A.
Pendahuluan
Capaian-capaian
peradaban manusia merupakan siklus sejarah yang saling melengkapi satu sama
lain. Sebuah titik peristiwa sejarah merupakan guru bagi peristiwa-peristiwa
sejarah yang datang kemudian. Akumulasi dari rangkaian-rangkaian peristiwa
sejarah itu melahirkan formula bahkan format bagi sebuah peradaban.
Sejarah
merupakan napak tilas peristiwa masa lalu, pembelajaran untuk masa sekarang dan
prediksi bagi masa depan. Perjalanan panjang kehidupan manusia dalam
menciptakan kebahagiaan dalam kehidupan individu dan juga masyarakatnya,
mengharuskan mereka berpikir dan berbuat. Hasil pemikiran dan aktivitas itu ada
yang membuahkan hasil cemerlang, namun tak sedikit yang menuai kegagalan yang
memilukan.
Melihat ke
belakang (sejarah) dalam mencipta peradaban bagi kebahagiaan manusia adalah
sebuah usaha aktif yang maju guna merangkai formula-formula bahkjan
format-format kehidupan yang lebih mapan; yang lebih baik dibanding sebelumnya.
Hal itu dapat dilakukan dengan menilik unsur-unsur dan prinsip-prinsip sejarah
kemudian diejawantahkan sesuai dengan tuntutan kehidupan kekinian. Kegagalan
sebuah sejarah diperlakukan sebagai cermin diri agar tak terulang lagi
kesalahan yang pernah ada. Keberhasilannya diurai dengan menghadirkan seluruh
instrumen yang ada dalam kondisi tempat formulasi itu diterapkan. Penyatuan
kedua ritme kehidupan di atas, dengan berpijak pada sikap positif dan pro
aktif, akan membuahkan hasil yang lebih baik di banding masa sebelumnya.
Gambaran di atas
ingin diajukan dalam uraian makalah ini, dengan menarik sebuah organisasi Islam
sebagai fokus kajiannya. Organisasi yang dimaksud adalah Syarikat Islam
Indonesia.
Uraian makalah
ini akan memapar sejarah kemunculan Syarikat Islam, perkembangannya serta
peroblematika-problematika yang menimpa organisasi Islam pertama ini dalam
gerakan-gerakan perjuangannya. Sambil mendeskripsikan hal-hal di atas,
sekaligus akan dipaparkan pula tokoh-tokohnya, sekaligus analisa atas
tindakan-tindakan yang mereka lakukan, termasuk keberhasilan dan kegagalannya
dalam melaksanakan perjuangannya.
B.
Sejarah Lahirnya PSII
Syarikat Islam
yang kita bicarakan dalam makalah ini pada awalnya bernama Sarekat dagang Islam
(SDI). Ia didirikan pada tanggal 16 Oktober 1905 di Solo dengan tokoh
pemrakarsanya seorang pedagang, H. Samanhudi . Konteks yang melatari lahirnya
SDI adalah lantaran adanya kesadaran Kaoem boemipoetra yang hidup berada dalam
tekanan imperialisme kaum penjajah asing (Belanda) yang ketika itu melahirkan
strata masyarakat Nusantara kepada tiga golongan atau tingkatan:
•
Strata I Kaum Indo Belanda, bangsa Eropa
•
Strata II Kaum Perantauan Timur Asing (Cina, Arab, India)
•
Strata III Kaum Inlander, yaitu bangsa Hindia Belanda (Indonesia).
Kesadaran akan nasib sebagai warga negara kelas tiga di
tanah tumpah darahnya sendiri, menyebabkan kalangan saudagar muslim dan para
haji bangkit untuk memberdayakan kaumnya. Mereka melakukan gerakan dagang atau
ekonomi dengan iktikad melawan atau meruntuhkan dominasi kekuatan kaum Cina
perantauan yang kala itu mendapat hak-hak lebih dan istimewa dalam dunia
ekonomi dan perdagangan. Perdagangan besar dikuasai oleh kaum Indo-Belanda,
sentra-sentra ekonomi berbasis pasar dikuasai para Cina, Arab, India sedang
bangsa Indonesia menjadi kaum kebanyakan, buruh dan pekerja kasar.[1]
Kondisi seperti diungkap di atas, jelas menampakkan bahwa
kesadaran dasar yang muncul pertama kali dalam sejarah organisasi Islam
--ditandai dengan kelahiran Sarekat Dagang Islam-- diawali dari kesadaran akan
ketereliminasian umat dari sisi ekonomi. Di samping itu yang penting pula
diperhatikan dalam latar belakang kemunculan SDI ini adalah adanya kesadaran
dari sebagian masyarakat akan pentingnya pencerahan pemikiran, terutama
pemikiran keislaman, bagi bangkit dan majunya umat Islam di Indonesia.
