BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Banyak orang sangat berkepentingan dengan kata yang satu ini. Di
Perguruan tinggi hampir semua dosen dan mahasiswa berhadapan dengan istilah
hakikat. Namun tidak semua mahasiswa dan dosen memahami pengertian
“hakikat” secara baik. Kata yang satu ini sangat gampang diucapkan dan sangat
enak di dengar. Namun penggunaannya sering salah suai, alias tidak cocok
pemakaiannya dengan yang seharusnya. Akibatnya makna yang dikandungnya jadi
kabur, bahkan masuk kedalam konsep yang yang lain. Tidak jarang kita temukan
dalam karya ilmiah atau tidak, pengertian hakikat adalah peran-peran atau
fungsi-fungsi yang harus dijalankan oleh manusia. Sebagai contoh di dalam
berbagai literatur saya membaca, kutipan sebagai berikut;
Secara filosofis hakikat manusia merupakan kesatuan integral dari
potensi-potensi esensial yang ada pada diri manusia, yakni: 1. Manusia
sebagai makhluk pribadi. 2. Manusia sebagai makhluk sosial. 3. Manusia sebagai
makhlik susila. 4. Manusia sebagai makhlik religius “.Salah satu kekeliruan
yang ada pada kutipan tersebut adalah apa yang dinyatakan sebagai ”
potensi-potensi esensial ” yang ada pada diri manusia tersebut tidak cocok,
karena 1 – 4 tersebut bukan potensi manusia.
Kita harus jujur, bukankah kata-kata “ manusia sebagai ”
menujukan peran atau kedudukan. Pada peran terkandung berbagai
fungsi atau kewajiban yang harus dijalankan oleh manusia di dalam
kehidupan keseharian ? Padahal “fungsi” itu terletak ( keberadaannya)
pada peran dari manusia atau sesorang di dalam kehidupannya. Dengan kata
lain yang mudah dipahami, bahwa “ manusia sebagai makhluk
pribadi, manusia sebagai makhluk sosial, manusia sebagai makhluk
susila, manusia sebagai makhluk religius ” adalah
status atau peran yang ditempatinya, pada hal yang
seperti demikian dituntut ada fungsi atau tugas yang jalankannya di
dalam kehidupan sehari-hari. Sesungguhnya juga itu adalah tanggung jawab yang
harus diembanya.
Jika kita mengatakan hakikat manusia sebagai makhluk sosial
misalnya, maka hakikat-nya akan hilang jika ia berada di
suatu tempat pertapaan (dalam keadaan sendirian). Demikian pula halnya
jika seorang laki-laki berzina dengan seorang perempuan, pada saat itu juga
hilanglah hakikat-nya. Sejatinya hakikat manusia tidak demikian. Hakikat
manusia akan dapat hilang jika ia sudah mati.
Berikut Jalius menjelaskan pengertian tentang hakikat ini. Hakikat
adalah berupa apa yang membuat sesuatu terwujud. Dengankata lain dapat
dirumuskan, hakikat adalah unsur utama yang mengujudkan sesuatu. Hakikat
mengacu kepada faktor utama yang lebih fundamental. Faktor utama tersebut
wajib ada dan merupakan suatu kemestian. Hakekat selalu ada dalam keadaan
sifatnya tidak berubah-rubah. Tanpa faktor utama tersebut sesuatu tidak akan
bermakna sebagai wujud yang kita maksudkan. Karena hakekat merupakan faktor
utama yang wajib ada, maka esensi-nya itu tidak dapat dipungkiri atau
dinafikan. Keberadaannya (eksistensi-nya) itu di setiap tempat dan waktu
tidak berubah. Dengan kata lain hakikat itu adalah pokok atau inti dari yang
ada. Tidak akan pernah ada sebuah atribut jika tidak ada hakikat.
Untuk lebih memudahkan pemahaman kita
selanjutnya , ada baiknya mari kita mengenal hakikat
manusia sebagai contoh. Hakikat merupakan inti pokok dari sesuatu, dengan
hakikat itulah sesuatu bereksistensi. Maka pada manusia yang merupakan
makhluk (ciptaan) Tuhan terbentuk atau terujud oleh dua
faktor utama yakni jasad dan roh. Jadi hakikatnya itu juga
sebagai esensi dari manusia yakni ikatan
atau perpaduan “ jasad dan roh “. Dalam hal ini perlu
diingat adalah setelah roh ditiupkan atau dimasukkan kedalam jasad oleh sang
Maha Pencipta, maka roh tersebut berubah namanya menjadi nafs ( arab) atau jiwa ( Indonesia ).
