BAB
I
PENDAHULUAN
A.
Latar
Belakang
Manusia sebagai makhluk sosial selalu berinteraksi dengan individu
maupun kelompok lain disekitarnya. Salah satu syarat interaksi adalah adanya
komunikasi. Dengan komunikasi maka antara satu individu dengan individu
atau kelompok lain akan mengetahui maksud yang hendak disampaikan, kemudian
akan mendapatkan reaksi. Dengan demikian maka tidak dapat dipungkiri bahwa
peran lomunikasi menjadi sengat penting dalam kehidupan manusia. Hal ini
terwujud misal pada organisasi atau institusi yang terbentuk dalam masyarakat
melalui komunikasi.
Dalam dunia pendidikan peran komunikasi menjadi sangat penting.
Tanpa adanya komunikasi maka sistem pendidikan dalam sebuah negara tidak akan
berjalan dengan baik sehingga akan merusak sistem yang lain. Komunikasi di
dunia pendidikan terjadi dalam setiap posisi yang diduduki seseorang dari mulai
tingkat kementrian pendidikan hingga pengajar dan staf-stafnya dalam sekolah.
Bahkan kalau kita lihat kebelakang munculnya perilaku pendidikan terjadi dengan
adanya komunikasi.
Institusi pendidikan atau dalam hak ini sekolah juga memerlukan
komunikasi dalam manajemennya. Komunikasi tersebut bisa bersifat intern maupun
ekstern. Kedua ko,umikasi tersebut sangat menentukan kelancaran, kemudahan dan
kenyamanan dalam melaksanakan tugas masing-masing koponen sekolah.
B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana Membangun Komunikasi Internal dalam Sekolah ?
2. Bagaimana Menyusun Strategi Komunikasi Sekolah ?
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Membangun
Komunikasi Internal Sekolah
1.
Iklim
dan Kultur Organisasi Sekolah
Iklim organisasi
merupakan kualitas sekolah yang terwujud dalam persepsi kolektif guru menuju
perilaku organisasi. Iklim sekolah dapat ditinjau dari dua titik pandang; yaitu
keterbukaan perilaku dan sehatnya hubungan interpersonal.
Iklim organisasi menandakan persepsi bersama para anggota
organisasi yang lebih mengarah kepada persepsi mengenai tingkah laku ketimbang
kepada keyakinan ataupun nilai-nilai; iklim organisasi merupakan seperangkat
karakteristik perilaku internal organisasi yang membedakan satu sekolah dengan
sekolah lainnya dan juga mempengaruhi perilaku orang-orang yang ada di dalam
lingkungan sekolah. Dua konsepsi iklim sekolah yang bisa dijadikan acuan adalah:
iklim keterbukaan dan iklim kesehatan. Interaksi yang terjadi antar guru dapat
dideskripsikan menggunakan skala yang dimulai dari tingkat keterbukaan ke
tingkat ketertutupan dan hal tersebut dapat diukur dengan menggunakan alat ukur
Organizatonal Climate Description Questionnaire (OCDQ) yang tepat
penggunaannya. Pandangan lain mengenai iklim organisasi mengkaji kondisi
kesehatan sistem organisasi sekolah – yaitu, sebuah tingkatan dimana sekolah
dapat memenuhi kebutuhan dasarnya dan juga secara bersamaan menghadapi
kekuatan-kekuatan dari luar yang bersifat merusak serta sekaligus mengarahkan
segala daya upayanya untuk mencapai sasaran-sasarannya yang telah ditetapkan.
Kondisi kesehatan sekolah dapat digambarkan dengan menggunakan alat ukur
Organizational Health Inventory (OHI) yang diaplikasikan dengan tepat;
versi-versi OHI yang terpisah dan dapat diandalkan kemampuan pengukurannya
tersedia untuk tiap tingkatan sekolah: sekolah dasar, sekolah menengah pertama,
dan sekolah menengah atas/ sekolah tinggi.
Kultur organisasi adalah sebuah usaha untuk mencapai
rasa, pemahaman, atmosfir, karakter, ataupun imej sebagai sebuah organisasi.
