BAB
I
PENDAHULUAN
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Kemiskinan telah mengakibatkan munculnya serangkaian problem sosial. Judi,
pasang togel, penjambretan, penodongan dan prostitusi, seringkali dilakukan
justru oleh orang-orang miskin yang kehilangan akal untuk menolong dirinya
sendiri. Orang kaya bermental miskin pun membuat semakin kompleksnya persoalan
ini. Bukankah korupsi justru banyak dilakukan oleh orang-orang kaya yang merasa
bahwa hidupnya selalu berkekurangan?. Bagi perempuan, persoalan kemiskinan
menjadi lebih rumit. Karena kemiskinan seringkali membuat mereka kehilangan
integritas atas diri dan tubuhnya sendiri. Sebagian perempuan rela jadi istri
simpanan, istri kedua, ketiga dan seterusnya atas dasar persoalan ekonomi.
Sebagian yang lain terjebak dalam dunia perbudakan, termasuk perbudakan seksual
bentuk baru. Menjadi korban trafficking dan masuk ke dalam jerat dunia
prostitusi.
Persoalan Perempuan Pekerja Migran (TKW) merupakan gambaran konkrit
kemiskinan perempuan. Kompleksitas persoalan ini melibatkan berbagai pihak dan
menjadi persoalan sistem dan struktural dengan faktor penyebab dan kendala yang
tidak tunggal. Oleh keluarganya TKW djadikan obyek/komoditas untuk melepaskan
diri dari lingkaran kemiskinan. Tergiur oleh janji-janji pekerjaan yang baik di
kota, mereka terpaksa menjadi buruh yang diupah teramat rendah dengan beban
kerja berlebihan dan hampir tanpa jaminan keamanan. Pembantu rumah tangga
dengan jam kerja yang tidak jelas dan rentan menjadi korban kekerasan domestik.
Menjadi TKW yang minim perlindungan dan seringkali menjadi korban kekerasan
serta pemerasan baik di negeri sendiri maupun di negeri orang. Tak jarang, anak
perempuan menjadi pihak yang dikorbankan oleh orang tuanya sendiri sebagai alat
pembayar hutang melalui ‘kawin paksa’ sebagai modus operandi-nya. Mirip dengan
kisah Siti Nurbaya yang terpaksa kawin dengan Datuk Maringgih untuk melunasi
hutang ayahnya.
Kasus Tenaga Kerja Wanita (TKW) Indonesia yang bekerja di luar negeri
adalah masalah aktual yang seakan tak pernah berhenti dibahas. Sepanjang tahun
pemerintah Indonesia selalu dipusingkan dengan permasalahan TKW. Sepanjang
tahun pula, pemerintah harus cek-cok dengan Negara pengimpor TKW karena
kasus-kasus kekerasan dan pedeportasian para tenaga kerja kita. Dan sepanjang
tahun pula, tak ada solusi dan kebijakan yang tepat sasaran dan mampu mengatasi
permasalahan TKI dan TKW ini. Setiap kebijakan yang dikeluarkan pemerintah
menuai protes dari banyak kalangan aktivis perempuan, akademisi dan pemerhati
TKW. Sehingga seolah kebijakan yang sudah ada mengambang begitu saja tanpa tindak
lanjut, sementara nasib para TKW semakin tragis dan terkesan dibiarkan.
B. Rumusan
Masalah
1. Apa saja Identifikasi Masalah Tenaga Kerja Wanita (TKW) Indonesia ?
2.Bagaimana Hukum tkw menurut pandangan Islam?
3. Bagaimana
bentuk-bentuk kemiskinan yang dialami oleh TKW di luar negeri ?
4. Bagaimana
kebijakan pemerintah atau Undang-Undang mengenai TKW di Indonesia?
BAB II
PEMBAHASAN
A. Identifikasi
Masalah Tenaga Kerja Wanita (TKW) Indonesia
Impian untuk mendapatkan penghasilan lebih di negeri tetangga, ditambah
pengalaman TKW-TKW lain yang sukses sebagai PRT (Pembantu Rumah Tangga),
ternyata tidak selamanya menjadi kenyataan. Banyak TKW yang menuai sukses,
menjadi semakin terangkat nasibnya setelah bekerja di luar negeri. Mereka bisa
membiayai kehidupan keluarganya yang lain, dengan kata lain menjadi tulang
punggung keluarga. Tetapi, ada pula kisah menyedihkan di antara para TKW ini,
dimana bukan kebahagiaan yang mereka dapatkan, tetapi derita yang tiada pernah
ada hentinya. Ada banyak faktor yang menyebabkan penderitaaan mereka ini.