Suatu hakikat adalah satu kesatuan yang tidak dapat dibagi dalam
bereksistensi. Semua faktor utama hakikat itu terintegrasi atau menyatu dalam
satu sistem. Dengan kata lain hakekat mengacu kepada hal-hal yang lebih
permanen yang tidak terpengaruh oleh situasi dan kondisi. Juga tidak
terpengaruh oleh ruang dan waktu. Suatu hakikat lebih mantap dan stabil serta
tidak mendatangkan sifat yang berubah-rubah, tidak parsial ataupun yang
bersifat fenomenal. Maka yang namanya manusia (an-nas) adalah makhluk
Tuhan yang memiliki “jiwa dan raga”. Keharmonisan ikatan (integritas) jiwa
dan raga tersebut menjadikan manusia dapat bereksistensi (ber-ada).
Hakikat dapat menjalankan fungsi-fungsi kemanusiaan dalam berbagai bentuk
kegiatan. Pada ” hakekat ” itu terletak (terdapat) hal-hal
lain yang menjadi atribut manusia.
Jika jiwa berpisah dengan raga maka hilanglah sebutan manusia.
Kalau jasad saja namanya mayat dan jiwanya berubah namanya kembali
sebagai roh. Dengan demikian kalau satu saja di antara faktor utama itu
yang ada maka manusia tidak bisa bereksistensi, apa yang disebut sebagai
manusia tidak ada, dan fungsi-fungsi dari manusia itu tidak dapat
dijalankan. Itulah yang disebut dengan manusia telah mati. Ketentuan itu
berlaku dimana saja dan kapan saja.
B.
Rumusan masalah
1.
Bagaimana pengertian dari
pada Hakikat Kerasulan Muhammad SAW?
2.
Bagimana Doktrin dari pada
Nabi Muhammad?
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian Hakikat Kerasulan Nabi Muhammad SAW
Yang menjadi masalah sekarang, masih
banyak orang muslim yang keliru memahami hakikat Nabi Muhammad. Mungkin karena
cintanya kepada rasul berlebih-lebihan, atau karena tidak merasakan
terkontaminasi filsafat Yunani yang diterima oleh sebagian filsuf Islam.
Akibatnya, ada yang memahami bahwa Muhammad itu pancaran (faidh) atau emanasi
dari Tuhan. Muncullah istilah “Insan al Kamil”. Padahal istilah itu, tidak
ditemukan dalam Al-Quran dan Sunnah sahih[1].
Bagaimana memahami dengan benar, sesuai Al-Quran ?.
1. Manusia
biasa:
Meyakini “ Muhammad Rasulullah”,
adalah syahadat kedua. Wajib diyakini seorang muslim, sesudah syahadat pertama
Lailaha illa Allah. Tidak ada diantara kita, yang meragukan kerasulannya.
Diabadikan Al-Quran dengan “ Nasyhadu innaka larasul Allah ( Kami mengakui
bahwa engkau, benar-benar Rasul Allah (QS.63:1).
Demikian keistimewaannya, tidak ada yang
meragui sebagai “ Khatam wa asyraf al-anbiya’ wa al-mursalin”. ( Penutup dan
termulia dari segala Nabi dan Rasul ). Namun, Al-Quran juga dengan tegas
menyatakan “ Qul Innama ana basyarun mislukum” (Katakan, sesungguhnya saya ini
adalah manusia biasa, seperti anda )(QS.18 :11O)
Menurut ahli Tafsir Ali Al-Shabuni,
bahwa Muhammad sebagai manusia biasa.. berlaku juga sifat biasa pada dirinya.
Hanya perbedaannya karena Allah memuliakan dengan wahyu bertugas, mengabarkan
tentang keesaan Allah dan memkanjikan pahala besar bagi mereka yang beramal
dengan ikhlas.
Ahli Tafsir Al-Jazairi menambahkan
bahwa ayat tersebut, merupakan jawaban kepada kaum musyrikin yang memintanya
memperlihatkan mu’jizat semacam yang diberikan kepada Musa dan Isa, lalu nabi
mengakui bahwa ada yang tidak mampu dilakukan, karena diluar mu’jizat yang
diberikan Allah. Misalnya, mengubah tongkat jadi ular atau dapat menghidupkan
orang mati, sehingga nabi berkata “Ana basyarun mislukum”.
