BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Perkembangan
dan kemajuan peradaban manusia dewasa ini tidak terlepas dari peran ilmu.
Bahkan perubahan pola hidup manusia dari waktu ke waktu sesungguhnya berjalan
seiring dengan sejarah kemajuan dan perkembangan ilmu. Tahap-tahap itu kita
menyebut dalam konteks ini sebagai priodesasi sejarah perkembangan ilmu; sejak
dari zaman klasik, zaman pertengahan, zaman modern dan zaman kontemporer.
Kemajuan
ilmu dan teknologi dari masa ke masa ibarat mata rantai yang tidak terputus
satu sama lain. Hal-hal baru yang ditemukan suatu masa menjadi unsur penting
bagi penemuan-penemuan lainnya di masa berikutnya. Satu hal yang tak sulit
untuk disepakati, bahwa hampir semua sisi kehidupan manusia modern telah
disentuh oleh berbagai efek perkembangan ilmu dan teknologi, sektor ekonomi,
politik, pertahanan dan keamanan, sosial dan budaya, komunikasi dan
transportasi, pendidikan, seni, kesehatan, dan lain-lain, semuanya
membututuhkan dan mendapat sentuhan teknologi.
Semua
kemajuan tersebut adalah buah dari perkembangan ilmu pengetahuan yang tak
pernah surut dari pengkajian manusia. Pengetahuan berawal dari rasa ingin tahu
kemudian seterusnya berkembang menjadi tahu. Manusia mampu mengembangkan
pengetehuan disebabkan oleh dua hal utama; yakni, pertama manusia mempunyai
bahasa yang mampu mengkomunikasikan informasi dan jalan pikiran yang
melatarbelakangi informasi tersebut. Kedua, yang menyebabkan manusia mampu
mengembangkan pengetahuannya dengan cepat adalah kemampuan berfikir menurut
suatu alur kerangka berfikir tertentu.
Oleh karena itu, permasalahan
tersebut perlu diuraikan lebih lanjut melalui tema : “Landasan Ontologi,
Epistemologi Dan Aksiologi Dalam Filsafat Ilmu”.
B. Rumusan Masalah
- Apa
yang dimaksud dengan landasan ontologi?
- Apa
yang dimaksud dengan landasan epistemologi?
- Apa
yang dimaksud dengan landasan aksiologi?
- Bagaimana
hubungan antara ketiga landasan tersebut?
BAB II
PEMBAHASAN
LANDASAN ONTOLOGI, EPISTEMOLOGI DAN
AKSIOLOGI
DALAM FILSAFAT ILMU
DALAM FILSAFAT ILMU
A. Landasan Ontologi
Ontologi merupakan
cabang teori hakikat yang membicarakan hakikat sesuatu yang ada. Dari aliran
ini muncul empat macam aliran filsafat, yaitu : (1) aliran Materialisme; (2)
aliran Idealisme; (3) aliran Dualisme; (4) aliran Agnoticisme.
Ontologi
merupakan salah satu di antara lapangan penyelidikan kefilsafatan yang paling
kuno. Awal mula alam pikiran Yunani telah menunjukan munculnya perenungan di
bidang ontologi. Dalam persolan ontologi orang menghadapi persoalan
bagaimanakah kita menerangkan hakikat dari segala yang ada ini? Pertama kali
orang dihadapkan pada adanya dua macam kenyataan. Yang pertama, kenyataan yang
berupa materi (kebenaran) dan kedua, kenyataan yang berupa rohani (kejiwaan).
Pembicaraan
tentang hakikat sangatlah luas sekali, yaitu segala yang ada dan yang mungkin
adalah realitas; realita adalah ke-real-an, riil artinya kenyataan yang
sebenarnya. Jadi hakikat adalah kenyataan sebenarnya sesuatu, bukan kenyataan
sementara atau keadaan yang menipu, juga bukan kenyataan yang berubah.
Pembahasan
tentang ontologi sebagai dasar ilmu berusaha untuk menjawab “apa” yang menurut
Aristoteles merupakan The First Philosophy dan merupakan ilmu mengenai esensi
benda. Kata ontologis berasal dari perkataan Yunani; On = being, dan logos =
logic. Jadi ontologi adalah the theory of being qua being ( teori tentang
keberadaan sebagai keberadaan). Sedangkan pengertian ontologis menurut istilah
, sebagaimana dikemukakan oleh S. Suriasumantri dalam Pengantar Ilmu dalam
Prespektif mengatakan, ontologi membahas apa yang ingin kita ketahui, seberapa
jauh kita ingin tahu, atau dengan perkataan lain, suatu pengkajian mengenai
teori tentang “ada”. Sementara itu, A. Dardiri dalam bukunya Humaniora,
filsafat, dan logika mengatakan, ontologi adalah menyelidiki sifat dasar dari
apa yang nyata secara fundamental dan cara yang berbeda di mana entitas dari
kategori-kategori yang logis yang berlainan (objek-objek fisis, hal universal,
abstraksi) dapat dikatakana ada; dalam kerangka tradisional ontologi dianggap
sebagai teori mengenai prinsip-prinsip umum dari hal ada, sedangkan dalam hal
pemakaiannya akhir-akhir ini ontologi dipandang sebagai teori mengenai apa yang
ada.