Berikut ini adalah permasalahan TKW di luar negeri dapat dipisahkan menjadi
2 kelompok. Yaitu, permasalahan yang ada di dalam negeri dan permasalahan yang
ada di luar negeri.
1. Permasalahan
TKW di Dalam Negeri
A. Percaloan
Sebenarnya secara hukum keberadaan calo ini dilegalkan oleh pemerintah
dalam UU Nomor 39 tahun 2004 tentang Penempatan dan Perlindungan tenaga Kerja
Indonesia di Luar Negeri. Sehingga kemudian, pemerintah menganggap wajar jika
banyak calo TKI yang berkeliaran dimana-mana bahkan menebar penipuan di
kalangan calon TKW. Seringkali para calon TKW tertipu oleh para calo.
Ketidaktahuan mereka akan informasi dan ketiadaaan pengalaman, membuat mereka lengah.
Dan akhirnya uang yang mereka setorkan lenyap dan calon TKW pun tidak jadi
bekerja di luar negeri. Keberagaman biaya yang dipasang oleh lembaga penyalur
TKW seperti PJTKI, membuat para calo bebas menentukan harga. Ini menunjukkan UU
yang ada masih lemah dan belum jelas dan tegas dalam mengatur pasal mengenai
TKW.[1]
B. Kondisi di
Tempat Penampungan
Tidak jarang para calon TKW nekat bunuh diri karena tidak tahan pada
perlakuan petugas di tempat penampungan. Kasus Tarmini yang tewas karena
melarikan diri dari LPTKI adalah contoh konkret tentang
hal ini. Secara prosdural, seharusnya mereka mendapatkan pelayanan yang baik
selama di penampungan, bahkan berhak untuk mendapatkan penyuluhan dan pelatihan
mengenai apa yang harus dilakukan di luar negeri sana ketika mereka menjadi
TKW. Tapi, pada kenyataannya mereka justru menjadi korban penyiksaan,
kekerasan, pelecehan seksual, eksploitasi oleh petugas. Bahkan mereka diarkan
selama berbulan-bulan di penampuangantanpa nasib yang jelas.
C. Penempatan
Kerja
Bukan menjadi rahasia lagi kalau ternyata penyaluran TKW ini disisipi oleh
praktek human trafficking. Para calon TKW bukannya disalurkan di tempat
kerjanya di luar negeri, justru malah dijual untuk menjadi Pekerja Seks
Komersial (PSK). Majalah Tempo Interaktif tanggal 12 Juli 2004 menuliskan bahwa
80% TKW yang ditampung di KBRI Kuala Lumpur adalah Pekerja Seks Komersial (PSK)
yang menderita penyakit kelamin.
D. Posisi Tawar
yang Rendah
Pelanggaran HAM yang diterima para TKW itu kurang lebih disebabkan karena
posisi tawar mereka rendah. Pertama, mereka adalah kelompok yang kurang
pengetahuan, informasi dan keterampilan sehingga mudah dibodohi. Kedua,
munculnya banyak lembaga penyalur tenaga kerja nasional yang tidak melaksanakan
mekanisme pemberangkatan secara profesional sesuai standar kelayakan, sehingga
banyak kasus TKW yang masuk ke majikan yang salah. Ketiga, para TKW ini banyak
yang tidak berdokumen resmi. Bagi TKW yang tidak berdokumen, ketika mendapat
pelanggaran HAM tidak akan diurusi oleh pemerintah dan KBRI. Karena secara
hukum, tenaga kerja Indonesia adalah mereka yang memegang dokumen resmi.
Sebuah penelitian yang pernah dilakukan oleh Pandriono dan kawan-kawan
menemukan beberapa sebab TKW berangkat tanpa melalui prosedur yang resmi yakni
lebih cepat, lebih murah, tidak perlu persyaratan administrasi yang rumit
seperti ijasah dan sertifikat ketrampilan khusus, bisa ikut pemutihan yang akan
diadakan negara tujuan, mencari pekerjaan di Indonesia sulit dan gaji rendah,
ekonomi keluarga kurang, tertipu oleh janji calo, tergiur teman yang telah
berhasil sebagai TKW, dan tidak adanya informasi tentang mekanisme menjadi TKW
di luar negeri (Kalyanamitra, 2004).