Mufasir Ibnu Abbas, sebenarnya “ Ana
basyarun mislukum” yang dilontarkan Rasul itu, adalah pelajaran tawadu’ yang
hendaknya dimiliki seseorang, bahwa jika ada keistimewaan, bukan segalanya.
Maklum, tetap seperti hamba Allah yang lain.
Untuk lebih meyakini, ayat lain
lebih tegas menyatakan “Wawajadaka dhallan fahada, wawajadaka ‘ailan fa aghna “
( Bukankah Tuhan mendapatimu seorang yang bingun, lalu Dia (Tuhan) memberikan petunjuk
?.Dia mendapatimu seorang yang penuh kekurangan, lalu Dia memberikan kepadamu
kecukupan ?” (QS.93 : 7-8)
Namun, para ulama Tafsir mengakui
pula, dibalik ayat yang menyatakan punya keterbatasan sebagai “ basyarun
mislukum ” sambungan ayat itu menyatakan “Yuha ilayya annama ilahukum ilahun
wahid… ( Diwahyukan kepadaku, bahwa sesungguhnya Tuhan itu adalah Tuhan Yang
Esa…) (QS.Al-Kahfi (18) :11O).
2.
Manusia istimewa:
Apa artinya ?. Dalam satu ayat
diatas, sesudah dinyatakan manusia biasa, kemudian dinyatakan ada keistimewaan
( keluar biasaannya ). Misalnya dari lebih seribu Nabi, yang dipilih menjadi
rasul, hanya 25 orang. Dan dari 25 rasul, hanya nabi Muhammad SAW yang disebut
“ Asyraful mursalin “( Rasul termulia). Dengan demikian betapa istimewanya nabi
SAW. Laksana rembulan dikelilingi bintang. Keistimewaan itu terlihat juga, jika
Tuhan memanggilnya dalam Al-Quran. Tuhan tidak menyebut namanya secara
langsung, seperti “ Ya Muhammad ! ”. Tapi, Tuhan memanggilanya dengan sebutan
mesra “Ya ayyuha al-nabiy - Ya ayuha al-rasul - Ya ayyuha al-muddatsir,” .(
Wahai para nabi, Wahai para rasul -Wahai para yang berselimut). Menurut
mufasir, semua panggilan dengan kata jamak, seperti itu, padahal ditujukan
hanya satu orang yaitu Muhammad sendiri, itu adalah penghormatan yang tinggi.
Sama juga dalam salam “ Assalamu Alaikum “ ( Mudah-mudahan kamu semua selamat
dan sejahtera ), padahal pemberi salam itu hanya dia tujukan kepada satu orang
saja.
Penghormatan lain Tuhan kepada nabi
Muhammad, , yaitu diperintahkan “ Innallaha wamalaikatahu, yushallun ‘ala al-
nabiy, ya ayyuha ladzina amanu shallu ‘alayh… ( Tuhan dan malaikatnya
bersalawat kepada nabi, maka hai orang-orang mukmin, bersalawatlah kepadanya.
(QS.33:65). Dan masih banyak lagi penghormatan lain, seperti menjadi rahmat
seluruh alam.
Menurut Tafsir Al-Qurthubi, yang
dimaksud salawat dari Tuhan kepada nabi pada ayat diatas yaitu Tuhan selalu
mencurahkan rahmat dan ridha kepadanya. Mengenai salawat malaikat berarti
melaikat selalu mendoakan dan istigfarkan. Sedang salawat orang mukmin berarti
selalu medoakan dan ta’zhimkan.
Akan tetapi kita semua hendaknya
sadar, bahwa bagaimanapun istimewanya nabi kita, tetap tidak boleh disamakan
dengan Tuhan atau bahagian dari Tuhan. Seperti mempercayai bahwa emanasi dari Tuhan.
Paham itu pernah dianut sebagian kecil filsuf Islam. Sebab itu, untuk
memurnikan akidah, kita harus kembali kepada ayat diatas “Ana Basyarun
mislukum” ( saya manusia biasa seperti anda ) dan pada surah Al-Ikhlas “ Walam
yakun lahu kufwan ahad”( Dan tidak ada seorangpun yang setara atau mirip dengan
Allah).
