MAKALAH SEJARAH TURUNNYA AL-QUR'AN

1.      Sejarah Turun dan Pemeliharaan AlQuran
A.    Sejarah Turun Alquran.
Nuzul qur’an terdiri dari dua kata yaitu Nuzul dan Al-Qur’an. Kata Nuzul berasal dari bahasa Arab yaitu “Nazala”  yang berarti “meluncurkan dari tempat yang tinggi ke tempat yang rendah”. Nuzul juga berarti “singgah” atau “tiba di tempat tertentu” . Jadi nuzul Al-Qur’an adalah turunya sesuatu dari tempat yang tinggi ke tempat yang rendah.
Terdapat dalam firman Allah SWT Q. S. Al-mu’min ayat 29
@è%ur Éb>§ ÓÍ_ø9ÌRr& Zwu\ãB %Z.u‘$t7B |MRr&ur çŽöyz tû,Î!Í\ßJø9$# ÇËÒÈ
Artinya:
Dan berdoalah: Ya Tuhanku, tempatkanlah Aku pada tempat yang diberkati, dan Engkau adalah sebaik-baik yang memberi tempat.
Sejarah turunya Al-Qur’an mencakup tiga hal yaitu:
1.      Cara Al-Qur’an itu turun di luh mahfuz
Menurut sayati dalam masalah ini terdapat tiga pendapat  yaitu:
·         Al-Qur’an itu diturunkan kelangit dunia pada malam lailatul Qadar , melengkapi dari awal sampai akhir, kemudian Al-Qur’an itu diturunkan secara berangsur-angsur sesudah itu dalam tempo 22 tahun 2 bulan 22 hari.
·         Al-Qur’an itu diturunkan kelangit dunia dalam tempo 20 kali malam lailatul Qadar. Pada tiap-tiap malam di turunkan kelangit dunia sekedar yang dikehendaki oleh Allah SWT dalam tahun itu secara berangsur-angsur.
·         Al-qur’an itu permulaanya turun pada malam lailatul Qadar, kemudian diturunkan sesudah itu secara berangsur-angsur dalam waktu yang berbeda-beda.
2.      Cara Al-Qur’an turun kepada Nabi Muhammad SAW.
 $tBur tb%x. AŽ|³u;Ï9 br& çmyJÏk=s3ムª!$# žwÎ) $·ômur ÷rr& `ÏB Ç!#uur A>$pgÉo ÷rr& Ÿ@Åöãƒ Zwqßu zÓÇrqãsù ¾ÏmÏRøŒÎ*Î/ $tB âä!$t±o 4 ¼çm¯RÎ) ;Í?tã ÒÅ6ym ÇÎÊÈ
Artinya: 
Dan tidak mungkin bagi seorang manusiapun bahwa Allah berkata-kata dengan dia kecuali dengan perantaraan wahyu atau dibelakang tabir atau dengan mengutus seorang utusan (malaikat) lalu diwahyukan kepadanya dengan seizin-Nya apa yang dia kehendaki. Sesungguhnya dia Maha Tinggi lagi Maha Bijaksana.(Q. S. Asy-syura : 51)
            Apabila diperhatikan ayat di atas, ada tiga macam cara Allah berkomunikasi dengan Nabi-Nabinya:
§  Dengan wahyu secara langsung tanpa memakai perantara
§  Dengan wahyu dari balik takbir
§  Dengan mengutus seorang utusan yaitu malaikat Jibril.[1]
B.  Pengertian Tujuh Huruf Menurut Para Ulama
1.    Sebagai tujuh bentuk bahasa yang berbeda lafalnya, tetapi sama maknanya
Al-Tabari, dan jumhur ulama fiqh, dan hadis mengartikan sab’at ahruf sebagai tujuh bentuk bahasa yang berbeda lafalnya, tetapi sama maknanya. Dengan bahasa lain, sab’at ahruf di sini dapat diartikan tujuh bahasa dari bahasa-bahasa Arab tentang lafaz-lafaz tertentu yang berbeda lafaznya tetapi sama maknanya, seperti lafaz halumma, qasdi, ta’al, nahwi, dan aqbil. Meskipun kata-kata tersebut berbeda dalam pelafalan namun maknanya satu, yaitu perintah untuk datang. Ibn Kasir mengutip perkataan al-Tahawi dan yang lainnya, “Bahwasanya adanya tujuh huruf itu adalah sebagai rukhsah (dispensasi) agar orang-orang boleh membaca al-Qur’an dalam tujuh bahasa”. Hal ini berlaku tatkala kebanyakan orang Islam kesulitan untuk membaca dalam bahasa Quraisy dan bacaan Rasulullah, dikarenakan keterbatasan kemampuan yang dimiliki sebagian umat Islam saat itu.
2. Sab’at ahruf sebagai tujuh bentuk (awjuh) perubahan
Pendapat kedua, Ibn Qutaibah menafsirkan sab’at ahruf dengan tujuh bentuk (awjuh) perubahan, yaitu:
a. Perbedaan dalam I’rab atau harakat kalimat tanpa perubahan makna dan bentuk kalimat, misalnya pada firman Allah pada surat An-nisa’ ayat 37 tentang pembacaan “Bil Buhkhli” (artinya kikir), disini dapat dibaca dengan harakat “Fatha” pada huruf Ba’-nya, sehingga dibaca Bil Bakhli, dapat pula dibaca “Dhommah” pada Ba’-nya, sehingga menjadi Bil Bukhli.
b. Perbedaan I’rab dan harakat (baris) kalimat sehingga mengubah maknanya, misalnya pada firman Allah surah Saba’ ayat 19, yang artinya “ Ya Tuhan kami jauhkanlah jarak perjalanan kami “. Kata yang diterjemahkan menjadi jauhkanlah diatas adalah “ba’id karena statusnya fi”il amar, maka boleh juga dibaca ba’ada yang berarti kedudukannya menjadi fi’il mahdhi artinya telah jauh
c. Perbedaan pada perubahan huruf tanpa perubahan I’rab dan bentuk tulisannya, sedangkan maknanya berubah, misalnya pada firman Allah dalam surah Al-Baqarah ayat 259, yang artinya “……dan lihatlah kepada tulang belulang keledai itu, kemudian kami menyusunnya kembali.” Di dalam ayat tersebut terdapat kata “nunsyizuhaa” artinya (kemudian kami menyusun kembali), yang ditulis dengan huruf Zai (ز) diganti dengan huruf ra’ ( ر ) sehingga berubah bunyi menjadi “nunsyiruha” yang berarti (kami hidupkan kembali).
d. Perubahan pada kalimat dengan perubahan pada bentuk tulisannya, tetapi maknanya tidak berubah, misalnya pada firman Allah dalam surah Al-Qoria’ah ayat : 5, yang artinya “……..dan gunung-gunung seperti bulu yang dihamburkan “. Dalam ayat tersebut terdapat bacaan “kal-ih-ni” dengan “ka-ash-shufi” sehingga kata itu yang mulanya bermakna bulu-bulu berubah menjadi bulu-bulu domba.
e. Perbedaan pada kalimat yang menyebabkan perubahan bentuk dan maknanya, misalnya pada ungkapan “thal in mandhud” menjadi “thalhin mandhud”
C. Pemeliharaan Alquran pada masa Nabi.
Pada masa Rasulullah Saw., upaya pemeliharaan Alquran dilakukan dengan dua cara: Penghafalan dan Penulisan.
1. Penghafalan:
Setiap kali Rasulullah menerima wahyu, beliau sendiri langsung menghafalkannya. Setelah itu beliau juga menyampaikan dan membacakannya kepada para sahabat agar mereka ikut meghafalkannya pula. Upaya Rasulullah untuk menghafalkan ayat-ayat yang turun terlihat sangat antusias; bahkan terkesan sangat tergesa-gesa. Indikasi ini dapat dipahami dari teguran Allah terhadap Nabi Muhammad agar tidak tergesa-gesa dalam menerima bacaan ayat-ayat Alquran. Sebagaimana firman-Nya:
… و لا تعجل بالقرآن من قبل أن يقضى إليك وحيه ، و قل رب زدني علمًا
Artinya: Jangan kau tergesa-gesa membaca Alquran sebelum sempurna diwahyukannya kepadamu; dan berdo’alah, “Ya Tuhanku, tambahkanlah ilmu pengetahuan kepadaku” (Q. S. Thaha/20: 114).
Untuk meningkatkan motivasi dan intensitas penghafalan Alquran di kalangan sahabat, Rasulullah Saw. menganjurkan agar Alquran yang sudah dihafal itu dibaca dalam shalat, sehingga hafalan mereka dapat terpelihara. Selain itu, Rasulullah juga sangat menganjurkan membaca Alquran di luar shalat. Hal ini terlihat dari sabda beliau yang menyatakan bahwa pahala bacaan Alquran dihitung berdasarkan jumlah huruf yang diucapkannya. Bahkan setiap huruf dilipatgandakan pahalanya menjadi sepuluh kali lipat. Sebagaimana sabda Rasulullah Saw.:
مَنْ قَرَأَ حَرْفًا مِنْ كِتَابِ اللهِ فَلَهُ حَسَنَــةٌ، وَ الْحَسَنَـةُ بِعَشْرِ أَمْــثَالِهَا، لاَ أَقُوْلُ آلـــم حَرْفٌ، بَلْ أَلِفٌ حَرْفٌ وَ لاَمٌ فَرْفٌ وَ مِيْمٌ حَرْفٌ (رواه الترمذي)
Artinya: Siapa yang membaca satu huruf dari Kitab Allah, maka mendapat pahala satu kebaikan, setiap kebaikan (hasanah) dilipatgandakan menjadi sepuluh. Saya tidak mengatakan lafal alif lām mīm (آلـــم ) itu dihitung satu huruf, akan tetapi alif satu huruf, lām satu huruf, dan mīm satu huruh. (H. R. Al-Turmudzi)
2. Penulisan:
Selain melalui penghafalan, upaya pemeliharaan alquran pada masa ini juga dilakukan dengan cara penulisan. Setiap kali Rasulullah menerima wahyu beliau membacakannya kepada para sahabat, serta mendiktekannya kepada para juru tulis wahyu ( كُتَّاب اْلوَحْيِ ) untuk menulis dan mencatatkannya. Sehingga dikenallah pada saat itu nama-nama penulis wahyu, antara lain: Khulafaur-Rasyidin (Abu Bakar, Umar, Usman dan Ali), Mu’awiyah, Abban bin Sa’id, Khalid bin al-Walid, Ubayy bin Ka’ab, Zaid bin Tsabit, Tsabit bin Qais, Arqam bin Ubayy, Hanzhalah bin ar-Rabi’, dan lain-lainnya.
Para penulis wahyu ini, selain menulis untuk disimpan di rumah Nabi, mereka juga menulis untuk koleksi pribadi yang disimpan di rumah masing-masing. Hal ini mereka lakukan untuk menjaga keterpeliharaan hapalan mereka dari kemungkinan adanya ayat-ayat yang terlupakan.[2]
D. Pemeliharaan Alquran pada masa Khulafaur-Rasyidin
1. Masa Abu Bakar
Pada masa Abu Bakar terjadi perang Yamamah yang menelan banyak korban gugur sebagai syuhada’. Di antara para syuhada’ tersebut termasuklah para huffazh (penghafal Alquran) yang jumlahnya sekitar 70 orang, bahkan menurut suatu riwayat samapai 500 orang. Peristiwa ini menggugah hati Umar bin al-Khaththab untuk mengusulkan kepada Khalifah Abu Bakar agar Alquran ditulis kembali dan dibukukan dalam satu mushaf. Karena dikhawatirkan Alquran akan hilang dengan hilangnya para huffazh. Melalui dialog dan adu argumentasi, akhirnya usulan Umar ini diterima oleh Abu Bakar.
Selanjutnya, Abu Bakar menunjuk Zaid bin Tsabit untuk mengumpulkan dan menulis Alquran dalam satu Mushhaf. Penunjukan ini didasarkan pada kredibilitas Zaid sebagai salah seorang penulis wahyu pada masa Nabi. Lalu Zaid pun bekerje dengan mengumpulkan dan memeriksa ayat-ayat Alquran yang ditulis dihadapan Nabi pada kepingan-kepingan pelepah kurma, batu-batu, dll. yang tersimpan di rumah kediaman Nabi. Sumber lain dalam penulisan ini juga di dapat dari hafalan para sahabat penghafal Alquran.
Demikianlah Zaid bin Tsabit mengerjakan tugas kodifikasi ini yang hasilnya Alquran terkumpul dalam satu Mushaf. Selanjutnya, Mushhaf ini disimpan oleh Abu Bakar sampai akhir hayatnya.
2. Masa Umar bin al-Khatthab
Setelah wafatnya Abu Bakar, Mushaf Alquran disimpan oleh Umar bin al-Khatthab. Pada masa ini tidak terlihat usaha-usaha yang menonjol berkaitan dengan upaya pemeliharaan Alquran. Kemudian setelah Umar wafat, mushaf tersebut disimpan oleh Hafshah binti Umar.
3. Masa Usman
Pada masa pemerintahan Khalifah Usman bin ‘Affan penyebaran Islam semakin meluas ke berbagai daerah. Begitu pula para sahabat ahli qiraat dan penghafal Alquran, mereka berpencar tempat tinggalnya, sejalan dengan terpencarnya kaum muslimin. Setiap sahabat ahli qiraat mengajarkan qiraat Alquran — yang qiraatnya, kadangkala berbeda antara sahabat yang satu dengan yang lain — kepada kaum muslimin di tempat tinggalnya masing-masing. Ubayy bin Ka’ab, umpamanya, mengajarkan qiraat Alquran kepada penduduk Syam; Abdullah Ibnu Mas’ud mengajarkan Alquran kepada penduduk Kufah, Abu Musa Al-Asy’ari mengajarkan qiraat Alquran kepada penduduk Bashrah, dan demikian seterusnya.[3]
2.    Asbab al- Nuzul.
A.    Pengertian Asbabun Nuzul.
Menurut bahasa (etimologi), asbabun nuzul berarti turunnya ayat-ayat al-Qur’an dari kata “asbab” jamak dari “sababa” yang artinya sebab-sebab, nuzul yang artinya turun. Yang dimaksud disini adalah ayat al-Qur’an. asbabun nuzul membahas kasus-kasus yang menjadi turunnya beberapa ayat Al-qur’an
Menurut istilah atau secara terminologi Asbabun nuzul adalah suatu peristiwa yang menyebabkan turunnya ayat-ayat al-Qur’an untuk menerangkan status hukumnya, pada masa hal itu terjadi, baik berupa peristiwa maupun pertanyaan”,
Asbabun nuzul terdapat banyak pengertian, diantaranya :
      1.       Menurut Az-Zarqani
“Asbab an-Nuzul adalah hal khusus atau sesuatu yang terjadi serta hubungan dengan turunnya ayat al-Qur’an yang berfungsi sebagai penjelas hukum pada saat peristiwa itu terjadi”.
      2.       Ash-Shabuni
“Asbab an-Nuzul adalah peristiwa atau kejadian yang menyebabkan turunnya satu atau beberapa ayat mulia yang berhubungan dengan peristiwa dan kejadian tersebut, baik berupa pertanyaan yang diajukan kepada Nabi atau kejadian yang berkaitan dengan urusan agama”.