E. Diskriminasi
Dalam perjalanan pulang ke Indonesia, TKW sering mendapat perlakuan yang
diskriminatif dari pemerintah. Penggunaan Terminal III di bandara
Soekarno_Hatta adalah bentuk perlakuan yang diskriminatif terhadap TKW, dengan
dalih demi kelancaran dalam mengatur kepulangan TKW[2].
Padahal para TKW itu adalah sama-sama manusia yang harus mendapat perlakuan
sama pula dengan orang lain. Banyak kasus yang terjadi akibat pengalokasian di
Terminal III ini para TKW sering diperas dan diincar oleh para penjahat. Karena
mereka sudah tahu bahwa Terminal III adalah rombongan TKW yang pulang dengan
membawa banyak uang. Akibatnya, mereka korban pungutan liar.
2. Permasalahan
TKW di Luar Negeri
A. Tidak Digaji
Seringkali TKW yang sudah bekerja di luar negeri tidak di gaji oleh majikannya.
Bahkan mendapatkan bomus penyiksaan dari nyonya rumah, pemerkosaan oleh tuan
rumah, dan berbagai penyiksaan-penyiksaan lain. Sudah banyak kasus yang terjadi
akibat penempatan TKW yang salah sasaran. TKW ini karena miskin pengetahuan,
sehingga tertipu oleh majikan kalau uang gajinya disimpan untuk dibayarkan ke
depan. Kasus Nirmala Bonat (19) dari NTT yang disiksa oleh majikannya di Arab
Saudi dan tidak di gaji oleh majikannya adalah contoh nyata untuk masalah ini.
B. Penahanan Dokumen
Sebenarnya para TKW yang tidak berdokumen itu adalah korban akibat
penahanan dokumen mereka. Karena dokumen mereka ditahan, akhirnya ketika mereka
mengalami penyiksaan, mereka tidak akan dipedulikan walaupun mereka melapor ke
KBRI. Bahkan saat harus dideportasi dengan tuduhan TKI illegal, merekapun tak
bisa berbuat apa-apa. Ini tindakan yang sangat diskriminatif sekali dari KBRI
(Kedutaan Besar Republik Indonesia). Seharusnya, berdokumen ataupun tidak, para
TKI ini tetap harus dilindungi. KBRI seharusnya paham dan menyadari bahwa
permasalahan TKW ini begitu kompleks.
C. Penganiayaan
Normawati dari Kopbumi (Konsorsium pendamping buruh migrant Indonesia)
mengatakan bahwa dalam Januari 2004 saja paling tidak ada 80 orang TKW yang
terpaksa dirawat di Rumah Sakit Polri karena mendapat perlakuan yang tidak manusiawi
selama bekerja di luar negeri. Jumlah ini belum termasuk yang
dipulangkan secara paksa tanpa
sepengetahuan petugas.
D. Meninggal Dunia
Hingga Mei 2004, tercatat 20 orang TKW meninggal dunia, yang dilaporkan
karena sakit dan kecelakaan lalu lintas. Kita tidak tau
apakah mereka benar-benar meninggal karena kecelakaan ataukah ada penyebab
lain. Yang jelas, ketika terjadi kecelakaan lalu lintas, yang perlu
dipertanyakan adalah bagaimana jaminan keselamatan bagi bagi para TKW? dan
mengapa mereka nekat melakukan bunuh diri ?
E. Perkosaan
Perkosaan ini banyak menimpa TKW. Baik itu oleh majikan, petugas di tempat
penampungan, atau orang lain yang terkait dengannya selama ia menjadi TKW di
luar negeri.
F. Jeratan Hukum
Sepanjang tahun ini ada dua kasus TKW divonis hukuman mati, atas berbagai
macam tuduhan, misalnya penganiayaan sampai pembunuhan terhdap majikannya. Dan
pemerintah belum bisa berbuat apa-apa mengenai hal ini, dengan alasan kondisi
peraturan dan hukum yang berbeda di tiap Negara.
G. Pendeportasian
Kasus ini disebabkan karena TKW banyak yang tidak memiliki dokumen resmi.
Padahal, banyak juga TKW yang dokumennya ditahan sehingga tidak bisa melakukan
apa-apa ketika harus dideportasi.
H. Penahanan Dokumen
Sebenarnya para TKW yang tidak berdokumen itu adalah korban akibat
penahanan dokumen mereka. Karena dokumen mereka ditahan, akhirnya ketika mereka
mengalami penyiksaan, mereka tidak akan dipedulikan walaupun mereka melapor ke
KBRI. Bahkan saat harus dideportasi dengan tuduhan TKI illegal, merekapun tak
bisa berbuat apa-apa. Ini tindakan yang sangat diskriminatif sekali dari KBRI.
