MAKALAH KOMUNIKASI INTERNAL KAMPUS

BAB I
PENDAHULUAN

A.    Latar Belakang
Manusia sebagai makhluk sosial selalu berinteraksi dengan individu maupun kelompok lain disekitarnya. Salah satu syarat interaksi adalah adanya  komunikasi. Dengan komunikasi maka antara satu individu dengan individu atau kelompok lain akan mengetahui maksud yang hendak disampaikan, kemudian akan mendapatkan reaksi. Dengan demikian maka tidak dapat dipungkiri bahwa peran lomunikasi menjadi sengat penting dalam kehidupan manusia. Hal ini terwujud misal pada organisasi atau institusi yang terbentuk dalam masyarakat melalui komunikasi.
Dalam dunia pendidikan peran komunikasi menjadi sangat penting. Tanpa adanya komunikasi maka sistem pendidikan dalam sebuah negara tidak akan berjalan dengan baik sehingga akan merusak sistem yang lain. Komunikasi di dunia pendidikan terjadi dalam setiap posisi yang diduduki seseorang dari mulai tingkat kementrian pendidikan hingga pengajar dan staf-stafnya dalam sekolah. Bahkan kalau kita lihat kebelakang munculnya perilaku pendidikan terjadi dengan adanya komunikasi.
Institusi pendidikan atau dalam hak ini sekolah juga memerlukan komunikasi dalam manajemennya. Komunikasi tersebut bisa bersifat intern maupun ekstern. Kedua ko,umikasi tersebut sangat menentukan kelancaran, kemudahan dan kenyamanan dalam melaksanakan tugas masing-masing koponen sekolah. 
B.     Rumusan Masalah
1.      Bagaimana Membangun Komunikasi Internal dalam Sekolah ?
2.      Bagaimana Menyusun Strategi Komunikasi Sekolah ?



