MAKALAH HAKIKAT KENABIAN MUHAMMAD

BAB I
PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang
Banyak orang sangat berkepentingan dengan kata yang satu ini. Di Perguruan tinggi hampir semua dosen dan mahasiswa berhadapan dengan istilah hakikat. Namun tidak semua mahasiswa dan dosen memahami  pengertian “hakikat” secara baik. Kata yang satu ini sangat gampang diucapkan dan sangat enak di dengar. Namun penggunaannya sering salah suai, alias tidak cocok pemakaiannya dengan yang seharusnya. Akibatnya makna yang dikandungnya jadi kabur, bahkan masuk kedalam konsep yang yang lain. Tidak jarang kita temukan dalam karya ilmiah atau tidak, pengertian hakikat adalah peran-peran atau fungsi-fungsi yang harus dijalankan oleh manusia. Sebagai contoh di dalam berbagai literatur saya membaca,  kutipan  sebagai berikut;
Secara filosofis hakikat manusia merupakan kesatuan integral dari potensi-potensi esensial yang ada pada diri manusia, yakni: 1. Manusia sebagai makhluk pribadi. 2. Manusia sebagai makhluk sosial. 3. Manusia sebagai makhlik susila. 4. Manusia sebagai makhlik religius “.Salah satu kekeliruan yang ada pada kutipan tersebut adalah apa yang dinyatakan sebagai ” potensi-potensi esensial ” yang ada pada diri manusia tersebut tidak cocok, karena 1 – 4 tersebut bukan potensi manusia.
Kita harus jujur, bukankah kata-kata “ manusia sebagai  ”  menujukan  peran atau kedudukan. Pada peran terkandung berbagai fungsi atau kewajiban yang harus dijalankan oleh  manusia  di dalam kehidupan keseharian ?  Padahal “fungsi” itu terletak ( keberadaannya) pada peran  dari manusia atau sesorang di dalam kehidupannya. Dengan kata lain yang mudah dipahami, bahwa “ manusia sebagai makhluk  pribadi, manusia sebagai makhluk sosial,  manusia sebagai makhluk susila, manusia sebagai makhluk religius ” adalah  status  atau peran  yang  ditempatinya, pada hal yang seperti demikian dituntut ada  fungsi atau tugas yang jalankannya di dalam kehidupan sehari-hari. Sesungguhnya juga itu adalah tanggung jawab yang harus diembanya.
Jika kita mengatakan hakikat  manusia sebagai makhluk sosial misalnya, maka hakikat-nya akan  hilang jika ia berada di suatu  tempat pertapaan (dalam keadaan sendirian). Demikian pula halnya jika seorang laki-laki berzina dengan seorang perempuan, pada saat itu juga hilanglah hakikat-nya. Sejatinya hakikat manusia tidak demikian. Hakikat manusia akan dapat hilang jika ia sudah mati.
Berikut Jalius menjelaskan pengertian tentang hakikat ini. Hakikat  adalah berupa apa yang membuat sesuatu terwujud. Dengankata lain dapat dirumuskan, hakikat adalah unsur utama yang mengujudkan sesuatu. Hakikat mengacu kepada  faktor utama yang lebih fundamental. Faktor utama tersebut wajib ada dan merupakan suatu kemestian. Hakekat selalu ada dalam keadaan sifatnya tidak berubah-rubah. Tanpa faktor utama tersebut sesuatu tidak akan bermakna sebagai wujud yang kita maksudkan. Karena hakekat merupakan faktor utama yang wajib ada, maka esensi-nya itu tidak dapat dipungkiri atau dinafikan.   Keberadaannya (eksistensi-nya) itu di setiap tempat dan waktu tidak berubah. Dengan kata lain hakikat itu adalah pokok atau inti dari yang ada. Tidak akan pernah ada sebuah atribut jika tidak ada hakikat.
Untuk  lebih  memudahkan  pemahaman  kita   selanjutnya ,  ada baiknya mari kita mengenal hakikat manusia sebagai contoh. Hakikat merupakan inti pokok dari sesuatu, dengan hakikat itulah sesuatu bereksistensi. Maka pada manusia   yang merupakan  makhluk (ciptaan) Tuhan  terbentuk atau terujud  oleh dua faktor utama yakni jasad dan roh. Jadi hakikatnya itu juga  sebagai  esensi  dari manusia  yakni   ikatan atau perpaduan “ jasad dan roh “. Dalam hal ini perlu diingat adalah setelah roh ditiupkan atau dimasukkan kedalam jasad oleh sang Maha Pencipta, maka roh tersebut berubah namanya menjadi nafs  ( arab)  atau  jiwa ( Indonesia ).
Suatu  hakikat adalah satu kesatuan yang tidak dapat dibagi dalam bereksistensi. Semua faktor utama hakikat itu terintegrasi atau menyatu dalam satu sistem. Dengan kata lain hakekat mengacu kepada hal-hal yang lebih permanen yang tidak terpengaruh oleh situasi dan kondisi. Juga tidak terpengaruh oleh ruang dan waktu. Suatu hakikat lebih mantap dan stabil serta tidak mendatangkan sifat yang berubah-rubah, tidak parsial ataupun yang bersifat fenomenal. Maka yang namanya manusia (an-nas) adalah makhluk Tuhan yang memiliki “jiwa dan raga”. Keharmonisan ikatan (integritas) jiwa dan raga tersebut menjadikan manusia dapat bereksistensi (ber-ada). Hakikat dapat menjalankan fungsi-fungsi kemanusiaan dalam berbagai bentuk kegiatan. Pada  ” hakekat ”  itu  terletak (terdapat) hal-hal lain yang menjadi atribut manusia.
Jika  jiwa berpisah dengan raga maka hilanglah sebutan manusia. Kalau jasad saja  namanya mayat dan jiwanya berubah namanya kembali sebagai roh. Dengan demikian kalau satu saja di antara faktor utama itu  yang ada maka manusia tidak bisa bereksistensi, apa yang disebut sebagai manusia tidak ada, dan fungsi-fungsi dari  manusia itu tidak dapat dijalankan. Itulah yang disebut dengan manusia telah mati. Ketentuan itu berlaku dimana saja dan kapan saja.
B.     Rumusan masalah
1.      Bagaimana pengertian dari pada Hakikat Kerasulan Muhammad SAW?
2.      Bagimana Doktrin dari pada Nabi Muhammad?