Seharusnya, berdokumen ataupun tidak, para TKI ini tetap harus dilindungi. KBRI
seharusnya paham dan menyadari bahwa permasalahan TKW ini begitu kompleks.
Berdasarkan identifikasi di atas, maka permasalahan TKW sebetulnya dimulai
sejak mereka mengurus keberangkatan sampai ke tempat penampungan dan di tempat
kerja mereka di luar negeri.
B. Hukum Wanita Keluar Daerah Untuk
Bekerja/ TKW Menurut Tinjaun Fikih.
Sebenarnya
hal ini sangat dilematis sekali, disatu sisi,siapa yang tidak tahu jasa saudari
saudari kita para TKW?? TKI adalah penyumbang devisa negara terbesar di negara
kita.Tapi walaupun demikian, akankah prosedurnya sudah sesuai dengan tinjauan
syariat islam ?
Menurut
pandangan islam, hak-hak wanita itu sangat dihormati sekali. Sampai-sampai ada
hukum yang mengatur mereka apabila mau keluar rumah(apalagi sampai ke negara
tetangga). Hal ini semata-mata untuk menjaga kehormatan para kaum hawa sendiri.
Sudah banyak pelecehan TKW yg terjadi,silahkan klik
disini untuk membaca beberapa kasusnya.
Oleh karenanya,Lembaga ulama di negara kita pernah memutuskan seperti di bawah ini.
Oleh karenanya,Lembaga ulama di negara kita pernah memutuskan seperti di bawah ini.
KEPUTUSAN
FATWA MUSYAWARAH NASIONAL VI MAJELIS ULAMA INDONESIA NOMOR: 7/MUNAS VI/MUI/
2000 TENTANG PENGIRIMAN TENAGA KERJA WANITA (TKW) KE LUAR NEGERI
Musyawarah
Nasional VI Majelis Ulama Indonesia yang berlangsun g pada tanggaL23-27 Rabi'ul
Akhir 1421 H / 25-29 Juli 2000 M dan membahas tentang Pengiriman Tenaga Kerja
Wanita (TKW) ke Luar Negeri, setelah :
Menimbang:
1. Bahwa kepergian wanita meninggalkan keluarga untuk
bekerja ke luar kota atau ke luar negeri tanpa mahram merupakan tindakan yang
tidak sejalan dengan ajaran agama lslam;
2. Bahwa pengiriman TKW ke luar negeri sampai sekarang
belum ada jaminan perlindungan keamanan dan kehormatan perempuan, bahkan justru
mendorong timbulnya tindakan pelecehan terhadap martabat wanita dan bangsa
Indonesia;
3. Bahwa kebutuhan dan keperluan bekerja di luar kota
dan luar negeri merupakan tindakan terpaksa untuk memenuhi kebutuhan minimal
hidup dan karena keterbatasan lapangan kerja di Indonesia;
4. Bahwa oleh karena itu, MUI memandang perlu
menetapkan fatwa tentang pengiriman TKW.
Memperhatikan
Pendapat dan saran peserta sidang / MUNAS.
Mengingat:
Mengingat:
1. Firman Allah SWT: QS Al-Nur [24]: 31 tentang perempuan harus menjaga kehormatan nya dan larangan memperliha tkan keindahann ya kecuali kepada mahramnya dan orang tertentu saja;
2. Hadis Nabi " Seorang laki-laki tidak boleh
berdua-dua an dengan seorang perempuan kecuali disertai mahramnya dan perempuan
tidak boleh bepergian kecuali bersama mahramnya (HR. Bukhari dan Muslim)"
Seorang perempuan yang beriman kepada Allah dan Han Akhir tidakhalal melakukan
perjalanan selama tiga hari atau lebih kecuali disertai ayah, suami, anak, ibu,
atau mahramnya" (HR. Muslim);
3. Hadis Nabi : Tidak boleh membahayak an din sendiri
maupun orang -lain.