Adapun sifat-sifat Tuhan yang ada
pada manusia misalnya rahman atau rahmat ( kasih sayang) perbandingannya 1OO
berbandung 1. Artinya kasih sayang Tuhan dikurangi 1 = 99 . Jadi, yang satu
itulah dibagi-bagikan kepada seluruh makhluk, sehingga seekor binatang tahu
mengangkat kakinya, sehingga tidak sampai menginjak-injak anaknya yang baru
dilahirkan sampai mati.
3. Insan
al-Kamil ?
Falsafah “ Insan al-Kamil ” (
manusia sempurna ), dipahami sebagian sufi, bahwa kesempurnaan itu adalah copy
Tuhan dalam diri Muhammad. Diorbitkan oleh sufi, Abd. Karim Al-Jili (w.1428 M)
. (Astagfirullah).
Menurut Prof. DR.M.Rasjidi (Dosen
“Filsafat Islam”), waktu penulis masih kuliah di Purnasarjana IAIN Yogya
(1978), menerangkan, bahwa “ Istilah Hakikatul Muhammadiyah atau Nur Muhammad
atau Insan al-Kamil yang dianut sebagian Sufi, adalah hasil dari meresapnya
faham Neo Platonisme, yang dianut oleh Al-Kindi dan Al-Farabi”. Teori “emanasi”
itu berasal dari pandangan, bahwa semua yang ada ini, memancar dari zat Tuhan
melalui akal-akal ke sepuluh. Akal menurut pemikiran, mempunyai 3 tingkatan:
Al-hayulani (material), bi al-fi’il (actual) dan al-mustafad (adeptus), dan
tingkatan terakhir inilah yang menerima pancaran (emanasi) dari Tuhan. ( Dapat
dilihat juga pada:” Koreksi terhadap DR.Harun Nasution, 1977:128).
Mengenai makna “Ahsani taqwin “
dalam Al-Quran, itu berlaku untuk seluruh manusia yang diciptakan Tuhan. Diakui
pakar Tafsir, Prof. DR. M.Quraish Shihab, bahwa makna “ Ahsani taqwin” dalam
Al-Quran, berarti bahwa manusia diciptakan dalam bentuk yang sebaik-baiknya. Ia
mengutip pendapat mufasir Ragib Al-Asfahani, bahwa kata “taqwin” pada ayat
tersebut, hanya mengisyaratkan bentuk pisik manusia lebih baik, dari binatang,
serta mempunyai keistimewaan, karena dilengkapi akal. (Lihat : Tafsir
Al-Quran,1997:741). Artinya, Insan al-Kamil, bukan istilah Al-Quran.
Satu-satunya yang dijadikan alasan
sebagian sufi adalah Hadis Jabir, yang bukan bersumber dari “Kutubussittah“ ( 6
kitab Hadis yang diakui ). Jabir berkata, “ Yang pertama diciptakan Tuhanmu
adalah Nur nabimu ”, ternyata ahli Hadis sendiri, menilainya hadis Dha’if. Imam
Syafei yang pernah membolehkan penggunaan Hadis dha’if, hanya menyangkut
masalah ibadah ( Fadilah. Amal) .Tapi masalah Akidah dan Syari’ah, Imam Syafei
sendiri tidak mau menggunakannya. Adapun Tasawuf yang dikembangkan Imam Besar
Al-Ghazali, seluruhnya adalah Tasawwuf Sunni (Akhlak). Dan beliau dikenal
menolak Tasawuf filsafat, seperti yang dianut Al-Kindi, dkk).
Alhasil, memahami “Muhammad
Rasulullah SAW ” dengan benar, sederhana saja.Tidak perlu berbisik-bisik dan
mengeluarkan biaya. Cukup mentaati dan meniru akhlaknya, seperti tertulis dalam
Al-Quran dengan “Uswah al-Hasanah” ( Teladan terbaik). Metodenya, “ Qul in
kuntum tuhibbun Allah, Fattabi’uni, yuhbib kum Allah wa yaghfir lakum
dzunubakum “ ( Kalau kamu betul-betul mencintai Allah, ikutilah saya, niscaya
Allah mencintaimu dan mengampuni dosa-dosamu ) ( QS. 3:41 ).
Menurut Tafsir Al-Bayan, akhlak Nabi
yang harus diikuti, terutama pada Sural Al-Mu’minun 1-1O. Diantaranya, selalu
siap menunggu waktu salat, sangat khusyu’ dalam salat, menjauhi perkataan dan
perbuatan sia-sia, suka bersedekah, memenuhi amanah dan menepati janji serta
tidak suka berdusta.(Juz V :137).