BAB II
PEMBAHASAN
A.   Pengertian Hakikat Kerasulan Nabi Muhammad SAW

Yang menjadi masalah sekarang, masih banyak orang muslim yang keliru memahami hakikat Nabi Muhammad. Mungkin karena cintanya kepada rasul berlebih-lebihan, atau karena tidak merasakan terkontaminasi filsafat Yunani yang diterima oleh sebagian filsuf Islam. Akibatnya, ada yang memahami bahwa Muhammad itu pancaran (faidh) atau emanasi dari Tuhan. Muncullah istilah “Insan al Kamil”. Padahal istilah itu, tidak ditemukan dalam Al-Quran dan Sunnah sahih[1].
Bagaimana memahami dengan benar, sesuai Al-Quran ?.
1.      Manusia biasa:
Meyakini “ Muhammad Rasulullah”, adalah syahadat kedua. Wajib diyakini seorang muslim, sesudah syahadat pertama Lailaha illa Allah. Tidak ada diantara kita, yang meragukan kerasulannya. Diabadikan Al-Quran dengan “ Nasyhadu innaka larasul Allah ( Kami mengakui bahwa engkau, benar-benar Rasul Allah (QS.63:1).
 Demikian keistimewaannya, tidak ada yang meragui sebagai “ Khatam wa asyraf al-anbiya’ wa al-mursalin”. ( Penutup dan termulia dari segala Nabi dan Rasul ). Namun, Al-Quran juga dengan tegas menyatakan “ Qul Innama ana basyarun mislukum” (Katakan, sesungguhnya saya ini adalah manusia biasa, seperti anda )(QS.18 :11O)
Menurut ahli Tafsir Ali Al-Shabuni, bahwa Muhammad sebagai manusia biasa.. berlaku juga sifat biasa pada dirinya. Hanya perbedaannya karena Allah memuliakan dengan wahyu bertugas, mengabarkan tentang keesaan Allah dan memkanjikan pahala besar bagi mereka yang beramal dengan ikhlas.
Ahli Tafsir Al-Jazairi menambahkan bahwa ayat tersebut, merupakan jawaban kepada kaum musyrikin yang memintanya memperlihatkan mu’jizat semacam yang diberikan kepada Musa dan Isa, lalu nabi mengakui bahwa ada yang tidak mampu dilakukan, karena diluar mu’jizat yang diberikan Allah. Misalnya, mengubah tongkat jadi ular atau dapat menghidupkan orang mati, sehingga nabi berkata “Ana basyarun mislukum”.
Mufasir Ibnu Abbas, sebenarnya “ Ana basyarun mislukum” yang dilontarkan Rasul itu, adalah pelajaran tawadu’ yang hendaknya dimiliki seseorang, bahwa jika ada keistimewaan, bukan segalanya. Maklum, tetap seperti hamba Allah yang lain.
Untuk lebih meyakini, ayat lain lebih tegas menyatakan “Wawajadaka dhallan fahada, wawajadaka ‘ailan fa aghna “ ( Bukankah Tuhan mendapatimu seorang yang bingun, lalu Dia (Tuhan) memberikan petunjuk ?.Dia mendapatimu seorang yang penuh kekurangan, lalu Dia memberikan kepadamu kecukupan ?” (QS.93 : 7-8)
Namun, para ulama Tafsir mengakui pula, dibalik ayat yang menyatakan punya keterbatasan sebagai “ basyarun mislukum ” sambungan ayat itu menyatakan “Yuha ilayya annama ilahukum ilahun wahid… ( Diwahyukan kepadaku, bahwa sesungguhnya Tuhan itu adalah Tuhan Yang Esa…) (QS.Al-Kahfi (18) :11O).
2.      Manusia istimewa:
Apa artinya ?. Dalam satu ayat diatas, sesudah dinyatakan manusia biasa, kemudian dinyatakan ada keistimewaan ( keluar biasaannya ). Misalnya dari lebih seribu Nabi, yang dipilih menjadi rasul, hanya 25 orang. Dan dari 25 rasul, hanya nabi Muhammad SAW yang disebut “ Asyraful mursalin “( Rasul termulia). Dengan demikian betapa istimewanya nabi SAW. Laksana rembulan dikelilingi bintang. Keistimewaan itu terlihat juga, jika Tuhan memanggilnya dalam Al-Quran. Tuhan tidak menyebut namanya secara langsung, seperti “ Ya Muhammad ! ”. Tapi, Tuhan memanggilanya dengan sebutan mesra “Ya ayyuha al-nabiy - Ya ayuha al-rasul - Ya ayyuha al-muddatsir,” .( Wahai para nabi, Wahai para rasul -Wahai para yang berselimut). Menurut mufasir, semua panggilan dengan kata jamak, seperti itu, padahal ditujukan hanya satu orang yaitu Muhammad sendiri, itu adalah penghormatan yang tinggi. Sama juga dalam salam “ Assalamu Alaikum “ ( Mudah-mudahan kamu semua selamat dan sejahtera ), padahal pemberi salam itu hanya dia tujukan kepada satu orang saja.
Penghormatan lain Tuhan kepada nabi Muhammad, , yaitu diperintahkan “ Innallaha wamalaikatahu, yushallun ‘ala al- nabiy, ya ayyuha ladzina amanu shallu ‘alayh… ( Tuhan dan malaikatnya bersalawat kepada nabi, maka hai orang-orang mukmin, bersalawatlah kepadanya. (QS.33:65). Dan masih banyak lagi penghormatan lain, seperti menjadi rahmat seluruh alam.
Menurut Tafsir Al-Qurthubi, yang dimaksud salawat dari Tuhan kepada nabi pada ayat diatas yaitu Tuhan selalu mencurahkan rahmat dan ridha kepadanya. Mengenai salawat malaikat berarti melaikat selalu mendoakan dan istigfarkan. Sedang salawat orang mukmin berarti selalu medoakan dan ta’zhimkan.
Akan tetapi kita semua hendaknya sadar, bahwa bagaimanapun istimewanya nabi kita, tetap tidak boleh disamakan dengan Tuhan atau bahagian dari Tuhan. Seperti mempercayai bahwa emanasi dari Tuhan. Paham itu pernah dianut sebagian kecil filsuf Islam. Sebab itu, untuk memurnikan akidah, kita harus kembali kepada ayat diatas “Ana Basyarun mislukum” ( saya manusia biasa seperti anda ) dan pada surah Al-Ikhlas “ Walam yakun lahu kufwan ahad”( Dan tidak ada seorangpun yang setara atau mirip dengan Allah).
Adapun sifat-sifat Tuhan yang ada pada manusia misalnya rahman atau rahmat ( kasih sayang) perbandingannya 1OO berbandung 1. Artinya kasih sayang Tuhan dikurangi 1 = 99 . Jadi, yang satu itulah dibagi-bagikan kepada seluruh makhluk, sehingga seekor binatang tahu mengangkat kakinya, sehingga tidak sampai menginjak-injak anaknya yang baru dilahirkan sampai mati.
3.      Insan al-Kamil ?
Falsafah “ Insan al-Kamil ” ( manusia sempurna ), dipahami sebagian sufi, bahwa kesempurnaan itu adalah copy Tuhan dalam diri Muhammad. Diorbitkan oleh sufi, Abd. Karim Al-Jili (w.1428 M) . (Astagfirullah).