Kultur ini melibatkan banyak pandangan yang telah dilontarkan sebelumnya
mengenai organisasi informal, norma-norma, nilai-nilai, ideology, dan sistem
tata cara yang telah muncul sebelumnya. Dikenalnya istilah “kultur organisasi”,
sebagian dikarenakan oleh sejumlah buku populer mengenai bisnis korporasi
sukses yang diterbitkan pada sekitar tahun 1980-an (Peters and Waterman, 1982; Deal
dan Kennedy, 1982; Ouchi, 1981). Hal mendasar yang menjadi tema bahasan pada
analisis-analisis mengenai kultur organisasi ini adalah bahwa organisasi yang
efektif adalah yang memiliki kultur kerjasama
yang kuat dan dapat dibedakan dengan organisasi lainnya, serta fungsi
utama dari sebuah kepemimpinan eksekutif (pemimpin pelaksana) adalah untuk
membentuk budaya di dalam organisasinya.[1]
Terrence Deal (1985) menyatakan bahwa sekolah-sekolah
yang efektif kegiatannya memiliki kultur yang kuat dengan beberapa
karakteristik berikut ini:
1.
Adanya
nilai-nilai bersama dan konsensus mengenai “bagaimana kita menyelesaikan
pekerjaan-pekerjaan yang ada.”
2.
Adanya
kepala sekolah yang menjadi pahlawan dimana ia adalah wujud/ sosok nilai-nilai
dasar sekolah tersebut.
3.
Adanya
ritual-ritual yang khas yang merupakan perwujudan dari keyakinan-keyakinan
bersama yang tersebar luas.
4.
Pekerja
sebagai pahlawan dalam situasi-situasi tertentu
5.
Ritual
mengenai akulturasi dan pembaruan kultur
6.
Ritual-ritual
penting untuk mengingatkan orang akan nilai-nilai dasar, atau mengubah bentuk
nilai-nilai dasar tersebut.
7.
Adanya
keseimbangan antara inovasi dan tradisi, juga antara otonomi dan control.
8. Partisipasi
yang luas dalam pelaksanaan ritual-ritual cultural.
Simbol-simbol yang digunakan untuk mengungkapkan/
mengekspresikan kultur yang ada seringkali dapat menjadi alat bantu untuk
mengidentifikasi gagasan-gagasan penting mengenai kultur. Tiga simbol sistem
yang dapat mengungkapkan isi dari kultur sekolah adalah: kisah, simbol-simbol,
dan ritual.
-
Kisah
adalah cerita2 narasi yang berdasarkan peristiwa nyata, namun seringkali
kebenaran dan fiksi dikombinasikan.
-
Mitos
adalah kisah-kisah yang menyampaikan keyakinan yang tidak bisa dipertanyakan. Mitos
juga tidak dapat ditunjukkan dengan menggunakan fakta,
-
Legenda
adalah cerita-cerita yang dikisahkan ulang dan dihubungkan dengan kisah-kisah
fiksi secara detail.
Sebagai contoh, seorang kepala sekolah yang tetap setia
mendampingi dan mendukung para guru walaupun ia mendapatkan tekanan yang luar
biasa dari para orang tua dan penguasa. Hal ini menjadi symbol dari sebuah
keterpaduan dan loyalitas pada kultur sekolah. Ini adalah cerita yang
berulangkali dikisahkan kepada para guru baru, dimana hal tersebut memberikan
arti khusus ketika diinterpretasikan. Kisah-kisah yang da seringkali
menceritakan tentang kepahlawanan dalam sebuah organisasi yang juga sekaligus
menjadi lambang organisasi tersebut; kisah-kisah tersebut memberikan pandangan
yang mendalam mengenai nilai-nilai dasar yang digunakan oleh organisasi. Lambang-lambang
dan ritual-ritual juga menjdi bagian penting dalam kultur sekolah.[2]
Tiga cara umum untuk mengubah iklim dan kultur dijelaskan
pada bagian ini. Alan Brown (1965) telah mengembangkan sebuah strategi klinis
dan strategi pendekatan yang berfokus pada perkembangan, dan Ralph Kilmann
(1984) telah berhasil mengimplementasikan sebuah prosedur untuk mengubah kultur
normative organisasi.
1. Strategi Klinis
Manipulasi
hubungan intergroup dan interpersonal dapat mendorong terjadinya perubahan.
Cara klini seperti itu yang ditujukan untuk membuat perubahan dapat dilakukan
dengan langkah-langkah seperti berikut.
·
Mendapatkan informasi sebanyak-banyaknya mengenai
organisasi.
Pendekatan klinis ini dimulai dengan mendapatkan
informasi yang menyeluruh dan rinci mengenai dinamika organisasi di sekolah.
Informasi-informasi tersebut, tentu saja, didapatkan melalui observasi yang
dilakukan secara seksama, analisis, dan kajian/ penelitian.