Term ontologi pertama kali diperkenalkan oleh Rudolf Goclenius pada tahun 1636 M. Untuk menamai teori tentang hakikat yang ada yang bersifat metafisis. Dalam perkembangannya Christian Wolff (1679-1754 M) membagi metafisika menjadi dua, yaitu metafisika umum dan metafisika khusus. Metrafisika umum dimaksudkan sebagai istilah lain dari ontologi.[1]
Term ontologi pertama kali diperkenalkan oleh Rudolf Goclenius pada tahun 1636 M. Untuk menamai teori tentang hakikat yang ada yang bersifat metafisis. Dalam perkembangannya Christian Wolff (1679-1754 M) membagi metafisika menjadi dua, yaitu metafisika umum dan metafisika khusus. Metrafisika umum dimaksudkan sebagai istilah lain dari ontologi.[1]
Dengan
demikian, metafisika umum atau ontologi adalah cabang filsafat yang
membicarakan prinsip paling dasar atau paling dalam dari segala sesuatu yang
ada. Sedang metafisika khusus masih dibagi lagi menjadi kosmologi, psikologi,
dan teologi.
Kosmologi adalah cabang filsafat yang secara khusus membicarakan tentang alam semesta. Psikologi adalah cabang filsafat yang secara khusus membicarakan tentang jiwa manusia. Teologi adalah cabang filsafat yang secara khusus membicarakan Tuhan.
Di dalam pemahaman ontologi dapat diketemukan pandangan-pandangan pokok pemikiran sebagai berikut :
Kosmologi adalah cabang filsafat yang secara khusus membicarakan tentang alam semesta. Psikologi adalah cabang filsafat yang secara khusus membicarakan tentang jiwa manusia. Teologi adalah cabang filsafat yang secara khusus membicarakan Tuhan.
Di dalam pemahaman ontologi dapat diketemukan pandangan-pandangan pokok pemikiran sebagai berikut :
1. Monoisme
Paham ini
menganggap bahwa hakikat yang asal dari seluruh kenyataan itu hanyalah satu
saja, tidak mungkin dua. Haruslah satu hakikat saja sebagai sumber asal, baik
yang asal berupa materi ataupun berupa rohani. Tidak mungkin ada hakikat
masing-masing bebas dan berdiri sendiri. Istilah monisme oleh Thomas Davidson
disebut dengan Block Universe. Paham ini kemudian terebagi ke dalam dua aliran:
a. Materialisme.
Aliran ini menganggap bahwa sumber yang asal
itu adalah materi, bukan rohani. Aliran ini sering juga disebut dengan
naturalisme. Mernurutnya bahwa zat mati merupakan kenyataan dan satu-satunya
fakta. Yang ada hanyalah materi, yang lainnya jiwa atau ruh tidaklah merupakan
suatu kenyataan yang berdiri sendiri. Jiwa dan ruh merupakan akibat saja dari
proses gerakan kebenaran dengan dengan salah satu cara tertentu. Alasan mengapa
aliran ini berkembang sehingga memperkuat dugaan bahwa yang merupakan hakikat adalah:
- Pikiran
yang masih sederhana, apa yang kelihatan yang dapat diraba, biasanya
dijadikan kebenaran terakhir.
- Pikiran
sederhana tidak mampu memikirkan sesuatu di luar ruang yang abstrak.
- Penemuan-penemuan
menunjukan betapa bergantungnya jiwa pada badan.
Oleh sebab itu, peristiwa jiwa
selalu dilihat sebagai peristiwa jasmani. Jasmani lebih menonjol dalam
peristiwa ini.
Dalam sejarahnya manusia memang
bergantung pada benda seperti pada padi. Dewi Sri dan Tuhan muncul dari situ.
Kesemuanya itu memperkuat dugaan bahwa yang merupakan haklekat adalah benda.
b. Idealisme
Aliran
idealisme dinamakan juga spiritualisme. Idealisme bderarti serba cita sedang
spiritualisme berarti serba ruh. Idealisme diambil dari kata “Idea”, yaitu
sesuatu yang hadir dalam jiwa. Aliran ini beranggapan bahwa hakikat kenyataan
yang beraneka ragam itu semua berasal dari ruh (sukma) atau sejenis dengannya,
yaitu sesuatu yang tidak berbentuk dan menempati ruang. Materi atau zat itu
hanyalah suatu jenis dari pada penjelmaan ruhani.
Alasan aliran ini yang menyatakan bahwa hakikat benda adalah ruhani, spirit atau sebangsanya adalah:
Alasan aliran ini yang menyatakan bahwa hakikat benda adalah ruhani, spirit atau sebangsanya adalah:
- Nilai
ruh lebih tinggi daripada badan, lebih tinggi nilainya dari materi bagi
kehidupoan manusia. Ruh itu dianggap sebagai hakikat yang sebenarnya.
Sehingga materi hanyalah badannya bayangan atau penjelmaan.
- Manusia
lebih dapat memahami dirinya daripada dunia luar dirinya.
- Materi
ialah kumpulan energi yang menempati ruang. Benda tidak ada, yang ada energi
itu saja.
- Dalam
perkembangannya, aliran ini ditemui pada ajaran plato (428-348 SM) dengan
teori idenya. Menurutnya, tiap-tiap yang ada di alam mesti ada idenya,
yaitu konsep universal dari tiap sesuatu. Alam nyata yang menempati
ruangan ini hanyalah berupa bayangan saja dari alam ide itu. Jadi idealah
yang menjadi hakikat sesuatu, menjadi dasar wujud sesuatu.
