbuatan yang bersendikan Syari’at Islamyang lazim dituruti, dihormati, dan dimuliakan sejak dahulu yang dijadikansebagai landasan hidup.”
Mengenai keistimewaan dibidang kehidupan beragama, diatur dalam Pasal 4 ayat (1) dan(2), bahwa penyelenggaraan kehidupan beragama didaerah diwujudkan dalam bentukpelaksanaan Syari’at Islam bagi pemeluknya dalam bermasyarakat ; dengan tetapmenjaga kerukunan hidup antar umat beragama. Sedang cakupan Syari’at Islamseperti dijelaskan dalam Pasal 1 angka 10 di atas, telah didefinisikan secararelative lengkap, yaitu mencakup seluruh ajarannya (tuntunan ajaran Islamdalam semua aspek kehidupan). Jadi Undang-Undang ini telah memberikanpemahaman yang kaffah kepada Syari’at Islam, mencakup ibadat, mu’amalat,jinayat, munakahat bahkan lebih dari itu mencakup ‘aqidah dan akhlak sertaajaran dan tuntunan diberbagai bidang lainya.
Sedang mengenai kehidupan adat, Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam diberi izin melestarikandan membentuk lembaga adat di tingkat provinsi, kabupaten/kota, kecamatan,kemukiman, dan gampong (desa) yang seperti telah dikutip di atas tadi harusdijiwai serta sesuai dengan ajaran Islam.
             Sedang keistimewaan di bidang pendidikan, walaupun urusan pendidikan telah diserahkankepada daerah dalam rangka pelaksanaan otonomi daerah, namun denganundang-undang ini, Daerah Istimewa Aceh diberikan kewenangan khusus untukmenata pendidikan, mengembangkan dan mengatur berbagai jenis dan jenjang pendidikanserta kurikulumnya dengan menambah materi muatan lokal yang berbasis kompetensiagar sesuai dan mendukung pelaksanaan Syari’at Islam. Dalam hubungan ini tentuperlu diingat dan dijaga bahwa penetapan kebijakan di bidang pendidikan iniharus tetap sejalan dengan sistem pendidikan nasional.
            Dengan demikian, aturan tentang penyelenggaraan keistimewaan dalam bidang kehidupanadat dan pendidikan, kelihatannya hanyalah untuk lebih memudahkan danmengukuhkan pelaksanaan Syari’at Islam dalam kehidupan masyarakat muslim diProvinsi Nanggroe Aceh Darussalam.
Setelah ini pelaksanaan Syari’at Islam secara formal diperkuat dan dipertegas lagimelalui Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2001, tentang Otonomi Khusus bagi ProvinsiDaerah Istimewa Aceh sebagai Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam.[1]

B.     Otonomi Khusus dalam Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2001
Didalam konsideran “Menimbang “ UU No. 18 Tahun 2001 huruf”d” antara laindisebutkan bahwa ketentuan dalam UU No.22 Tahun 1999 dan UU No. 25 Tahun 1999“… belum menampung sepenuhnya hak asal usul dan keistimewaan Provinsi DaerahIstimewa Aceh.” Sedang dalam huruf “e” disebutkan “bahwa pelaksanaanUndang-Undang Nomor 44 Tahun 1999 … perlu diselaraskan dalam penyelenggaraanpemerintahan di Provinsi Daerah Istimewa Aceh sebagai Provinsi Nanggroe AcehDarussalam.” Dari kutipan ini dapat dipahami bahwa otonomi khusus adalahotonomi yang diberikan sebagai tambahan atas otonomi yang sudah ada dan jugapenyempurnaan atas penyelenggaraan keistimewaan yang sudah diberikansebelumnya. Dalam Pasal 3 Undang-Undang ini ditemukan rumusan : (1)“Kewenangan Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam yang diatur dalam Undang-Undangini adalah kewenangan otonomi khusus”. (2) “Kewenangan Provinsi Nanggroe AcehDarussalam selain yang diatur pada ayat (1) tetap berlaku sesuai denganperaturan perundang-undangan”. Dalam kaitan ini, sekiranya diingat bahwayang tidak diotonomikan oleh UU Nomor 22 Tahun 1999 pada pokoknya hanyalah limabuah urusan yaitu : hukum, agama, fiskal, hubungan luar negeri, dan pertahanan,maka otonomi khusus seyogyanya dipahami sebagai pemberian paling kurangsebagian kewenangan dalam lima urusan yang belum diotonomikan oleh UU No.22Tahun 1999 sebelumnya. Di dalam “Penjelasan Umum” UU No.18/01 disebutkanbahwa “Hal mendasar dari Undang-Undang ini adalah pemberian kesempatan yanglebih luas untuk mengatur dan mengurus rumah tangga sendiri termasuksumber-sumber ekonomi, menggali sumber daya alam dan sumber daya manusia, …danmengaplikasikan Syariat Islam dalam kehidupan bermasyarakat.” Dalam alinialainnya disebutkan “Kewenangan yang berkaitan dengan bidang pertahanannegara merupakan kewenangan Pemerintah. Dalam hal pelaksanaan kebijakan tataruang pertahanan untuk kepentingan pertahanan Negara Kesatuan Republik Indonesia di wilayah Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam yang tidak bersifat rahasia,Pemerintah berkoordinasi dengan Gubernur Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam.”[2]
