MANAJEMEN KONFLIK DALAM ORGANISASI
Oleh:
Kelompok : III
NAMA
:Cut Irhamna Heriyanti
Mulfera
Maulana Mustaqim
Mahlil Munaidi
DOSPEN :Sofyan
Suri Lc, MA
.
SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM ALMUSLIM
BIREUEN PROVINSI ACEH
TAHUN 2013
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar
Belakang
Organisasi
terdiri dari berbagai macam komponen yang berbeda dan saling memiliki
ketergantungan dalam proses kerjasama untuk mencapai tujuan tertentu. Perbedaan
yang terdapat dalam organisasi seringkali menyebabkan terjadinya ketidakcocokan
yang akhirnya menimbulkan konflik. Hal ini disebabkan karena pada dasarnya
ketika terjadi suatu organisasi, maka sesungguhnya terdapat banyak kemungkinan
timbulnya konflik .
Konflik
dapat menjadi masalah yang serius dalam setiap organisasi, tanpa peduli apapun
bentuk dan tingkat kompleksitas organisasi tersebut, jika konflik tersebut
dibiarkan berlarut-larut tanpa penyelesaian. Karena itu keahlian untuk
mengelola konflik sangat diperlukan bagi setiap pimpinan atau manajer organisasi.
Makalah
ini mencoba menyajikan tentang Prosedur Implementasi Model Manajemen Konflik
Prouktivitas Organisasi.
B. Rumusan Masalah
1. Apa Definisi Konflik ?
2.
Bagaimana Pandangan Mengenai Konflik ?
3.
Apa Saja Sumber Konflik ?
4.
Apa Saja Jenis-jenis Konflik ?
5.
Bagaimana Implementasi Manajemen Konflik dalam Organisasi ?
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Manajemen
konflik
Manajemen konflik merupakan serangkaian aksi dan
reaksi antara pelaku maupun pihak luar dalam suatu konflik. Manajemen konflik
termasuk pada suatu pendekatan yang berorientasi pada proses yang mengarahkan
pada bentuk komunikasi (termasuk tingkah laku) dari pelaku maupun pihak luar
dan bagaimana mereka mempengaruhi kepentingan (interests) dan interpretasi.
Bagi pihak luar (di luar yang berkonflik) sebagai pihak ketiga, yang
diperlukannya adalah informasi yang akurat tentang situasi konflik. Hal ini
karena komunikasi efektif di antara pelaku dapat terjadi jika ada kepercayaan
terhadap pihak ketiga.
Menurut Ross (1993) bahwa manajemen konflik
merupakan langkah-langkah yang diambil para pelaku atau pihak ketiga dalam
rangka mengarahkan perselisihan ke arah hasil tertentu yang mungkin atau tidak
mungkin menghasilkan suatu akhir berupa penyelesaian konflik dan mungkin atau
tidak mungkin menghasilkan ketenangan, hal positif, kreatif, bermufakat, atau
agresif.
Manajemen konflik dapat melibatkan bantuan diri
sendiri, kerjasama dalam memecahkan masalah (dengan atau tanpa bantuan pihak
ketiga) atau pengambilan keputusan oleh pihak ketiga. Suatu pendekatan yang
berorientasi pada proses manajemen konflik menunjuk pada pola komunikasi
(termasuk perilaku) para pelaku dan bagaimana mereka mempengaruhi kepentingan
dan penafsiran terhadap konflik.
Fisher dkk (2001:7) menggunakan istilah transformasi
konflik secara lebih umum dalam menggambarkan situasi secara keseluruhan.
•
Pencegahan Konflik, bertujuan untuk mencegah timbulnya konflik yang keras.
•
Penyelesaian Konflik, bertujuan untuk mengakhiri perilaku kekerasan melalui
persetujuan damai.
•
Pengelolaan Konflik, bertujuan untuk membatasi dan menghindari kekerasan dengan
mendorong perubahan perilaku positif bagi pihak-pihak yang terlibat.