Menurut Prof. DR.M.Rasjidi (Dosen “Filsafat Islam”), waktu penulis masih kuliah di Purnasarjana IAIN Yogya (1978), menerangkan, bahwa “ Istilah Hakikatul Muhammadiyah atau Nur Muhammad atau Insan al-Kamil yang dianut sebagian Sufi, adalah hasil dari meresapnya faham Neo Platonisme, yang dianut oleh Al-Kindi dan Al-Farabi”. Teori “emanasi” itu berasal dari pandangan, bahwa semua yang ada ini, memancar dari zat Tuhan melalui akal-akal ke sepuluh. Akal menurut pemikiran, mempunyai 3 tingkatan: Al-hayulani (material), bi al-fi’il (actual) dan al-mustafad (adeptus), dan tingkatan terakhir inilah yang menerima pancaran (emanasi) dari Tuhan. ( Dapat dilihat juga pada:” Koreksi terhadap DR.Harun Nasution, 1977:128).
Mengenai makna “Ahsani taqwin “ dalam Al-Quran, itu berlaku untuk seluruh manusia yang diciptakan Tuhan. Diakui pakar Tafsir, Prof. DR. M.Quraish Shihab, bahwa makna “ Ahsani taqwin” dalam Al-Quran, berarti bahwa manusia diciptakan dalam bentuk yang sebaik-baiknya. Ia mengutip pendapat mufasir Ragib Al-Asfahani, bahwa kata “taqwin” pada ayat tersebut, hanya mengisyaratkan bentuk pisik manusia lebih baik, dari binatang, serta mempunyai keistimewaan, karena dilengkapi akal. (Lihat : Tafsir Al-Quran,1997:741). Artinya, Insan al-Kamil, bukan istilah Al-Quran.
Satu-satunya yang dijadikan alasan sebagian sufi adalah Hadis Jabir, yang bukan bersumber dari “Kutubussittah“ ( 6 kitab Hadis yang diakui ). Jabir berkata, “ Yang pertama diciptakan Tuhanmu adalah Nur nabimu ”, ternyata ahli Hadis sendiri, menilainya hadis Dha’if. Imam Syafei yang pernah membolehkan penggunaan Hadis dha’if, hanya menyangkut masalah ibadah ( Fadilah. Amal) .Tapi masalah Akidah dan Syari’ah, Imam Syafei sendiri tidak mau menggunakannya. Adapun Tasawuf yang dikembangkan Imam Besar Al-Ghazali, seluruhnya adalah Tasawwuf Sunni (Akhlak). Dan beliau dikenal menolak Tasawuf filsafat, seperti yang dianut Al-Kindi, dkk).
Alhasil, memahami “Muhammad Rasulullah SAW ” dengan benar, sederhana saja.Tidak perlu berbisik-bisik dan mengeluarkan biaya. Cukup mentaati dan meniru akhlaknya, seperti tertulis dalam Al-Quran dengan “Uswah al-Hasanah” ( Teladan terbaik). Metodenya, “ Qul in kuntum tuhibbun Allah, Fattabi’uni, yuhbib kum Allah wa yaghfir lakum dzunubakum “ ( Kalau kamu betul-betul mencintai Allah, ikutilah saya, niscaya Allah mencintaimu dan mengampuni dosa-dosamu ) ( QS. 3:41 ).
Menurut Tafsir Al-Bayan, akhlak Nabi yang harus diikuti, terutama pada Sural Al-Mu’minun 1-1O. Diantaranya, selalu siap menunggu waktu salat, sangat khusyu’ dalam salat, menjauhi perkataan dan perbuatan sia-sia, suka bersedekah, memenuhi amanah dan menepati janji serta tidak suka berdusta.(Juz V :137).
Akhirnya, memahami nabi Muhammad dengan benar berdasarkan Al-Quran, ialah meyakini kerasulannya, mentaati perintahnya, meneladani akhlaknya, meyakini disamping manusia biasa, juga manusia istimewa dan rasul termulia, mempunyai misi utama pembawa rahmat bagi manusia, hewan dan tumbuh-tumbuhan serta mempunyai rahmat khusus kepada orang mukmin, dengan syafaatnya. Sebagian ulama berpendapat terutama yang suka memberi salawat dan mengikuti sunnahnya. .Semoga kita semua memperoleh kontribusi syafaatnya