            Tetapi rumusan tentang masalah yang diserahkan melalui otonomi khusus kepada Acehtidak disebutkan secara jelas di dalam UU No. 18 Tahun 2001 ini. Memang didalamundang-undang ini ada beberapa hal yang secara jalas dinyatakan berbeda denganperaturan sebelumnya, seperti besaran nisbah “dana perimbangan” dan adanya “penerimaan Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam dalam rangka otonomi khusus” sertajumlah anggota DPR Provinsi “maksimal 25 % dari jumlah yang ditetapkanUndang-Undang”. Begitu juga ada beberapa masalah yang oleh Undang-Undang ini,secara jelas diserahkan (didelegasikan) kepada Qanun untuk mengaturnya. Sebagianmasalah ini hanya merupakan tambahan atas otonomi dalam bidang yang sebelumnyasudah merupakan otonomi daerah, sedang sebagian lagi merupakan hal baru,merupakan salah satu dari lima urusan yang menurut UU No. 22 Tahun 1999 tidakdiotonomikan (misalnya hukum dan agama). Lebih dari itu di dalam UU No. 18Tahun 2001 ada 15 hal yang secara jelas dinyatakan “perlu diatur dalam qanun”yang spektrumnya relatif luas, meliputi pemerintahan, keuangan, DPRD, pemilihankepala daerah, hak pemilih di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam, kepolisianserta peradilan. Tetapi semua ini belumlah menjelaskan secara tegas cakupanotonomi khusus tersebut dan juga batas yang menjadi kewenangan pemerintah danpemerintah Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam.[3]
Dengandemikian, karena luasnya jangkauan bidang yang didelegasikan kepada (disuruhatau dengan) qanun disatu pihak dan tidak adanya rincian yang jelas dan tegastentang masalah yang diotonomi-khususkan, maka peluang untuk terjadinyaperbedaan tafsir yang relatif luas dan bersegi banyak tentang kandungan dancakupan otonomi khusus serta “kekuatan hukum”dari qanun dalam hirarkiperundangan di Indonesia, kelihatanya sangat terbuka lebar dan tidak akan dapatdihindari.

C.    Pengertian Qanun
Istilah qanun sudah digunakan sejak lama sekali dalam bahasa atau budaya Melayu. Kitab“Undang-Undang Melaka” yang disusun pada abad ke limabelas atau enambelas Masehi telah mengunakan istilah ini.1 Menurut Liaw Yock Fangistilah ini dalam budaya Melayu digunakan semakna dengan adat dan biasanya dipakaiketika ingin membedakan antara hukum yang tertera dalam adat dengan hukum yangtertera dalam kitab fiqih. (Liaw Yock Fang 1975:178). Kuat dugaan istilah inimasuk kedalam budaya melayu dari bahasa Arab karena mulai digunakan bersamaandengan kehadiaran agama Islam dan pengunaan bahasa Arab Melayu di Nusantara.2Bermanfaat disebutkan, dalam literatur Barat pun istilah ini sudah digunakansejak lama, diantaranya merujuk kepada hukum kristen (Canon Law) yang sudah adasejak sebelum zaman Islam.
Dalam bahasa Aceh istilah ini relatif sangat populer dan tetap digunakan di tengahmasyarakat, karena salah satu pepatah adat yang menjelaskan hubungan adat dansyari’at yang tetap hidup dan bahkan sangat sering dikutip mengunakan istilahini.3Dalam literatur Melayu Aceh pun qanun sudah digunakan sejak lama, dan diartikansebagai aturan yang berasal dari hukum Islam yang telah menjadi adat. Salahsatu naskah tersebut berjudul Qanun Syara ‘Kerajaan Aceh yang ditulis oleh Teungku di Mulek pada tahun 1257 H , atas perintah Sultan Alauddin Mansur Syahyang wafat pada tahun 1870 M.Naskah pendek ini (hanya beberapa halaman) berisiberbagai hal di bidang hukum tatanegara, pembagian kekuasaan, berbagai badanperadilan dan kewenangan mengadili,fungsi kepolisian dan kejaksaan serta aturanprotokoler dalam berbagai upacara kenegaraan.4 Dapat disimpulkan dalamarti sempit, qanun merupakan suatu aturan yang dipertahankan dan diperlakukanoleh seorang sultan dalam wilayah kekuasaanya yang bersumber pada hukum Islam,sedangkan dalam arti luas, qanun sama dengan istilah hukum atau adat. Didalamperkembangan nya boleh juga disebutkan bahwa qanun merupakan suatu istilahuntuk menjelaskan aturan yang berlaku di tengah masyarakat yang merupakanpenyesuaian dengan kondisi setempat atau penjelasan lebih lanjut atas ketentuandidalam fiqih yang ditetapkan oleh Sultan.[4]
Sekarang ini Qanun digunakan sebagai istilah untuk “Peraturan Daerah Plus” atau lebihtepatnya Peraturan Daerah yang menjadi peraturan pelaksaaan langsung untukundang-undang (dalam rangka otonomi khusus di Provinsi Nanggroe AcehDarussalam). Hal ini ditegaskan dalam Pasal 1 angka 8 “Ketentuan Umum” dalamUndang-Undang Nomor 18 Tahun 2001 yang telah dikutip di atas.