BAB II
PEMBAHASAN

A. Membangun Komunikasi Internal Sekolah
1.      Iklim dan Kultur Organisasi Sekolah
 Iklim organisasi merupakan kualitas sekolah yang terwujud dalam persepsi kolektif guru menuju perilaku organisasi. Iklim sekolah dapat ditinjau dari dua titik pandang; yaitu keterbukaan perilaku dan sehatnya hubungan interpersonal.
Iklim organisasi menandakan persepsi bersama para anggota organisasi yang lebih mengarah kepada persepsi mengenai tingkah laku ketimbang kepada keyakinan ataupun nilai-nilai; iklim organisasi merupakan seperangkat karakteristik perilaku internal organisasi yang membedakan satu sekolah dengan sekolah lainnya dan juga mempengaruhi perilaku orang-orang yang ada di dalam lingkungan sekolah. Dua konsepsi iklim sekolah yang bisa dijadikan acuan adalah: iklim keterbukaan dan iklim kesehatan. Interaksi yang terjadi antar guru dapat dideskripsikan menggunakan skala yang dimulai dari tingkat keterbukaan ke tingkat ketertutupan dan hal tersebut dapat diukur dengan menggunakan alat ukur Organizatonal Climate Description Questionnaire (OCDQ) yang tepat penggunaannya. Pandangan lain mengenai iklim organisasi mengkaji kondisi kesehatan sistem organisasi sekolah – yaitu, sebuah tingkatan dimana sekolah dapat memenuhi kebutuhan dasarnya dan juga secara bersamaan menghadapi kekuatan-kekuatan dari luar yang bersifat merusak serta sekaligus mengarahkan segala daya upayanya untuk mencapai sasaran-sasarannya yang telah ditetapkan. Kondisi kesehatan sekolah dapat digambarkan dengan menggunakan alat ukur Organizational Health Inventory (OHI) yang diaplikasikan dengan tepat; versi-versi OHI yang terpisah dan dapat diandalkan kemampuan pengukurannya tersedia untuk tiap tingkatan sekolah: sekolah dasar, sekolah menengah pertama, dan sekolah menengah atas/ sekolah tinggi.
Kultur organisasi adalah sebuah usaha untuk mencapai rasa, pemahaman, atmosfir, karakter, ataupun imej sebagai sebuah organisasi. Kultur ini melibatkan banyak pandangan yang telah dilontarkan sebelumnya mengenai organisasi informal, norma-norma, nilai-nilai, ideology, dan sistem tata cara yang telah muncul sebelumnya. Dikenalnya istilah “kultur organisasi”, sebagian dikarenakan oleh sejumlah buku populer mengenai bisnis korporasi sukses yang diterbitkan pada sekitar tahun 1980-an (Peters and Waterman, 1982; Deal dan Kennedy, 1982; Ouchi, 1981). Hal mendasar yang menjadi tema bahasan pada analisis-analisis mengenai kultur organisasi ini adalah bahwa organisasi yang efektif adalah yang memiliki kultur kerjasama  yang kuat dan dapat dibedakan dengan organisasi lainnya, serta fungsi utama dari sebuah kepemimpinan eksekutif (pemimpin pelaksana) adalah untuk membentuk budaya di dalam organisasinya.[1]
Terrence Deal (1985) menyatakan bahwa sekolah-sekolah yang efektif kegiatannya memiliki kultur yang kuat dengan beberapa karakteristik berikut ini:
1.      Adanya nilai-nilai bersama dan konsensus mengenai “bagaimana kita menyelesaikan pekerjaan-pekerjaan yang ada.”
2.      Adanya kepala sekolah yang menjadi pahlawan dimana ia adalah wujud/ sosok nilai-nilai dasar sekolah tersebut.
3.      Adanya ritual-ritual yang khas yang merupakan perwujudan dari keyakinan-keyakinan bersama yang tersebar luas.
4.      Pekerja sebagai pahlawan dalam situasi-situasi tertentu
5.      Ritual mengenai akulturasi dan pembaruan kultur
6.      Ritual-ritual penting untuk mengingatkan orang akan nilai-nilai dasar, atau mengubah bentuk nilai-nilai dasar tersebut.
7.      Adanya keseimbangan antara inovasi dan tradisi, juga antara otonomi dan control.
8.      Partisipasi yang luas dalam pelaksanaan ritual-ritual cultural.
Simbol-simbol yang digunakan untuk mengungkapkan/ mengekspresikan kultur yang ada seringkali dapat menjadi alat bantu untuk mengidentifikasi gagasan-gagasan penting mengenai kultur. Tiga simbol sistem yang dapat mengungkapkan isi dari kultur sekolah adalah: kisah, simbol-simbol, dan ritual.
-          Kisah adalah cerita2 narasi yang berdasarkan peristiwa nyata, namun seringkali kebenaran dan fiksi dikombinasikan.
-          Mitos adalah kisah-kisah yang menyampaikan keyakinan yang tidak bisa dipertanyakan. Mitos juga tidak dapat ditunjukkan dengan menggunakan fakta,
-          Legenda adalah cerita-cerita yang dikisahkan ulang dan dihubungkan dengan kisah-kisah fiksi secara detail.