2. Dualisme
Dualisme
adalah aliran yang mencoba memadukan antara dua paham yang saling bertentangan,
yaitu materialisme dan idealisme. Menurut aliran dualisme materi maupun ruh
sama-sama merupakan hakikat. Materi muncul bukan karena adanya ruh, begitu pun
ruh muncul bukan karena materi. Tetapi dalam perkembangan selanjutnya aliran
ini masih memiliki masalah dalam menghubungkan dan menyelaraskan kedua aliran
tersebut di atas. Sebuah analogi dapat kita ambil misalnya tentang jika jiwa
sedang sehat, maka badan pun akan sehat kelihatannya. Sebaliknya jika jiwa
seseorang sedang penuh dengan duka dan kesedihan biasanya badanpun ikut sedih,
terlihat dari murungnya wajah orang tersebut.
Aliran dualisme berpendapat bahwa benda terdiri dari dua macam hakikat sebagai asal sumbernya, yaitu hakikat materi dan hakikat ruhani, benda dan ruh, jasad dan spirit. Sama-sama hakikat. Kedua macam hakikat itu masing-masing bebas dan berdiri sendiri, sama-sama azali dan abadi. Hubungan keduanya menciptakan kehidupan dalam alam ini. Contoh yang paling jelas tentang adanya kerja sama kedua hakikat ini dalam diri manusia. Tokoh paham ini adalah Descrates (1596-1650 M) yang dianggap sebagai bapak filsafat modern. Ia menamakan kedua hakikat itu dengan istilah dunia kesadaran (ruhani) dan dunia ruang (kebendaan).
3.Pluralisme
Aliran dualisme berpendapat bahwa benda terdiri dari dua macam hakikat sebagai asal sumbernya, yaitu hakikat materi dan hakikat ruhani, benda dan ruh, jasad dan spirit. Sama-sama hakikat. Kedua macam hakikat itu masing-masing bebas dan berdiri sendiri, sama-sama azali dan abadi. Hubungan keduanya menciptakan kehidupan dalam alam ini. Contoh yang paling jelas tentang adanya kerja sama kedua hakikat ini dalam diri manusia. Tokoh paham ini adalah Descrates (1596-1650 M) yang dianggap sebagai bapak filsafat modern. Ia menamakan kedua hakikat itu dengan istilah dunia kesadaran (ruhani) dan dunia ruang (kebendaan).
3.Pluralisme
Paham
ini berpandangan bahwa segenap macam bentuk merupakan kenyataan. Pluralisme
bertolak dari keseluruhan dan mengakui bahwa segenap macam bentuk itu semuanya
nyata. Pluralisme dalam Dictonary of Philosophy and Religion dikataka sebagai
paham yang menyatakan bahwa kenyataan alam ini tersusun dari banyak unsur,
lebih dari satu atau dua entitas. Tokoh aliran ini pada masa Yunani Kuno adalah
anaxagoras dan Empedocles yang menyatakan bahwa substansi yang ada itu
terbentuk dan terdiri dari 4 unsur, yaitu tanah, air, api, dan udara. Tokoh
modern aliran ini adalah William James (1842-1910 M). Kelahiran New York dan terkenal
sebagai seorang psikolog dan filosof Amerika. Dalam bukunya The Meaning of
Truth James mengemukakan, tiada kebenaran yang mutlak, yang berlaku umum, yang
bersifat tetap, yang berdiri sendiri, lepas dari akal yang mengenal.
3. Nihilisme
Nihilisme
berasal dari bahasa latin yang berarti nothing atau tidak ada. Sdebuah doktrin
yang tidak mengakui validitas alternatif positif. Tokoh aliran ini diantaranya
adalah Fredrich Nietzsche (1844-1900 M). Dilahirkan di Rocken di Pursia, dari
keluarga pendeta. Dalam pandangannya bahwa “Allah sudah mati”, Allah Kristiani
dengan segala perintah dan larangannya sudah tidak merupakan rintangan lagi.
Dunia terbuka untuk kebebasan dan kreativitas manusia. Dan pada kenyataannya
moral di Eropa sebagian besar masih bersandar pada nilai-nilai kristiani.
Tetapi tidak dapat dihindarkan bahwa nilai-nilai itu akan lenyap. Dengan
demikian ia sendiri harus mengatasi bahaya itu dengan menciptakan nilai-nilai
baru, dengan transvaluasi semua nilai.
5.
Agnotisisme
adalah
paham yang mengatakan bahwa manusia tidak mungkin mengetahui hakikat sesuatu
dibalik kenyataannya. Manusia tidak mungkinmengetahui hakikat batu, air, api
dan sebagainya. Sebab menurut aliran ini kemampuan manuisa sangat terbatas dan
tidak mungkin tahu apa hakikat tentang sesuatu yang ada, baik oleh inderanya
maupun oleh pikirannya.