B.  Cara Mengetahui Riwayat Asbabun Nuzul
Asbabun Nuzul adalah peristiwa yang terjadi pada zaman Rasulullah SAW. Oleh karena itu, tidak boleh ada jalan lain untuk mengetahuinya selain berdasarkan periwayatnya yang benar dari orang-orang yang melihat dan mendengar langsung tentang turunnya ayat Al-Quran.[4]

C.  Metode Penelitian dan Pentarjihan Asbabun Nuzul

          Penelitian dilakukan terhadap riwayat yang mengemukakan asbab an-nuzul, karena banyak riwayat tidak memenuhi syarat keshahihannya.
Apabila asbab an-nuzul suatu ayat diterangkan oleh beberapa riwayat, maka muncul beberapa kemungkinan sebagai berikut:
1.      Kedua riwayat tersebut yang satu shahih dan yang lain tidak.
2.      Kedua riwayat tersebut shahih, tetapi salah satunya ada dalil yang memperkuat dan yang lain tidak.
3.      Kedua riwayat tersebut shahih dan tidak ditemukan dalil yang memperkuatkan salah satunya tetapi dapat dikompromikan.
4.      Kedua riwayat tersebut shahih dan tidak ada dalil yang memperkuatkan salah satunya dan kedua-duanya tidak mungkin dikompromikan.
Untuk menjelaskan permasalahan beberapa riwayat diatas adalah:
1.      Apabila kedua riwayat shahih, yang pertama menyatakan sebab turunnya ayat dengan tegas, sedangkan yang kedua tidak, maka diambil riwayat yang pertama.
2.      Apabila kedua riwayat shahih, salah satunya ditarjihkan, sedangkan yang lain diriwayatkan oleh perawi yang menyaksikan sendiri, maka dipilih riwayat yang lebih rajih (kuat).
3.      Apabila kedua riwayat menerangkan sebab riwayat yang lebih rajih dan yang lebih shahih, sedangkan lain shahih tetapi marjuh (dipandang lebih lemah), maka diambil riwayat yang shahih lagi rajih.
4.      Apabila kedua riwayat shahih dan tidak dapat dikompromikan, maka harus ditetapkan ayat yang berulang kali diturunkan. Berulang kali turun menunjukkan sangat penting dan untuk mempermudah diingat.[5]

D.   Kedudukan Asbabun Nuzul dalam Pemahaman Al-Qur’an

     Asbabun nuzul memiliki kedudukan (fungsi) yang penting dalam memahami/menafsirkan ayat-ayat Al-qur’an, sekurang-kurangnya untuk sejumlah ayat tertentu. Ada beberapa kegunaan yang dapat dipetik dari mengetahui asbabun nuzul, diantaranya:
a.       Mengetahui sisi-sisi positif (hikmah) yang mendorong atas pensyari’atan hukum.
b.      Dalam mengkhususkan hukum bagi siapa yang berpegang dengan kaidah:” bahwasanya ungkapan (teks) Al-Qur’an itu didasarkan atas kekhususan sebab, dan
c.       Kenyataan menunjukkan bahwa adakalanya lafal dalam ayat Al-Qur’an itu bersifat umum, dan terkadang memerlukan pengkhususan yang pengkhususannya itu sendiri justru terletak pada pengetahuan tentang sebab turun ayat itu.[6]