Sejak dimulainya pemnyelenggaraan otonomi khusus berdasarkan UU No. 18/01, sudahbanyak qanun yang disahkan. Menurut notulen di Sekretariat DPRD ProvinsiNanggroe Aceh Darussalam, sampai Agustus 2004 telah dihasilkan 49 qanun yangmengatur berbagai materi untuk merealisasikan kewenangan khusus yang diserahkanPemerintah kepada Pemerintah Provinsi Aceh termasuk pelaksanaan Syari’at Islam.Untuk yang terakhir ini di bawah akan diuraikan lebih lanjut.

D. Kedudukan dan Fungsi Qanun dalam Pelaksanaan Otonomi Khusus
Qanun dibentuk oleh DPRD Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam dan disahkan oleh KepalaDaerah setelah mendapatkan persetujuan bersama. Ketentuan ini mengikutisemangat rumusan Pasal 20 ayat (1) dan (2) UUD 1945 amandemen pertama yangberisi : Dewan Perwakilan Rakyat memegang kekuasaan membentuk Undang-Undang.Setiap RUU dibahas oleh DPR dan Presiden untuk mendapat persetujuan bersama.Dengan demikian qanun merupakan peraturan perundang-undangan di daerah yangdibuat untuk menyelenggarakan otonomi khusus bagi Provinsi Nanggroe AcehDarussalam dan karena itu merupakan bagian yang tak terpisahkan dari kesatuansistem perundang-undangan nasional.
Dalam kaitan ini, kedudukan peraturan daerah dalam tata urutan sistemperundang-undangan Republik Indonesia telah diatur dalam Ketetapan MPR NomorIII/MPR/2000 tentang Tata Urutan Peraturan Perundang-undangan Negara Republik Indonesia sebagai berikut:
1. UUD 1945
2. Ketetapan MPR
3. Undang-undang
4. Peraturan Pemerintah Penganti Undang-undang
5. Peraturan Pemerintah
6. Keputusan Presiden
7. Peraturan Daerah
Tata urutan peraturan perundang-undangan menurut TAP MPR diatas, dengan sendirinya menempatkan qanun sebagai subsistem dalam tataperaturan perundang-undangan nasional, bahkan sistem hukum nasional padaumumnya. Karena itu qanun sebagai peraturan daerah “plus”-tidak bolehbertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi tingkatnya.(Bagir Manan, 1995;9) Tetapi persoalan yang sekarang yang kita hadapi, UU No.18 Tahun 2001 Pasal 31 ayat (2) yang telah dikutip diatas tadi, menjadikanqanun tidak sama persis dengan peraturan daerah. Walaupun dari satu segi qanundisebutkan sebagai peraturan daerah, tetapi dia diberi kekuatan khusus yaitumerupakan peraturan pelaksanaan langsung untuk undang-undang dalam urusanotonomi khusus yang menjadi kewenangan Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam.Dengan kata lain qanun merupakan peraturan pelaksanaan yang secara hirarkisberada langsung dibawah undang-undang, tidak diselingi oleh peraturanperundangan lainnya. Mengikuti ketentuan ini, maka barangkali tidak adakeraguan bahwa untuk pelaksanaan otonomi khusus yang menjadi kewenanganProvinsi, qanun setingkat dengan peraturan pemerintah.
            Jalan pikiran atau kesimpulan di atas menjadi penting karena didalam “PenjelasanUmum” UU No. 18 Tahun 2001 disebutkan bahwa, “Qanun Provinsi Nanggroe AcehDarussalam adalah Peraturan Daerah Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam, yangdapat mengesampingkan peraturan Perundang-undangan yang lain dengan mengikutiasas lex specialis deregat lex generalis dan Mahkamah Agung berwenangmelakukan uji materiel terhadap Qanun“. Dari bunyi rumusan ini munculpertanyaan, ketentuan atau peraturan apa yang dapat disingkirkan oleh QanunProvinsi Nanggroe Aceh Darussalam. Untuk menjawab ini, sekiranya jalan pikirandiatas tadi diterima maka qanun dapat menyingkirkan peraturan pemerintah dankeputusan presiden sekiranya hal itu menyangkut otonomi khusus yang menjadikewenangan Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam.
Selanjutnya dalam Pasal 33 disebutkan, “Perubahan atas undang-undang ini dapat dilakukandengan memperhatikan pertimbangan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam.” Ketentuan ini secara tidak langsung menyatakanbahwa undang-undang yang tidak sejalan dengan UU No. 18 Tahun 2001 yang datangsesudahnya, tidak secara serta merta berlaku di Provinsi Nanggroe AcehDarussalam. Undang-undang tersebut baru akan berlaku setelah mendapatkanpertimbangan dari DPRD Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam. Jalan pikiran inisecara tidak langsung menyatakan bahwa Qanun Provinsi Nanggroe Aceh Darussalamdapat mengenyampingkan undang-undang baru (yang datang belakangan) yang tidaksejalan dengan UU No. 18/01.