Paham ini mengingkari kesanggupan manusia untuk mengakui hakikat benda. Baik hakikat materi maupun hakikat ruhani. Timbul aliran ini dikarenakan belum dapatnya orang mengenal dan mampu menerangkan secara konkrit akan adanya kenyataan yang berdiri sendiri dan dapat kita kenal. Aliran ini dengan tegas selalu menyangkal adanya suatu kenyataan mutlak yang bersifat trancedent. Aliran ini dapat kita temui dalam filsafat eksistensi dengan tokoh-tokohnya seperti, Sren Kierkegaar, Heidegger, Sartre, dan Jaspers. Soren Kierkegaard (1813-1855) yang terkenal dengan julukan sebagai Bapak Filsafat Eksistensialisme menyatakan, manusia tidak pernah hidup sebagai suatu aku umum, tetapi sebagai aku individual yang sama sekali unik dan tidak dapat dijabarkan ke dalam sesuatu yang lain.[2]
Paham ini mengingkari kesanggupan manusia untuk mengakui hakikat benda. Baik hakikat materi maupun hakikat ruhani. Timbul aliran ini dikarenakan belum dapatnya orang mengenal dan mampu menerangkan secara konkrit akan adanya kenyataan yang berdiri sendiri dan dapat kita kenal. Aliran ini dengan tegas selalu menyangkal adanya suatu kenyataan mutlak yang bersifat trancedent. Aliran ini dapat kita temui dalam filsafat eksistensi dengan tokoh-tokohnya seperti, Sren Kierkegaar, Heidegger, Sartre, dan Jaspers. Soren Kierkegaard (1813-1855) yang terkenal dengan julukan sebagai Bapak Filsafat Eksistensialisme menyatakan, manusia tidak pernah hidup sebagai suatu aku umum, tetapi sebagai aku individual yang sama sekali unik dan tidak dapat dijabarkan ke dalam sesuatu yang lain.[2]
Jadi
agnostisisme adalah paham pengingkaran atau penyangkalan terhadap kemampuan
manusia mengetahui hakikat benda materi maupun rohani. Aliran ini mirip dengan
skeptisisme yang berpendapat bahwa manusia diragukan kemampuannya mengetahui
hakikat bahkan menyerah sama sekali.
B. Landasan Epistemologi
Epistemologi
juga disebut teori pengetahuan (theori of knowledge). Secara etomologi, istilah
etomologi berasal dari kata Yunani episteme = pengetahuan dan logos = teori.
Epistemologi dapat didefinisikan sebagai cabang filsafat yang mempelajari asal
mula atau sumber, struktur, metode dan syahnya (validitas) pengetahuan. Dalam
metafisika, pertanyaan pokoknya adalah “apakah ada itu?”, sedangkan dalam
epistemologi pertanyaan pokoknya adalah “apa yang dapat saya ketahui?”
Persoalan-persoalan
dalam epistemologi adalah:
(1)
Bagaimanakah manusia dapat mengetahui sesuatu?
(2) Dari
mana pengtahuan itu dapat diperoleh?
(3)
Bagaimanakah validitas pengetahuan itu dapat dinilai?
(4) Apa
perbedaan antara pengetahuan a priori (pengetahuan pra pengalaman) dengan
pengetahuan
a posteriori (pengetahuan purna pengalaman).
Epistemologi
meliputi sumber, sarana, dan tatacara menggunakan sarana tersebut untuk
mencapai pengetahuan (ilmiah). Perbedaan mengenai pilihan landasan ontologik
akan dengan sendirinya mengakibatkan perbedaan dalam menentukan sarana yang
akan kita pilih. Akal (Verstand), akal budi (Vernunft), pengalaman, atau
kombinasi antara akal dan pengalaman, intuisi, merupakan sarana yang dimaksud
dengan epistemologik, sehingga dikenal dengan adanya model-model epiostemologik
seperti: rasionalisme, empirisme, kritisisme atau rasinalisme kritis,
positivisme, fenomonologis dengan berbagai variasinya. Pengetahuan yang
diperoleh oleh manusia melalui akal, indera, dan lain-lain mempunyai metode
tersendiri dalam teori pengetahuan, di antaranya adalah:
1. Metode
Induktif
Induksi
yaitu suatu metode yang menyimpulkan pernyataan-pernyatan hasil observasi
disimpulkan dalam suatu pernyataan yang lebih umum. Yang bertolak dari
pernyataan-pernyataan tunggal sampai pada pernyataan-pernyataan universal.
Dalam
induksi, setelah diperoleh pengetahuan, maka akan dipergunakan hal-hal lain,
seperti ilmu mengajarkan kita bahwa kalau logam dipanasi, ia mengembang,
bertolak dari teori ini kita akan tahu bahwa logam lain yang kalau dipanasi
juga akan mengembang. Dari contoh di atas bisa diketahui bahwa induksi tersebut
memberikan suatu pengetahuan yang disebut sintetik.
2. Metode
Deduktif
Deduksi
ialah suatu metode yang menyimpulkan bahwa data-data empirik diolah lebih
lanjut dalam suatu sistem pernyataan yang runtut. Hal-hal yang harus ada dalam
metode deduktif ialah adanya perbandingan logis antara kesimpulan-kesimpulan
itu sendiri. Ada penyelidikan bentuk logis teori itu dengan tujuan apakah teori
tersebut mempunyai sifat empiris atau ilmiah, ada perbandingan dengan
teori-teori lain dan ada pengujian teori dengan jalan menerapkan secara empiris
kesimpulan-kesimpulan yang bisa ditarik dari teori tersebut.
3. Metode
Positivisme
Metode
ini dikeluarkan oleh August Comte (1798-1857). Metode ini berpangkal dari apa
yang telah diketahui, yang faktual, yang positif. Ia mengenyampingkan segala
uraian/persoalan di luar yang ada sebagai fakta. Oleh karena itu, iamenolak
metafisika. Apa yang diketahui secara positif, adalah segala yang tampak dan
segala gejala. Dengan demikian metode ini dalam bidang filsafat dan ilmu
pengetahuan dibatasi kepada bidang gejala-gejala saja.