Sebagai contoh, seorang kepala sekolah yang tetap setia mendampingi dan mendukung para guru walaupun ia mendapatkan tekanan yang luar biasa dari para orang tua dan penguasa. Hal ini menjadi symbol dari sebuah keterpaduan dan loyalitas pada kultur sekolah. Ini adalah cerita yang berulangkali dikisahkan kepada para guru baru, dimana hal tersebut memberikan arti khusus ketika diinterpretasikan. Kisah-kisah yang da seringkali menceritakan tentang kepahlawanan dalam sebuah organisasi yang juga sekaligus menjadi lambang organisasi tersebut; kisah-kisah tersebut memberikan pandangan yang mendalam mengenai nilai-nilai dasar yang digunakan oleh organisasi. Lambang-lambang dan ritual-ritual juga menjdi bagian penting dalam kultur sekolah.[2]
Tiga cara umum untuk mengubah iklim dan kultur dijelaskan pada bagian ini. Alan Brown (1965) telah mengembangkan sebuah strategi klinis dan strategi pendekatan yang berfokus pada perkembangan, dan Ralph Kilmann (1984) telah berhasil mengimplementasikan sebuah prosedur untuk mengubah kultur normative organisasi.
1.  Strategi Klinis
            Manipulasi hubungan intergroup dan interpersonal dapat mendorong terjadinya perubahan. Cara klini seperti itu yang ditujukan untuk membuat perubahan dapat dilakukan dengan langkah-langkah seperti berikut.
·         Mendapatkan informasi sebanyak-banyaknya mengenai organisasi.
Pendekatan klinis ini dimulai dengan mendapatkan informasi yang menyeluruh dan rinci mengenai dinamika organisasi di sekolah. Informasi-informasi tersebut, tentu saja, didapatkan melalui observasi yang dilakukan secara seksama, analisis, dan kajian/ penelitian.
·         Diagnosis
Langkah kedua dalam proses strategi klinis adalah melakukan diagnosa. Kembali lagi, sumber-sumber konseptual, yang berasal dari bermacam-macam perspektif, dapat memberikan penamaan yang digunakan untuk mendiagnosa wilayah-wilayah yang potensial menimbulkan masalah..
·         Prognosis/ Perkiraan
Pada langkah ketiga, para pengguna strategi klinis ini akan menilai tingkat keseriusan situasi yang ada dan mengembangkan seperangkat prioritas operasional untuk menciptakan situasi yang lebih baik.
·         Prescription/ Penanggulangan
Rangkaian tindakan yang tepat seringkali tidak tampak. Sebagai asumsi saja, kita menemukan bahwa sekolah memiliki atmosfir yang terlalu mengekang (custodial) dalam orientasi pengontrolan siswanya.
·         Evaluasi
Langkah terakhir dari strategi klinis adalah mengadakan evaluasi mengenai sejauh mana cara-cara penanggulangan masalah telah diimplementasikan dan bagaimana tingkat keberhasilannya. Karena sebuah perubahan yang direncanakan dalam sebuah sistem social seringkali berjalan lambat, maka dibutuhkan pengamatan dan evaluasi yang kontinyu.[3]
2.   Strategi yang berfokus pada Perkembangan (The Growth-Centered Strategy)
            Strategi yang berfokus pada perkembangan hanya meliputi sikap penerimaan terhadap seperangkat asumsi mengenai perkembangan personil-personil sekolah dan asumsi-asumsi ini digunakan sebagai landasan dalam pengambilan keputusan secara administratif. Asumsi-asumsi tersebut seperti berikut ini:
-          Perubahan adalah sebuah properti yang dimiliki oleh sekolah dengan sistem organisasi yang sehat. Kepala sekolah perlu memandang organisasi, dalam hal ini iklim organisasi, dalam kondisi yang tetap secara terus menerus.
-          Perubahan memiliki arah. Perubahan bisa mengarah ke bentuk yang positif maupun negative, bersifat progresif atau sebaliknya, regresif.
-          Perubahan harus mengimplikasikan perkembangan. Perubahan harus mampu menggerakkan organisasi menuju sasaran-sasarannya. Tentu saja tidak semua perubahan merepresentasikan perkembangan; walaupun demikian, pendirian seorang kepala sekolah haruslah berfokus pada perkembangan.
-          Para guru memiliki potensi yang tinggi dalam menciptakan perkembangan dan mengimplementasikan perubahan. Kepala sekolah selalu siap sedia untuk memberikan kebebasan dan tanggung jawab kepada guru dalam hal-hal operasional di sekolah.
Asumsi-asumsi dasar tersebut diatas, jika dilaksanakan, maka akan memberi kesempatan terciptanya kebijakan-kebijakan yang mengarah pada perkembangan, dimana pada gilirannya nanti akan mengarahkan organisasi pada lebih besarnya kesempatan untuk pengembangan profesionalitas. Dari perspektif ini, pihak manajemen sekolah akan menyingkirkan segala hal-hal yang menghambat jalannya perkembangan profesionalitas dan tidak akan melakukan manipulasi terhadap orang lain. Akhirnya, pendekatan seperti ini dapat membantu memfasilitasi terciptanya iklim saling percaya dan saling menghargai diantara para guru dan pihak manajemen sekolah.[4]
            Pendekatan klinis dan pendekatan yang berfokus pada perkembangan tidak memiliki pertentangan dari sisi asumsi-asumsi yang digunakan, walaupun keduanya memiliki fokus yang berbeda – fokus pada organisasi dan fokus pada individu. Kecerdikan manajemen sekolah dalam mengubah iklim sekolah dapat terlihat dalam kedua strategi tersebut.