·
Diagnosis
Langkah kedua dalam proses strategi klinis adalah
melakukan diagnosa. Kembali lagi, sumber-sumber konseptual, yang berasal dari
bermacam-macam perspektif, dapat memberikan penamaan yang digunakan untuk
mendiagnosa wilayah-wilayah yang potensial menimbulkan masalah..
·
Prognosis/
Perkiraan
Pada langkah ketiga, para pengguna strategi klinis ini
akan menilai tingkat keseriusan situasi yang ada dan mengembangkan seperangkat
prioritas operasional untuk menciptakan situasi yang lebih baik.
·
Prescription/
Penanggulangan
Rangkaian tindakan yang tepat seringkali tidak tampak.
Sebagai asumsi saja, kita menemukan bahwa sekolah memiliki atmosfir yang
terlalu mengekang (custodial) dalam orientasi pengontrolan siswanya.
·
Evaluasi
Langkah terakhir dari strategi klinis adalah
mengadakan evaluasi mengenai sejauh mana cara-cara penanggulangan masalah telah
diimplementasikan dan bagaimana tingkat keberhasilannya. Karena sebuah perubahan yang direncanakan dalam sebuah
sistem social seringkali berjalan lambat, maka dibutuhkan pengamatan dan
evaluasi yang kontinyu.[3]
2. Strategi yang
berfokus pada Perkembangan (The Growth-Centered Strategy)
Strategi
yang berfokus pada perkembangan hanya meliputi sikap penerimaan terhadap
seperangkat asumsi mengenai perkembangan personil-personil sekolah dan
asumsi-asumsi ini digunakan sebagai landasan dalam pengambilan keputusan secara
administratif. Asumsi-asumsi tersebut seperti
berikut ini:
-
Perubahan
adalah sebuah properti yang dimiliki oleh sekolah dengan sistem organisasi yang
sehat. Kepala sekolah perlu memandang organisasi, dalam hal ini iklim
organisasi, dalam kondisi yang tetap secara terus menerus.
-
Perubahan
memiliki arah. Perubahan bisa mengarah ke bentuk yang positif maupun negative,
bersifat progresif atau sebaliknya, regresif.
-
Perubahan
harus mengimplikasikan perkembangan. Perubahan harus mampu menggerakkan
organisasi menuju sasaran-sasarannya. Tentu saja tidak semua perubahan
merepresentasikan perkembangan; walaupun demikian, pendirian seorang kepala
sekolah haruslah berfokus pada perkembangan.
-
Para
guru memiliki potensi yang tinggi dalam menciptakan perkembangan dan
mengimplementasikan perubahan. Kepala sekolah selalu siap sedia untuk
memberikan kebebasan dan tanggung jawab kepada guru dalam hal-hal operasional
di sekolah.
Asumsi-asumsi dasar tersebut diatas, jika dilaksanakan,
maka akan memberi kesempatan terciptanya kebijakan-kebijakan yang mengarah pada
perkembangan, dimana pada gilirannya nanti akan mengarahkan organisasi pada
lebih besarnya kesempatan untuk pengembangan profesionalitas. Dari perspektif
ini, pihak manajemen sekolah akan menyingkirkan segala hal-hal yang menghambat
jalannya perkembangan profesionalitas dan tidak akan melakukan manipulasi
terhadap orang lain. Akhirnya, pendekatan seperti ini dapat membantu
memfasilitasi terciptanya iklim saling percaya dan saling menghargai diantara
para guru dan pihak manajemen sekolah.[4]
Pendekatan
klinis dan pendekatan yang berfokus pada perkembangan tidak memiliki
pertentangan dari sisi asumsi-asumsi yang digunakan, walaupun keduanya memiliki
fokus yang berbeda – fokus pada organisasi dan fokus pada individu. Kecerdikan
manajemen sekolah dalam mengubah iklim sekolah dapat terlihat dalam kedua
strategi tersebut.
3.
Strategi Perubahan Norma
Kebanyakan
anggota organisasi dapat membuat daftar norma-norma yang digunakan dalam
kelompok kerja mereka dan bahkan kadangkala merekomendasikan norma-norma baru
yang dipandang dapat lebih efektif dalam meningkatkan produktifitas kerja dan
juga moral (Kilmann, Saxton, dan Serpa, 1985). Sejumlah cara dapat digunakan
untuk mencari tahu norma-norma asli yang digunakan, namun para anggota
organisasi biasanya menolak untuk merinci norma-norma yang mereka gunakan
kecuali mereka percaya bahwa informasi yang dipaparkan tidak akan mengancam
keberadaan mereka ataupun organisasi. Oleh sebab itu, tidak menyertakan nama
dan merahasiakan identitas responden merupakan hal penting dalam
mengidentifikasi norma-norma penting yang digunakan di sebuah organisasi.