3.    Makki dan Madani
A.    Pengertian Makkiyah dan Madaniyyah
Kata المكي berasal dari مكة dan المدني berasal dari kata مدينة. Kedua kata tersebut telah dimasuki “ي” nisbah sehingga menjadi “المكي” atau المكية dan المدني atau المدنية.
Secara harfiah, المكي atau المكية berarti “yang bersifat Makkah” atau “yang berasal dari Makkah”, sedangkan المدني atau المدنية berarti “yang bersifat Madinah” atau “yang berasal dari Madinah”. Maka ayat atu surah yang turun di Mekah disebut المكية.
Para sarjana muslim mengemukakan tiga perspektif dalam mendefinisikan teminologi Makkiyyah dan Madaniyyah. Ketiga perspektif itu adalah;
a.       Masa turun (زمان النزول)
b.      Tempat turun (مكان النزول)
c.       Objek pembicaraan (مخاطب).
 Dari perspektif masa turun, mereka mendefinisikan secara terminologi diatas sebagai berikut:
المكي: مانزل قبل الهجرة وان كان بغير مكة
والمدني: ما نزل بعد الهجرة وان كان بغير مدينة
 فما نزل بعد الهجرة ولو بمكة او عرفة مدني
Artinya:
“Makkiyyah ialah ayat-ayat yang turun sebelum Rasulullah hijrah ke Madinah, walaupun bukan turun di Mekah, sedangkan Madaniyyah adalah ayat-ayat yang turun sesudah Rasulullah hijrah ke Madinah, walaupun bukan turun di Madinah. Ayat-ayat yang turun setelah peristiwa hijrah disebut Madaniyyah walaupun turun di Mekah atau di Arafah.”[7]
B.  Kalsifikasi Ayat-ayat Makkiyah dan Madaniyah
         Ayat-ayat Makkiyah turun selama 12 tahun 5 bulan dan 13 hari. Tepatnya 17 Ramadhan tahun 41 hinggah awal Rabi’ul Awal tahun 54 dari kelahiran Nabi Muhammad saw. Perbandingan ayat-ayat yang diturunkan di Mekkah berkisar 19/30 dan yang diturunkan di Madinah berkisar 11/30. Al-Qur’an yang berjumlah 114 surah, dimulai dari surah al-fatihah sampai surah an-Nas.
           Agak sulit melacak dan mengidentifikasi secara pasti ayat-ayat Makkiyah dan ayat-ayat Madaniyah karena urutan tertib ayat (tartib ayah) tidak mengikuti kronologi waktu turunnya ayat, tetapi berdasarkan petunjuk Nabi (tawqifi).
Yang terpenting dipelajari para Ulama’ dalam pembahasan ini ialah: 1) Yang diturunkan di Makkah; 2) Yang diturunkan di Madinah; 3) Yang diperselisihkan; 4) Ayat-ayat Madaniyah dalam surat-surat Makkiyah; 5) Ayat-ayat Makkiyah dalam surat-surat Madaniyah; 6) Yang diturunkan di Makkah sedang hukumnya di Madinah; 7) Yang diturunkan di Madinah sedang hukumnya di Makkah; 8) Yang serupa dengan yang diturunkan di Makkah (Makki) dalam kelompok Madani; 9) Yang serupa dengan yang diturunkan di Madinah dalam kelompok Makki; 10) Yang dibawa dari Makkah ke Madinah; 11) Yang dibawa dari Madinah ke Makkah; 12) Yang diturunkan di waktu malam dan di waktu siang; 13) Yang diturun di musim panas dan di musim dingin; 14) yang turun di waktu menetap dan dalam perjalanan.[8]
C.    Ciri-ciri Khusus dan Umum Makkiyah dan Madaniyah
Para Ulama’ merumuskan ciri-ciri umum Makkiyah dan Madaniyah sebagai berikut:
1.      Makkiyah:
a)         Ayat-ayat dan surat-suratnya pendek, nada perkataannya keras dan agak bersajak,
b)        Mengandung seruan pokok-pokok iman kepada Allah Swt, hari akhir dan menggambarkan keadaan surga dan neraka,
c)         Menyeru manusia berperangai mulia dan berjalan lempang di atas kebajikan,
d)        Mendebat orang-orang musyrik dan menerangkan kesalahan-kesalahan pendirian mereka,
e)         Banyak terdapat lafadz sumpah,
2.      Madaniyah:
a)         Menjelaskan permasalahan ibadah, muamalah, hudud, bangunan rumah tangga, warisan, jihad, kehidupan sosial, aturan-aturan pemerintahan menangani perdamaian dan peperangan, serta persoalan-persoalan pembentukan hukum syara’.
b)        Mengkhitobi Ahli Kitab Yahudi dan Nashroni dan mengajaknya masuk islam, juga menguraikan perbuatan mereka yang telah menyimpang dari kitab Allah dan menjauhi kebenaran serta perselisihannya setelah datang kebenaran,
c)         Mengungkap langkah-langkah orang-orang munafik.
d)        Surat dan sebagian ayat-ayatnya panjang-panjang serta menjelaskan hukum dengan terang dan menggunakan uslub yang terang pula.
D. Cara Mengetahui Makki dan Madani
Dalam menentukan kriteria untuk memisahkan mana bagian Al-Qur'an yang Makki atau surat/ayat yang makiyah, dan mana bagian yang madani atau surah/ayat Madaniyah, yaitu dengan menggunakan teori-teori sebagai berikut:

a. Teori Mulahazhatu Makani Nuzuli (teori geografis)

Yaitu teori yang berorientasi pada tempat turun Al-Qur'an atau tempat turun ayat.

b. Teori Mulaahazhatul Mukhaathabiina Fin Nuzuli (teori Subjektif)

Yaitu teori yang berorientasi pada subjek siapa yang dikhitab/dipanggil dalam ayat. Jika subyeknya orang-orang Makkah maka ayatnya dinamakan Makiyah. Dan jika subyeknya orang-orang Madinah maka ayatnya disebut Madaniyah.

c. Teori Mulahazhatu Zamaanin Nuzuli (teori historis)

Yaitu teori yang berorientasi pada sejarah waktu turunnya Al-Qur'an yang dijadikan tonggak sejarah oleh teori ini adalah hijrah Nabi Muhammad SAW dari Makkah ke Madinah.

d. Teori Mulahazhatu ma Tadammanat As-Suuratu (teori content analysis)

Yaitu suatu teori yang mendasarkan kriterianya dalam membedakan Makkiyah dan Madaniyah kepada isi daripada ayat/surah yang bersangkutan.[9]


4.    Munasabah

A.  Pengertian Munasabah
Munasabah berasal dari kata ناسب يناسب مناسبة yang berarti dekat, serupa, mirip, dan rapat. المناسبة sama artinya dengan المقاربة yakni mendekatkannya dan menyesuaikannya.; النسيب artinya القريب المتصل (dekat dan berkaitan). Misalnya, dua orang bersaudara dan anak paman. Ini terwujud apabila kedua-duanya saling berdekatan dalam artian ada ikatan atau hubungan antara kedua-duanya. An-Nasib juga berarti Ar-Rabith, yakni ikatan, pertalian, hubungan.
B.  Macam-macam Munasabah
Pada garis besarnya munasabah itu menyangkut pada dua hal, yaitu hubungan antara ayat dengan dan hubungan surat dengan surat.
            Dua pokok hubungan itu di perincian sebagai berikut.
-   Hubungan ayat dengan ayat meliputi :
1)      Hubungan kalimat dengan kalimat dalam ayat.
2)      Hubungan ayat dengan ayat dalam satu surat.
3)      Hubungan penutup ayat dengan kandungan ayatnya.
-      Hubungan surat dengan surat meliputi:
1)      Hubungan awal uraian dengan ahir uraian surat.
2)      Hubungan nama surat dengan tujuan turunnya.
3)      Hubungan surat dengan surat sebelumnya.
4)      Hubungan penutup surat terdahulu dengan awal surat berikutnya.[10]

C.  Peranan Munasabah dalam Penafsiran Alquran

Ada empat fungsi utama dari Ilmu Al-Munasabah
1.      Untuk menemukan arti yang tersirat dalam susunan dan urutan kalimat-kalimat, ayat-ayat, dan surah-surah dalam Al-Quran.
2.      Untuk menjadikan bagian-bagian dalam Al-Quran saling berhubungan sehingga tampak menjadi satu rangkaian yang utuh dan integral.
3.      Ada ayat baru dapat dipahami apabila melihat ayat berikutnya.
4.      Untuk menjawab kritikan orang luar (orientalis) terhadap sistematika Al-Quran.[11]


5.     I’ Jaz Al- Quran
A.    Pengertian Mukjizat
secara bahasa, mu’jizat juga berasal dari kata a’jaza yu’jizu i’jazan, yang artinya melemahkan atau menjadikan tidak mampu. Sedangkan secara istilah, mu’jizat dapat didefinisikan sebagai “suatu kejadian yang keluar dari kebiasaan, disertai dengan unsur tantangan, dan tidak akan dapat ditandingi.
B.     Syarat- syarat Mu’jizat
 Syarat-Syarat Mukjizat
1.        Suatu yang luar dari yang dibiasakan manusia mengenai sunnah alam dan kenyataan yang terjadi.
2.        Disertai oleh penghadangan atau tantangan dari orang yang mendustakan atau ragu-ragu terhadapnya.
3.        Sesuatu  urusan yang tidak punya penghadangan, lalu ada kesempatan bagi seseorang untuk menentangnya dan dia lakukan saingannya, maka ia tidak dinamakan mukjizat.

C.    Tujuan dan Peranan Mu’jizat

Mukjizat bertujuan sebagai bukti kebenaran para nabi. Keluarbiasaan yang tampak atau terjadi melalui mereka itu diibaratkan sebagai ucapan Tuhan: ”Apa yang dinyatakan sang Nabi adalah benar. Dia adalah utusan-Ku, dan buktinya adalah Aku melakukan mukjizat itu.”
Mukjizat, walaupun dari segi bahasa berarti melemahkan sebagaimana dikemukakan di atas, namun dari segi agama, ia sama sekali tidak dimaksudkan untuk melemahkan atau membuktikan ketidakmampuan yang ditantang. Mukjizat ditampilkan oleh Tuhan melalui hamba-hamba pilihan-Nya untuk membuktikan kebenaran ajaran Ilahi yang dibawa oleh masing-masing nabi. Jika demikian halnya, maka ini paling tidak mengandung dua konsekuensi.
Pertama, bagi yang telah percaya kepada nabi, maka ia tidak lagi membutuhkan mukjizat. la tidak lagi ditantang untuk melakukan hal yang sama. Mukjizat yang dilihat atau dialaminya hanya berfungsi memperkuat keimanan, serta menambah keyakinannya akan kekuasaan Allah SWT.
Kedua, para nabi sejak Adam a.s. hingga Isa a.s. diutus untuk suatu kurun tertentu serta masyarakat tertentu. Tantangan yang mereka kemukakan sebagai mukjizat pasti tidak dapat dilakukan oleh umatnya. Namun apakah ini berarti peristiwa luar biasa yang terjadi melalui mereka itu tidak dapat dilakukan oleh selain umat mereka pada generasi sesudah generasi mereka? Jika tujuan mukjizat hanya untuk meyakinkan umat setiap nabi, maka boleh jadi umat yang lain dapat melakukannya. Kemungkinan ini lebih terbuka bagi mereka yang berpendapat bahwa mukjizat pada hakikatnya berada dalam jangkauan hukum-hukum (Allah yang berlaku di) alam. Namun, ketika hal itu terjadi, hukum-hukum tersebut belum lagi diketahui oleh masyrakat nabi yang bersangkutan.