3. Strategi Perubahan Norma
            Kebanyakan anggota organisasi dapat membuat daftar norma-norma yang digunakan dalam kelompok kerja mereka dan bahkan kadangkala merekomendasikan norma-norma baru yang dipandang dapat lebih efektif dalam meningkatkan produktifitas kerja dan juga moral (Kilmann, Saxton, dan Serpa, 1985). Sejumlah cara dapat digunakan untuk mencari tahu norma-norma asli yang digunakan, namun para anggota organisasi biasanya menolak untuk merinci norma-norma yang mereka gunakan kecuali mereka percaya bahwa informasi yang dipaparkan tidak akan mengancam keberadaan mereka ataupun organisasi. Oleh sebab itu, tidak menyertakan nama dan merahasiakan identitas responden merupakan hal penting dalam mengidentifikasi norma-norma penting yang digunakan di sebuah organisasi.
2.      Menetukan Jenis  komunikasi intern
Hubungan yang ada di sekolah antara lain adalah hubungan pribadi, hubungan kedinasan, dan hubungan keprofesional. Komunikasi interen dapat diikat oleh ikatan professional, yakni “ tats karma” sesuai dengan kode etik guru. Kepala sekolah sebaiknya bertingkah laku dengan menggunakan prinsip dewasa dan harus menganggap guru bukan sebagai pembantu tetapi sebagai partner (mitra) dalam kelompok. Untuk kepentingan itu kepala sekolah perlu memperhatikan prinsip-prinsip sebagai berikut :
  1. Bersikap terbuka, tidak memaksakan kehendak, tidak bertindak sebagai fasilitator yang mendorong suasana demokratif dan kekeluargaan.
  2. Mendorong untuk mau dan mampu mengemukakan pendapatnya dalam memecahkan masalah dan mendorong supaya guru mau melaksanakan aktivitas dan mau berkreativitas.
  3. Mengembangkan kebiasaan untuk berdiskusi secara terbuka dan mendengarkan pendapat orang lain.
  4. Mendorong para guru dan pegawai untuk mengambil keputusan yang terbaik dan menanti keputusan itu.
  5. Berlaku sebagai pengarah, pengatur pembicaraan, perantara, dan pengambil kesimpulan secara redaksional.
.Dalam komunikasi formal yang mengarah kebawah, informasi-informasi berjalan melalui sebuah rantai komando. dimana mereka harus melewati struktur hirarkis dari statusnya. Pesan-pesan ini biasanya menegaskan kembali akan rantai komando itu dan menguatkan kendali.[5]
Saluran Komunikasi Formal untuk Implementasi Program di Wilayah Sekolah Lima macam komunikasi dari yang paling tinggi sampai ke paling rendah, meliputi :
1. Instruksi mengenai tugas-tugas yang spesifik
2. Penjelasan tentang mengapa tugas tersebut harus dilaksanakan dan bagaimana hal tersebut terkait dengan tugas-tugas lainnya.
3. Informasi mengenai prosedur-prosedur organisasi dan pelaksanaannya.
4. Umpan balik mengenai tingkat kinerja perseorangan.
5. Informasi menyangkut tujuan-tujuan organisasi.
Komunikasi yang berasal dari tingkat terendah dari hirarki menuju ke tingkat teratas adalah komunikasi yang mengarah keatas. Komunikasi yang mengarah keatas ini menyediakan emapat macam pesan (Katz dan Kahn, 1978; DeFleur, Kearney dan Plax, 1993) :
1. Pesan-pesan operasional rutin.
2. Laporan-laporan permasalahan.
3. Saran-saran untuk peningkatan.
4. Informasi mengenai apa yang dirasakan para bawahan tentang satu sama lain dan tentang pekerjaannya.