2.
Menetukan Jenis komunikasi
intern
Hubungan yang ada di sekolah antara
lain adalah hubungan pribadi, hubungan kedinasan, dan hubungan keprofesional.
Komunikasi interen dapat diikat oleh ikatan professional, yakni “ tats karma”
sesuai dengan kode etik guru. Kepala sekolah sebaiknya bertingkah laku dengan
menggunakan prinsip dewasa dan harus menganggap guru bukan sebagai pembantu
tetapi sebagai partner (mitra) dalam kelompok. Untuk kepentingan itu kepala
sekolah perlu memperhatikan prinsip-prinsip sebagai berikut :
- Bersikap
terbuka, tidak memaksakan kehendak, tidak bertindak sebagai fasilitator
yang mendorong suasana demokratif dan kekeluargaan.
- Mendorong
untuk mau dan mampu mengemukakan pendapatnya dalam memecahkan masalah dan
mendorong supaya guru mau melaksanakan aktivitas dan mau berkreativitas.
- Mengembangkan
kebiasaan untuk berdiskusi secara terbuka dan mendengarkan pendapat orang
lain.
- Mendorong
para guru dan pegawai untuk mengambil keputusan yang terbaik dan menanti
keputusan itu.
- Berlaku
sebagai pengarah, pengatur pembicaraan, perantara, dan pengambil
kesimpulan secara redaksional.
.Dalam komunikasi formal yang mengarah kebawah, informasi-informasi
berjalan melalui sebuah rantai komando. dimana mereka harus melewati struktur
hirarkis dari statusnya. Pesan-pesan ini biasanya menegaskan kembali akan
rantai komando itu dan menguatkan kendali.[5]
Saluran Komunikasi Formal untuk Implementasi Program di Wilayah
Sekolah Lima macam komunikasi dari yang paling tinggi sampai ke paling rendah,
meliputi :
1. Instruksi
mengenai tugas-tugas yang spesifik
2. Penjelasan
tentang mengapa tugas tersebut harus dilaksanakan dan bagaimana hal tersebut
terkait dengan tugas-tugas lainnya.
3. Informasi
mengenai prosedur-prosedur organisasi dan pelaksanaannya.
4. Umpan balik
mengenai tingkat kinerja perseorangan.
5. Informasi
menyangkut tujuan-tujuan organisasi.
Komunikasi yang berasal dari tingkat terendah dari hirarki menuju ke
tingkat teratas adalah komunikasi yang mengarah keatas. Komunikasi yang
mengarah keatas ini menyediakan emapat macam pesan (Katz dan Kahn, 1978;
DeFleur, Kearney dan Plax, 1993) :
1. Pesan-pesan
operasional rutin.
2.
Laporan-laporan permasalahan.
3. Saran-saran
untuk peningkatan.
4. Informasi
mengenai apa yang dirasakan para bawahan tentang satu sama lain dan tentang
pekerjaannya.
3. Sistem Pendukung
Komunikasi
Komunikasi yang efektif dapat dipengaruhi
atau ditentukan oleh faktor-faktor pendukung sebagai berikut :
1. Kerangka Acuan (frame of reference)
Wilburn Schram, dalam karyanya “
Communication Research in the United States”, yang disadur oleh Onong Uchjan
Effendy menyatakan sebagai berikut :
“komunikasi akan berhasil, apabila pesan yang disampaikan
komunikator cocok dengan kerangka acuan (frame of reference), yakni perpaduan
pengalaman dan pengertian (collection of experience and meaning) yang pernah
diperoleh komunikan .”(Effendy, 1985 :).
Jadi jelas bahwa frame of reference yang didukung field of experience merupakan factor yang penting dalam berkomunikasi. Jika bidang pengalaman komunikator dan pengetahuannya sesuai dengan komunikan, maka komunikasi akan berjalan dengan lancar .
Jadi jelas bahwa frame of reference yang didukung field of experience merupakan factor yang penting dalam berkomunikasi. Jika bidang pengalaman komunikator dan pengetahuannya sesuai dengan komunikan, maka komunikasi akan berjalan dengan lancar .