D.    Pembagian Mu’jizat

1.  Berbentuk hissiyah atau dapat diraba
Umpamanya: Mukjizat para Nabi seperti ke luar unta Nabi Saleh dari dalam batu, tongkat Nabi Musa jadi ular yang sebenarnya, menyembuhkan orang sakit canggu dan belang kulit oleh Nabi Isa bin (putera) Maryam.
2.  Berbentuk ‘aqliyah atau mengenai akal
Umpamanya: Al-Quran dan mukjizat Rasul SAW yang tetap ada.
Secara garis besar mukjizat dapat dibagi dalam dua bagian pokok, yaitu mukjizat yang bersifat ma terial indrawi lagi tidak kekal dan mukjizat imaterial, logis, lagi dapat dibuktikan sepanjang masa. Mukjizat nabi-nabi terdahulu kesemuanya merupakan jenis pertama. Mukjizat mereka bersifat material dan indrawi dalam arti keluarbiasaan tersebut dapat disaksikan atau dijangkau langsung lewat indra oleh masyarakat tempat nabi tersebut menyampaikan risalahnya.[12]
E.     Bil Al- sharfah
Dalam sejarah Islam dikenal adanya kaum Mu’tazilah  yang didirikan oleh Washil Ibn Atha, th.80 H.  Sebagian Ulama nya seperti Abu Ishaq Ibrahim bin Sayyar al-Nazam berpendapat bahwa kemukjizatan Al-Qur’an itu bukan terletak pada faktor kebahasaan, pemberitaan  atau isyarat-isyarat keilmuan, tetapi justru karena Allah S.W.T.  mengalihkan perhatian bangsa Arab agar tidak menandingi Al-Qur’an . Padahal mereka mampu untuk melakukannya. Inilah yang dalam istilah mereka disebut sebagai sharfah .   Dengan demikian kemukjizatan Al-Qur’an  bukan karena Al-Qur’an sendiri tetapi  karena factor lain diluar Al-Qur’an yang menjaga ketat Al-Qur’an sehingga bangsa Arab tidak dapat melakukan rivalitas terhadapnya, walaupun pada dasarnya mereka mampu melakukannya. Pernyataan itu rupanya didasarkan pada kesimpulan logika bahwa orang yang mampu menyusun satu atau dua kalimat yang baik, niscaya akan mampu menyusun lebih banyak lagi dari itu.
Demikian juga Abu Hasan ‘Ali ibn Isa al-Rumani, yang juga tokoh besar Mutazilah melihat lebih  jauh lagi yakni bahwa Allah S.W.T. mengalihkan perhatian manusia  sehingga mereka tidak mempunyai keinginan menyusun suatu karya untuk menandingi Al-Qur’an ; dan membuat orang tidak tertarik melakukan rivalitas terhadap Kitab Suci ini.
F.     Sisi Kemu’jizatan Al-Quran
Yang dimaksud segi-segi I’jazil Qur’an ialah hal-hal yang ada pada al-Quran yang menunjukkan bahwa kitab itu adalah benar-benar wahyu Allah SWT, dan ketidakmampuan jin dan manusia untuk membikin hal-hal yang sama seperti yang ada
pada al-Quran.
Untuk menentukan segi-segi I'jazil Qur'an, para ulama berbeda pandangan, antara lain:
a.  Syekh Abu Bakar Al-Baqillany (wafat 403 H.) dalam kitab I'jazil Qur'an mengatakan: Alquran menjadi mukjizat itu karena 3 segi kemukjizatan, sebagai berikut:
1.  Di dalam Alquran itu ada cerita mengenai hal-hal yang ghaib.
2.  Di dalam Alquran itu ada cerita umat dahulu beserta para Nabinya, padahal Rasulullah SAW adalah seorang ummi.
3.  Di dalam Alquran terdapat susunan indah yang terdiri dari 10 segi: Ijaz, tasybih, isti'arah, talaum, jawashil, tajamus, tasyrif, tadhmin, mubalaghah, dan husnul bayan.
b. Al-Qadhi lyad Al-Basty dalam buku Asy-Syifa'u bi Ta'rifi Huquqil Mushthafa mengatakan: Segi-segi kemukjizatan Alquran itu 4 hal, sebagai berikut:
1.  Susunannya yang indah.
2.  Uslubnya yang lain dari pada yang lain
3.  Adanya berita-berita ghaib yang belum terjadi, tetapi lalu betul-betul terjadi.
4.  Adanya berita-berita ghaib masa lalu dan syariat-syariat dahulu yang jelas dan benar.[13]






6.      Al- Nasakh Fil Al Quran
A.    Pengertian Nasakh
Dari segi bahasa nasakh mempunyai arti yang bermacam-macam. Di antara artinya ialah menghapus (izalat). Nasakh juga berarti menukar (tabdil), mengubah (tahwil) dan juga berarti memindahkan (al-naql), dan juga berarti menghapus.
Menurut istilah naskh ialah “mengangkat (menghapuskan) hukum Syara’ dengan dalil hukum syara’ yang lain.” Di sebutkan kata “hukum” di sini, menunjukkan bahwa prinsip “segala sesuatu hukum asalnya boleh” tidak termasuk yang di nasakh. Kata-kata dengan dalil hukum syara’” mengecualikan pengangkatan (penghapusan) hukum yang disebabkan kematian atau gila, atau penghapusan dengan ijma’ atau qias.

B.     Macam-macam Nasakh
Al-Qur’an membagi naskh menjadi tiga macam:
1. Naskh hukum, tanpa naskh tilawah: Al-Qur’an telah memberikan penjelasan tentang hal ini dan naskh seperti ini telah dikenal baik oleh semua ulama dan para mufasir, yang mana masuk akal dan dapat diterima. Karena sesungguhnya hukum-hukum syar’i tidak diturunkan secara langsung sekaligus, namun bertahap, supaya umat terbiasa dengannya dan akal-akal memahaminya. Secara bertahap hukum-hukum yang pernah turun sebelumnya digantikan dengan hukum-hukum yang baru; namun lafadz-lafadz (ayat-ayat) hukum yang lama itu tetap ada karena mengandung rahasia Tuhan yang mendidik dan bermanfaat yang mana hanya Tuhan yang lebih tahu tentang alasannya.
2. Naskh tilawah, tanpa naskh hukum: dalam hal ini, mereka membawakan contoh ayat rajam yang telah dibahas sebelumnya, yang mana ayatnya telah dihapus, namun hukumnya tetap ada sampai sekarang.
3. Naskh tilawah dan hukum: dalam hal ini mereka membawakan ayat radha’ sebagai contohnya.
C. Pembagian Alnasakh ( dari segi bacaan dan Hukum )
Dilihat dari segi bacaan dan hukumnya, mayoritas ulama membagi nasikh kepada tiga macam yaitu:
1.    Penghapusan terhadap hukum (hukm) dan bacaan (tilawah) secara bersamaan. Ayat-ayat yang terbilang kategori ini tidak dibenarkan dibaca dan tidak dibenarkan diamalkan.
2.    Penghapusan terhadap hukumnya saja, sedangkan bacaannya tetap ada. Contohnya, ajakan para penyembah berhala dari kalangan musyrikin kepada umat lslam untuk saling bergantian dalam beribadah, telah dihapus oleh ketentuan ayat qital (peperangan). Akan tetapi, bunyi teksnya masih dapat kita temukan dalam surat Al-Kafirun ayat 6:
Artinya:  Untukmu agamamu, dan untukkulah, agamaku."
3.    Penghapusan terhadap bacaannya saja, sedangkan hukumnya tetap berlaku. contoh kategori ini biasanya diambil dari ayat rajam. Mula-mula ayat rajam ini terbilang ayat Al-Quran. Ayat yang dinyatakan mansukh bacaannya, sementara hukumnya telap berlaku itu adalah:
Artinya: “Jika seorang pria tua dan wanita tua berzina, maka rajamlah keduanya...”
Adapun dari sisi otoritas mana yang lebih berhak menghapus sebuah nash, para ulama membagi nasikh ke dalam empat macam:
1.    Nasikh Al-Quran dengan Al-Quran
2.    Nasikh Al-Quran dengan As-sunnah.
3.    Nasikh As-Sunnah dengan Al-Quran.
4.    Naskh As-Sunnah dengan As-Sunnah

D.  Pembagian Al-nasakh ( dari segi nash yang dinasaki dan menasaki )

Berdasarkan kejelasan dan cakupannya, nasikh dalam Al-quran dibagi menjadi empat macam yaitu:
1.    Nasikh sharih, yaitu ayat yang secara jelas menghapus hukum yang terdapat pada ayat terdahulu. Misalnya ayat tentang perang (qital) pada ayat 65 surat Al-Anfal yang mengharuskan satu orang muslim melawan sepuluh kafir:
2. Nasikh dhimmy, yaitu jika terdapat dua nasikh yang saling bertentangan dan tidak dikompromikan, dan keduanya turun untuk sebuah masalah yang sama, serta kedua-keduanya diketahui waktu turunnya, ayat yang datang kemudian menghapus ayat yang terdahulu. Contohnya, ketetapan Allah yang mewajibkan berwasiat bagi orang-orang yang akan mati yang terdapat dalam surat Al-Baqarah 180:
3.  Nasikh kully, yaitu menghapus hukum yang sebelumnya secara keseluruhan. Contohnya, ketentuan 'iddah empat bulan sepuluh hari pada surat Al-Baqarah ayat 234.
4.    Nasikh juz'iy, yaitu menghapus hukum umum yang berlaku bagi semua individu dengan hukum yang hanya berlaku bagi sebagian individu, atau menghapus hukum yang bersifat muthlaq dengan hukum yang muqayyad. Contohnya, hukum dera 80 kali bagi orang yang menuduh seorang wanita.