Dari uraian diatas dapat dipahami bahwa Qanun Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam berfungsi sebagai berikut:
a. Menyelenggarakan peraturan hal-hal yang belum jelas yang olehundang-undang otonomi khusus diminta (diserahkan) kepada qanun untukmengaturnya.
b. Menyelenggarakan pengaturan hal-hal yang tidak bertentangan denganperaturan perundang-undangan yang lebih tinggi yaitu undang-undang.
c. Menyelenggarakan pengaturan hal-hal yang belum diatur oleh peraturanperundang-undangan yang lebih tinggi yaitu undang-undang.
Menurut penulis kedudukan qanun dalam hubungan dengan penyelenggaraan otonomi khusus bagiProvinsi Nanggroe Aceh Darussalam perlu dikaji dan dijelaskan oleh paraakademisi dan praktisi secara jernih dan tanpa prasangka, sehingga posisinyadan kewenanganya yang di atas tadi dikatakan setingkat dengan peraturanpemerintah dan bahkan undang-undang, dapat dipahami dan diterima oleh parapembuat kebijakan dan pencari keadilan.
Melalui pengkajian dan penjelasan ini nanti, para pembuat kebijakan dan pencari keadilan dan bahkan para pengamat hukum secara umum akan secara mudah dapat memahami bahwa qanun dalam rangka pelaksanaan otonomi khusus bagi Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam dapat mengesampingkan peraturan lain yang lebihtinggi, yang dalam keadaan biasa tidak dapat disingkirkan oleh peraturandaerah. Akan tetapi sebagai konsekuensi diberikannya otonomi khusus kepadaProvinsi Nanggroe Aceh Darussalam maka produk legislatif daerah ini dapatsaja menyimpang dari produk eksekutif di tingkat pusat. Misalnya suatu materi qanun yang telah ditetapkan secara sah ternyata bertentangan isinya dengan materi Keputusan Presiden (apalagi hanya dengan keputusan menteri) yangbersinggungan dengan otonomi khusus, maka Mahkamah Agung tentu harus menyatakanbahwa qanun itulah yang berlaku untuk Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam,sedangakan Keputusan Presiden atau Peraturan Menteri berlaku secara umum diseluruh Indonesia (Jimly Asshiddiqie, 2000:29)
Didalam praktek, pembuatan dan pengesahan qanun, terutama dari segi materil atausubtansi masalah yang diatur, tidaklah berjalan mulus dalam arti mungkin sekaliakan terjadi tolak tarik karena adanya perbedaan kepentingan antara berbagaiunsur yang ada di dalam masyarakat. Perbedaan mana harus diakomodir dandimusyawarahkan sedemikian rupa sehingga tidak menimbulkan gejolak ataukesulitan yang tidak perlu. Sebagai contoh, qanun pertama yang dibuat oleh DPRDProvinsi Nanggroe Aceh Darussalam untuk implementasi otonomi khusus adalahqanun di bidang keuangan dan perimbangan bagi hasil minyak dan gas bumi.Pengesahan qanun ini telah mengundang kritik terutama dari masyarakat Kabupatenpenghasil gas bumi yakni Kabupaten Aceh Utara. Mereka mengatakan substansiqanun tersebut tidak lebih sebagai perpindahan sentralisasi dari Jakarta ke Ibukota Provinsi sebab pembagian hasil gas bumi tidak memenuhi keinginan darimasyarakat yang bersangkutan sehingga mereka menuntut DPRD Kabupaten dan BupatiAceh Utara untuk tidak menerima qanun tentang pembagian keuangan tersebut(Humam Hamid,2004 : 8-9.)[5]

E. Kedudukan Qanun dalam PelaksanaanSyari’at Islam
       Pelaksanaan Syari’at Islam sebagai inti dari keistimewaan Aceh, yang sebelumnya hanyamerupakan slogan, mendapat legalitas dan landasan formal dalam Undang-UndangNomor 44 Tahun 1999. Dalam Undang-undang ini pelaksanaan syari’at Islamsebagai keistimewaan didang agama akan didukung oleh pelaksanaan keistimewaandi bidang adat dan pendidikan. Pelaksanaan syari’at Islam ini diperkuat kembalidi dalam Undang Undang No. 18 Tahun 2001. Di dalam UU yang terakhir ini adatiga bab tentang penegakan hukum yaitu Bab X tentang Kepolisian Daerah, Bab XItentang Kejaksaan Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam dan Bab XII tentangMahkamah Syar’iyah Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam. Mengenai Kepolisian,undang-undang menyatakan bahwa tugas fungsional kepolisian di bidang ketertibandan ketenteraman masyarakat di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam diatur lebihlanjut dengan Qanun Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam (Pasal 22 ayat 4). Sedangmengenai Kejaksaan tidak ada perintah untuk mengaturnya dengan qanun. MengenaiMahkamah Syari’ah, karena merupakan pusat perhatian penulis kutipkan secaralengkap: Pasal 25,(1) Peradilan Syariat Islam di Provinsi Nanggroe AcehDarussalam sebagai bagian dari sistem peradilan nasional dilakukan olehMahkamah Sya’riah yang bebas dari pengaruh pihak manapun. (2) KewenanganMahkamah Sya’riah sebagaimana dimaksud pada ayat (1), didasarkan atas SyariatIslam dalam sistem hukum nasional, yang diatur lebih lanjut dengan QanunProvinsi Nanggroe Aceh Darussalam (3) Kewenangan sebagaimana dimaksud pada ayat(2) diberlakukan bagi pemeluk agama Islam. Pasal 26 (1) MahkamahSyari’ah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 25 ayat (1) terdiri atas MahkamahSyari’ah Kabupaten/Sagoe dan Kota/Banda atau Provinsi sebagai pengadilantingkat pertama, dan Mahkamah Syar’iyah Provinsi sebagai pengadilan tingkatbanding di ibukota Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam. (2) Mahkamah Syar’iyahuntuk pengadilan tingkat kasasi dilakukan pada Mahkamah Agung Republik Indonesia. (3) Hakim Mahkamah Syar’iyah diangkat dan diberhentikan oleh Presiden sebagaiKepala Negara atas usul Menteri Kehakiman setelah mendapat pertimbanganGubernur Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam dan Ketua Mahkamah Agung.