•
Resolusi Konflik, menangani sebab-sebab konflik dan berusaha membangun hubungan
baru dan yang bisa tahan lama diantara kelompok-kelompok yang bermusuhan.
•
Transformasi Konflik, mengatasi sumber-sumber konflik sosial dan politik yang
lebih luas dan berusaha mengubah kekuatan negatif dari peperangan menjadi
kekuatan sosial dan politik yang positif.
Tahapan-tahapan diatas merupakan satu kesatuan yang
harus dilakukan dalam mengelola konflik. Sehingga masing-masing tahap akan
melibatkan tahap sebelumnya misalnya pengelolaan konflik akan mencakup
pencegahan dan penyelesaian konflik.
Sementara Minnery (1980:220) menyatakan bahwa
manajemen konflik merupakan proses, sama halnya dengan perencanaan kota
merupakan proses. Minnery (1980:220) juga berpendapat bahwa proses manajemen
konflik perencanaan kota merupakan bagian yang rasional dan bersifat iteratif,
artinya bahwa pendekatan model manajemen konflik perencanaan kota secara terus
menerus mengalami penyempurnaan sampai mencapai model yang representatif dan
ideal. Sama halnya dengan proses manajemen konflik yang telah dijelaskan
diatas, bahwa manajemen konflik perencanaan kota meliputi beberapa langkah
yaitu: penerimaan terhadap keberadaan konflik (dihindari atau
ditekan/didiamkan), klarifikasi karakteristik dan struktur konflik, evaluasi
konflik (jika bermanfaat maka dilanjutkan dengan proses selanjutnya),
menentukan aksi yang dipersyaratkan untuk mengelola konflik, serta menentukan
peran perencana sebagai partisipan atau pihak ketiga dalam mengelola konflik.
Keseluruhan proses tersebut berlangsung dalam konteks perencanaan kota dan
melibatkan perencana sebagai aktor yang mengelola konflik baik sebagai
partisipan atau pihak ketiga
B. Teori-teori Konflik
Teori-teori utama mengenai sebab-sebab konflik
adalah:
•
Teori hubungan masyarakat
Menganggap bahwa konflik disebabkan oleh polarisasi
yang terus terjadi, ketidakpercayaan dan permusuhan di antara kelompok yang
berbeda dalam suatu masyarakat.
Sasaran: meningkatkan komunikasi dan saling
pengertian antara kelompok yang mengalami konflik, serta mengusahakan toleransi
dan agar masyarakat lebih bisa saling menerima keragaman yang ada didalamnya.
•
Teori kebutuhan manusia
Menganggap bahwa konflik yang berakar disebabkan
oleh kebutuhan dasar manusia (fisik, mental dan sosial) yang tidak terpenuhi
atau dihalangi. Hal yang sering menjadi inti pembicaraan adalah keamanan,
identitas, pengakuan, partisipasi, dan otonomi.
Sasaran: mengidentifikasi dan mengupayakan bersama
kebutuhan mereka yang tidak terpenuhi, serta menghasilkan pilihan-pilihan untuk
memenuhi kebutuhan itu.
•
Teori negosiasi prinsip
Menganggap bahwa konflik disebabkan oleh
posisi-posisi yang tidak selaras dan perbedaan pandangan tentang konflik oleh
pihak-pihak yang mengalami konflik.
Sasaran: membantu pihak yang berkonflik untuk
memisahkan perasaan pribadi dengan berbagai masalah dan isu dan memampukan
mereka untuk melakukan negosiasi berdasarkan kepentingan mereka daripada posisi
tertentu yang sudah tetap. Kemudian melancarkan proses kesepakatan yang
menguntungkan kedua belah pihak atau semua pihak.
•
Teori identitas
Berasumsi bahwa konflik disebabkan oleh identitas
yang terancam, yang sering berakar pada hilangnya sesuatu atau penderitaan di
masa lalu yang tidak diselesaikan.