Lahirnya kesadaran dan bangkitnya kaum muslimin saat itu,
sesungguhnya kuat didorong oleh adanya kebangunan Islam dunia, dan peranan
pelaksanaan haji di awal abad ke-20. Hal itu dapat mengindikasikan bahwa
pergerakan SDI pada dasarnya kuat dipengaruhi secara eksternal oleh fenomena
gerakan tajdid (pembaruan) pemikiran Islam yang sedang berlangsung di belahan
dunia Timur Islam, yang diprakarsai oleh antara lain: Syaikh Muhammad Abduh,
Jamaluddin al-Afghani dan para mujtahid lainnya. Hal itu langsung maupun tidak,
berimbas juga pada dorongan internal yaitu kesadaran kaum muslimin akibat
adanya interaksi pergaulan pada mereka yang melaksanakan ibadah haji di tanah
suci
Dari sinilah kita menandai adanya kebangunan Islam di
Indonesia, sebagai pertanda dan menjadi rangkaian
perubahan masyarakat di Nusantara ketika itu. Titik tekan terpenting yang
menjadi sebab kebangunan ataupun kebangkitan umat Islam saat itu adalah
tumbuhnya kesadaran umat Islam di seluruh dunia untuk melakukan perjuangan anti
kolonialisme kaum kuffar yang menjajah banyak wilayah Islam, termasuk
Indonesia. Kehadiran para jamaah haji di tanah haram tentu memberikan pengaruh
tersendiri bagi terbangunnya sentimen keagamaan untuk kemudian berkembang
menjadi sebuah gerakan kaum muslimin atas keterjajahan diri dan bangsanya.
Sisi lain yang juga menjadi motivasi adalah dalam konteks menghadapi ancaman yang disebut Rosihan Anwar sebagai “kerstening politiek” Belanda yang diberlakukan di tanah jajahan ini. Perlawanan atas kebijakan politik Belanda itulah, membuat kaum muslimin Indonesia secara patriotik melakukan respons perwiranya. Keragaman sebab yang merupakan kausa prima itu kemudian saling bersinergi satu sama lain yang muaranya bertumpu dan berakumulasi pada lahirnya kesadaan baru kaum muslimin untuk melepas diri dari keterkungkungan kaum penjajah, dan menghadapi persaingan dagang dengan kaum Cina Perantauan dan keturunan India.[2]
Sisi lain yang juga menjadi motivasi adalah dalam konteks menghadapi ancaman yang disebut Rosihan Anwar sebagai “kerstening politiek” Belanda yang diberlakukan di tanah jajahan ini. Perlawanan atas kebijakan politik Belanda itulah, membuat kaum muslimin Indonesia secara patriotik melakukan respons perwiranya. Keragaman sebab yang merupakan kausa prima itu kemudian saling bersinergi satu sama lain yang muaranya bertumpu dan berakumulasi pada lahirnya kesadaan baru kaum muslimin untuk melepas diri dari keterkungkungan kaum penjajah, dan menghadapi persaingan dagang dengan kaum Cina Perantauan dan keturunan India.[2]
Mantan Ketua Umun Lajnah Tanfidziah Syarikat Islam, M.A.
Ghani, menyebutkan, bahwa ada 4 (empat) pokok pikiran yang menjadi tujuan
perjuangan SDI sebagai wadah perjuangan kaum muslimin ketika itu:
- Upaya
memperbaiki nasib rakyat dalam bidang sosial ekonomi
- Mempersatukan
para pedagang batik agar dapat bersaing dengan pedagang dari keturunan
Cina.
- Kehendak
mempertinggi derajat dan martabat bangsa pribumi
- Mengembangkan
serta memajukan pendidikan dan agama Islam.
Dari awal gerakan yang berkonsentrasi pada bidang ekonomi
dan perdagangan, gerakan berubah menjadi gerakan sosial, ekonomi dan keagamaan.