4. Metode Kontemplatif
Metode
ini mengatakan adanya keterbatasan indera dan akal manusia untuk memperoleh
pengetahuan, sehingga objek yang dihasilkan pun akan berbeda-beda harusnya
dikembangkan sutu kemampuanakal yang disebut dengan intuisi. Pengetahuan yang
diperoleh lewat intuisi ini bisa diperoleh dengan cara berkontemplasi seperti yang
dilakukan oleh Al-Ghazali.
5. Metode Dialektis
Dalam
filsafat, dialektika mula-mula berarti metode tanya jawab untuk mencapai
kejernihan filsafat. Metode ini diajarkan oleh Socrates. Namun Plato mengartikannya
diskusi logika. Kini dialektika berarti tahap logika, yang mengajarkan
kaidah-kaidah dan metode-metode penuturan, juga analisis sistematik tentang
ide-ide untuk mencapai apa yang terkandung dalam pandangan.[3]
C. Landasan Aksiologi
Pengertian
aksiologi berasal dari perkataan axios (Yunani) yang berarti nilai dan logos
yang berarti teori. Jadi aksiologi adalah “Teori tentang nilai”. Nilai yang
dimaksud adalah sesuatu yang dimiliki manusia untuk melakukan berbagai
pertimbangan tentang apa yang dinilai. Teori tentang nilai yang dalam filsafat
mengacu pada permasalahan etika dan estetika.
Makna “etika” dipakai dalam dua bentuk arti, pertama, etika merupakan suatu kumpulan pengetahuan mengenai penilaian terhadap perbuatan-perbuatan manusia. Arti kedua, merupakan suatu predikat yang dipakai untuk membedakan hal-hal, perbuatan-perbuatan, atau manusia-manusia lain. Objek formal etika meliputi norma-norma kesusilaan manusia, dan mempelajari tingkah laku manusia baik buruk. Sedangkan estetika berkaitan denganj nilai tentang pengalaman keindahan yang dimiliki oleh manusia terhadap lingkungan dan fenomena di sekelilingnya.
Makna “etika” dipakai dalam dua bentuk arti, pertama, etika merupakan suatu kumpulan pengetahuan mengenai penilaian terhadap perbuatan-perbuatan manusia. Arti kedua, merupakan suatu predikat yang dipakai untuk membedakan hal-hal, perbuatan-perbuatan, atau manusia-manusia lain. Objek formal etika meliputi norma-norma kesusilaan manusia, dan mempelajari tingkah laku manusia baik buruk. Sedangkan estetika berkaitan denganj nilai tentang pengalaman keindahan yang dimiliki oleh manusia terhadap lingkungan dan fenomena di sekelilingnya.
Nilai
itu objektif ataukah subjektif adalah sangat tergantung dari hasil pandangan
yang muncul dari filsafat. Nilai akan menjadi subjektif, apabila subjek sangat
berperan dalam segala hal, kesadaran manusia menjadi tolak ukur segalanya; atau
eksistensinya, maknanya dan validitasnya tergantung pada reaksi subjek yang
melakukan penilaian tanpa mempertimbangkan apakah ini bersifat psikis atau
fisis. Dengan demikian, nilai subjektif akan selalu memperhatikan berbagai
pandangan yang dimilki akal budi manusia, seperti perasaan, intelektualitas,
dan hasil nilai subjektif selalu akan mengarah kepada suka atau tidak suka,
senang atau tidak senang.
Nilai
itu objektif, jika ia tidak tergantung pada subjek atau kesadaran yang menilai.
Nilai objektif muncul karena adanya pandangan dalam filsafat tentang
objektivisme. Objektivisme ini beranggapan pada tolak ukur suatu gagasan berada
pada objeknya, sesuatu yang memiliki kadar secara realitas benar-benar ada.
Nilai
dalam ilmu pengetahuan. Seorang ilmuwan harus bebas dalam menentukan topik
penelitiannya, bebas melakukan eksperimen-eksperimen. Kebebasan inilah yang
nantinya akan dapat mengukur kualitas kemampuannya. Ketika seorang ilmuwan
bekerja, dia hanya tertuju pada kerja proses ilmiah dan tujuan agar
penelitiannya berhasil dengan baik. Nilai objektif hanya menjadi tujuan
utamanya, dia tidak mau terikat dengan nilai-nilai subjektif, seperti; agama,
adat istiadat.[4]
Tetapi
perlu disadari setiap penemuan ilmu pengetahuan bisa berdampak positif dan
negatif. Dalam hal ini ilmuwan terbagi dua golongan pendapat. Golongan pertama
berpendapat mengenai kenetralan ilmu. Ilmuwan hanyalah menemukan pengetahuan
dan terserah kepada orang lain untuk menggunakannya. Golongan kedua berpendapat
bahwa netralitas ilmu terhadap nilai-nilai hanyalah terbatas pada metafisik
keilmuan, sedangkan dalam penggunaannya haruslah berlandaskan nilai-nilai
moral, sebagai ukuran kepatutannya.
D. Hubungan Antara Landasan Ontologi, Epistemologi dan Aksiologi Dalam
Filsafat Ilmu
D. Hubungan Antara Landasan Ontologi, Epistemologi dan Aksiologi Dalam
Filsafat Ilmu
Istilah
ilmu sudah sangat populer, tetapi seringkali banyak orang memberikan gambaran
yang tidak tepat mengenai hakikat ilmu. Terlebih lagi bila pengertian ini
dikaitkan dengan berbagai aspek dalam suatu kegiatan keilmuan, misalnya
matematika, logika, penelitian dan sebagainya. Apakah bedanya ilmu pengetahuan
[science] dengan pengetahuan [knowledge] ? Apakah karakter ilmu ? apakah
keguanaan ilmu ? Apakah perbedaan ilmu alam dengan ilmu sosial ? apakah peranan
logika ? Dimanakah letak pentingnya penelitian ? apakah yang disebut metode
penelitian? Apakah fungsi bahasa ? Apakah hubungan etika dengan ilmu.