4. Kaidah Fiqhiyah: "Menolak/ menghindark an kerusakan (hal-hal negatif diutamakan dari pada mendatangkan kemaslahatan. "Kaidah Fighiyah: "Hajat (kebutuhan sekunder) yang masyhur menempati darurat, dan kondisi darurat membolehkan hal-hal yang dilarang (diharamkan);
4. Kaidah Fiqhiyah: "Menolak/ menghindark an kerusakan (hal-hal negatif diutamakan dari pada mendatangkan kemaslahatan. "Kaidah Fighiyah: "Hajat (kebutuhan sekunder) yang masyhur menempati darurat, dan kondisi darurat membolehkan hal-hal yang dilarang (diharamkan);
MEMUTUSKAN
1. Perempuan yang meninggalkan keluarga untuk bekerja ke luar kota atau ke luar negeri, pada prinsipnya , boleh sepanjang disertai mahram, keluarga ataulembaga / kelompok perempuan terpercaya(niswan tsiqah).
2. Jika
tidak disertai mahram (keluarga) atau niswah tsiqah, hukumnya haram, kecuali
dalam keadaan darurat yang benar-benar bisa dipertanggungjawabkan secara
syar'iy, qanuniy, dan ‘adiy, serta dapat menjamin keamanan dan kehormatan
tenaga kerja wanita.
3. Hukum
haram berlaku pula kepada pihak-piha k, lembaga atau perorangan yang mengirimka
n atau terlibat dengan pengiriman TKW seperti dimaksud angka 2; demikian juga
pihak yang menerimanya.
4.
Mewajibkan kepada pemerintah , lembaga dan pihak lainnya dalam pengiriman TKW
untuk menjamin dan melindu keamanan dan kehormatan TKW, serta members kelompok
/ lembaga perlindungan hukum atau kelompok niswan tsigah di setiap negara
tertentu, serta kota-kota tertentu untuk menjamin dan melindungi keamanan serta
kehormatan TKW.
5. Keputusan
fatwa ini mulai berlaku pada tanggal ditetapkan , agar setiap orang dapat
mengetahui nya / menghimbau semua pihak untuk menyebarluaskan fatwa ini.[3]
Negara asal : Indonesia
Negeri :
Jakarta
Badan yang
mengisu fatwa : Komisi FatwaMajelis Ulama Indonesia
Penulis/ Ulama : 1. Prof Umar Shihab 2. Dr. H.M. Din Syamsuddin Tarikh Diisu : 29 Juli 2000
Penulis/ Ulama : 1. Prof Umar Shihab 2. Dr. H.M. Din Syamsuddin Tarikh Diisu : 29 Juli 2000
Nota:
Pimpinan Sidang Pleno
Ketua: Prof
Umar Shihab
Sekretaris :
Dr. H.M. Din Syamsuddin
Ditetapkan
di Jakarta 27 Rabi'ulAkh ir 1421 H - 29Juli 2000 MUSYAWARAH NASIONAL VI TAHUN
2000 MAJELIS ULAMA INDONESIA
C.Kemiskinan yang Dialami oleh Para TKW Indonesia
Fenomena banyaknya para Tenaga Kerja Wanita (TKW) menunjukkan bahwa
permasalahan kemiskinan ini demikian kronisnya. Terbatasnya lahan pekerjaan
bagi perempuan di Indonesia menjadikan mereka lebih memilih untuk bekerja di
luar negeri dengan asumsi mereka hanya ingin mendapatkan pekerjaan dan
penghasilan lebih daripada yang mereka terima di negeri sendiri. Dan setelah
mereka bekerja di luar negeri yang mereka temui justru kekerasan, penyiksaan,
pelecehan, pendeportasian dan diskriminasi yang tiada henti. Jika kita ingin
mencari siapa pihak yang paling bersalah dalam hal ini, maka saya akan menjawab
pemerintah dan para kepala keluarga di rumah tangganya masing-masing.
Hal yang sangat disayangkan adalah bahwa ternyata kasus-kasus kekerasan
yang mereka alami kurang mendapat perhatian dari pemerintah (dengan berbagai
macam alas an). Bahkan, sampai ketika beberapa TKW di Arab Saudi yang di hukum
matipun, pemerintah tidak sanggup berbuat apa-apa. Padahal, secara tidak
langsung, para TKW ini telah menyumbangkan banyak sekali devisa bagi Negara[4].
Kenapa masalah TKW selalu menjadi aktual? Diantaranya adalah karena topik
ini selalu hangat dibicarakan oleh banyak kalangan dan menjadi sorotan media .
Setiap kali pengiriman TKW dilakukan, maka pada tiap kejadian selalu saja memakan
“korban”. Dan berbagai kebijakan pemerintah yang diambil belum bisa melindungi
TKW kita di luar negeri.