Label Islam tetap menjadi citra kejuangannya. Maka pada 1906 (atau ada juga
yang menyebutnya pada 1911) berubahlah nama pergerakan itu menjadi Sarekat
Islam (SI). Perubahan nama menjadi Syarikat Islam (SI) ini secara langsung
ataupun tak langsung adalah disebabkan karena bergabungnya seorang tokoh
“pemberontak” HOS Tjokroaminoto yang bekerja pada sebuah maskapai penerbangan
di Surabaya ke dalam tubuh perkauman ini. Dari sini stressing dan aksentuasi
pergerakan tidak lagi bertumpu sekadar pada urusan dagang atau ekonomi semata
tetapi jauh lebih meluas, menyentuh aspek-aspek lainnya.
Partai Syarikat
Islam Indonesia sering membanggakan dirinya sebagai Partai tertua di Indonesia,
karena ia memang berasal dari Sarekat Dagang Islam (SDI, 1911) dan Sarekat
Islam (SI, 1912). Tetapi sebab langsung partai tersebut didirikan kembali
padahal sebelumnya telah ada kebiulatan tekad untuk melihat Masjumi sebagai
satu-satunya partai Islam, ialah usaha formatir Amir Syarifuddin membentuk
kabinet pada tahun 1947 yang ingin mengikutkan kalangan Islam tetapi ditolak
oleh Masjumi. Rupanya kalangan PSII terpancing oleh ajakan Amir Syarifuddin;
mereka bersedia duduk dalam kabinet yang ia bentuk.[3]
Segera sesudah
PSII didirikan kembali pada tahun 1947 itu, pimpinan PSII mengeluarkan
pengumuman yang mengatakan bahwa PSII tidak mempunyai perikatan dengan Masjumi.
PSII masuk kabinet semata-mata berdasarkan tanggungjawabnya terhadap negara
yang sedang menghadapi ketegangan yang sangat serta kesulitan besar sehingga
partai merasa perlu menanggulanginya. Suatu konperensi mewajibkan pimpinan
partai menghubungi Masjumi guna mencari penyelesaian dalam kelangsungan hidup
bernegara, persatuan Islam dan umumnya orang Indonesia. Tetapi sampai Masjumi
dibubarkan pada tahun 1960 hubungan seperti itu tidak pernah dilakukan.
C.
Ide-Ide Umum Syarekat
Islam
Sebagai sebuah organisasi pergerakan yang berbasis
Islam, Syarekat Islam lahir dengan keinginan untuk mengubah tatanan sosial
kemasyarakatan yang menimpa masyarakat muslim, akibat kondisi keterjajahan
mereka oleh Belanda kala itu.
Meskipun pada awalnya --saat masih bernama SDI--
gerakan ini lahir sebagai gerakan Islam yang menitikberatkan perjuangannya pada
bidang ekonomi umat, namun muncul pula kesadaran bahwa perhatian pada ekonomi
umat, mesti dipadukan dengan peranan politik umat Islam.
Hadirnya HOS Tjokroaminoto dalam pergerakan ini meretas jalan mulus menuju kebijakan dan peran politik umat Islam. Di bawah kepemimpinannya orientasi pergerakan lebih bersifat politik. Ia lalu menasional terbukti dari kongres-kongres yang diadakan dengan menggunakan kata nasional, khususnya sejak 1916 di Bandung. Sifat politik secara tegas diformulasikan dalam ketetapan kongres pada 1917 di Batavia. Cita-cita mewujudkan pemerintahan sendiri dan berparlemen telah dikemukakan oleh HOS Tjokroaminoto dan Abdul Muis, salah seorang tokoh Budi Utomo yang bergabung untuk kemudian mengubah SI menjadi Central Sarekat Islam (CSI).
Hadirnya HOS Tjokroaminoto dalam pergerakan ini meretas jalan mulus menuju kebijakan dan peran politik umat Islam. Di bawah kepemimpinannya orientasi pergerakan lebih bersifat politik. Ia lalu menasional terbukti dari kongres-kongres yang diadakan dengan menggunakan kata nasional, khususnya sejak 1916 di Bandung. Sifat politik secara tegas diformulasikan dalam ketetapan kongres pada 1917 di Batavia. Cita-cita mewujudkan pemerintahan sendiri dan berparlemen telah dikemukakan oleh HOS Tjokroaminoto dan Abdul Muis, salah seorang tokoh Budi Utomo yang bergabung untuk kemudian mengubah SI menjadi Central Sarekat Islam (CSI).