Manusia
berfikir karena sedang menghadapi masalah, masalah inilah yang menyebabkan
manusia memusatkan perhatian dan tenggelam dalam berpikir untuk dapat menjawab
dan mengatasi masalah tersebut, dari masalah yang paling sumir/ringan hingga
masalah yang sangat "Sophisticated"/sangat muskil.
Kegiatan
berpikir manusia pada dasarnya merupakan serangkaian gerak pemikiran tertentu
yang akhirnya sampai pada sebuah kesimpulan yang berupa pengetahuan
[knowledge]. Manusia dalam berpikir mempergunakan lambang yang merupakan
abstraksi dari obyek. Lambang-lambang yang dimaksud adalah "Bahasa"
dan "Matematika". Meskipun nampak banyaknya serta aneka ragamnya buah
pemikiran itu namun pada hakikatnya upaya manusia untuk memperoleh pengetahuan
didasarkan pada tiga landasan pokok yakni : Ontologi, Epistemologi dan
Aksiologi.
a. Landasan Ontologi
Ontologi
membahas tentang apa yang ingin kita ketahui. Apa yang ingin diketahui oleh
ilmu? atau dengan perkataan lain, apakah yang menjadi bidang telaah ilmu?
Suatu pertanyaan:
Suatu pertanyaan:
- Obyek
apa yang ditelaah ilmu ?
- Bagaiman
wujud yang hakiki dari obyek tersebut ?
-
Bagaimana hubungan antara obyek tadi dengan daya tangkap manusia [seperti
berpikir, merasa dan mengindera] yang membuahkan pengetahuan.
[inilah
yang mendasari Ontologi].
Ontologi
merupakan salah satu diantara lapangan-lapangan penyelidikan kefilsafatan yang
paling kuno. Awal mula alam pikiran orang Barat sudah menunjukkan munculnya
perenungan di bidang ontologi. Pada dasarnya tidak ada pilihan bagi setiap
orang pemilihan antara “kenampakan”[appearance] dan “kenyataan”[reality]. Ontologi
menggambarkan istilah-istilah seperti: “yang ada”[being], ”kenyataan”
[reality], “eksistensi”[existence], ”perubahan” [change],
“tunggal”[one]dan“jamak”[many].
Ontologi merupakan ilmu hakikat, dan yang dimasalahkan oleh ontologi adalah: ” Apakah sesungguhnya hakekat realitas yang ada ”rahasia alam” di balik realita itu?
Ontologi membahas bidang kajian ilmu atau obyek ilmu. Penentuan obyek ilmu diawali dari subyeknya. Yang dimaksud dengan subyek adalah pelaku ilmu. Subyek dari ilmu adalah manusia; bagian manusia paling berperan adalah daya pikirnya.
Adapun yang menjadi dasar ontologi adalah “Apakah yang ingin diketahui ilmu atau apakah yang menjadi bidang telaah ilmu?”. Ilmu membatasi diri hanya pada kejadian yang bersifat empiris, mencakup seluruh aspek kehidupan yang dapat diuji oleh pancaindera manusia atau yang dapat dialami langsung oleh manusia dengan mempergunakan pancainderanya. Ruang lingkup kemampuan pancaindera manusia dan peralatan yang dikembangkan sebagai pembantu pancaindera tersebut membentuk apa yang dikenal dengan dunia empiris.
Ontologi merupakan ilmu hakikat, dan yang dimasalahkan oleh ontologi adalah: ” Apakah sesungguhnya hakekat realitas yang ada ”rahasia alam” di balik realita itu?
Ontologi membahas bidang kajian ilmu atau obyek ilmu. Penentuan obyek ilmu diawali dari subyeknya. Yang dimaksud dengan subyek adalah pelaku ilmu. Subyek dari ilmu adalah manusia; bagian manusia paling berperan adalah daya pikirnya.
Adapun yang menjadi dasar ontologi adalah “Apakah yang ingin diketahui ilmu atau apakah yang menjadi bidang telaah ilmu?”. Ilmu membatasi diri hanya pada kejadian yang bersifat empiris, mencakup seluruh aspek kehidupan yang dapat diuji oleh pancaindera manusia atau yang dapat dialami langsung oleh manusia dengan mempergunakan pancainderanya. Ruang lingkup kemampuan pancaindera manusia dan peralatan yang dikembangkan sebagai pembantu pancaindera tersebut membentuk apa yang dikenal dengan dunia empiris.
Dengan
demikian obyek ilmu adalah dunia pengalaman indrawi. Ilmu membatasi diri hanya
kepada kejadian yang bersifat empiris. Pengetahuan keilmuan mengenai obyek
empiris ini pada dasarnya merupakan abstraksi yang disederhanakan.