Dalam sistem yang terkait dengan profesi Pekerja Migran atau TKW, profesi
ini diwacanakan dan dimaknai sebagai “mbabu”, kelas sosial "bawah”, dan
sekaligus menjadi “katup pengaman” dan “jalan” memperbaiki ekonomi. Proses
marginalisasi nampak dalam:
1) Penyingkiran Perempuan dalam
rantai perekonomian dalam masyarakat dan sekaligus memasukkan mereka dalam
belenggu siklus per’TKW-an” yang tidak mereka ketahui secara utuh, menggunakan
kapasitas diri seadanya (pendidikan rendah), dan mempertaruhkan diri akan
potensi kekerasan yang ada di dalamnya;
2) Pengucilan perempuan dalam
rantai ekonomi pedesaan di mana perempuan hanya memperoleh sedikit sekali
peluang ekonomi di desa yang memang semakin hari semakin sedikit;
3) Feminisasi Pasar Pekerja
Migran. Perempuan mengalami obyektifikasi keperempuanan mereka dalam siklus
pekerjaan yang identik dengan Buruh dan PRT;
4) Pemiskinan TKW atau
dirinya adalah wujud akhir dari semua yang dilakukan yang sedianya untuk
keluarga. Apa yang diperoleh tidak memberikan dampak pada mobilitas vertikal
dalam rumah tangga dan masyarakat.
D. Minimnya Perhatian Pemerintah akan Kebijakan-Kebijakan Mengenai TKW
Pemerintah sebagai pelindung dan penanggung jawab masyarakatnya lalai dalam
memenuhi kebutuhan warganya, padahal jelas sekali UU menyebutkan bahwa rakyat
berhak memperoleh pekerjaan dan penghidupan yang layak. Kondisi kehidupan yang
serba miskin ini, membuat para wanita memberanikan diri untuk mencari pekerjaan
di luar negeri tanpa bekal pengetahuan dan skill sedikitpun. Karena di negeri
sendiri mereka tidak memperoleh lapangan pekerjaan yang menjanjikan. Sementara
para suami dan ayah mereka dinilai gagal dalam tanggung jawabnya sebagai kepala
rumah tangga yang berkewajiban membiayai semua kebutuhan hidup anggota
keluarganya. Ketika mereka masih bisa mencari pekerjaan dan penghasilan , maka
para wanita tidak perlu keluar untuk mencari penghasilan tambahan lain, apalagi
berkerja selama bertahun-tahun di luar negeri sebagai pembantu rumah tangga.[5]
Jika ditelaah melalui data Komnas Perempuan selama lima tahun terakhir,
kasus kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) merupakan bentuk kekerasan yang
terbanyak dialami perempuan dari tahun ke tahun, dan bentuk yang paling sering
ditangani oleh Pengadilan Agama adalah penelantaran ekonomi (61%). Penelantaran
ekonomi dirasakan oleh perempuan secara langsung karena, 60% pengelola struktur
pengeluaran rumah tangga adalah perempuan, maka dampak pemangkasan kebutuhan
ekonomis langsung bersinggungan pada mereka. Kelompok perempuan sebagai
pengelola Rumah Tangga, menerapkan ragam strategi untuk mengatasi keterbatasan
ekonomi. Hingga akhirnya mendesak kaum perempuan untuk mencari kerja di luar
negeri. Hal ini dipengaruhi oleh iming-iming peluang mendapatkan upah yang
relatif tinggi serta desakan keluarga untuk memperbaiki kualitas hidup, yang
kemudian semakin mendorong perempuan, dalam hal ini istri ataupun anak
perempuan, untuk meninggalkan keluarganya guna bekerja sebagai buruh migran.
Namun, kenyataan bahwa sebagian besar buruh migran adalah kelompok
perempuan berpendidikan rendah, maka pilihan pekerjaan yang tersedia sangat
terbatas. Mereka akhirnya bekerja di sektor pekerjaan domestik, yang masih
identik dengan "pekerjaan perempuan". Hal ini terlihat dari kenyataan
bahwa sebagian besar (sekitar 90%) buruh migran perempuan bekerja di sektor
domestik, terutama sebagai pekerja rumah tangga. Pada tahun 2006, CATAHU Komnas
Perempuan mencatat sebanyak 1.259 buruh migran Indonesia – yang kebanyakan
adalah perempuan – mengalami berbagai bentuk pelanggaran, seperti diskriminasi,
eksploitasi, dan kekerasan.