Desakan yang berhasil dilakukan terhadap pemerintah
adalah berdirinya Volksraad di mana dua orang tokoh CSI duduk di dalamnya yaitu
HOS Tjokroaminoto dan Abdul Muis. Sikap HOS Tjokroaminoto begitu keras sehingga
ia mengeluarkan sebuah petisi/mosi tidak percaya kepada pemerintah karena
menganggap Volksraad tidak berpihak kepada kehendak mendengarkan aspirasi
masyarakat bangsa pribumi.
Kemudian di dalam tubuh CSI terjadi perpecahan,
hingga pada kongres Nasional VI bulan Oktober 1921 di Surabaya ditegakkan
disiplin partai, yaitu mengharamkan orang-orang berhaluan komunis berada di
dalam SI/PSII. Dari sini sejarah mencatat bahwa SI jadi terbelah dua: SI Putih
dan SI Merah. SI putih (yang dimotori oleh Agus Salim dan Abdul Muis) berhasil
membuang SI merah --yang di dalamnya terdapat Semaun, Tan Malaka, Darsono,
Alimin dan Haji Misbach-- dari tubuh PSII/SI. Sebagai konsekuensinya SI menjadi
(Sarekat Internasional) bertukar nama menjadi Sarekat Rakyat dan menyatakan
dirinya sebagai suatu organisasi radikal nasional baru.[4]
Ide-ide umum yang dapat ditangkap dari pergerakan
Sarekat Islam, dapat dilihat pada Anggaran Dasar pertama yang dirumuskan oleh
Raden Mas Tirto Adisurjo. “Tiap-tiap orang mengetahuilah bahwa masa yang
sekarang ini dianggapnya masa zaman kemajuan, haruslah sekarang kita berhaluan:
Janganlah hendaknya mencari kemajuan itu cuma dengan suara saja. Bagi kita kaum
muslimin adalah dipikulkan wajib juga akan turut mencapai tujuan itu, dan oleh
karenanya, maka telah kita tetapkanlah mendirikan perhimpunan Sarekat Islam”.
Dalam ungkapan itu dapat ditangkap bahwa terdapat
kesadaran akan ketertinggalan umat Islam yang harus segera dientaskan lewat
kerja keras yang sungguh-sungguh, agar umat dapat maju dan turut serta dalam
pengambilan kebijakan dalam percarutan kehidupan sosial maupun politik di
Indonesia.
Hal di atas juga nampaknya lahir dari kesadaran akan
keterpurukan umat Islam. Seperti kita lihat pada bagian-bagian sebelumnya bahwa
ternyata masyarakat muslim di kala itu terposisikan sebagai kelompok masyarakat
kelas tiga di samping Belanda dan etnis-etnis; Cina dan juga Arab. Keterpurukan
itu sangat jelas pada bidang ekonomi. Belanda sebagai peletak kebijakan,
memberikan kesempatan yang lebih besar kepada non pribumi dalam persoalan
perdagangan dan ekonomi. Hal itu membuat sebagian pemikir muslim kala itu
merasa terpanggil untuk meluruskan keberpihakan yang tidak adil itu. Karenanya
dapat dikatakan bahwa pada awal berdirinya, ide umum yang ditelorkan oleh
Sarekat Dagang Islam, seperti namanya adalah melakukan “perang” secara ekonomi
melawan pihak-pihak tertentu. Di samping itu, tujuan organisasi ini adalah: “Akan
berikhtiar supaya anggota-anggotanya satu sama lain bergaul seperti saudara dan
supaya timbullah kerukunan dan tolong menolong satu sama lain antara sekalian
kaum muslimin dan lagi dengan segala daya upaya yang halal dan tidak menyalahi
wet-wet negeri-negeri Surakarta dan wet-wet government,… berikhtiar mengangkat
derajat rakyat agar menimbulkan kemakmuran, kesejahteraan dan kebesaran
negeri”.