Akhirnya, memahami nabi Muhammad
dengan benar berdasarkan Al-Quran, ialah meyakini kerasulannya, mentaati
perintahnya, meneladani akhlaknya, meyakini disamping manusia biasa, juga
manusia istimewa dan rasul termulia, mempunyai misi utama pembawa rahmat bagi
manusia, hewan dan tumbuh-tumbuhan serta mempunyai rahmat khusus kepada orang
mukmin, dengan syafaatnya. Sebagian ulama berpendapat terutama yang suka
memberi salawat dan mengikuti sunnahnya. .Semoga kita semua memperoleh
kontribusi syafaatnya
B. Doktrin Hakikat Muhammad
Menurut Sufisma Syeikh Muhyiddin
Ibnul Arabi, ada satu doktrin yang bergelar
Doktrin Hakikat Muhammad. Banyak orang-orang Sufi mempercayai doktrin
ini. Mereka mendasarkan doktrin ini atas satu Hadis yang bermaksud :
"Aku adalah
Nabi tatkala Adam masih lagi antara tanah liat dan air."
Hakikat Muhammad, sekiranya
dikira sebagai sumber semua ilmu batin, digelar
oleh orang-orang Sufi sebagai "Misykat khatamul-rasul" (obor
penutup segala Rasul). Ianya berada dalam batin yang paling dalam (sirr) di
hati setiap Sufi. Mereka juga
mendasarkan pendapat mereka itu pada ayat Al-Qur'an yang bermaksud :
#sÎ*sù
¼çmçG÷§qy
àM÷xÿtRur
ÏmÏù
`ÏB
ÓÇrr
(#qãès)sù
¼çms9
tûïÏÉf»y
ÇÐËÈ
"Ku
tiupkan kepadanya (Adam) roh-Ku."[Syaad : 72]
#sÎ*sù
¼çmçF÷§qy
àM÷xÿtRur
ÏmÏù
`ÏB
ÓÇrr
(#qãès)sù
¼çms9
tûïÏÉf»y
ÇËÒÈ
"Maka
bila Aku telah menyempurnakan kejadiannya dan telah meniupkan ke dalamnya
roh-Ku, maka tunduklah kamu kepadanya dengan bersujud."[Al-Hijr : 29]
Ibnul Arabi menamakan Hakikat
Muhammad itu dengan berbagai-bagai nama iaitu
menurut segi
mana memandangnya. Sebahagian daripada nama-nama itu ialah :-
1.
Al-haqiqatul Muhammadiyyah (Hakikat Muhammad)
2. Haqiqatul
Haqaiq (Hakikat bagi segala hakikat)
3. Roh
Muhammad
4. Al-'Aqlul
Awwal (Akal Pertama)
5. Al-'Arasy
6. Al-Ruhul
A'zam (Roh Yang paling Agung)
7.
Al-Qalamul-A'la (Pena Yang Maha Tinggi)
8.
Al-Khalifah
9.
Al-Insanul-Kamil (Manusia Sempurna)
10. Aslul
'Alam (Asal Alam)
11. Adam
al-Haqiqi (Adam Hakiki)
12.
Al-Barzakh (Pengantara)
13.
Falakuk-Hayah (Falak Hayat)
14.
Al-Haqqul makhluqu bihi (Hakikat yang menjadi alat penciptaan)
15.
Al-Hayula (Prime Matter)
16. Al-Ruh
17. Al-Qutub
18. Abdul
Jami' (Hamba kepada Yang Meliputi Segalanya)
Dan banyak
lagi nama-nama yang lain menurut dari segi fungsi dan aspek maksudnya.
Hakikat ini menurut Ibnul Arabi
adalah Prinsip Rasional (ilmu atau akal terpendam) yang ada dalam alam semesta
raya ini. Dari segi mistik, digelarnya Hakikat itu sebagai Hakikat Muhammad,
Insan Kamil, Qutub dan sebgainya, kerana hakikat itu adalah prinsip aktif dalam
semua ilmu Ketuhanan dan kebatinan. Dikaitkan dengan manusia, Ibnul Arabi
menyamakan
Hakikat itu dengan Adam dan
Hakikat Manusia. Dikaitkan dengan alam semesta raya ini, ia menamakan Hakikat
itu sebagai Haqiqatul-Haqaiq (Hakikat bagi segala hakikat). Sebagai tempat
daftaran atau rakaman seluruh maujud ini, maka dikatakannya al-Kitab dan
Al-Qalamul-A'la (Pena yang Maha Tinggi). Sebagai zat atau sumber segala
sesuatu, maka digelar Hayula dan al'-Maddatul Ula' (Benda Pertama).