Di tengah terobosan-terobosan kebijakan di bidang pemberian layanan bagi
perempuan korban kekerasan di Indonesia (12 produk kebijakan di tingkat lokal
hingga nasional), ternyata buruh migran perempuan sama sekali luput dari
penyikapan yang serius dan sistematik dari pemerintah. Selama tahun 2006,
kasus-kasus buruh migran masih didominasi oleh persoalan konflik perburuhan
lainnya, yang meliputi gaji tidak dibayar, gaji dibawah standar upah, serta
kerja melebihi jam kerja. Meskipun telah lahir sebuah Memorandum of
Understanding (MoU) antara pemerintah Indonesia dan Malaysia tentang pekerja
Rumah Tangga Indonesia, namun pemerintah tetap tidak dapat memenuhi standar
perlindungan yang cukup bagi buruh migran, khususnya buruh migran perempuan[6].
Kebijakan menghentikan pengiriman TKW menjadi tidak bijaksana ketika kita
mencoba menelaah kembali akar permasalahan dan faktor pendorong banyaknya
perempuan Indonesia yang ingin bekerja ke luar negeri. Selama pemerintah masih
belum bisa mengatasi kemiskinan, dan mensejahterakan warganya, maka jangan
harap kebijakan penghentian TKW akan mampu meredam masalah. Ini justru akan
menimbulkan dampak lebih besar di Indonesia, karena penganggguran jelas akan
semakin bertambah.
Maka daripada itu, berdasarkan identifikasi masalah yang ada di dalam
negeri, maka langkah-langkah kebijakan yang bisa dilakukan pemerintah sebagai
berikut :
1. Mengubah image negative TKW dan TKI, bahwa TKW
dan TKI yang bekerja sebagai pembantu rumah tangga adalah posisinya rendah di
masyarakat. Pemerintah bisa mengeluarkan statement atau bahkan di bisa
dimasukkan ke dalam Undang-Undang mengenai definisi tenaga kerja Indonesia.
Bahwa, TKI adalah pekerjaan yang sangat membantu Negara dalam memperbesar
cadangan devisa. Hal ini penting agar masyarakat tidak menganggap remeh posisi
pembantu rumah tangga. Bukan hanya masyarakat Indonesia, tetapi juga yang lebih
penting adalah masyarakat di Negara penerima TKW. Supaya tindakan pelecehan
tidak terulang lagi.
2. Memperkuat hubungan bilateral antara pemerintah
Indonesia dengan pemerintah negera penerima TKW dan TKI. Terutama dalam
menyangkut masalah TKI. Perlu ada semacam consensus, perjanjian, atau kontrak
kerja bersama yang di dalamnya termuat sejumlah peraturan mengenai TKI dan TKW.
Juga hak-hak yang harus di dapat TKW selama nekerja di luar negeri, tentang
sanksi-sanksi dan aturan atas tindak pidana yang bisa dilakukan oleh majikan
ataupun TKW itu sendiri.
3. Menyusun Undang-Undang yang khusus mengatur masalah
TKW. Karena selama ini masalah TKI ada di bawah UU Tenaga Kerja yang disitu
belum ada aturan yang jelas tentang TKW, batas jam kerja TKI, maupun
jenis-jenis perlindungan terhadap TKI.
4. Memperbaiki kualitas pendidikan di Indonesia dengan
merealisasikan anggaran pendidikan sebesar 20%. Hal ini baru terasa sekali
ketika ternyata banyak sekali para TKW yang minim pengetahuan sehingga mudah
dibodohi para calo, dan majikan mereka. Sehingga akhirnya mereka menjadi korban
pelanggaran HAM di tempat mereka bekerja.
5. Menetapkan kebijakan pengiriman TKW yang mempunyai
skill. TKI atau TKW yang mempunyai skill tidak akan mudah mendapatkan
pelanggaran HAM di negeri penerima.
6. Penetapan dan sosialisasi mengenai prosedur resmi
pemberangkatan tenaga kerja Indonesia dan penempatannya. Agar tidak ada lagi
calon TKW atau TKI yang tertipu oleh para calo atau di tempatkan di tempat
kerja yang salah. Sosialisasi ini harus menjangjau sampai ke calon TKW, jika
tidak, maka kejadian penipuan dan pelanggaran HAM akan terus berlanjut sampai
kapanpun.
7. Untuk menghindari adanya lembaga penyalur TKW yang
tidak resmi, maka pemerintah perlu menetapkan standarisasi dan akreditasi
terhadap Penyalur Jasa Tenaga Kerja Indonesia (PJTKI) yang ada atau yang akan
didirikan. Dan yang memenuhi akreditasilah yang berhak menjadi lembaga penyalur
tenaga kerja nantinya. Lembaga-lembaga penyalur ini perlu juga di
sosialisasikan kepada masyarakat dan calon TKW agar masyarakat yang ingin
menjadi TKW/TKI mendaftar di PJTKI yang sudah diresmikan oleh Negara.