Terlihat jelas dalam bagian ini bahwa keberpihakan
yang menjadi arah dari Sarekat Islam adalah memajukan umat Islam dari sisi
ekonomi dan juga politik, serta terkandung pula usaha untuk membebaskan negeri
ini dari penjajahan Belanda.[5]
Simpulnya dapat dikatakan bahwa ide-ide umum yang
ditelorkan SI bermuara pada usaha kebangkitan umat Islam, lewat persatuan serta
perjuangan melepaskan diri dari cengkeraman kuku-kuku penjajah.
D.
Ide-ide Pembaharuan SI
Sebagai pergerakan Islam yang pertama di tanah air,
SI tentu saja memiliki ide-ide pembaruan yang ingin diterapkannya sebagai
proses menuju sasaran yang diinginkannya. Ide-ide pembaharuan itu dapat dilihat
dari hasil kongres SI 1917 yang isinya antara lain:
1.
Politik: SI menuntut berdirinya
dewan-dewan daerah, perluasan volkstrad (dewan rakyat) serta menuntut
penghapusan kerja paksa dan sistem izin untuk bepergian.
2.
Pendidikan: Partai menuntut penghapusan
peraturan yang mendiskriminasikan penerimaan murid di sekolah-sekolah. Ia juga
menuntut terlaksananya wajib belajar untuk semua penduduk sampai berumur 15
tahun; perbaikan lembaga-lembaga pendidikan pada segala tingkatan; memasukkan
pelajaran keterampilan; perluasan sekolah hukum dan sekolah kedokteran menjadi
universitas dan pemberian Bea siswa untuk belajar di luar negeri.
3.
Agama: Partai menuntut dihapusnya
undang-undang dan peraturan yang menghambat tersebarnya Islam; pembayaran gaji
bagi kiyai dan penghulu; subsidi bagi lembaga-lembaga pendidikan Islam dan
pengkauan hari-hari besar Islam
4.
Agraria: Partai menuntut perbaikan agraria
dan pertanian dengan menghapuskan particulire lauderijen (tuan tanah).
5.
Industri. Partai menuntut agar
industri-industri yang sangat penting, dinasionalisasikan.
6.
Keuangan dan perpajakan: Partai menuntut
adanya pajak-pajak berdasar proporsional serta pajak-pajak yang dipungut
terhadap laba perkebunan.
7.
Kooperasi: Partai menuntut agar pemerintah
memberikan bantuan bagi perkumpulan kooperasi.
8.
Sosial: Partai menuntut agar pemerintah
memerangi minuman keras dan candu; perjudian dan prostitusi; juga melarang
penggunaan tenaga kerja anak-anak; mengeluarkan peraturan perburuhan yang menjaga
kepentingan para pekerja serta menambah jumlah poliklinik dengan gratis.[6]
Demikianlah ide-ide yang lahir berupa tuntutan kepada pihak pemerintah. Jika diteliti nampaklah bahwa tema-tema yang menjadi tuntutan SI kepada pemerintah, seluruhnya bernuansa keinginan untuk memberikan kehidupan yang layak bagi masyarakat dari segi ekonomi, politik, pendidikan dan juga keamanan.
Demikianlah ide-ide yang lahir berupa tuntutan kepada pihak pemerintah. Jika diteliti nampaklah bahwa tema-tema yang menjadi tuntutan SI kepada pemerintah, seluruhnya bernuansa keinginan untuk memberikan kehidupan yang layak bagi masyarakat dari segi ekonomi, politik, pendidikan dan juga keamanan.
E.
Pergolakan Dalam Tubuh SI
Seperti telah diungkap sebelumnya, bahwa SI pada
masa perjuangannya terpecah menjadi dua bagian; SI Merah dan SI Putih.
Pergolakan dan perpecahan yang terjadi dalam tubuh SI, tidaklah semata-mata
bersumber dari faktor internal. Yang lebih penting diperhatikan adalah faktor
eksternal yang menyebabkan pertentangan itu. Faktor eksternal dimaksud adalah rekayasa
yang diciptakan oleh penjajah Belanda.
Sampai tahun 1918, organisasi Sarekat Islam telah
juga diperhitungkan oleh pihak kolonial Belanda. Belanda berpendapat, bahwa
persatuan Islam akan lebih berbahaya mengingat sebagian besar orang-orang
Indonesia memeluk agama Islam. Apabila orang-orang Islam Indonesia dapat
membentuk persatuan Islam secara mantap, maka Belanda akan sulit mengatasinya,
terlebih lagi jika organisasi Islam yang telah mantap itu bergerak dalam bidang
politik.[7]
Kekhawatiran itu dapat dilihat pada usaha Belanda berusaha ingin memecah belah Sarekat Islam yaitu dengan cara memasukkan orang Belanda ke dalam tubuh Sarekat Islam. Cara Belanda untuk memecah belah Sarekat Islam, telah dirintis sejak lama.