3. Faktor Situasi dan Kondisi
Yang dimaksud dengan situasi disini adalah
situasi komunikasi pada saat komunikan menerima pesan yang kita sampaikan .
Situasi ini akan mendukung komunikasi efektif apabila komunikator menyampaikan
informasi pada saat komunikan menanti suatu pengumuman .
Begitu pula dengan kondisi, akan mempengaruhi serta mendukung efektivitas komunikasi . Seperti kondisi gaduh (noise), yang disebabka lingkunag luar, kondisi gugup yang diderita seorang komunikator dalam menyampaikan pesannya akan turut menentukan keberhasilan jalannya proses komunikasi .
Begitu pula dengan kondisi, akan mempengaruhi serta mendukung efektivitas komunikasi . Seperti kondisi gaduh (noise), yang disebabka lingkunag luar, kondisi gugup yang diderita seorang komunikator dalam menyampaikan pesannya akan turut menentukan keberhasilan jalannya proses komunikasi .
4. Faktor Media Komunikasi
Media komunikasi merupakan alat untuk
membantu lancarnya proses komunikasi . Yang dimaksud media disini adalah surat,
memo, nota, brosur, pamphlet, bulletin, majalah, Koran, papan pengumuman, kotak
saran, telephone, radio, televisi dan sebagainya . Pada saat ini telah dan
sedang berkembang telemobitel, faksimil, telepon genggam, internet, e-mail dan
sebagainya yang membantu lancarnya dan semakin efektifnya pesan yang dapat
disampaikan lewat media tersebut.[6]
Raymond V.L (1977), dalam bukunya “ A General Sematics Approach to Communication Barries”, mengatakan bahwa terdapat empat factor yang mempengaruhi efektivitas komunikasi yaitu :
Raymond V.L (1977), dalam bukunya “ A General Sematics Approach to Communication Barries”, mengatakan bahwa terdapat empat factor yang mempengaruhi efektivitas komunikasi yaitu :
a. Jalur komunikasi formal,
b. Authority structure,
c. Spesialisasi pekerjaan,
d. Ownership information .
Selain faktor-faktor tersebut, komunikasi yang efektif dapat pula
dipengaruhi oleh semua unsure-unsur komunikasi yang meliputi hal-hal sebagai
berikut :
1. Sumber – Encoder
a. Keterampilan berkomunikasi,
b. Sikap,
c. Tingkat pengetahuan,
d. Posisi dalam sistem sosial budaya .
2. Penerima – Decoder
3. Pesan
a. Kode pesan
b. Isi pesan
c. Wujud pesan
5. Saluran komunikasi
Menurut Geoffrey Mills dan Oliver
Standingford, terdapat empat asas pokok dalam komunikasi yakni sebagai berikut
:
1. Komunikasi berlangsung antar pikiran seseorang dengan pikiran
orang lain .
2. Orang hanya bias mengerti sesuatu hal dengan menghubungkan dengan
sesuatu hal yang lain yang telah dimengerti .
3. Orang yang melakukan komunikasi mempunyai suatu kewajiban untuk
membuat dirinya dimengerti .
4. Orang yang tidak dimengerti dalam menerima warta mempunyai suatu
kewajiban untuk enerima suatu penjelasan .
B. Menyusun Rencana Startegi
Komunikasi
Menurut Oteng Sutisna (1989) cara untuk
mengembangkan proses komunikasi yang baik, administrator perlu memahami orang
dan kelompok yang membentuk sebuah organisasi. Tidak ada komunikasi yang
efektif kecuali sistem sekolah menggalakkan para anggota organisasi untuk bebas
menyatakan perasaan dan pikiran mereka.
Komunikasi dalam sebuah organisasi dibedakan
menjadi dua yaitu komunikasi formal dan komunikasi informal. Komunikasi formal
adalah komunikasi yang terjalin secara formal antara personil organisasi,
sedangkan komunikasi informal yaitu komunikasi yang terjalin karena unsur keterdekatan
antara personil organisasi yang biasanya berbentuk pertemanan atau
persahabatan. Kedua sistem komunikasi tersebut sangat berpengaruh dalam
efektifitas organisasi. Oleh kerena itu kedua sistem komunikasi tersebut harus
berjalan dengan baik. Menurut Oteng Sutisna (1989) sistem komunikasi formal
hendaknya dirancang dengan pemahaman penuh tentang maksud dan kondisi yang
menandai sistem pendidikan, dan hendaknya menggunakan prosedur yang sesuai
dengan maksud dan kondisi tersebut. Sedangkan untuk meningkatkan kualitas
komunikasi informal, administrator hendaknya melakukan setiap usaha yang
mungkin untuk memajukan suasana ramah, rukun, dan kooperatif dalam
hubungan-hubungan langsung yang formal di kalangan personil, supaya sistem
komunikasi informal cenderung untuk memperkuat, dan bukan merintangi efisiensi
organisasi.