B. Doktrin Hakikat Muhammad
               Menurut Sufisma Syeikh Muhyiddin Ibnul Arabi, ada satu doktrin yang bergelar  Doktrin Hakikat Muhammad. Banyak orang-orang Sufi mempercayai doktrin ini. Mereka mendasarkan doktrin ini atas satu Hadis yang bermaksud :

"Aku adalah Nabi tatkala Adam masih lagi antara tanah liat dan air."

               Hakikat Muhammad, sekiranya dikira sebagai sumber semua ilmu batin, digelar  oleh orang-orang Sufi sebagai "Misykat khatamul-rasul" (obor penutup segala Rasul). Ianya berada dalam batin yang paling dalam (sirr) di hati setiap  Sufi. Mereka juga mendasarkan pendapat mereka itu pada ayat Al-Qur'an yang bermaksud :
#sŒÎ*sù ¼çmçG÷ƒ§qy àM÷xÿtRur ÏmŠÏù `ÏB ÓÇrr (#qãès)sù ¼çms9 tûïÏÉf»y ÇÐËÈ  
"Ku tiupkan kepadanya (Adam) roh-Ku."[Syaad : 72]
#sŒÎ*sù ¼çmçF÷ƒ§qy àM÷xÿtRur ÏmŠÏù `ÏB ÓÇrr (#qãès)sù ¼çms9 tûïÏÉf»y ÇËÒÈ  
"Maka bila Aku telah menyempurnakan kejadiannya dan telah meniupkan ke dalamnya roh-Ku, maka tunduklah kamu kepadanya dengan bersujud."[Al-Hijr : 29]

               Ibnul Arabi menamakan Hakikat Muhammad itu dengan berbagai-bagai nama iaitu
menurut segi mana memandangnya. Sebahagian daripada nama-nama itu ialah :-

1. Al-haqiqatul Muhammadiyyah (Hakikat Muhammad)
2. Haqiqatul Haqaiq (Hakikat bagi segala hakikat)
3. Roh Muhammad
4. Al-'Aqlul Awwal (Akal Pertama)
5. Al-'Arasy
6. Al-Ruhul A'zam (Roh Yang paling Agung)
7. Al-Qalamul-A'la (Pena Yang Maha Tinggi)
8. Al-Khalifah
9. Al-Insanul-Kamil (Manusia Sempurna)
10. Aslul 'Alam (Asal Alam)
11. Adam al-Haqiqi (Adam Hakiki)
12. Al-Barzakh (Pengantara)
13. Falakuk-Hayah (Falak Hayat)
14. Al-Haqqul makhluqu bihi (Hakikat yang menjadi alat penciptaan)
15. Al-Hayula (Prime Matter)
16. Al-Ruh
17. Al-Qutub
18. Abdul Jami' (Hamba kepada Yang Meliputi Segalanya)
Dan banyak lagi nama-nama yang lain menurut dari segi fungsi dan aspek maksudnya.

               Hakikat ini menurut Ibnul Arabi adalah Prinsip Rasional (ilmu atau akal terpendam) yang ada dalam alam semesta raya ini. Dari segi mistik, digelarnya Hakikat itu sebagai Hakikat Muhammad, Insan Kamil, Qutub dan sebgainya, kerana hakikat itu adalah prinsip aktif dalam semua ilmu Ketuhanan dan kebatinan. Dikaitkan dengan manusia, Ibnul Arabi menyamakan
               Hakikat itu dengan Adam dan Hakikat Manusia. Dikaitkan dengan alam semesta raya ini, ia menamakan Hakikat itu sebagai Haqiqatul-Haqaiq (Hakikat bagi segala hakikat). Sebagai tempat daftaran atau rakaman seluruh maujud ini, maka dikatakannya al-Kitab dan Al-Qalamul-A'la (Pena yang Maha Tinggi). Sebagai zat atau sumber segala sesuatu, maka digelar Hayula dan al'-Maddatul Ula' (Benda Pertama).