Kekhawatiran itu dapat dilihat pada usaha Belanda berusaha ingin memecah belah Sarekat Islam yaitu dengan cara memasukkan orang Belanda ke dalam tubuh Sarekat Islam. Cara Belanda untuk memecah belah Sarekat Islam, telah dirintis sejak lama.
Pada mulanya Belanda mengadakan gerakan komunis di
Indonesia diawali dengan pembentukan ISDV (indische Sosial Democratische
Vereeniging) atau Perhimpunan Sosial Demokratis Hindia. Organisasi ini
merupakan organisasi Marxis pertama di Asia Tenggara. Sneevliet sebagai pendiri
organisasi mendapat tugas dari pemerintah Belanda untuk menyelidiki organisasi
Sarekat Islam. Dengan tugas tersebut, Sneevliet, mengadakan inviltrasi ke dalam
tubuh Sarekat Islam. Anggota-anggota Sarekat Islam akan ditarik ke dalam ISDV.
Semaun yang masuk Sarekat Islam pada tahun 1915, terkena pengaruh ajaran
komunis yang disampaikan oleh Sneevliet. Tak lama kemudian menyusul Darsono,
Tan Malaka, Alimin Prawirodirdjo dan lain-lain. Akibatnya Sarekat Islam menjadi
retak. Salah satu pihak ingin tetap mempertahankan kemurnian organisasi Islam,
dengan menganut ajaran-ajaran Islam yang sebenarnya, tetapi di pihak lain telah
banyak sikap yang berubah lewat pencampuradukkan ajaran Islam dengan paham
komunis. Inilah yang menyebabkan kelemahan pergerakan nasional dalam organisasi
Sarekat Islam kemudian. Lantas pada pertemuan selanjutnya selalu terjadi
pertentangan hebat; Perpecahan ini terus berlanjut sampai dalam kongres Sarekat
Islam I, II, III, dan IV.
SI putih dan SI merah ini dalam pandangan
Kuntowijoyo dapat dipetakan menjadi Sosialisme komunisme (SI Merah) dan
sosialisme Islam (SI putih). Baik sosialisme Islam maupun sosialisme Komunis,
sama-sama ideologi, maka keduanya mempunyai watak yang sama yaitu tertutup,
final dan normatif. Mereka juga mempunyai tujuan yang sama, yaitu rekontruksi
sosial. Tetapi keduanya mempunyai perbedaan. Kalau Komunisme adalah perjuangan
untuk mengubah struktur masyarakat pada waktu itu dengan memodifikasi
birokrasi, front persatuan, dan mobilitas massa, maka Islam adalah perjuangan
struktural sama dengan komunisme, tetapi juga kultural dalam arti sangat
tergantung pada kesadaran individual, karena itu ia juga memperhatikan agama,
pendidikan dan kebudayaan. Khusus mengenai ekonomi, SI-Merah bersifat anti
kapitalisme secara revolusioner, sedangkan SI-Putih juga anti kapitalisme,
tetapi dengan jalan mengembangkan kooperasi. Berbeda dengan SI yang analisisnya
mendasarkan diri pada fakta individual, PKI adalah perjuangan struktural yang
didasarkan pada fakta sosial.[8]
Dalam mengurai untuk melihat siapa kalah dan menang
dalam pertentangan ini Kuntowijoyo, dengan menggunakan kerangka sosialisme
memilih SI-Merah sebagai pemenangnya. Alasan-alasan yang dikemukakannya adalah
bahwa komunisme sudah berpengalaman dengan industrialisasi dan kaum buruh, dan bagi
SI Industrialisasi dan kaum buruh masih merupakan hal baru yang tanpa preseden
sebelumnya. Karena itu bisa dimengerti kalau reaksi SI dapat dikatakan
terlambat, too late karena pertama; kaum buruh sudah terlanjur ada; sudah
terorganisasikan dengan rapih. Kedua; SI kalah bersaing dengan Marxisme yang
sudah sejak pertengahan abad ke-19 mengenal buruh. Demikian juga bagi kaum
buruh yang melihat ada unsur “mesianistik” pada komunisme, jawaban SI terlalu
kecil, too litle, karena tidak mengandung harapan baru. Lagi pula, orientasi
non materialistis terasa kurang relevan dengan kepentingan duniawi kaum buruh.