3. Sistem Pendukung Komunikasi
Komunikasi yang efektif dapat dipengaruhi atau ditentukan oleh faktor-faktor pendukung sebagai berikut :
1. Kerangka Acuan (frame of reference)
Wilburn Schram, dalam karyanya “ Communication Research in the United States”, yang disadur oleh Onong Uchjan Effendy menyatakan sebagai berikut :
“komunikasi akan berhasil, apabila pesan yang disampaikan komunikator cocok dengan kerangka acuan (frame of reference), yakni perpaduan pengalaman dan pengertian (collection of experience and meaning) yang pernah diperoleh komunikan .”(Effendy, 1985 :).
Jadi jelas bahwa frame of reference yang didukung field of experience merupakan factor yang penting dalam berkomunikasi. Jika bidang pengalaman komunikator dan pengetahuannya sesuai dengan komunikan, maka komunikasi akan berjalan dengan lancar .

3. Faktor Situasi dan Kondisi
Yang dimaksud dengan situasi disini adalah situasi komunikasi pada saat komunikan menerima pesan yang kita sampaikan . Situasi ini akan mendukung komunikasi efektif apabila komunikator menyampaikan informasi pada saat komunikan menanti suatu pengumuman .
Begitu pula dengan kondisi, akan mempengaruhi serta mendukung efektivitas komunikasi . Seperti kondisi gaduh (noise), yang disebabka lingkunag luar, kondisi gugup yang diderita seorang komunikator dalam menyampaikan pesannya akan turut menentukan keberhasilan jalannya proses komunikasi .

4.   Faktor Media Komunikasi
Media komunikasi merupakan alat untuk membantu lancarnya proses komunikasi . Yang dimaksud media disini adalah surat, memo, nota, brosur, pamphlet, bulletin, majalah, Koran, papan pengumuman, kotak saran, telephone, radio, televisi dan sebagainya . Pada saat ini telah dan sedang berkembang telemobitel, faksimil, telepon genggam, internet, e-mail dan sebagainya yang membantu lancarnya dan semakin efektifnya pesan yang dapat disampaikan lewat media tersebut.[6]
Raymond V.L (1977), dalam bukunya “ A General Sematics Approach to Communication Barries”, mengatakan bahwa terdapat empat factor yang mempengaruhi efektivitas komunikasi yaitu :
a. Jalur komunikasi formal,
b. Authority structure,
c. Spesialisasi pekerjaan,
d. Ownership information .
Selain faktor-faktor tersebut, komunikasi yang efektif dapat pula dipengaruhi oleh semua unsure-unsur komunikasi yang meliputi hal-hal sebagai berikut :
1. Sumber – Encoder
a. Keterampilan berkomunikasi,
b. Sikap,
c. Tingkat pengetahuan,
d. Posisi dalam sistem sosial budaya .
2. Penerima – Decoder
3. Pesan
a. Kode pesan
b. Isi pesan
c. Wujud pesan

5.   Saluran komunikasi
Menurut Geoffrey Mills dan Oliver Standingford, terdapat empat asas pokok dalam komunikasi yakni sebagai berikut :
1. Komunikasi berlangsung antar pikiran seseorang dengan pikiran orang lain .
2. Orang hanya bias mengerti sesuatu hal dengan menghubungkan dengan sesuatu hal yang lain yang telah dimengerti .
3. Orang yang melakukan komunikasi mempunyai suatu kewajiban untuk membuat dirinya dimengerti .
4. Orang yang tidak dimengerti dalam menerima warta mempunyai suatu kewajiban untuk enerima suatu penjelasan .