E.  Pendapat Ulama tentang Nasakh
Abdul Wahab al-Khallaf berpendapat bahwa memang terdapat Nasikh sebelum Rasulullah saw wafat. Namun setelah wafat, tidak ada lagi Nasikh itu. Suyuti lebih jauh merinci ayat-ayat naskh dan macam-macam naskh. Muhammad bin Abdullah az-Zarkasiy dan az-Zarqaniy, cenderung menolak nasikh. Sedangkan jumhur ulama menyetujui adanya naskh termasuk imam Syafi’i dan imam-imam yang lain.
Para ulama berbeda pendapat mengenai me-Nasikh al-Quran dengan sesama al-Quran, hal ada tiga, sebagaimana keterangan di masa atas, apalagi dengan persoalan me-Nasikh al-Quran dengan al-Hadis. Kebanyakan ulama atau yang umum dikenal dengan sebutan Jumhur, berpendirian bahwa me-Nasikh sebagian ayat al-Quran dengan sebagian yang lain hukumnya boleh bahkan diantara mereka ada yang tidak keberatan untuk menasakh al-Quran dengan al-Hadis.[14]
Selain alasan-alasan tersebut, mereka berpendapat bahwa dalam al-Quran, secara implisit, memang mengandung konsep nasikh. Oleh karena itu, jika seorang ingin menafsirkan al-Quran, maka ia harus terlebih dahulu mengetahui tentang nasikh dan mansukh.

7.    Isra’iliyat
A.    Pengertian Isra’iliyat
Israiliyat adalah kabar-kabar yang kebanyakannya dinukilkan dari orang-orang Yahudi Bani Israil dan sebagian kecil berasal dari orang-orang Nashara.
B.       Faktor-faktor Penyebab Masuknya Israiliyyat
Ada beberapa faktor yang menyebabkan masuknya israiliyyat dalam tafsir yaitu:[9] Pertama, perbedaan metodologi antara al-Qur'an, Taurat dan Injil. Al-Qur'an dalam global dan ringkasan titik tekannya adalah memberikan petunjuk jalan yang benar bagi manusia, sedangkan Taurat dan Injil mengemukakan secara terinci, perihal, waktu dan tempatnya. Ketika menginginkan pengetahuan secara lebih teperinci tentang kisah-kisah umat Islam bertanya kepada kelompok Yahudi dan Nasrani yang dianggap lebih.
Kedua, rendahnya kebudayaan masyarakat Arab karena kehidupan mereka yang kurang banyak yang pandai dalam hal tulis menulis (ummi). Meskipun pada umumnya ahli Kitab juga selalu berpindah-pindah, tetapi pengetahuan mereka tentang sejarah masa lampau lebih luas.
Ketiga, ada justifikasi dari dalil-dalil naqlilah yang difahami masyarakat Arab sebagai pembenaran bagi mereka untuk bertanya pada ahli Kitab.
Keempat, adalah heterogenitas penduduk. Menjelang masa kenabian Muhammad saw jazirah Arab dihuni juga oleh kelompok Yahudi dan Nasrani.
C.    Tokoh-tokoh Isra’illiyat
Kisah-kisah Israiliyat dalam tafsir Alqur’an,berkembangnya tidak terlepas dari adanya tokoh-tokoh Yahudi dan Nashrani yang sudah masuk Islam, seperti Abdullah bin Salam, Ka’ab Al-Akhbari, Wahab bin Munabbih, dan Abdul Malik bin Al-Aziz bin Juraij ( Ibnu Juraij).

D.    Perkembangan Isra’iliyat pada Masa Sahabat dan Tabi’in
Pada era shahabat inilah israiliyvat mulai berkembang dan tumbuh subur. Hanya saja dalam menerima riwayat dan kaum Yahudi dan Nashrani pada umumnya mereka amat ketat. Mereka hanya membatasi kisah-kisah dalam al-Qur'an secara global dan Nabi sendiri tidak
menerangkan kepada mereka kisah-kisah tersebut. Disampng itu mereka terkenal sebagai orang-orang yang konsekuen dan konsesten pada ajaran yang diteima dari Rasulullah saw, sehingga jika mereka menjumpai kisahkisah israiliyyat yang bertentangan dengan syari'at Islam, mereka menentangnya. Dan apabila kisah-kisah itu diperselisihan mereka
menangguhkannya. adz-Dzahabi mengatakan keterlibatan para sahabat dalam meriwayatkan israiliyyat tidak berlebih-lebihan dan dalam batas kewajaran.
 Pada era tabi'in, penukilan dari ahli Kitab semakin meluas dan cerita-cerita israiliyyat dalam tafsir semakin berkembang. Sumber cerita ini adalah orang-orang yang masuk Islam dari kalangan ahli Kitab yang jumlahnya cukup banyak dan ditunjang oleh keinginan yang kuat dari orang-orang untuk mendengar kisah-kisah yang ajaib dalam kitab mereka. Oleh karenanya pada masa tersebut muncul sekelompok mufassir yang ingin mengisi kekosongan pada tafsir, yang menurut mereka dengan memasukan kisah-kisah yang bersumber pada orang-orang yang Yahudi dan Nasrani. sehingga karenanya tafsir-tafsir tersebut menjadi simpang siur dan bahkan kadang-kadang mendekati takhayul dan khurafat. Diantaranya adalah Muqatil bin Sulaiman. Pada era ini pula banyak hadits-hadits palsu, kedustaan dan kebohongan yang disandarkan kepada Rasulullah saw tersebar.[15]
Sikap selektef dalam periwayatan menjadi hilang. Banyak periwayatan yang tidak melalui jalur "kode etik metodologi penelitian" ilmu hadits dengan tidak menuliskan sanadnya secara lengkap. Setelah era tabi'in tumbuh kecintaan yang luar biasa terhadap cerita
israiliyyat dan diambil secara ceroboh, sehinga setiap cerita tersebut tidak lagi ada yang ditolak.
Mereka tidak lagi mengambil cerita tersebut kepada al-Qur'an, walaupun tidak imengerti oleh akal. Mereka menganggap tidak perlu membuang cerita-cerita dan kisah-kisah yang tidak dibenarkan untuk menafsirkan al-Qur'an.

8.      Qishas al-Qur’an
A.    Pengertian Qishas Al-Qur’an
 Kata Qashash juga berasal dari bahasa Arab yang merupakan bentuk jamak dari kata Qishash yang berarti tatabbu al-atsar (napak tilas/mengulang kembali masa lalu). Arti ini diperoleh dari uraian Al-Qur’an pada surat Al-Kahfi ayat 64.
      Secara Etimologi al-qashash juga berarti urusan (al-amr), berita (khabar), dan keadaan (hal). Dalam bahasa Indonesia, kata itu di terjemahkan dengan kisah yang berarti kejadian (riwayat, dan sebagainya)
     
B.     Macam-macam Qishas Al-Qur’an
Manna’ Al-Qaththan, membagi qashash (kisah-kisah) Al-Qur’an dalam tiga bagian, yaitu:
d.      Kisah para Nabi terdahulu.
e.       Kisah yang berhubungan dengan kejadian pada masa lalu dan orang-orang yang tidak di sebutkan kenabiannya.
f.       Kisah-kisah yang terjadi pada masa Rasulullah.

       Di lihat dari panjang pendeknya, kisah-kisah Al-Qur’an dapat dibagi dalam tiga bagian:
d.      Kisah panjang, contohnya kisah Nabi Yusuf dalam surat Yusuf (12).
e.       Kisah yang lebih pendek dari bagian yang pertama, seperti kisah Maryam dalam surat Maryam (19).
f.       Kisah pendek, yaitu kisah yang jumlahnya kurang dari sepuluh ayat, misalnya kisah Nabi Hud dan Nabi Luth dalam surat Al-A’raf (7).

C. Perulangan Kisah dan Hikmahnya
       Al-Qur’an banyak mengandung kisah yang pengungkapannya diulang-ulang di beberapa tempat. Berikut ini dikemukakan contoh pengulangan itu:
a.       Kisah Iblis tidak mau tunduk kepada Adam: surat Al-Baqarah (2) ayat 34, surat Al-A’raf (7) ayat 11:, surat Al-Kahfi (18) ayat 50, surat Thaha (20) ayat 116, surat Shad (38) ayat 74.
b.      Kisah kaum Nabi Luth yang melakukan perbuatan homoseks: surat Al-A’raf (7) ayat 80, 81: surat Hud (11) ayat 78: surat An-Naml (27) ayat 54-55: surat Al-Ankabut (29) ayat 29.
c.       Kisah istri Nabi Luth yang dibinasakan: surat Al-A’raf (7) ayat 83; surat Hud (11) ayat 81; surat Al-Hijr (15) ayat 60; surat Asy-Syura (26) ayat 171; surat An-Naml (27) : 57.

Dalam hal ini, Manna Al-Qaththan menjelaskan hikmah pengulangan kisah-kisah Al-Qur’an sebagai berikut:
v  Menjelaskan ketinggian kualitas Al-Qur’an.
v  Memberikan perhatian yang besar terhadap kisah untuk menguatkan kesan dalam jiwa.
v  Menunjukkan kehebatan mukjizat Al-Qur’an.
v  Memperlihatkan adanya perbedaan tujuan diungkapkannya kisah tersebut.
   