Sasaran: melalui fasilitas lokakarya dan dialog
antara pihak-pihak yang mengalami konflik, sehingga dapat mengidentifikasi ancaman
dan ketakutan di antara pihak tersebut dan membangun empati dan rekonsiliasi di
antara mereka.
•
Teori kesalahpahaman antarbudaya
Berasumsi bahwa konflik disebabkan oleh
ketidakcocokan dalam cara-cara komunikasi di antara berbagai budaya yang
berbeda.
Sasaran: menambah pengetahuan kepada pihak yang
berkonflik mengenai budaya pihak lain, mengurangi streotip negatif yang mereka
miliki tentang pihak lain, meningkatkan keefektifan komunikasi antarbudaya.
•
Teori transformasi konflik
Berasumsi bahwa konflik disebabkan oleh
masalah-masalah ketidaksetaraan dan ketidakadilan yang muncul sebagai masalah
sosial, budaya dan ekonomi.
Sasaran: mengubah struktur dan kerangka kerja yang
menyebabkan ketidaksetaraan dan ketidakadilan termasuk kesenjangan ekonomi, meningkatkan
jalinan hubungan dan sikap jangka panjang di antar pihak yang berkonflik,
mengembangkan proses dan sistem untuk mempromosikan pemberdayaan, keadilan,
perdamaian, pengampunan, rekonsiliasi, pengakuan.
C. Definisi Konflik
C. Definisi Konflik
Terdapat
banyak definisi mengenai konflik yang bisa jadi disebabkan oleh perbedaan
pandangan dan setting dimana konflik terjadi. Dibawah ini bisa terlihat
perbedaan definisi tersebut:
Conflict is a process in which one party perceives that its interests are being opposed ora negatively affected by another party . Konflik merupakan suatu bentuk interaksi diantara beberapa pihak yang berbeda dalam kepentingan, persepsi dan tujuan .
Conflict is a process in which one party perceives that its interests are being opposed ora negatively affected by another party . Konflik merupakan suatu bentuk interaksi diantara beberapa pihak yang berbeda dalam kepentingan, persepsi dan tujuan .
Konflik
adalah perbedaan pendapat antara dua atau lebih banyak anggota organisasi atau
kelompok, karena harus membagi sumber daya yang langka, atau aktivitas kerja
dan atau karena mereka mempunyai status, tujuan, penelitian, atau pandangan
yang berbeda. Para anggota organisasi atau sub-unit yang sedang berselisih akan
berusaha agar kepentingan atau pandangan mereka mengungguli yang lainnya .
Konflik
merupakan sebuah situasi dimana dua orang atau lebih menginginkan tujuan-tujuan
yang menurut persepsi mereka dapat dicapai oleh salah seorang diantara mereka,
tetapi hal itu tidak mungkin dicapai oleh kedua belah pihak .
Konflik adalah perilaku anggota
organisasi yang dicurahkan untuk beroposisi terhadap anggota yang lain,
prosesnya dimulai jika satu pihak merasa bahwa pihak lain telah menghalangi
atau akan menghalangi sesuatu yang ada kaitan dengan dirinya atau hanya jika ada
kegiatan yang tidak cocok.
Di antara definisi yang berbeda itu nampak
ada suatu kesepakatan, bahwa konflik dilatarbelakangi oleh adanya
ketidakcocokan atau perbedaan dalam hal nilai, tujuan, status, dan lain
sebagainya. Terlepas dari faktor yang melatarbelakangi terjadinya suatu
konflik, gejala yang mengemuka dalam suatu organisasi saat terjadi konflik
adalah saat individu atau kelompok menunjukkan sikap “bermusuhan” dengan
individu atau kelompok lain yang berpengaruh terhadap kinerja dalam melakukan
aktivitas organisasi.