1. Hakikat Muhammad Sebagai Hakikat Bagi Segala Hakikat.
Kata Ibnul
Arabi, ada tiga kategori Wujud secara metafizika[2]
:
(a) Wujud
yang berdiri sendirinya dan asal atau sumber segala maujud.
(b) Mumkinul-wujud,
itulah wujud yang terdiri melalui atau bersangkut dengan Wujud Mutlak. Inilah
alam.
(c) Wujud
yang bukan ada dan bukan tidak ada, yang tidak kekal dan tidak sementara. Ianya
kekal bersama dengan yang kekal dan sementara bersama dengan yang sementara.
Itulah dia Hakikat bagi segala hakikat. Akal Awal dan sebagainya. Ia meliputi
semua idea dan semua maujud. Ia bukan keseluruhan dan bukan bahagian-bahagian,
tidak boleh bertambah dan tidak boleh berkurang. Sukar hendak mentakrifkannya.
Ia berbilang-bilang dengan berbilang-bilangnya segala yang maujud ini tetapi
tidak terbahagi-bahagi, kecuali dalam fikiran. Bolehlah dikatakan wujud ini
sebagai Tuhan atau alam dan boleh juga dikatakan bukan Tuhan dan bukan alam.
Dari wujud kategori (c) inilah keluarnya alam semesta raya sebagaimana
"yang sebahagian-bahagian" keluar dari "keseluruhan". Ianya
mengandungi hakikat-hakikat atau idea-idea pelbagai objek, namun ia tetapi sama
dan satu jua. Ia terletak di nisbah yang
paling hampir kepada ilmu Allah. Ianya diketahui oleh Allah melalui ianya
sendiri. Itulah kesedaran (consciousness) Allah. Ianya bukan ilmu Allah itu
sendiri tetapi adalah isi atau kandungan
ilmu itu. Di situlah 'alim (yang mengetahui), ilmu (pengetahuan) dan ma'lum (yang diketahui)
bersatu dan berpadu. Melaluinyalah alam ini dizahirkan. Hakikat ini berada di
sebalik penzahiran alam semesta raya ini. Hakikat bagi segala hakikat ini terzahir dalam alam ini
dan alam ini membayangkan wujud positif Hakikat itu. Hakikat itu sempurna dan
alam yang menzahirkan kesempurnaannya itu adalah juga sempurna. Kesedaran ini
mencapai kemuncaknya dalam diri Insan Kamil. Merekalah yang mengenal Allah
dengan sempurnanya.
Untuk penjelasan ringkas tentang
theori "Hakikat bagi segala hakikat"
menurut Ibnul Arabi dan tempatnya dalam doktrin metafizikanya, maka
bolehlah kita ringkaskan demikian, Zat atau Diri Ketuhanan itu mempunyai akal
yang dinamakan Akal Semesta atau Ilmu Semesta. Akal atau Ilmu Semesta ini ada
isi atau kandungan (yang diketahui). Inilah Hakikat bagi segala hakikat
(Haqiqatul-Haqaiq). Inilah peringkat Kesedaran Diri Yang Esa itu. Manusia
adalah tumpuan (fokus) Kesedaran dalam fikiran (mind) Tuhan. Hakikat bagi
segala hakikat ini mempunyai banyak aspek sebagaimana banyaknya maujud dalam
alam raya ini. Zat Ketuhanan hanya ada satu aspek bagi semua maujud dalam alam
ini. Kesimpulannya, Hakikat bagi segala hakikat itu adalah isi atau kandungan
ilmu Allah itu.
2. Hakikat Muhammad Dari Aspek Mistik
Hakikat Muhammad itu adalah Ketua
Agung dalam susunan peringkat (hirarki) kaum Sufi. Dialah penghulu agung. Dari
situlah mereka dapat ilmu-ilmu ketuhanan dan kebatinan. Dialah Guru Agung.