Penyederhanaan ini perlu sebab kejadian alam sesungguhnya sangat kompleks. Ilmu
tidak bermaksud "memotret" atau "mereproduksi" suatu
kejadian tertentu dan mengabstaraksikannya kedalam bahasa keilmuan. Ilmu
bertujuan untuk mengerti mengapa hal itu terjadi, dengan membatasi diri pada
hal-hal yang asasi. Atau dengan perkataan lain, proses keilmuan bertujuan untuk
memeras hakikat empiris tertentu, menjangkau lebih jauh dibalik
kenyatan-kenyataan yang diamatinya yaitu kemungkinan-kemungkinan yang dapat
diperkirakan melalui kenyataan-kenyataan iru. Disinilah manusia melakukan transendensi
terhadap realitas.
Untuk
mendapatkan pengetahuan ini ilmu membuat beberapa andaian [asumsi] mengenai
obyek-obyek empiris. Asumsi ini perlu, sebab pernyataan asumstif inilah yang
memberi arah dan landasan bagi kegiatan penelaahan kita.
Ilmu
memiliki tiga asumsi mengenai obyek empirisnya :
- Asumsi
pertama : Asumsi ini menganggap bahwa obyek-obyek tertentu mempunyai keserupaan
satu sama lain misalnya dalam hal bentuk struktur, sifat dsb. Klasifikasi
[taksonomi] merupakan pendekatan keilmuan pertama terhadap obyek.
- Asumsi
kedua : Asumsi ini menganggap bahwa suatu benda tidak mengalami perubahan dalam
jangka waktu tertentu (tidak absolut tapi relatif ). Kegiatan keilmuan
bertujuan mempelajari tingkah laku suatu obyek dalam keadaan tertentu. Ilmu
hanya menuntut adanya kelestarian yang relatif, artinya sifat-sifat pokok dari
suatu benda tidak berubah dalam jangka waktu tertentu. Dengan demikian
memungkinkan kita untuk melakukan pendekatan keilmuan terhadap obyek yang
sedang diselidiki.
- Asumsi
ketiga : Asumsi ini menganggap tiap gejala bukan merupakan suatu kejadian yang
bersifat kebetulan. Tiap gejala mempunyai pola tertentu yang bersifat tetap
dengan urutan/sekuensial kejadian yang sama. Misalnya langit ,mendung maka
turunlah hujan. Hubungan sebab akibat dalam ilmu tidak bersifat mutlak. Ilmu
hanya mengemukakan bahwa "X" mempunyai kemungkinan[peluang] yang
besar mengakibatkan terjadinya "Y". Determinisme dalam pengertian
ilmu mempunyai konotasi yang bersifat peluang [probabilistik]. Statistika
adalah teori peluang.
b.
Landasan Epistemologi
Epistemologi
mempermasalahkan kemungkinan mendasar mengenai pengetahuan[very possibility of
knowledge]. Dalam perkembangannya epistemology menampakkan jarak yang asasi
antara rasionalisme dan empirisme, walaupun sebenarnya terdapat kecenderungan
beriringan. Landasanepistemology tercermin secara operasional dalam metode
ilmiah . Pada dasarnya metode ilmiah merupakan cara ilmu memperoleh dan
menyusun tubuh pengetahuan dengan berdasarkan :
1.
Kerangka pemikiran yang bersifat logis dengan argumentasi yang konsisten dengan
pengetahuan sebelumnya yang telah berhasil disusun;
2.
Menjabarkan hipotesis yang merupakan deduksi dari kerangka tersebut dan
melakukan verifikasi terhadap hipotesis termaksud dengan menguji kebenaran
pernyataan secara factual.
Suatu Pertanyaan :
Suatu Pertanyaan :
- Bagaiman
proses yang memungkinkan ditimbanya pengetahuan yang berupa ilmu ?
- Bagaimana prosedurnya ?
- Bagaimana prosedurnya ?
- Hal-hal
apa yang harus diperhatikan agar kita mendapatkan pengetahuan yang benar ?
- Apa yang
disebut kebenaran itu sendiri ?
- Apakah
kriterianya ?
-
Cara/teknik/sarana apa yang membantu kita dalam mendapatkan pengetahuan yang
berupa
ilmu ?
Inilah
kajian epistemology
DASAR EPISTEMOLOGI ILMU
Epistemologi
atau teori pengetahuan, membahas secara mendalam segenap proses yang terlibat
dalam usaha kita memperoleh pengetahuan.
Ilmu
merupakan pengetahuan yang didapat melalui proses tertentu yang dinamakan
metode keilmuan. Ilmu lebih bersifat kegiatan dinamis tidak statis. Setiap
kegiatan dalam mencari pengetahuan tentang apapun selama hal itu terbatas pada
obyek empiris dan pengetahuan tersebut diperoleh dengan mempergunakan metode
keilmuan, adalah sah disebut keilmuan.
Hakikat
keilmuan tidak berhubungan dengan "titel" atau "gelar
akademik", profesi atau kedudukan, hakikat keilmuan ditentukan oleh cara
berpikir yang dilakukan menurut persyaratan keilmuan.
b. Landasan Aksiologi
Permasalahan
aksiologi meliputi sifat nilai, tipe nilai, kriteria nilai, status metafisika
nilai. Pada adasarnya ilmu harus digunakan untuk kemaslahatan umat manusia.
Ilmu dapat dimanfaatkan sebagai sarana untuk meningkatkan taraf hidup manusia
dan kesejahteraannya dengan menitik beratkan pada kodrat dan martabat.