Seperti telah disinggung di atas, urusan yang menurut UU No.22/99 tidak diotonomikankepada daerah, tetapi oleh UU No. 18 Tahun 2001 dijadikan sebagai otonomikhusus adalah peradilan Syari’at Islam yang dilaksanakan oleh MahkamahSyar’iyah. Melihat redaksi dalam dua pasal di atas, dan juga sistematikanyayang terletak sesudah kepolisian dan kejaksaan, maka dapat dikatakan bahwapelaksanaan Syari’at Islam di Aceh menurut UU No.18/01 ini termasuk ke dalambidang (urusan) hukum, bukan bidang (urusan) agama. Dengan demikian pelaksanaanSyari’at Islam sebagai bagian dari otonomi khusus di Aceh dapat dikatakanberinduk kepada dua bidang, ada yang ke agama berdasarkan Undang-Undang Nomor44 Tahun 1999 dan ada yang ke hukum berdasarkan Undang-Undang Nomor 18 Tahun2001. Berhubung kajian ini berkaitan dengan qanun (UU No.18/2001), maka uraiandi bawah difokuskan pada bidang hukum, bukan bidang agama.
Karena tidak jelas apakah Mahkamah Syar’iyah merupakan lembaga baru atau pengubahanatas lembaga yang sudah ada, dan apakah merupakan lembaga daerah (otonomikhusus) ataukah lembaga Pusat (masuk ke Departemen Kehakiman dan DepartemenAgama atau ke Mahkamah Agung) maka sebuah team yang mewakili Aceh, sejak awal tahun2002 aktif berkonsultasi dengan Pemerintah, dalam hal ini Mahkamah Agung,Departemen Kehakiman dan HAM, Departemen Agama, Kejaksaan Agung, KepolisianRepublik Indonesia dan Departemen Dalam Negeri. Rangkaian konsultasi ini pada akhirnya memberikan rekomendasi agar pada tingkat pusat dibentuk sebuah teamantar departemen di bawah pimpinan Departemen Dalam Negeri, yang bertugas menyiapkan segala sesuatu yang berkaitan dengan pembentukan dan peresmian Mahkamah Syar’iyah di Aceh. Team ini dibentuk oleh Menteri Dalam Negeridiketuai oleh Sekretaris Jenderal dalam hal ini Ibu Siti Nurbaya dan beranggotakan utusan dari departemen dan lembaga terkait, termasuk utusan Pemerintah Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam. Salah satu tugas yang dianggap mendesak adalah menyiapkan Rancangan Peraturan Pemerintah tentang Peradilan Syari’at Islam atau Mahkamah Syar’iyah sebagai bagian dari pelaksanaan otonomi khusus. Di pihak lain, sementara Team Pusat bekerja, dan konsultasi antara Pemerintah Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam dan Pemerintah berlangsung,Pemerintah Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam juga bekerja menyiapkan rancangan Qanun tentang Peradilan Syari’at Islam, (terutama sekali untuk menetapkan kewenangannya), yang menurut undang-undang diserahkan kepada qanun.
Pada bulan Oktober 2002 disahkan Qanun Nomor 10 tahun 2002 tentang Peradilan Syari’at Islam, tepatnya tanggal 14 Oktober 2002, yang diantara isinya mengubah Pengadilan Agama menjadi Mahkamah Syar’iyah, Pengadilan Tinggi Agama menjadi Mahkamah Syar’iyah Provinsi (Pasal 2) dan menetapkan kewenangannya (Pasal 49)yang meliputi bidang hukum perdata kekeluargaan (al ahwal as-syakhshiyyah),perdata keharta bendaan (mu’amalah) dan pidana (jinayat).