B. Pandangan
Mengenai Konflik
Terdapat
tiga pandangan mengenai konflik. Hal ini disebabkan karena adanya pandangan
yang berbeda mengenai apakah konflik merugikan, hal yang wajar atau justru
harus diciptakan untuk memberikan stimulus bagi pihak-pihak yang terlibat untuk
saling berkompetisi dan menemukan solusi yang terbaik. Pandangan itu adalah
sebagai berikut :
Pandangan
Tradisional (The Traditional View). Pandangan ini menyatakan bahwa semua
konflik itu buruk. Konflik dilihat sebagai sesuatu yang negatif, merugikan dan
harus dihindari. Untuk memperkuat konotasi negatif ini, konflik disinonimkan
dengan istilah violence, destruction, dan irrationality.
Pandangan
Hubungan Manusia (The Human Relations View). Pandangan ini berargumen bahwa
konflik merupakan peristiwa yang wajar terjadi dalam semua kelompok dan
organisasi. Konflik merupakan sesuatu yang tidak dapat dihindari, karena itu
keberadaan konflik harus diterima dan dirasionalisasikan sedemikian rupa
sehingga bermanfaat bagi peningkatan kinerja organisasi.
Pandangan Interaksionis (The Interactionist View). Pandangan ini cenderung mendorong terjadinya konflik, atas dasar suatu asumsi bahwa kelompok yang koperatif, tenang, damai, dan serasi, cenderung menjadi statis, apatis, tidak aspiratif, dan tidak inovatif. Oleh karena itu, menurut aliran pemikiran ini, konflik perlu dipertahankan pada tingkat minimun secara berkelanjutan, sehingga kelompok tetap bersemangat (viable), kritis-diri (self-critical), dan kreatif.
Pandangan Interaksionis (The Interactionist View). Pandangan ini cenderung mendorong terjadinya konflik, atas dasar suatu asumsi bahwa kelompok yang koperatif, tenang, damai, dan serasi, cenderung menjadi statis, apatis, tidak aspiratif, dan tidak inovatif. Oleh karena itu, menurut aliran pemikiran ini, konflik perlu dipertahankan pada tingkat minimun secara berkelanjutan, sehingga kelompok tetap bersemangat (viable), kritis-diri (self-critical), dan kreatif.
C. Sumber
Konflik
Terdapat
beberapa hal yang melatarbelakangi terjadinya konflik. Agus M. Hardjana
mengemukakan sepuluh penyebab munculnya konflik , yaitu:
a. Salah pengertian
atau salah paham karena kegagalan komunikas
b. Perbedaan tujuan
kerja karena perbedaan nilai hidup yang dipegang
c. Rebutan dan
persaingan dalam hal yang terbatas seperti fasilitas kerja dan jabatan
d. Masalah wewenang dan
tanggung jawab
e. Penafsiran yang
berbeda atas satu hal, perkara dan peristiwa yang sama
f. Kurangnya kerja sama
g. Tidak mentaati tata
tertib dan peraturan kerja yang ada
h. Ada usaha untuk
menguasai dan merugikan
i. Pelecehan pribadi
dan kedudukan
j. Perubahan dalam
sasaran dan prosedur kerja sehingga orang menjadi merasa tidak jelas tentang
apa yang diharapkan darinya.
Stoner sendiri
menyatakan bahwa penyebab yang menimbulkan terjadinya konflik adalah :
a. Pembagian sumber daya (shared resources)
a. Pembagian sumber daya (shared resources)
b. Perbedaan dalam
tujuan (differences in goals)
c. Ketergantungan
aktivitas kerja (interdependence of work activities)
d. Perbedaan dalam
pandangan (differences in values or perceptions)
e. Gaya individu dan
ambiguitas organisasi (individual style and organizational ambiguities).
Robbins
sendiri membedakan sumber konflik yang berasal dari karakteristik perseorangan
dalam organisasi dan konflik yang disebabkan oleh masalah struktural. Dari sini
kemudian Robbins menarik kesimpulan bahwa ada orang yang mempunyai kesulitan
untuk bekerja sama dengan orang lain dan kesulitan tersebut tidak ada kaitannya
dengan kemampuan kerja atau interaksinya yang formal. Konflik perseorangan ini
disebut Robbins dengan konflik psikologis.