1.      Hakikat Muhammad Sebagai Hakikat Bagi Segala Hakikat.
Kata Ibnul Arabi, ada tiga kategori Wujud secara metafizika[2] :

(a) Wujud yang berdiri sendirinya dan asal atau sumber segala maujud.

(b) Mumkinul-wujud, itulah wujud yang terdiri melalui atau bersangkut dengan Wujud Mutlak. Inilah alam.

(c) Wujud yang bukan ada dan bukan tidak ada, yang tidak kekal dan tidak sementara. Ianya kekal bersama dengan yang kekal dan sementara bersama dengan yang sementara. Itulah dia Hakikat bagi segala hakikat. Akal Awal dan sebagainya. Ia meliputi semua idea dan semua maujud. Ia bukan keseluruhan dan bukan bahagian-bahagian, tidak boleh bertambah dan tidak boleh berkurang. Sukar hendak mentakrifkannya. Ia berbilang-bilang dengan berbilang-bilangnya segala yang maujud ini tetapi tidak terbahagi-bahagi, kecuali dalam fikiran. Bolehlah dikatakan wujud ini sebagai Tuhan atau alam dan boleh juga dikatakan bukan Tuhan dan bukan alam. Dari wujud kategori (c) inilah keluarnya alam semesta raya sebagaimana "yang sebahagian-bahagian" keluar dari "keseluruhan". Ianya mengandungi hakikat-hakikat atau idea-idea pelbagai objek, namun ia tetapi sama dan satu  jua. Ia terletak di nisbah yang paling hampir kepada ilmu Allah. Ianya diketahui oleh Allah melalui ianya sendiri. Itulah kesedaran (consciousness) Allah. Ianya bukan ilmu Allah itu sendiri tetapi adalah isi atau kandungan  ilmu itu. Di situlah 'alim (yang mengetahui), ilmu  (pengetahuan) dan ma'lum (yang diketahui) bersatu dan berpadu. Melaluinyalah alam ini dizahirkan. Hakikat ini berada di sebalik penzahiran alam semesta raya ini. Hakikat bagi  segala hakikat ini terzahir dalam alam ini dan alam ini membayangkan wujud positif Hakikat itu. Hakikat itu sempurna dan alam yang menzahirkan kesempurnaannya itu adalah juga sempurna. Kesedaran ini mencapai kemuncaknya dalam diri Insan Kamil. Merekalah yang mengenal Allah dengan sempurnanya.
               Untuk penjelasan ringkas tentang theori "Hakikat bagi segala hakikat"  menurut Ibnul Arabi dan tempatnya dalam doktrin metafizikanya, maka bolehlah kita ringkaskan demikian, Zat atau Diri Ketuhanan itu mempunyai akal yang dinamakan Akal Semesta atau Ilmu Semesta. Akal atau Ilmu Semesta ini ada isi atau kandungan (yang diketahui). Inilah Hakikat bagi segala hakikat (Haqiqatul-Haqaiq). Inilah peringkat Kesedaran Diri Yang Esa itu. Manusia adalah tumpuan (fokus) Kesedaran dalam fikiran (mind) Tuhan. Hakikat bagi segala hakikat ini mempunyai banyak aspek sebagaimana banyaknya maujud dalam alam raya ini. Zat Ketuhanan hanya ada satu aspek bagi semua maujud dalam alam ini. Kesimpulannya, Hakikat bagi segala hakikat itu adalah isi atau kandungan ilmu Allah itu.