Rancangan Peraturan Pemerintah yang disiapkan oleh Team Pusat sesuai dengan masukan yang disampaikan utusan dari Aceh dan juga hasil pembicaraan dalam beberapa kalipertemuan dan diskusi, berisi pengukuhan atas pengubahan Pengadilan Agama menjadi Mahkamah Syar’iyah seperti yang telah tercantum di dalam Qanun, serta menjelaskan hubungan antara kepolisian dan kejaksaan dengan Mahkamah Syar’iyahdi bidang pidana telah dapat diselesaikan dalam Februari 2003. Tetapi dengan sebab yang tidak jelas Rancangan Peraturan Pemerintah yang dengan susah payah disiapkan oleh team interdep tadi, tidak disahkan dan sebagai ganti dikeluarkan Keputusan Presiden Nomor 11 Tahun 2003 tanggal 3 Maret 2003 tentang Mahkamah Syar’iyah dan Mahkamah Syar’iyah Provinsi di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam.Dalam Keppres yang terdiri atas 11 pasal ini, di samping menetapkan pengubahan Pengadilan Agama menjadi Mahkamah Syar’iyah (Pasal1), juga menetapkan kewenangannya yaitu semua kewenangan Pengadilan Agama “ditambah dengan kekuasaan dan kewenangan lain yang berkaitan dengan kehidupan masyarakat dalam ibadah dan syi’ar Islam yang ditetapkan dalam Qanun” (Pasal 3 ayat (1).Sedang hubungan antara kepolisian dan kejaksaan dengan Mahkamah Syar’iyah yangdi Aceh sangat ditunggu-tunggu (karena dianggap bukan merupakan kewenanganQanun), tidak disebut-sebut di dalam KEPPRES ini.
Lepas dari apa yang dimaksud dengan “kekuasan dan kewenangan lain yang berkaitan dengan kehidupan masyarakat dalam ibadah dan syi’ar Islam,” kena perangkaian kata ini muncul sebagai kewenangan Mahkamah Syar’iyah di dalamKEPPRES dan bagaimana melaksanakannya di lapangan, satu hal ingin dikomentari bahwa UU No.18/01 secara jelas menyatakan bahwa kewenangan Mahkamah Syar’iyah ditetapkan dengan qanun dan qanun untuk itu telah disahkan sebelum KEPPRES lahir. Tetapi KEPPRES kembali mengaturnya dan ternyata isinya tidak sama dengan yang ditentukan di dalam Qanun. Dengan demikian KEPPRES ini mengatur sesuatu yang sebetulnya tidak perlu diatur karena berada di luar kewenangannya. Tetapi karena hal ini sudah terlanjur terjadi, maka mana yang harus digunakan?Dapatkan KEPPRES itu dianggap tidak berlaku karena bertentangan dengan ketentuan yang terdapat dalam undang-undang? Meneruskan jalan pikiran ini,apakah yang dianggap tidak berlaku tersebut hanya pasal yang dianggap bertentangan dengan undang-undang (yang melampaui kewenangannya) ataukah seluruh isi KEPPRES ini harus dianggap tidak ada? Perlukah Mahkamah Agung melakukan uji materiil atas keberadaan kedua peraturan ini?
Kembali kepada qanun untuk pelaksanaan Syari’at Islam, Qanun Nomor 10 Tahun 2002 menetapkan dalam Pasal 53 dan Pasal 54 bahwa hukum materiil dan formil dari Syari’at Islamyang akan dilaksanakan oleh Mahkamah Syar’iyah perlu ditetapkan di dalam Qanun terlebih dahulu. Untuk ini telah disahkan Qanun Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam Nomor 11 Tahun 2002 tentang Aqidah, Ibadah, dan Syi’ar Islam, Qanun Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam No. 12 Tahun 2003 tentang Minuman Khamar dan Sejenisnya; Qanun Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam No. 13 Tahun 2003 tentang Maisir (Perjudian), Qanun Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam No.14 Tahun 2003tentang Khalwat (Mesum) dan Qanun Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam Nomor 7Tahun 2004 tentang Pengelolaan Zakat. Di masa depan qanun-qanun ini akan ditambah sedikit demi sedikit sesuai dengan kebutuhan dan kemampuan. Sedang mengenai hukum acara pada dasarnya akan menggunakan hukum acara yang berlakusecara nasional (KUHAP) kecuali dalam hal yang memang ada perbedaan denganSyari’at Islam.