Untuk itulah Robbins kemudian memusatkan perhatian pada sumber konflik organisasi yang bersifat struktural. Sumber-sumber konflik yang dimaksudkan Robbins, yaitu:
Untuk itulah Robbins kemudian memusatkan perhatian pada sumber konflik organisasi yang bersifat struktural. Sumber-sumber konflik yang dimaksudkan Robbins, yaitu:
a. Saling
ketergantungan pekerjaan
b. Ketergantungan
pekerjaan satu arah
c. Diferensiasi
horizontal yang tinggi
d.
Formalisasi yang rendah
e.
Ketergantungan pada sumber bersama yang langka
f.
Perbedaan dalam kriteria evaluasi dan sistem imbalan
g. Pengambilan
keputusan partisipatif
h.
Keanekaragaman anggota
i.
Ketidaksesuaian status
j.
Ketakpuasan peran
k.
Distorsi komunikasi
D. Jenis Konflik
Terdapat
berbagai macam jenis konflik, tergantung pada dasar yang digunakan untuk
membuat klasifikasi. Ada yang membagi konflik berdasarkan pihak-pihak yang
terlibat di dalamnya, ada yang membagi konflik dilihat dari fungsi dan ada juga
yang membagi konflik dilihat dari posisi seseorang dalam suatu organisasi.
a.
Konflik
Dilihat dari Posisi Seseorang dalam Struktur Organisasi
Jenis konflik ini
disebut juga konflik intra keorganisasian. Dilihat dari posisi seseorang dalam
struktur organisasi, Winardi membagi konflik menjadi empat macam. Keempat jenis
konflik tersebut adalah sebagai berikut :
Konflik vertikal,
yaitu konflik yang terjadi antaraØ karyawan yang
memiliki kedudukan yang tidak sama dalam organisasi. Misalnya, antara atasan
dan bawahan.
Konflik horizontal,
yaituØ konflik yang terjandi
antara mereka yang memiliki kedudukan yang sama atau setingkat dalam
organisasi. Misalnya, konflik antar karyawan, atau antar departemen yang
setingkat.
Konflik garis-staf, yaitu konflikØ yang terjadi antara karyawan
lini yang biasanya memegang posisi komando, dengan pejabat staf yang biasanya
berfungsi sebagai penasehat dalam organisasi.
Konflik peranan, yaitu konflik yang terjadi karena seseorang mengemban lebih dari satu peran yang saling bertentangan.
Konflik peranan, yaitu konflik yang terjadi karena seseorang mengemban lebih dari satu peran yang saling bertentangan.
b.
Konflik
Dilihat dari Pihak yang Terlibat di Dalamnya
Berdasarkan
pihak-pihak yang terlibat di dalam konflik, Stoner membagi konflik menjadi lima
macam , yaitu:
Ø Konflik dalam diri individu
(conflict within the individual). Konflik ini terjadi jika seseorang harus
memilih tujuan yang saling bertentangan, atau karena tuntutan tugas yang
melebihi batas kemampuannya. Termasuk dalam konflik individual ini, menurut
Altman, adalah frustasi, konflik tujuan dan konflik peranan .
KonflikØ antar-individu (conflict between
individuals). Terjadi karena perbedaan kepribadian antara individu yang satu
dengan individu yang lain.
Ø Konflik antara individu dan
kelompok (conflict between individuals and groups). Terjadi jika individu gagal
menyesuaikan diri dengan norma-norma kelompok tempat ia bekerja.
Konflik antar kelompokØ dalam organisasi yang sama (conflict among groups in the same organization). Konflik ini terjadi karena masing-masing kelompok memiliki tujuan yang berbeda dan masing-masing berupaya untuk mencapainya.