Maka agar komunikasi menjadi efektif maka
komunikasi harus dilakukan dengan proses tiga arah, yaitu :
Komunikasi ke bawah :
Komunikasi kebawah biasanya mengenai
soal-soal kebijaksanaan, prosedur, instruksi atau keterangan yang bersifat
umum. Komunikasi tersebut dapat melalui tatap muka, telepon, surat edaran,
papan pengumuman, maupun alat lain. Praktek yang baik yaitu apabila
administrator menyampaikan informasi dan instruksi itu hanya kepada orang-orang
yang berada langsung dibawahnya, dan mengijinkan mereka untuk meneruskan
informasi dan instruksi itu kepada orang-orang yang langsung dibawah mereka.
(Oteng Sutisna, 1989)
Komunikasi ke atas :
Dalam sistem sekolah komunikasi ke atas
berjalan dari guru ke kepala sekolah ke kepala kantor pendidikan ke enteri
pendidikan. Komunikasi keatas membantu administrator untuk mengetahui apkah
pikiran-pikiran yang disalurkan ke bawah dapat diterima, menggalakkan para
anggota untuk menyumbangkan ide-ide berharga, dan memugkinkan administrator
untuk menghindarkan administrator dari situasi sulit yang mungkin timbul.
Selain itu komunikasi ke atas memungkinkan paraanggota untuk dapat lebih
menyesuaikan diri dengan tujuan sekolah dan program-programnya. (Oteng Sutisna,
1989).[7]
Komunikasi ke samping atau mendatar :
Komunikasi mendatar adalah bentuk lain dari
komunikasi organisasional. Komunikasi mendatar penting karena memungkinkan
penyebaran keterangan dan pikiran di kalangan para anggota staf sendiri dan
membantu menjalin mereka menjadi kelompok profesional dan sosial yang terpadu.
(Oteng Sutisna, 1989)
Komunikasi ini memungkinkan guru-guru untuk
dapat berkomunikasi dengan sesama guru, kepala sekolah dengan kepala sekolah
lain, pengawas dengan pengawas lain.
BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
Berdasarkan pembahasan di atas dapat
disimpulkan bahwa dalam internal sekolah memiliki komunikasi secara baik. Managemen sekolah yang baik
adalah managemen yang melibatkan berbagai pihak dalam pelaksanaanya terutama
dengan pihak yang ada disekolah maupun masyarakat atau lingkkungan sekitarnya.
Kerjasama dapat tercipta melalui berbagai cara agar hubungan dapat tercipta
dengan baik.
DAFTAR PUSTAKA
Muhammad,
Arni. 2002. Komunikasi Organisasi. Jakarta : PT Bumi Aksara
Mulyasa, E. 2002. Manajemen Berbasis Sekolah : Konsep, Strategi, dan Implementasi. Bandung : PT Remaja Rosdakarya
Mulyasa, E. 2002. Manajemen Berbasis Sekolah : Konsep, Strategi, dan Implementasi. Bandung : PT Remaja Rosdakarya
Moore,
Frazier.(2004). Humas, Membangun Citra dengan Komunikasi. Bandung: Rosda.
Mulyasa. (2007). Manajemen Berbasis Sekolah. Bandung: PT Remaja Rosdakarya.
[1] . Mulyasa, E. 2002. Manajemen
Berbasis Sekolah : Konsep, Strategi, dan Implementasi. Bandung : PT Remaja
Rosdakarya
[2] .
Muhammad, Arni. 2002. Komunikasi Organisasi. Jakarta : PT Bumi Aksara
[3] . Moore, Frazier.(2004).
Humas, Membangun Citra dengan Komunikasi. Bandung: Rosda.
[4] . Moore, Frazier.(2004).
Humas, Membangun Citra dengan Komunikasi. Bandung: Rosda.
[5] .
Muhammad, Arni. 2002. Komunikasi Organisasi. Jakarta : PT Bumi Aksara
[7] .
Muhammad, Arni. 2002. Komunikasi Organisasi. Jakarta : PT Bumi Aksara
0 Response to "MAKALAH KOMUNIKASI INTERNAL KAMPUS"
Post a Comment