Dalam kaitan dengan qanun mengenai hukum materiil dan formil Syari’at Islam khususnya tentang sanksi, kadang-kadang muncul pertanyaan, apakah sanksi yang ada dalam Syari’at Islam terutama sekali cambuk dapat ditetapkan dengan qanun, karena menurut Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah, hukumanyang dapat diatur di dalam Perda (menurut mereka termasuk Qanun) hanyalah denda maksimal Rp. 5.000.000,- atau kurungan maksimal enam bulan. Untuk menjawab pertanyaan ini ada tiga hal yang perlu diperhatikan. Pertama sekali UUNo.18Tahun 2001 menyatakan bahwa kewenangan Mahkamah Syar’iyah untukmenjalankan peradilan Syari’at Islam ditetapkan dengan Qanun berdasarkan Syari’at Islam dan sistem hukum nasional. Sedang mengenai Syari’at Islamyang akan dilaksanakan oleh Mahkamah tersebut, tidaklah disebutkan harus ditetapkan di dalam qanun terlebih dahulu. Aturan bahwa Syari’at yang akan dijalankan itu akan ditetapkan ke dalam qanun terlebih dahulu diatur olehqanun, yaitu Qanun No.10 Tahun 2002. Qanun inilah yang menetapkan bahwa Syari’at Islam yang akan dilaksanakan itu harus ditetapkan di dalam Qanun terlebih dahulu, seperti telah disebutkan di atas. Kebijakan ini ditempuh untuk lebih memudahkan dan lebih mewujudkan kepastian hukum. Dengan kata lain, karena dituliskan di dalam qanun maka siapa saja yang berminat dapat dengan mudah mencari dan mempelajarinya. Sebetulnya qanun boleh saja menetapkan bahwa Syari’at Islam yang akan dijalankan adalah ketentuan yang terdapat dalam suatubuku fiqih tertentu, atau langsung meminta hakim mencarinya ke dalam ayat Al-qur’an atau hadis Rasulullah, tidak perlu dirumuskan ke dalam qanun-qanun terlebih dahulu. Tetapi cara ini tidak ditempuh, karena diduga akan sangat menyulitkan hakim. Cara ini memerlukan tenaga hakim dengan kualifikasi yang sangat ketat. Juga akan sangat menyusahkan para pihak bahkan para pengacara karena yang menguasai buku fiqih untuk kepentingan beracara ini relative tidaklah banyak. Dengan penulisan di dalam qanun, maka yang dicari hakim kedalam buku fiqih atau ayat Al-qur’an serta hadis hanyalah penjelasan atau rincian tertentu. Kedua, walaupun sanksi tersebut dituliskan di dalam qanun,tetapi sanksi ini bukanlah sanksi PERDA, melainkan sanksi Syari’at Islam itu sendiri, dalam hal ini ta’zir hudud atau qishash/diyat. Maksudnya tanpa dituliskan di dalam qanun pun para ulama Islam sudah mengetahui bahwa hududatau qishash/diyat yang akan diajukan untuk perbuatan pidana tertentu itu adalah seperti itu, tidak boleh yang lain. Jadi penulisan sanksi di dalam qanun sebagaimana telah disebutkan di atas, adalah sekedar untuk lebih mudah mewujudkan kepastian hukum, mengurangi alternatif atas berbagai pilihan yang kadang-kadang ditemukan di dalam fiqih. Ketiga, masyarakat Aceh sejak dari awal kemerdekaan sudah menuntut izin untuk melaksanakan Syari’at Islam secara sempurna di tengah masyarakat tanpa pernah berhenti. Setelah hampir enam puluh tahun merdeka barulah keinginan ini mendapatkan pengakuan dan landasan juri disperundangan yang relatif memadai. Tetapi oleh sebagian pihak landasan dan pengakuan ini dianggap masih belum cukup kuat dan karena itu tidak dapat digunakan untuk melaksanakan syari’at Islam secara kaffah. [6]
Untuk ini menurut penulis, para akademisi dan praktisi selayaknya memberikan tafsir berdasar tujuan (teologis) sedemikian rupa. Keinginan rakyat Aceh yang sudah cukup lamauntuk melaksanakan Syari’at Islam, yang oleh undang-undang di atas ingin diakomodir dengan baik, tetapi karena keterbatasan rumusan dan pilihan kataternyata tidak mampu menampung semuanya, perlu diatasi dengan cara memberi kantafsir berdasar tujuan. Bahwa ketentuan dalam undang-undang di atas seyogyanya dipahami berdasar tujuannya yaitu, memberikan kesempatan kepada rakyat Aceh untuk melaksanakan Syari’at Islam secara sempurna melalui lembaga pengadilan ditengah masyarakatnya.

BAB  III
PENUTUP

Kesimpulan
            Kewenangan mengatur pelaksanaan atau penyelenggaraan otonomi khusus oleh UU No. 18 Tahun2001 diberikan kepada Pemerintah Provinsi untuk dituangkan ke dalam qanun.Namun penguatan atau pengaturannya melalui (oleh) peraturan pemerintah tetapdirasa perlu, karena otonomi khusus ini sifatnya sangat unik hanya ada diProvinsi NAD dan Provinsi Papua (tetapi dengan isi yang tidak sama). Rincian otonomi khusus tidak disebutkan secara jelas di dalam undang-undang, sedang bidang seberannya relatif sangat luas, sehingga persinggungan antara kewenangan Pemerintah Provinsi dengan kewenangan Pemerintah akan sering terjadi, dan sekiranya terjadi batasannya tidak mudah ditentukan.