2.      Hakikat Muhammad Dari Aspek Mistik
               Hakikat Muhammad itu adalah Ketua Agung dalam susunan peringkat (hirarki) kaum Sufi. Dialah penghulu agung. Dari situlah mereka dapat ilmu-ilmu ketuhanan dan kebatinan. Dialah Guru Agung. Dialah ibarat cahaya Ketuhanan  yang menyinari hati orang Sufi. Dialah Cahaya. Dialah pelita hati. Yang  dimaksudkan dengan Muhammad di sini bukanlah "bentuk Muhammad" atau bentuk badan jasmani Muhammad itu. Yang dimaksudkan dengan  Muhammad itu ialah Hakikat Muhammad (Al-Haqiqatul Muhammadiyyah)[3] iaitu Prinsip aktif dalam semua ilmu Ketuhanan dan Kebatinan. Muhammad itulah Akal Awal. Prinsip Rasional Semesta atau Ilmu Ketuhanan Yang Semesta yang terzahir sepenuhnya dalam golongan manusia yang digelar Insan Kamil (manusia sempurna). Muhammad itulah Qutub iaitu Ketua para Anbiya' dan Aulia' dari segi keruhaniannya. Hanya Muhammad (iaitu Hakikat atau Roh Muhammadiyyah) itu saja yang boleh digelar Abdullah. Menurut Ibnul Arabi, nama Allah itu adalah Nama yang  merangkumi semua nama-nama Allah. Orang-orang Sempurna yang lain digelar  Abdul Malik, Abdul Rab dan sebagainya, iaitu mereka ini dianggap sebagai orang bawahan atau penzahiran Abdullah, ketua hirarki itu.




BAB III
PENUTUP
A.    Kesimpulan
Dalam kaitan bahwa Nabi Muhammad Hakikatnya bukan sosok historisnya yang harus di rujuk, maka asma' Muhammad bukanlah nama asal dari rasulullah yang agung ini. muhammad adalah nama dunianya, dimana nama aslinya sejak kecil adalah "Ahmad", sosok yang penuh dengan keterpujian. sementara secara sepiritualnya,dan dalam posisinya terhadap Allah, Rasulullah mengemukakan dirinya sendiri bahwa:Ana Ahmadun bi-la mim" .Artinya pada dirinya tidak laen penyandang nama "Ahad" dia adalah pengejawentahan dari yang esa. inilah yang juga di sebut Roh Al- Quds, roh suci untuk meneruskan penzahiran yang paling sempurna dalam peringkat alam lahut(Al-jaelani:27) dalam hal ini para wali kuno tanah jawa memberikan penjelasan secara tepat sbb:
Muhammad itu pada hakikatnya Nur Allah, yang dalam bentuk lahir ialah muhammad
persis ungkapan Al ghazali: bahwa muhammad yang seorang nabi/rasul dengan muhammad yang seorang arab mesti kita harus bisa membedakan walaupun memang kenyataanya nabi muhammad lahir di jazirah arab.
Disinilah rahasia dari menyatunya syahadat rasul ke dalam syahadat tauhid, dan inilah jawaban mengapa sejak Nabi Adam AS menghuni surga, digerbangnya sudah terdapat tulisan syahadat rasul ini. ya Nur Muhammada selalu menyertai roh dari semua jiwa yang akan dan pernah ada di alam semesta ini. ini pula kunci rahasia mengapa para nabi yang pernah ada memohon kepada Allah agar di jadikan sebagai umat Nabi Muhammad saw.(Al-jaelani :121).





DAFTAR PUSTAKA
Sahabuddin : Menyibak Tabir Nur Muhammad (Jakarta : Renaisance, 2004)
Syekh Yusuf An-Nabhani : Al-Anwar Al-Muhammadiyah.( Indonesia : Maktabah Daar Ihiya al-Kutub al-‘Arabiyah, t.th.)
Muhammad Ibn Abdillah :Fathul Rabbania (Surabaya : Maktabah Sa’id al-Ibn Nabhan,t.th.)
Al-Gazali, al-Haqiqat fi Nazr al-Gazali, (Beirut : Dar al-Ma’arif , 1971)




[1] Sahabuddin : Menyibak Tabir Nur Muhammad (Jakarta : Renaisance, 2004) hlm.5
[2] Ibn Arabi, Fusus.hlm.49.
[3] Muhyiddin Ibn Arabi’, Fusus .op.cit. hlm. 80. Lihat juga : An-Nabhani,loc.cit.

0 Response to "MAKALAH HAKIKAT KENABIAN MUHAMMAD"

Post a Comment

Labels

Aceh ( 4 ) ARTIKEL ( 23 ) Bollywood ( 1 ) CERPEN ( 16 ) HABA ( 1 ) Hollywood ( 1 ) INDO ( 2 ) Makalah ( 97 ) Skript ( 1 ) SOSOK ( 10 ) Wisata ( 2 )