B.     Menyusun Rencana Startegi Komunikasi
Menurut Oteng Sutisna (1989) cara untuk mengembangkan proses komunikasi yang baik, administrator perlu memahami orang dan kelompok yang membentuk sebuah organisasi. Tidak ada komunikasi yang efektif kecuali sistem sekolah menggalakkan para anggota organisasi untuk bebas menyatakan perasaan dan pikiran mereka.
Komunikasi dalam sebuah organisasi dibedakan menjadi dua yaitu komunikasi formal dan komunikasi informal. Komunikasi formal adalah komunikasi yang terjalin secara formal antara personil organisasi, sedangkan komunikasi informal yaitu komunikasi yang terjalin karena unsur keterdekatan antara personil organisasi yang biasanya berbentuk pertemanan atau persahabatan. Kedua sistem komunikasi tersebut sangat berpengaruh dalam efektifitas organisasi. Oleh kerena itu kedua sistem komunikasi tersebut harus berjalan dengan baik. Menurut Oteng Sutisna (1989) sistem komunikasi formal hendaknya dirancang dengan pemahaman penuh tentang maksud dan kondisi yang menandai sistem pendidikan, dan hendaknya menggunakan prosedur yang sesuai dengan maksud dan kondisi tersebut. Sedangkan untuk meningkatkan kualitas komunikasi informal, administrator hendaknya melakukan setiap usaha yang mungkin untuk memajukan suasana ramah, rukun, dan kooperatif dalam hubungan-hubungan langsung yang formal di kalangan personil, supaya sistem komunikasi informal cenderung untuk memperkuat, dan bukan merintangi efisiensi organisasi.
Maka agar komunikasi menjadi efektif maka komunikasi harus dilakukan dengan proses tiga arah, yaitu :
Komunikasi ke bawah :
Komunikasi kebawah biasanya mengenai soal-soal kebijaksanaan, prosedur, instruksi atau keterangan yang bersifat umum. Komunikasi tersebut dapat melalui tatap muka, telepon, surat edaran, papan pengumuman, maupun alat lain. Praktek yang baik yaitu apabila administrator menyampaikan informasi dan instruksi itu hanya kepada orang-orang yang berada langsung dibawahnya, dan mengijinkan mereka untuk meneruskan informasi dan instruksi itu kepada orang-orang yang langsung dibawah mereka. (Oteng Sutisna, 1989)
Komunikasi ke atas :
Dalam sistem sekolah komunikasi ke atas berjalan dari guru ke kepala sekolah ke kepala kantor pendidikan ke enteri pendidikan. Komunikasi keatas membantu administrator untuk mengetahui apkah pikiran-pikiran yang disalurkan ke bawah dapat diterima, menggalakkan para anggota untuk menyumbangkan ide-ide berharga, dan memugkinkan administrator untuk menghindarkan administrator dari situasi sulit yang mungkin timbul. Selain itu komunikasi ke atas memungkinkan paraanggota untuk dapat lebih menyesuaikan diri dengan tujuan sekolah dan program-programnya. (Oteng Sutisna, 1989).[7]
Komunikasi ke samping atau mendatar :
Komunikasi mendatar adalah bentuk lain dari komunikasi organisasional. Komunikasi mendatar penting karena memungkinkan penyebaran keterangan dan pikiran di kalangan para anggota staf sendiri dan membantu menjalin mereka menjadi kelompok profesional dan sosial yang terpadu. (Oteng Sutisna, 1989)
Komunikasi ini memungkinkan guru-guru untuk dapat berkomunikasi dengan sesama guru, kepala sekolah dengan kepala sekolah lain, pengawas dengan pengawas lain.



















BAB III
PENUTUP

Kesimpulan
Berdasarkan pembahasan di atas dapat disimpulkan bahwa dalam internal sekolah memiliki komunikasi  secara baik. Managemen sekolah yang baik adalah managemen yang melibatkan berbagai pihak dalam pelaksanaanya terutama dengan pihak yang ada disekolah maupun  masyarakat atau lingkkungan sekitarnya. Kerjasama dapat tercipta melalui berbagai cara agar hubungan dapat tercipta dengan baik.






















DAFTAR PUSTAKA

Muhammad, Arni. 2002. Komunikasi Organisasi. Jakarta : PT Bumi Aksara
Mulyasa, E. 2002. Manajemen Berbasis Sekolah : Konsep, Strategi, dan Implementasi. Bandung : PT Remaja Rosdakarya
Moore, Frazier.(2004). Humas, Membangun Citra dengan Komunikasi. Bandung: Rosda.
Mulyasa. (2007). Manajemen Berbasis Sekolah. Bandung: PT Remaja Rosdakarya.





[1] . Mulyasa, E. 2002. Manajemen Berbasis Sekolah : Konsep, Strategi, dan Implementasi. Bandung : PT Remaja Rosdakarya
[2] . Muhammad, Arni. 2002. Komunikasi Organisasi. Jakarta : PT Bumi Aksara
[3] . Moore, Frazier.(2004). Humas, Membangun Citra dengan Komunikasi. Bandung: Rosda.
[4] . Moore, Frazier.(2004). Humas, Membangun Citra dengan Komunikasi. Bandung: Rosda.
[5] . Muhammad, Arni. 2002. Komunikasi Organisasi. Jakarta : PT Bumi Aksara
[6] . Mulyasa. (2007). Manajemen Berbasis Sekolah. Bandung: PT Remaja Rosdakarya.
[7] . Muhammad, Arni. 2002. Komunikasi Organisasi. Jakarta : PT Bumi Aksara

0 Response to "MAKALAH KOMUNIKASI INTERNAL KAMPUS"

Post a Comment

Labels

Aceh ( 4 ) ARTIKEL ( 23 ) Bollywood ( 1 ) CERPEN ( 16 ) HABA ( 1 ) Hollywood ( 1 ) INDO ( 2 ) Makalah ( 97 ) Skript ( 1 ) SOSOK ( 10 ) Wisata ( 2 )