Dialah ibarat cahaya Ketuhanan yang
menyinari hati orang Sufi. Dialah Cahaya. Dialah pelita hati. Yang dimaksudkan dengan Muhammad di sini bukanlah
"bentuk Muhammad" atau bentuk badan jasmani Muhammad itu. Yang
dimaksudkan dengan Muhammad itu ialah
Hakikat Muhammad (Al-Haqiqatul Muhammadiyyah)[3]
iaitu Prinsip aktif dalam semua ilmu Ketuhanan dan Kebatinan. Muhammad itulah
Akal Awal. Prinsip Rasional Semesta atau Ilmu Ketuhanan Yang Semesta yang
terzahir sepenuhnya dalam golongan manusia yang digelar Insan Kamil (manusia
sempurna). Muhammad itulah Qutub iaitu Ketua para Anbiya' dan Aulia' dari segi
keruhaniannya. Hanya Muhammad (iaitu Hakikat atau Roh Muhammadiyyah) itu saja
yang boleh digelar Abdullah. Menurut Ibnul Arabi, nama Allah itu adalah Nama
yang merangkumi semua nama-nama Allah.
Orang-orang Sempurna yang lain digelar
Abdul Malik, Abdul Rab dan sebagainya, iaitu mereka ini dianggap sebagai
orang bawahan atau penzahiran Abdullah, ketua hirarki itu.
BAB III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Dalam
kaitan bahwa Nabi Muhammad Hakikatnya bukan sosok historisnya yang harus di
rujuk, maka asma' Muhammad bukanlah nama asal dari rasulullah yang agung ini.
muhammad adalah nama dunianya, dimana nama aslinya sejak kecil adalah
"Ahmad", sosok yang penuh dengan keterpujian. sementara secara
sepiritualnya,dan dalam posisinya terhadap Allah, Rasulullah mengemukakan
dirinya sendiri bahwa:Ana Ahmadun bi-la mim" .Artinya pada dirinya tidak
laen penyandang nama "Ahad" dia adalah pengejawentahan dari yang esa.
inilah yang juga di sebut Roh Al- Quds, roh suci untuk meneruskan penzahiran
yang paling sempurna dalam peringkat alam lahut(Al-jaelani:27) dalam hal ini
para wali kuno tanah jawa memberikan penjelasan secara tepat sbb:
Muhammad
itu pada hakikatnya Nur Allah, yang dalam bentuk lahir ialah muhammad
persis ungkapan Al ghazali: bahwa muhammad yang seorang nabi/rasul dengan muhammad yang seorang arab mesti kita harus bisa membedakan walaupun memang kenyataanya nabi muhammad lahir di jazirah arab.
persis ungkapan Al ghazali: bahwa muhammad yang seorang nabi/rasul dengan muhammad yang seorang arab mesti kita harus bisa membedakan walaupun memang kenyataanya nabi muhammad lahir di jazirah arab.
Disinilah
rahasia dari menyatunya syahadat rasul ke dalam syahadat tauhid, dan inilah
jawaban mengapa sejak Nabi Adam AS menghuni surga, digerbangnya sudah terdapat
tulisan syahadat rasul ini. ya Nur Muhammada selalu menyertai roh dari semua
jiwa yang akan dan pernah ada di alam semesta ini. ini pula kunci rahasia
mengapa para nabi yang pernah ada memohon kepada Allah agar di jadikan sebagai
umat Nabi Muhammad saw.(Al-jaelani :121).
DAFTAR PUSTAKA
Sahabuddin
: Menyibak Tabir Nur Muhammad (Jakarta : Renaisance, 2004)
Syekh
Yusuf An-Nabhani : Al-Anwar Al-Muhammadiyah.( Indonesia : Maktabah Daar Ihiya
al-Kutub al-‘Arabiyah, t.th.)
Muhammad
Ibn Abdillah :Fathul Rabbania (Surabaya : Maktabah Sa’id al-Ibn Nabhan,t.th.)
Al-Gazali, al-Haqiqat
fi Nazr al-Gazali, (Beirut : Dar al-Ma’arif , 1971)
[1]
Sahabuddin : Menyibak Tabir Nur Muhammad (Jakarta : Renaisance, 2004) hlm.5
[2] Ibn
Arabi, Fusus.hlm.49.
[3]
Muhyiddin Ibn Arabi’, Fusus .op.cit. hlm. 80. Lihat juga : An-Nabhani,loc.cit.
0 Response to "MAKALAH HAKIKAT KENABIAN MUHAMMAD"
Post a Comment