Di bawah kepemimpinan HOS Tjokroaminoto, SI lalu
meretas jalan menuju gerakan politik yang terorganisir. SI kemudian menjadi
cikal bakal dari pergerakan perjuangan kebangsaan Indonesia. Ia kemudian
menjadi Central Sarekat Islam (CSI) dan mulai menggunakan kata nasional.
Terbukti dari kongres tahunan yang diadakannya: Nationale Indische congres
(NATICO). Pada gilirannya SI benar-benar menjadi organisasi atau partai
politik, yaitu ditandai dengan perubahan nama menjadi Partai Syarikat Islam
Hindia Timur (1923) dan pada NATICO ke-14 pada Januari 1929 di Jakarta menjadi
Partai Syarikat Islam Indonesia (PSII).
KESIMPULAN
- SI
awalnya bernama Sarekat Dagang Islam yang gerakan perjuangannya terletak
pada pemberdayaan ekonomi umat.
- Setelah
masuknya HOS Tjokroaminoto, SI sebagai organisasi semakin terorganisir
secara sistematis. Di tangan beliau pulalah SI menjadi gerakan sosial dan
politik.
- SI
adalah gerakan Islam pertama yang ingin memperjuangkan kepentingan umat
Islam, dan yang berusaha ingin mengangkat harkat martabat umat Islam di
Indonesia.
DAFTAR PUSTAKA
Amel, HOS Tjokroaminoto; Hidup dan Perjuangannya. Jakarta: Bulan Bintang, 1996.
Effendi, Bahtiar. Islam dan Negara:
Transformasi Pemikiran dan Praktik Politik Islam di Indonesia. Cet. I; Jakarta:
Paramadina, 1998.
Iskandar, Jos Sutan. Rekontruksi
PSII dalam visi Rahardjo Tjakraningrat, Cet. I; Jakarta: Pustaka Nusa Centre,
2002.
Kuntowijoyo, Muslim Tanpa Masjid,
Esai-Esai, Agama, Budaya, dan Politik dalam Bingkai Strukturalisme
Transendental. Cet. I; Bandung: Mizan, 2001.
Noer, Deliar. Gerakan Moderen Islam
di Indonesia 1900-19442. Cet. VIII; Jakarta: LP3ES, 1996.
Sudiyo, Perhimpunan Indonesia Sampai
Dengan Lahirnya Sumpah Pemuda. Cet. I; Jakarta: Bina Aksara, 1989.
[1] . Noer, Deliar. Gerakan Moderen Islam
di Indonesia 1900-19442. Cet. VIII; Jakarta: LP3ES, 1996. Hal : 24
[2] .
Sudiyo, Perhimpunan Indonesia Sampai Dengan Lahirnya Sumpah Pemuda. Cet. I;
Jakarta: Bina Aksara, 1989.hal : 47
[4] .
Kuntowijoyo, Muslim Tanpa Masjid, Esai-Esai, Agama, Budaya, dan Politik dalam
Bingkai Strukturalisme Transendental. Cet. I; Bandung: Mizan, 2001. Hal 56-58
[5] .
Noer, Deliar. Gerakan Moderen Islam di Indonesia 1900-19442. Cet. VIII;
Jakarta: LP3ES, 1996. Hal: 28
[6] .
Effendi, Bahtiar. Islam dan Negara: Transformasi Pemikiran dan Praktik Politik
Islam di Indonesia. Cet. I; Jakarta: Paramadina, 1998. Hal: 36
[7] .
Iskandar, Jos Sutan. Rekontruksi PSII dalam visi Rahardjo Tjakraningrat, Cet.
I; Jakarta: Pustaka Nusa Centre, 2002.hal :45
[8] . Sudiyo,
Perhimpunan Indonesia Sampai Dengan Lahirnya Sumpah Pemuda. Cet. I; Jakarta:
Bina Aksara, 1989. Hal: 52-53
0 Response to "Makalah Partai Serikat Islam Indonesia"
Post a Comment