D. Tujuan Dan Faedah
a.       Mejelaskan dasar-dasar dakwah agama Allah dan menerangkan pokok-pokok syariat yang di sampaikan para Nabi.
b.      Memantapkan hati Rasulullah SAW. Dan umatnya dalam mengamalkan Agama Allah (Islam) dan menguatkan kepercayaan umat mukmin tentang akan datangnya pertolongan Allah dan kehancuran orang-orang yang sesat.
c.       Mengabadikan usaha-usaha para Nabi dan peringatan bahwa pada Nabi yang terdahulu adalah benar.
d.      Menampakkan kebenaran Nabi Muhammad SAW. Dalam dakwahnya, degan tepat beliau menerangkan keadaan umat-umat terdahulu.
e.       Menyingkap kebohongan-kebohongan ahli kitab yag telah menyembunyikan isi kitab mereka yang murni dan mengoreksi pendapat mereka.
f.       Menanamkan akhlakul karimah dan budi yang mulia.
g.      Menarik perhatian para pendengar yang di berikan pelajaran kepada mereka.[16]


9.    Aqsam Al-Quran
A.  Pengertian Aqsamul Qur’an
Secara etimologi kata Aqsama merupakan bentuk jamak dari Qasama yang artinya sumpah. Adapun kata yang memiliki makna sama dengan  kataqasama adalah yamin atau al-half. Tentang yamin, Ibrahim Anis dkk seperti yang dikutip oleh Hasan Mansur Nasution  mengatakan bahwa qasam sama dengan yamin yang bermakna sumpah. Qasam dan yamin adalah dua kata sinonim yang berarti sama. Qasam didefinisikan sebagai “mengikat hati jiwa (hati) agar tidak melakukan atau melakukan sesuatu, dengan suatu makna yang dipandang besar, agung, baik secara hakiki maupun secara I’tiqadi, oleh orang yang bersumpah itu. Sedangkan secara terminologi ilmu Aqsamul Qur’an adalah ilmu yang membicarakan tentang sumpah-sumpah yang terdapat dalam al-Qur’an.Kemudian yang dimaksud sumpah sendiri adalah sesuatu yang digunakan untuk menguatkan pembicaraan.

B.  Al Muqasam Bih Dalam Al-Qur’an 
Muqsam bih adaah lafad yang terletak sesudah adat qasam yang dijadikan sebagai sandaran dalam bersumpah yang juga disebut sebagai syarat. Muqsam bih atau mahluf bih maksudnya adalah sesuatu yang dengannya sumpah dilakukan.Misalnya Allah bersumpah dengan Allah sendiri atau dengan sebagian makhluk-Nya.
Allah dalam al-Qur’an bersumpah dengan Zatnya sendiri Yang Maha Suci atau dengan tanda-tanda kekuasaan-Nya Yang Maha Besar.
Contoh Allah bersumpah dengan dzatnya sendiri:

 zNtãytûïÏ%©!$#(#ÿrãxÿx.br&`©9(#qèVyèö7ãƒ@è%4n?t/În1uur£`èVyèö6çGs9§NèO¨bàs¬7t^çGs9$yJÎ/÷Läêù=ÏHxå4y7ÏsŒur’n?tã«!$#׎Å¡o„ÇÐÈ
Artinya: ”Katakanlah: “Memang, demi Tuhanku benar-benar engkau akan dibangkitkan, kemudian akan diberitakan kepadamu apa yang telah kamu kerjakan”
Allah bersumpah dengan makhluk-Nya, karena makhluk itu menunjukkan pada Pencipta-Nya, yaitu Allah di samping menunjukkan pula akan keutamaan dan kemanfaatan makluk tersebut, agar dijadikan pelajaran bagi manusia.
C. Al- Muqsam ‘Alaih dalam Al-Quran
Muqsam ‘alaih adalah bentuk jawaban dari syarat yang telah disebutkan sebelumnya (muqsam bih). Posisi Muqsam ‘alaih terkadang bisa menjadi taukid, sebagai jawaban qasam. Karena yang dikehendaki dengan qasam adalah untuk mentaukidimuqsam ‘alaih dan mentahkikannya.
Jawab qasam itu pada umumnya disebutkan.namun terkadang ada juga yang dihilangkan, sebagaimana jawab “lau” (jika) sering dibuang, seperti firman Allah:

žxx.öqs9tbqßJn=÷ès?zNù=ÏæÈûüÉ)uø9$#ÇÎÈ
Artinya: ”Janganlah begitu, jika kamu mengetahui dengan pengetahuan yang yakin”.
Penghilangan seperti ini merupakan bentuk/uslub penghilangan yang paling baik, sebab menunjukkan kebesaran dan keagungan-Nya. Dan takdir ayat ini adalah: “Seandainya kamu mengetahui apa yang akan kamu hadapi secara yakin, tentulah kamu akan melakukan kebaikan yang tidak terlukiskan banyaknya”.

D.Macam-macam Al Qasam

Qasam itu adakalanya zahir (jelas,tegas) dan adakalanya mudmar (tidak jelas, tersirat).
1.    Zahir adalah sumpah yang didalamnya disebutkan fi’il qasam dan muqsam bih. Dan diantaranya ada yang dihilangkan fi’il qasamnya, sebagaimana pada umumnya, karena dicukupkan dengan huruf jar, berupa “ba”, “wawu”, dan “ta”.
2.    Mudmar adalah sumpah yang didalamnya tidak dijelaskan fi’il qasam dan tidak pula muqsam bih, tetapi ia ditunjukkan oleh lam taukid yang masuk kedalam jawab qasam.

E.     Faedah Qasam Dalam al-Qur’an.
Bahasa arab mempunyai keistimewaan tersendiri berupa kelembutan ungkapan dan beraneka ragam uslubnya sesuai dengan berbagai tujuannya. Lawan bicara (mukhatab) mempunyai beberapa keadaan yang dalam ilmu ma’ani disebut adrubul khabaras-salasah atau tiga macam pola penggunaan kalkimat berita, ibtida’i, thalabi, dan ingkari. 
Mukhatab terkadang seorang yang berhati kosong (khaliyuz zhanni) sama saekali tidak mempunyai persepsi akan pernyataan (hukum) yang diterangkan kepadanya, maka perkataan yang disampaikan kepadanya tidak perlu memakai penguat (ta’kid). Penggunaan perkataan demikian dinamakan ibtida’i.
Terkadang pula ia ragu-ragu terhadap kebenaran pernyataan yang disampaikan kepadanya. Maka perkataan untuk orang semacam ini sebaiknya diperkuat dengan suatu penguat guna menghilangkan keraguannya.Perkataan yang demikian dinamakan thalabi.
Dan terkadang ia inkar atau menolak isi pernyataan. Maka pembicaraan untuknya harus disertai penguat sesuai dengan kadar keingkarannya, kuat atau lemah. Pernyataan demikian dinamakan inkari.
Qasam merupakan salah satu penguat perkataan yang masyhur untuk memantapkan dan memperkuat kebenaran sesuatu di dalam jiwa.al-Qur’an diturunkan untuk seluruh manusia dan manusia mempunyai sikap yang bermacam-macam terhadapnya. Di antaranya ada yang meragukan, ada yang mengingkari dan ada pula yang amat memusuhi. Karena itu dipakailah qasam dalam kalamullah guna menghilangkan keraguan, melenyapkan kesalahpahaman, menegakkan hujjah, menguatkan khabar, dan menetapkan hukum dengan cara yang paling sempurna.[17]

10.  Sebab-sebab Pokok Kekeliruan Menafsirkan Al-Quran

A.    Syarat-syarat Mufassir
            Untuk menafsirkan al-Qur’an, seseorang harus memenuhi beberapa kreteria diantaranya:
1. Beraqidah shahihah,
2. Tidak dengan hawa nafsu semata,
3. Menafsirkan dahulu al-Qur’an dengan al-Qur’an,
4. Mencari penafsiran dari sunnah,
5. Faham bahasa arab dan perangkat-perangkatnya,
6.Faham dengan pokok-pokok ilmu yang ada hubungannya dengan al-Qur’an seperti ilmu nahwu (grammer), al-Isytiqoq (pecahan atau perubahan dari suatu kata ke kata yang lainnya), al-ma’ani, al-bayan, al-badi’, ilmu qiroat (macam-macam bacaan dalam al-Qur’an), aqidah shaihah, ushul fiqh, asbabunnuzul, kisah-kisah dalam islam, mengetahui nasikh wal mansukh, fiqh, hadits, dan lainnya yang dibutuhkan dalam menafsirkan.
7. Mempunyai pengetahuan pokok-pokok ilmu yang berhubungan dengan Al-Qur’an.

B.     Sebab Sebab Terjadi Penyimpangan dalam Penafsiran Al Quran

            Banyak faktor yang menyebabkan mereka berani untuk melakukan penyelewengan terhadap tafsir al Quran, diantaranya:
1) Kecenderungan mufassir terhadap makna yang diyakininya tanpa melihat petunjuk dan penjelasan yang terkandung dalam lafadz-lafadz al Quran tersebut.
2) Kecenderungan mufassir untuk semata-mata memperhatikan lafadz dan maknanya yang bisa difahanu oleh penutur bahada Arab, tanpa memperhatikan apa yang sebenarnya dikehendaki oleh yang berbicara dengan al Quran tersebut, yang dibicarakan olehnya dan siyak (konteks) kalimatnya.
3) Adanya ambisi besar dari din individu untuk melakukan penyelewengan tafsir tanpa memperhatika apa yang akan terjadi di kemudian hari.
4) Adanya dorongan dari madzhab atau aliran dengan bermaksud untuk menyembunyian menyembunyikan kerancuan pemikiran mereka dan menonjolkan pemikiran aliran atau madzahbnya sendiri.