            Karena hal itu adanya peraturan pemerintah yang memberi ketegasan tentang kewenangan Pemerintah di samping kewenangan Pemerintah Provinsi merupakan suatu hal yang sangat diperlukan.Adanya peraturan pemerintah di samping di perlukan oleh masyarakat Aceh juga diperlukan oleh para petugas dan pembuat kebijakan di berbagai Departeman diJakarta, karena sangat boleh jadi ketika membuat sebuah kebijakan Aceh yangberotonomi khusus yang telah mempunyai qanun menjadi terlupakan.
Secara manusiawi adalah wajar sekiranya para pembuat keputusan di Jakarta tidak mengetahui qanun yang sudah disahkan dan berlaku di Aceh, atau walaupun sudah mengetahuinya tidak menghayatinya atau lebih dari itu, boleh jadi terlupa ketika membuat kebijakan tersebut (karena tertuang didalam Qanun yang dibuatdan berlaku di Aceh). Jadi penjelasan tambahan atau penulisan kembali beberapa halyang merupakan otonomi khusus di dalam peraturan pemerintah akan lebih mantap dan akan lebih memudahkan para pembuat keputusan dan kebijakan di Jakarta.Tanpa adanya peraturan pemerintah yang akan memberikan penjelasan tambahan tentang otonomi khusus bagi Provinsi NAD, maka benturan antara qanun sebagai peraturan pelaksanaan atas undang-undang dengan peraturan pemerintah atau peraturan eksekutif lainnya yang lebih rendah di tingkat pusat kuat dugaan tidak akan dapat dihindari malah mungkin akan sering terjadi.
Demikianlah,semoga ada manfaatnya. Kritik dan saran dari berbagai pihak tetap diharapkan untuk penyempurnaan di masa depan dan bahkan perbaikan sekiranya ada yang dianggap keliru atau salah.


DAFTAR PUSTAKA


Abdullah Sani(tesis Nagister), Qanun Syarak Kerajaan Aceh pada zaman Sultan
Alaudin Mansur Syah: Tahkik dan Kajian bandingan dengan Bustanus Salatin,Fakultas Pengajian Islam UKM, Kuala Lumpur, 2000
Al YasaAbubakar, Tanya Jawab Pelaksanaan Syari’at Islam di Provinsi NanggroeAceh Darussalam, Dinas Syari’at Islam Provinsi NAD, Banda Aceh,cet. 1, 2003.
Dinas Syari’atIslam Prov. NAD, Himpunan Undang-Undang Keputusan Presiden,Peraturan daerah, Qanun, Intruksi Gubernur dan Edaran Gubernur,Dinas Syari’at Islam Prov. NAD Banda Aceh, 2003
Human Hamid.2004 “Beberapa Catatatan Awal Tentang Otonomi Khusus di ProvinsiNAD’Kanun Jurnal Ilmu Hukum No. 38 FH UNSYIAH : Banda
Aceh.
JimlyAsshiddiqie. 2000 Penataan Kembali Sumber Tertib Hukum RI Dalam
Rangka Amendemen Kedua UUD 1945 BP MPR-RI Jakarta.
Kaoy Syah, M.Lukman Hakim 2000 Keistimewaan Aceh Dalam Lintasan SejarahAl- Jamiatul Washliyah: Jakarta. Liaw Yock Fang,Undang-Undang Melaka, KITLV, Den Haag, 1976




1. Kaoy Syah, M.Lukman Hakim 2000 Keistimewaan Aceh Dalam Lintasan SejarahAl- Jamiatul Washliyah: Jakarta. Liaw Yock     Fang,Undang-Undang Melaka, KITLV, Den Haag, 1976

[2].JimlyAsshiddiqie. 2000 Penataan Kembali Sumber Tertib Hukum RI Dalam Rangka Amendemen Kedua UUD 1945 BP MPR-RI Jakarta.
2. Dinas Syari’atIslam Prov. NAD, Himpunan Undang-Undang Keputusan Presiden,Peraturan daerah, Qanun, Intruksi Gubernur dan Edaran Gubernur,Dinas Syari’at Islam Prov. NAD Banda Aceh, 2003
[4].Abdullah Sani(tesis Nagister), Qanun Syarak Kerajaan Aceh pada zaman Sultan
Alaudin Mansur Syah: Tahkik dan Kajian bandingan dengan Bustanus Salatin,Fakultas Pengajian Islam UKM, Kuala Lumpur, 2000
[5] . Human Hamid.2004 “Beberapa Catatatan Awal Tentang Otonomi Khusus di ProvinsiNAD’Kanun Jurnal Ilmu Hukum No. 38 FH  UNSYIAH : BandaAceh
[6] . Al YasaAbubakar, Tanya Jawab Pelaksanaan Syari’at Islam di Provinsi NanggroeAceh Darussalam, Dinas Syari’at Islam Provinsi NAD, Banda Aceh,cet. 1, 2003.

0 Response to "KAJIAN QANUN SYARIA’T ISLAM"

Post a Comment

Labels

Aceh ( 4 ) ARTIKEL ( 23 ) Bollywood ( 1 ) CERPEN ( 16 ) HABA ( 1 ) Hollywood ( 1 ) INDO ( 2 ) Makalah ( 97 ) Skript ( 1 ) SOSOK ( 10 ) Wisata ( 2 )