Konflik antar kelompokØ dalam organisasi yang sama (conflict among groups in the same organization). Konflik ini terjadi karena masing-masing kelompok memiliki tujuan yang berbeda dan masing-masing berupaya untuk mencapainya.
Masalah ini terjadi
karena pada saat kelompok-kelompok makin terikat dengan tujuan atau norma
mereka sendiri, mereka makin kompetitif satu sama lain dan berusaha mengacau
aktivitas pesaing mereka, dan karenanya hal ini mempengaruhi organisasi secara
keseluruhan .
Konflik antar organisasi (conflict among organizations). KonflikØ ini terjadi jika tindakan yang dilakukan oleh organisasi menimbulkan dampak negatif bagi organisasi lainnya. Misalnya, dalam perebutan sumberdaya yang sama.
Konflik antar organisasi (conflict among organizations). KonflikØ ini terjadi jika tindakan yang dilakukan oleh organisasi menimbulkan dampak negatif bagi organisasi lainnya. Misalnya, dalam perebutan sumberdaya yang sama.
c.
Konflik
Dilihat dari Fungsi
Dilihat dari fungsi,
Robbins membagi konflik menjadi dua macam, yaitu:
konflik fungsional (Functional Conflict)Ø
Konflik fungsional
adalah konflik yang mendukung pencapaian tujuan kelompok, dan memperbaiki
kinerja kelompok.
konflik disfungsional
(Dysfunctional Conflict).Ø
Konflik disfungsional
adalah konflik yang merintangi pencapaian tujuan kelompok.
Menurut Robbins, batas yang menentukan apakah suatu konflik fungsional atau disfungsional sering tidak tegas (kabur). Suatu konflik mungkin fungsional bagi suatu kelompok, tetapi tidak fungsional bagi kelompok yang lain. Begitu pula, konflik dapat fungsional pada waktu tertentu, tetapi tidak fungsional di waktu yang lain. Kriteria yang membedakan apakah suatu konflik fungsional atau disfungsional adalah dampak konflik tersebut terhadap kinerja kelompok, bukan pada kinerja individu. Jika konflik tersebut dapat meningkatkan kinerja kelompok, walaupun kurang memuaskan bagi individu, maka konflik tersebut dikatakan fungsional. Demikian sebaliknya, jika konflik tersebut hanya memuaskan individu saja, tetapi menurunkan kinerja kelompok maka konflik tersebut disfungsional .
Menurut Robbins, batas yang menentukan apakah suatu konflik fungsional atau disfungsional sering tidak tegas (kabur). Suatu konflik mungkin fungsional bagi suatu kelompok, tetapi tidak fungsional bagi kelompok yang lain. Begitu pula, konflik dapat fungsional pada waktu tertentu, tetapi tidak fungsional di waktu yang lain. Kriteria yang membedakan apakah suatu konflik fungsional atau disfungsional adalah dampak konflik tersebut terhadap kinerja kelompok, bukan pada kinerja individu. Jika konflik tersebut dapat meningkatkan kinerja kelompok, walaupun kurang memuaskan bagi individu, maka konflik tersebut dikatakan fungsional. Demikian sebaliknya, jika konflik tersebut hanya memuaskan individu saja, tetapi menurunkan kinerja kelompok maka konflik tersebut disfungsional .
E. Implementasi Manajemen Konflik Dalam Organisasi
Upaya
penanganan konflik sangat penting dilakukan, hal ini disebabkan karena setiap
jenis perubahan dalam suatu organisasi cenderung mendatangkan konflik.
Perubahan institusional yang terjadi, baik direncanakan atau tidak, tidak hanya
berdampak pada perubahan struktur dan personalia, tetapi juga berdampak pada
terciptanya hubungan pribadi dan organisasional yang berpotensi menimbulkan
konflik. Di samping itu, jika konflik tidak ditangani secara baik dan tuntas,
maka akan mengganggu keseimbangan sumberdaya, dan menegangkan hubungan antara
orang-orang yang terlibat.