Penyebab pokok kekeliruan penafsiran Al-quran dapat ditinjau dari tiga segi, yaitu:

a. Dari segi Mufassir (pelakunya):
1. Subyektifitas si Mufassir yang bermula dari perbedaan kemampuan, orientasi, sistem berfikir, keyakinan atas kebenaran pendapat atau madzhab yang di anutnya, kepentingan dan keinginannya.
2. Tidak menguasi ilmu alat, seperti nahwu, shorof, dan lain-lain.
Contoh: kekeliruan orientasi menafsirkan QS.Maryam (19): 19
“Ia (Jibril) berkata: sesungguhnya aku ini hanyalah seorang utusan Tuhan-Mu, untuk memeberimu seorang anak laki-laki yang suci.”

b. Dari segi materi ( sasarannya):
1. Kurang memperhatikan siapa yang menjadi Mukhattab ayat, untuk ini perlu diperhatikan ayat-ayat sebelumnya.
2. Tidak memperhatikan siapa yang mutakallim yang dibicarakan ayat. Contoh Q.S Yusuf ayat 28.
     Maka tatkala suami wanita itu melihat baju gamis Yusuf koyak di belakang berkatalah dia: "Sesungguhnya (kejadian) itu adalah diantara tipu daya kamu, Sesungguhnya tipu daya kamu adalah besar."
3. Mendahulukan yang mutlaq dari yang muqoyyad.
4. Tidak memperhatikan munasabah ayat.
5. Tidak menguasai masalah yang di tafsirkan.
6. Mendahulukan yang mtasyabih dari yang muhkam.

c. Dari segi produk (hasil karya) para musafir tersebut.[18]


11. Qawa’id Al-Tafsir
A. Pengertian Qawa’id al-Tafsir
            Menurut bahasa Qawa’id artinya kaidah-kaidah atau prinsip-prinsip dasar tafsir. Sedangkan yang dimaksud Qawaid Tafsir dalam hal ini ialah kaidah-kaidah yang diperlukan oleh para mufasir dalam memahami ayat-ayat Alquran. Kaidah-kaidah yang diperlukan para mufasir dalam memahami Alquran meliputi penghayatan uslub-uslubnya, pemahaman asal-asalnya, penguasaan rahasia-rahasianya dan kaidah-kaidah kebahasaan.
            Istilah “tafsir“ adalah kata serapan dari bahasa Arab yang merujuk kepada derivasi kata “فسّر - يفسّر - تفسير “ yang secara etimologi berarti الشرح والبيان ( menerangkan dan menjelaskan) dan كشف المراد عن اللفظ المشكل ( menyingkap maksud dari lafaz yang sulit ).
            Istilah tafsir dalam pengertian terminologi ditemukan berbagai defenisi. Al-Zarkasyi umpamanya mendefenisikannya sebagai ilmu yang dipergunakan untuk memahami alquran yang diturunkan kepada Nabi Muhammad dan menjelaskan makna-maknannya serta mengeluarkan hukum-hukum dan hikmah-hikmahnya.

B.Kaidah-kaidah yang ditentukan dalam pembahasan Al-quran Itu sendiri

            Kaidah dasar berkaitan dengan penggunaan sumber pokok dalam menafsirkan al-Qur’an yang meliputi al-Qur’an, Hadis, penjelasan sahabat dan perkataan tabiin. Dalam kaidah dasar ini seorang mufasir pertama-tama harus kembali kepada al-Qur’an dengan meneliti secara cermat dalam rangka mengumpulkan ayat-ayat al-Qur’an tentang suatu pokok persoalan. Kemudian menghubungkan dan memperbandingkan kandungan ayat-ayat yang mengandung arti mujmal yang diperinci oleh ayat lain. Atau jika pada suatu ayat masalahnya disebut secara singkat, maka diperluas oleh ayat lain .
            Kemudian mufasir juga harus memerhatikan hadis-hadis nabi. Bila mendapatkan hadis shahih, ia harus menafsirkan ayat berdasarkan hadis tersebut. Ia tidak dibenarkan untuk menafsirkannya menurut pendapatnya sendiri, dengan meninggalkan hadis tersebut. Selanjutnya, apabila terdapat penjelasan sahabat nabi untuk menafsirkan ayat al-Qur’an, ia harus menggunakan penjelasan tersebut sebagai dasar tafsirnya.

C.    Kaidah-kaidah dari Ilmu Lain
            Kaidah khusus yang dimaksudkan di sini adalah seperangkat ilmu pengetahuan yang dibutuhkan oleh seorang mufasir dalam menafsirkan al-Qur’an. Ilmu-ilmu tersebut meliputi ilmu bahasa Arab, nahwu, sharaf, isytiqaq, balaghah (ma’ani, bayan dan badi’), ushul fiqh, dan ilmu qiraat. Ilmu bahasa (linguistik) berfungsi untuk mengetahui kosa kata, konotasi dan konteks al-Qur’an. Melalui ilmu nahwu (tata bahasa), seorang mufasir akan mengetahui bahwa sebuah makna akan berubah seiring dengan perubahan i’rab. Dengan ilmu sharah (konyugasi), seorang mufasir dapat melihat bentuk, asal dan pola (shighat) sebuah kata.
            Sementara kaidah isytiqaq (derivasi kata, etimologi) digunakan untuk mengetahui akar atau kata dasar dari suatu kata. Sebab, jika diambil dari kata dasar yang berbeda, sebuah kata akan memiliki makna yang berbeda pula. Ilmu balaghah berperan dalam membimbing mufasir untuk mengetahui karakteristik susunan sebuah ungkapan yang dilihat dari makna yang dihasilkannya atau retorika (ma’ani), perbedaan-perbedaan maksudnya (bayan) dan sisi-sisi keindahan sebuah ungkapan (badi’).[19]

12.    Al- Tafsir Al Tahlili
A.     Definisi
Metode tahlili atau yang disebut Muhammad Baqir Al-Shadr sebagai metode tajzi’iy. Metode tahlili menurut Al-Farmawy adalah suatu metode menafsirkan ayat-ayat al-Qur’an dengan memaparkan segala aspek yang terkandung didalam ayat-ayat yang ditafsirkan itu serta menerangkan makna-makna yang tercakup didalamnya sesuai dengan keahlian dan kecenderungan mufassir yang menafsirkan ayat-ayat tersebut
Dilihat dari segi uraian tafsir, metode tahlili mempunyai berbagai macam ragam diantaranya: 1). Ada yang mempunyai (uraian) redaksi yang panjang lebar, luas dan memasukan segala aspek dalam penafsirannya, seperti tafsir al-Thabari, tafsir Ibn Katsir. 2). Ada tafsir yang menguraikan secara sedang atau pertengahan (tidak panjang/luas dan ringkas), seperti tafsir Al-Naisaburi.

B. Ciri-Ciri Metode Tahlili
Diantara ciri-ciri dari tafsir yang menggunakan metode tahlili adalah sebagai berikut:
1.   Seorang penafsir dalam menafsirkan ayat-ayat al-Qur’an secara komprehensip dan menyeluruh, baik itu dari segi i‘rab-nya, munasabah ayatnya, asbab an-nuzul-nya dan yang lainnya.
2.   Dalam menafsirkan ayat, mufassir akan menfsirkan ayat demi ayat dan surah demi surah sesuai dengan apa yang terdapat dalam mushaf.
3.   Mufassir biasanya mengungkapkan berbagai macam pendapat atau penafsiran yang pernah diungkapkan baik itu oleh Rosulullah, Shahabat, tabi’in dan para ulama-ulama sebelumnya.[20]

13.    Al Tafsir al-adabi al-Ijtima’i

A.    Pengertian

Kata al-adaby dilihat dari bentuknya termasuk mashdar (infinitif) dari kata kerja (madhi) aduba, yang berarti sopan santun, tata krama dan sastra. Secara leksikal, kata tersebut bermakna norma-norma yang dijadikan pegangan bagi seseorang dalam bertingkah laku dalam kehidupannya dan dalam mengungkapkan karya seninya. Oleh karena itu, istilah al-adaby bisa diterjemahkan sastra budaya. Sedangkan kata al-ijtima’iy bermakna banyak bergaul dengan masyarakat atau bisa diterjemahkan kemasyarakatan. Jadi secara etimologis tafsir al-adaby al-Ijtima’i adalah tafsir yang berorientasi pada satra budaya dan kemasyarakatan, atau bisa di sebut dengan tafsir sosio-kultural
B.     Ciri-ciri

            Adapun ciri dari corak adabi ijtimai adalah penonjolan ketelitian redaksi ayat-ayat al-Qur’an, penguraian makna yang dikandung dalam ayat dengan redaksi yang menarik hati, dan adanya upaya untuk menghubungkan ayat-ayat al-Qur’an dengan hukum-hukum alam yang berlaku dalam masyarakat. Dalam artian lain bahwa memahami ayat dari segi balaghahnya untuk kemudian difahami sesuai dengan makna yang dimaksud di dalamnya dengan menggunakan bahasa yang mudah difahami dan indah. Sehingga al-Qur’an dengan mudah difahami oleh umat Islam dari kalangan manapun (bukan hanya ulama) untuk dijadikan sebagai huda li al-nas, sebagaimana yang merupakan fungsi utama dari al-Qur’an.