Untuk kepentingan manusia, maka pengetahuan ilmiah yang diperoleh disusun dan dipergunakan secara komunal dan universal.[5]
Untuk kepentingan manusia, maka pengetahuan ilmiah yang diperoleh disusun dan dipergunakan secara komunal dan universal.[5]
Suatu
pertanyaan :
- Untuk
apa pengetahuan yang berupa ilmu itu dipergunakan ? bagaimana kaitan antara
cara penggunaan tersebut dengan kaidah moral ?
-
Bagaimana penentuan obyek yang ditelaah berdasarkan pilihan-pilihan moral?
- Bagaimana kaitan atau hubungan antara teknik prosedural yang merupakan operasionalisasi metode ilmiah dengan norma-norma moral/profesional?.
- Bagaimana kaitan atau hubungan antara teknik prosedural yang merupakan operasionalisasi metode ilmiah dengan norma-norma moral/profesional?.
Pertanyaan-pertanyaan
di atas, merupakan bagian dari makna pengkajian aksiologi terhadap hasil akhir
pencapaian suatu telaah ilmu pengetahuan, dengan tujuan untuk memberikan hasil
yang terbaik bagi manfaat yang dapat memberikan kemaslahatan bagi umat manusia.
BAB III
KESIMPULAN
KESIMPULAN
Pengkajian terhadap suatu bidang pengetahuan harus dibangun dari fondasi filsafat yang kuat, jelas, terarah, sistematis, berdasarkan norma-norma keilmuan dan dapat dipertanggungjawabkan. Filsafat ilmu merupakan kajian yang dilakukan secara mendalam mengenai dasar-dasar ilmu. Pendekatan yang digunakan dalam menguak landasan-landasan atau dasar-dasar ilmu adalah melalui tiga hal.
Pertama,
pendekatan ontologi, yaitu ilmu yang mengkaji tentang hakikat. Teori hakikat
pertama kali dikemukakan oleh filsuf Thales yang mengatakan bahwa hakikat
segala sesuatu itu adalah air. Kemudian dalam perkembangannya, bermuncullah
paham-paham tentang ontologi meliputi monoisme, dualisme, pluralisme,
nihilisme, dan agnotisisme.
Kedua, pendekatan epistemologi, yaitu cabang
filsafat yang mempelajari asal mula atau sumber, struktur, metode dan syahnya
(validitas) pengetahuan. Dalam menemukan sumber pengetahuan itu terdapat
beberapa metode yaitu induktif, deduktif, positivisme, kontemplatif, dan
dialektis.
Ketiga, pendekatan aksiologi, yaitu teori
tentang nilai (etika dan estetika). Pada adasarnya ilmu harus digunakan untuk
kemaslahatan umat manusia. Ilmu dapat dimanfaatkan sebagai sarana untuk
meningkatkan taraf hidup manusia dan kesejahteraannya dengan menitik beratkan
pada kodrat dan martabat manusia itu sendiri, maka pengetahuan ilmiah yang
diperoleh disusun dan dipergunakan secara komunal dan universal.
Ketiga pendekatan ini harus bisa menjawab hal-hal berikut :
Ketiga pendekatan ini harus bisa menjawab hal-hal berikut :
Bagaimana hakikat dari sesuatu yang
ditelaah?
Bagaimana cara-cara memahami
pengetahuan, langkah-langkahnya, sumbernya dan metodologinya?
Bagaimana urgensi, nilai dan
kegunaan dari sesuatu itu?
Ke tiga landasan di atas merupakan
dasar pijakan yang sangat penting untuk dipahami dalam mendalami dasar-dasar
segala ilmu pengetahuan. Karena ke tiganya saling berkaitan erat satu sama lain
sebagai titik tolak dalam pencapaian kajian hakekat kebenaran ilmu.
DAFTAR
PUSTAKA
Juhaya S. Praja, Prof. Dr.
Aliran-aliran dalam Filsafat dan Etika. (2005). Jakarta : Prenada Media.
Tafsir, A. (2002). Filsafat Umum, Akal dan Hati Sejak Thales Sampai Capra. Bandung: PT. Remaja Rosdakarya.
Tafsir, A. (2002). Filsafat Umum, Akal dan Hati Sejak Thales Sampai Capra. Bandung: PT. Remaja Rosdakarya.
S. Suriasumatri, J. (2003). Filsafat
Ilmu, Sebuah Pengantar Populer. Jakarta: Pustaka Sinar Harapan.
Kebung, K. (2008). Filsafat dan Perwujudan Diri; Belajar Filsafat dan Berfilsafat.
Kebung, K. (2008). Filsafat dan Perwujudan Diri; Belajar Filsafat dan Berfilsafat.
Sonny Keraf, A & Dua, M. (2001).
Ilmu Pengetahuan, Sebuah Tinjauan Filosofis. Yogyakarta: Kanisius.
[1] .
Juhaya S. Praja, Prof. Dr. Aliran-aliran dalam Filsafat dan Etika. (2005).
Jakarta : Prenada Media.
[3] . Tafsir, A. (2002). Filsafat Umum,
Akal dan Hati Sejak Thales Sampai Capra. Bandung: PT. Remaja Rosdakarya.
[4] .
Sonny
Keraf, A & Dua, M. (2001). Ilmu Pengetahuan, Sebuah Tinjauan Filosofis.
Yogyakarta: Kanisius.
[5] .
S. Suriasumatri, J. (2003). Filsafat Ilmu, Sebuah Pengantar Populer. Jakarta:
Pustaka Sinar Harapan
0 Response to "Makalah Ontologi, Aksiologi, Epistimologi, dan Aksiologi Filsafat"
Post a Comment