Untuk
itulah diperlukan upaya untuk mengelola konflik secara serius agar
keberlangsungan suatu organisasi tidak terganggu. Stoner mengemukakan tiga cara
dalam pengelolaan konflik, yaitu:
a)
merangsang konflik di dalam unit atau organisasi yang prestasi kerjanya rendah
karena tingkat konflik yang terlalu kecil. Termasuk dalam cara ini adalah:
• minta bantuan orang
luar
• menyimpang dari peraturan
(going against the book)
• menata kembali
struktur organisasi
• menggalakkan
kompetisi
• memilih manajer yang
cocok
b)
meredakan atau menumpas konflik jika tingkatnya terlalu tinggi atau
kontra-produktif
c) menyelesaikan konflik. metode penyelesaian konflik yang disampaikan Stoner adalah:
c) menyelesaikan konflik. metode penyelesaian konflik yang disampaikan Stoner adalah:
• dominasi dan
penguasaan, hal ini dilakukan dengan cara paksaan, perlunakan, penghindaran,
dan penentuan melalui suara terbanyak.
• Kompromi
• pemecahan masalah
secara menyeluruh.
Konflik yang sudah terjadi
juga bisa diselesaikan lewat perundingan. Cara ini dilakukan dengan melakukan
dialog terus menerus antar kelompok untuk menemukan suatu penyelesaian maksimum
yang menguntungkan kedua belah pihak. Melalui perundingan, kepentingan bersama
dipenuhi dan ditentukan penyelesaian yang paling memuaskan. Gaya perundingan
untuk mengelola konflik dapat dilakukan dengan cara :
pencairan, yaitu dengan melakukan dialog untuk
mendapat suatu pengertianü
ü keterbukaan, pihak-pihak yang terlibat bisa jadi tidak terbuka apalagi jika konflik terjadi dalam hal-hal sensitif dan dalam suasana yang emosional
ü keterbukaan, pihak-pihak yang terlibat bisa jadi tidak terbuka apalagi jika konflik terjadi dalam hal-hal sensitif dan dalam suasana yang emosional
belajar empati, yaitu
dengan melihat kondisi dan kecemasan orang lain sehingga didapatkan pengertian
baru mengenai orang lainü
mencari tema bersama, pihak-pihak yang terlibat
dapat dibantu dengan cara mencari tujuan-tujuan bersamaü
menghasilkan alternatif, hal ini dilakukan
dengan jalan mencari alternatif untuk menyelesaikan persoalan yang
diperselisihkan.ü
ü menanggapi berbagai alternatif,
setelah ditemukan alternatif-alternatif penyelesaian hendaknya pihak-pihak yang
terlibat dalam konflik mempelajari dan memberikan tanggapan
mencari penyelesaian, sejumlahü alternatif yang sudah dipelajari secara mendalam dapat diperoleh suatu konsensus untuk menetapkan suatu penyelesaian membuka jalan buntu,ü kadangkala ditemukan jalan buntu sehingga pihak ketiga yang obyektif dan berpengalaman dapat diikutsertakan untuk menyelesaikan masalahü mengikat diri kepada penyelesaian di dalam kelompok, setelah dihasilkan penyelesaian yang disepakati, pihak-pihak yang terlibat dapat memperdebatkan dan mempertimbangkan penyelesaian dan mengikatkan diri pada penyelesaian itu mengikat seluruh kelompok, tahap terakhirü dari langkah penyelesaian konflik adalah dengan penerimaan atas suatu penyelesaian dari pihak-pihak yang terlibat konflik.