8. Pengaturan mekanisme yang jelas tentang perlindungan
TKW di luar negeri dan hal ini perlu di sosialisasikan kepada para TKW sebelum
di berangkatkan mengenai hak-hak mereka dan bagaimana prosedur yang harus
dilakukan untuk mendapatklan perlindungan hokum ketika terjadi pelanggaran HAM
pada mereka.
9. Dengan diberlakukan otonomi daerah di Indonesia,
pemerintah bisa mengarahkan pemerintah daerah agar bisa memaksimalkan potensi
TKW yang baru saja pulang dari luar negeri, agar para mantan TKW ini tidak
kehilangan pekerjaan selepas pulang dari luar negeri. Pemanfaatan skill yang sudah
dimiliki TKW oleh Pemda akan membantu peningkatan perekonomian mereka dan
secara tidak langsung akan mengurangi jumlah kemiskinan di daerah
masing-masing.
10. Pemerintah melakukan pengawasan yang ketat terhadap PJTKI, terutama pada
waktu memberikan penyuluhan dan pelatihan bagi para calon TKW. Agar sosialisasi
dan pelatihan benar-benar tepat sasaran dan tersampaikan secara benar kepada
para calon TKW.
11. Membangun jaringan kerjasama dengan NGO / LSM, dan PJTKI resmi dalam
pengelolaan TKW. NGO berperan dalam proses monitoring, riset data, dan
pembelaanhukum dan pendampingan terhadap TKW. Sementara itu, PJTKI berperan
penuh dalam memberikan pemahaman mengenai skill dan peraturan-peraturan lain
kepada TKW.
Dalam hal ini
Komnas Perempuan juga menyatakan beberapa rekomendasi dalam merespon hal
tersebut:[7]
- Pemerintah Indonesia
perlu mengeluarkan kebijakan untuk memberlakukan perlindungan bagi
perempuan, dalam kaitannya terhadap isu KDRT juga Perlindungan Tenaga
Kerja Indonesia sebagai Buruh Migran.
- Pemerintah tidak lagi
menyelesaikan kasus Buruh Migran secara kasus per kasus, namun lebih
komprehensif hingga dapat melindungi keberlanjutan hak buruh migran ke
depan.
- Dalam penanganan Kasus
KDRT, Pemerintah perlu upaya sistematis untuk memberi rehabilitas ekonomi
bagi perempuan pengelola rumah tangga.
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Persoalan Perempuan Pekerja Migran (TKW) merupakan gambaran konkrit
kemiskinan perempuan. Selama pemerintah masih belum bisa mengatasi kemiskinan,
dan mensejahterakan warganya, maka jangan harap kebijakan penghentian TKW akan
mampu meredam masalah. Ini justru akan menimbulkan dampak lebih besar di
Indonesia, karena pengangguran jelas akan semakin bertambah. Perempuan dalam
hal ini seakan tidak mempunyai pilihan untuk memilih pekerjaan yang layak bagi
dirinya. Sehingga ketika dihadapkan pada masalah ekonomi dalam keluarga atau
suami yang terkena PHK perempuanlah yang bangkit terlebih dahulu untuk membantu
menopang kehidupan keluarga.
B. Saran
Sebaiknya pemerintah segera membuat kebijakan berupa Undang-Undang bukan
hanya sekedar rancangan belaka. Disamping itu pula lembaga-lembaga yang
menangani penyaluran Tenaga Kerja Wanita lebih memperketat pegawasan serta
mempemudah akses perempuan tersebut utuk kembali ke Negaranya sesuai prosedur
yang telah berlaku, sehingga dalam hal ini tidak ada pihak yang dirugikan
DAFTAR PUSTAKA
R.subekti R. Tjitrosono
Kitap undand-undang perdana, jakarta:pradayana paramita,1963.
Arif
Masdoeki dan Tirta amidjaja, Azaz dan Dasar Hukum,,jakarta:1963.
Budiman,
Arif ,,Negara Dan Pembangunan.. jakarta 1986.
Santoso,
dan artika ,,Birokrasi dan Masyarakat Indonesia,,jakarta 1990.
0 Response to "MAKALAH HUKUM TKW"
Post a Comment