Model penanganan konflik yang lain juga disampaikan oleh Sondang, yaitu dengan cara tidak menghilangkan konflik, namun dikelola dengan cara :
mencari penyelesaian, sejumlahü alternatif yang sudah dipelajari secara mendalam dapat diperoleh suatu konsensus untuk menetapkan suatu penyelesaian membuka jalan buntu,ü kadangkala ditemukan jalan buntu sehingga pihak ketiga yang obyektif dan berpengalaman dapat diikutsertakan untuk menyelesaikan masalahü mengikat diri kepada penyelesaian di dalam kelompok, setelah dihasilkan penyelesaian yang disepakati, pihak-pihak yang terlibat dapat memperdebatkan dan mempertimbangkan penyelesaian dan mengikatkan diri pada penyelesaian itu mengikat seluruh kelompok, tahap terakhirü dari langkah penyelesaian konflik adalah dengan penerimaan atas suatu penyelesaian dari pihak-pihak yang terlibat konflik.
Model penanganan konflik yang lain juga disampaikan oleh Sondang, yaitu dengan cara tidak menghilangkan konflik, namun dikelola dengan cara :
bersaingü
kolaborasiü
mengelakü
akomodatifü
kompromiü
Cara lain juga dikemukakan Theo Riyanto, yaitu dengan secara dini melakukan tindakan yang sifatnya preventif, yaitu dengan cara :
kolaborasiü
mengelakü
akomodatifü
kompromiü
Cara lain juga dikemukakan Theo Riyanto, yaitu dengan secara dini melakukan tindakan yang sifatnya preventif, yaitu dengan cara :
menghindari konflikü
mengaburkan konflikü
Mengatasi konflik
dengan cara:ü
1) Dengan kekuatan
(win lose solution)
2) Dengan perundingan.
BAB IV
PENUTUP
KESIMPULAN
Konflik dapat terjadi dalam organisasi apapun. Untuk itulah manajer atau pimpinan dalam organisasi harus mampu mengelola konflik yang terdapat dalam organisasi secara baik agar tujuan organisasi dapat tercapai tanpa hambatan-hambatan yang menciptakan terjadinya konflik.
Terdapat banyak cara dalam penanganan suatu konflik. Manajer atau pimpinan harus mampu mendiagnosis sumber konflik serta memilih strategi pengelolaan konflik yang sesuai sehingga diperoleh solusi tepat atas konflik tersebut. Dengan pola pengelolaan konflik yang baik maka akn diperoleh pengalaman dalam menangani berbagai macam konflik yang akan selalu terus terjadi dalam organisasi.
KESIMPULAN
Konflik dapat terjadi dalam organisasi apapun. Untuk itulah manajer atau pimpinan dalam organisasi harus mampu mengelola konflik yang terdapat dalam organisasi secara baik agar tujuan organisasi dapat tercapai tanpa hambatan-hambatan yang menciptakan terjadinya konflik.
Terdapat banyak cara dalam penanganan suatu konflik. Manajer atau pimpinan harus mampu mendiagnosis sumber konflik serta memilih strategi pengelolaan konflik yang sesuai sehingga diperoleh solusi tepat atas konflik tersebut. Dengan pola pengelolaan konflik yang baik maka akn diperoleh pengalaman dalam menangani berbagai macam konflik yang akan selalu terus terjadi dalam organisasi.
DAFTAR PUSTAKA
Garry Dessler. 1989. Manajemen Sumber Daya Manusia. Jilid 2, Jakarta : PT. Prehelinso
Hani Handoko. 2001. Manajemen Personalia dan Sumber Daya manusia. Yogyakarta : BPFE
Werther, W.B. Jr & Davis, K. 1996. Human Resource and Personel Management. USA: Mc Graw-Hill, Inc
Blanchard Ken, dan Paul Hersey, Manajemen Perilaku Organisasi; Pendayagunaan Sumber D
William P. Anthony, Pamela L. Perrewe, 1996, Strategic Human Resouce Management, The Dryden Press aya Manusia, Jakarta: Erlangga, 1986
Brown, L. Dave, 1984. Managing Conflict Among Groups, dalam Organizational Psychology, Herbert A. Simon (ed.), New Jersey: Prentice Hall Inc.,
0 Response to "MANAJEMEN KONFLIK DALAM ORGANISASI"
Post a Comment