C.    Tafsir Al-Manar serta pemikiran Abduh dan Rasyid Ridha
Tafsir al-Manar  oleh Muhammad Abduh beserta Rasyid Ridha. Disebutkan oleh Harun Nasution dalam bukunya Pembaharuan dalam Islam mengutip pendapat Muhammad Abduh dalam bukunya al-Islam Din al-‘Ilm wa al-Madaniah, menyebutkan bahwa “kondisi sebagian umat Islam pada saat dituliskannya tafsir al-Manar itu adalah kondisi jumud, statis dan tidak berkembang karena tradisi Islam saat itu diwarnai oleh animisme dan masyarakatnya enggan memakai akal”. Kondisi masyarakat yang seperti itu diperparah oleh sistem pemerintahan Mesir yang seolah sengaja membiarkan rakyat menjadi bodoh.
 Karena itulah usaha pertama Abduh dalam gerak pembaharunya adalah memperbaiki sistem pendidikan sebagai jantung umat Islam. Setelah munculnya putri-putri Mesir yang terdidik dan terpelajar, baik dari pendidikan lokal maupun pendidikan Barat, maka mulailah ada gelombang-gelombang reformasi dan pembaharuan sebagaimana yang diharapkan oleh Abduh.
Dalam kondisi politik dan masyarakat yang seperti itu, sebuah respon politik yang belum pernah terjadi pada zaman mufassir sebelumnya lahir. Majalah al-Manar yang nantinya menjadi tafsir al-Manar ditulis dengan corak baru dalam tafsir sebagai usaha menjawab tantangan zamannya. Corak tafsir yang dikembangkan oleh Abduh dan Rasyid Ridha itu kemudian dikenal corak adabi ijtima’i.
  • Ciri-ciripenafsiran Muhammad Abduh
  1. Memandangsetiap surah sebagaisatukesatuanayat-ayat yang serasi.
  2. Ayat al-Qur’anbersifatumum.
  3. Ayat al-Qur’anadalahsumberaqidahdan hukum.
  4. Penggunaanakalsecaraluasdalammemahamiayat-ayat al-Qur’an.
  • Ciri-ciri Pokok Tafsir Rasyid Ridha
  1. Keluasan pembahasan tentang ayat-ayat yang ditafsirkan dengan hadis-hadis Nabi SAW.
  2. Keluasan pembahasan tentang penafsiran ayat dengan ayat lain.
  3. Penyisipan pembahasan-pembahasan yang luas tentang hal-hal yang sangat dibutuhkan oleh masyarakat pada masanya, dengan tujuan mengantar kepada penjelasan tentang petunjuk agama, yang menyangkut argumentasi keyakinan maupun pemecahan problem-problem yang berkembang.
  4. Keluasan pembahasan tentang arti mufradat, susunan redaksi, serta pengungkapan pendapat-pendapat ulama dalam bidang tersebut.[21]
14.    Al- Tafsir  Al-Maudhui’i

A.  Pengertian Tafsir Maudhu’i
Secara bahasa kata maudhu’i berasal dari kata موضوع  yang merupakan isim maf’ul dari kata وضع yang artinya masalan atau pokok pembicaraan, yang berkaitan dengan aspek-aspek kehidupan manusia yang dibentangkan ayat-ayat al-Quran.
Berdasarkan pengertian bahasa, secara sederhana metode tafsir maudhu’I ini adalah menafsirkan ayat-ayat al-Quran berdasarkan tema atau topik pemasalahan.

B.                 Langkah-langkah Tafsir Maudhu’i
Langkah-langkah metode tafsir maudhu’i baru dimunculkan pada akhir tahun 1960 oleh Prof. Dr. Ahmad Sayyid Al-Kumiy dengan langkah-langkah sebagai berikut:
1.      Memilih atau menetapkan masalah al-Qur'an yang akan dikaji secara maudhu’i (tematik).
2.      Menghimpun seluruh ayat al-quran yang terdapat pada seluruh surat al-Qur'an yang berkaitan dan berbicara tentang tema yang hendak dikaji, baik surat makkiyyat atau surat madaniyyat.
3.      Menentukan urutan ayat-ayat yang dihimpun itu sesuai dengan masa turunnya dan mengemukakan sebab-sebab turunnya jika hal itu dimungkinkan (artinya, jika ayat-ayat itu turun karena sebab-sebab tertentu).
4.      Menjelaskan munasabah (relevansi) antara ayat-ayat itu pada masing-masing suratnya dan kaitan antara ayat-ayat itu dengan ayat-ayat sebelum dan sesudahnya pada masing-masing suratnya (dianjurkan untuk melihat kembali pada tafsir tahlily).
5.      Menyusun tema bahasan di dalam kerangka yang pas, sistematis, sempurna, dan utuh (outline) yang mencakup semua segi dari tema kajian.
6.      Mengemukakan hadith-hadith Rasulullah SAW yang berbicara tentang tema kajian serta men-takhrij dan menerangkan derajat hadith-hadith itu untuk lebih meyakinkan kepada orang lain yang mempelajari tema itu. Dikemukakan pula riwayat-riwayat (athar) dari para sahabat dantabi’in.
7.      Merujuk kepada kalam (ungkapan-ungkapan bangsa) Arab dan shair-shair mereka dalam menjelaskan lafaz-lafaz yang terdapat pada ayat-ayat yang berbicara tentang tema kajian dan dalam menjelaskan makna-maknanya.
8.      Mempelajari ayat-ayat tersebut secara maudu’i dan menyeluruh dengan cara menghimpun ayat-ayat yang mengandung pengertian serupa, mengkompromikan pengertian antara yang ‘am dan khas, antara yang mutlaq dan muqayyad, mengsinkronkan ayat-ayat yang lahirnya tampak kontradiktif, menjelaskan ayat yang nasikh danmansukh, sehingga semua ayat tersebut bertemu pada satu muara, tanpa perbedaan dan kontradiksi atau tindakan pemaksaan terhadap sebagian ayat kepada makna-makna yang sebenarnya tidak tepat.
C.  Keistimewaan Tafsir Maudhi’i
Keistimewaan metode tafsir maudhu’i antara lain:
a.       Menjawab tantangan zaman: Permasalahan dalam kehidupan selalu tumbuh dan berkembang sesuai dengan perkembangan kehidupan itu sendiri. Maka metode maudhu’i sebagai upaya metode penafsiran untuk menjawab tantangan tersebut. Untuk kajian tematik ini diupayakan untuk menyelesaikan permasalahan yang dihadapi masyarakat.
b.      Praktis dan sistematis: Tafsir dengan metode  tematik disusun secara praktis dan sistematis dalam usaha memecahkan permasalahan yang timbul.
c.       Dinamis: Metode tematik membuat tafsir al-Qur’an selalu dinamis sesuai dengan tuntutan zaman sehingga menimbulkan image di dalam pikiran pembaca dan pendengarnya bahwa al-Qur’an senantiasa mengayomi dan membimbing kehidupan di muka bumi ini pada semua lapisan dan starata sosial.
d.      Membuat pemahaman menjadi utuh: Dengan ditetapkannya judul-judul yang akan dibahas, maka pemahaman ayat-ayat al-Qur’an dapat diserap secara utuh. Pemahaman semacam ini sulit ditemukan dalam metode tafsir yang dikemukakan di muka. Maka metode tematik ini dapat diandalkan untuk pemecahan suatu permasalahan secara lebih baik dan tuntas

D.  Perbedaan Maudhi’i dengan Tahlili

Perbedaan metode maudhu’i (tematik) dengan metode tahlili
Metode Tahlili
Metode Maudhu’i (Tematik)
-          mufassir terikat dengan susunan ayat sebagaimana tercantum dalam mushaf.
-          Mufassir berusaha berbicara menyangkut beberapa tema yang ditemukan dalam satu ayat.
-          Mufassir berusaha menjelaskan segala sesuatu yang ditemukan dalam satu ayat.
-          Sulit ditemukan tema-tema tertentu yang utuh
-          Sudah dikenal sejak dahulu dan banyak digunakan dalam kitab-kitab tafsir yang ada.
-          Mufassir tidak terikat dengan susunan ayat dalam mushaf, tetapi lebih terikat dengan urutan masa turunya ayat, atau kronologi kejadian.
-          Mufassir tidak berbicara tema lain  selain tema ysng sedang dikaji. Oleh  karena itu, ia dapat mengangkat tema-tema Al-qur’an yang masing-masing berdiri sendiri dan tidak bercampur aduk dengan tema-tema lain.
-          Mufassir tidak membahas segala permasalahan yang dikandung oleh satu ayat. Tetapi hanya yang berkaitan dengan pokok bahasan.
-          Mudah untuk menyusun tema-tema al-qur’an yang berdiri sendiri.
-          Walaupun benihnya ditemukan sejak dahulu, sebagai sebuah metode penafsiran yang jelas dan utuh baru dikenal belakangan saja.
15.  Al- tafsir al-muqarin

A.    Pengertian
Para ahli tidak berbeda pendapat mengenai definisi metode ini. Dari berbagai literartur yang ada, dapat dirangkum bahwa yang dimaksud dengan metode komparatif ialah: 1) Membandingkan teks (nash) ayat-ayat al-Qur’an yang memiliki kemiripan atau persamaan redaksi dalam dua kasus atau lebih, dan atau memiliki redaksi yang berbeda bagi satu kasus yang sama; 2) membandingkan ayat al-Qur’an dengan hadis yang pada lahirnya terlihat bertentangan; 3) membandingkan berbagai pendapat ulama tafsir dalam menafsirkan al-Qur’an.
 Dari definisi itu terlaihat jelas bahwa tafsir al-Qur’an dengan menggunakan metode ini mempunyai cakupan yang amat luas, tidak hanya membandingkan ayat dengan ayat melainkan juga membandingkan ayat dengan hadis  serta membandingkan pendapat para mufasir dalam menafsirkan suatu ayat.

B.     Tujuan,  Kelebihan , Kekurangan, Faedah, dan Hikmah

·         Memberikan wawasan penafsiran yang relatif lebih luas kepada para pembaca bila dibandingkan dengan metode-metode yang lain.
·         Membuka pintu untuk selalu bersikap toleran terhadap pendapat orang lain yang kadang kadang jauh berbeda dari pendapat kita dan tidak mustahil ada kontroversi.
·         Tafsir dengan metode komperatif ini amat berguna bagi mereka yang ingin mengetahui berbagai pendapat tentang suatu ayat.
·         Dengan menggunakan metode komperatif, mufasir didorong untuk mengkaji berbagai ayat dan hadist-hadist serta pendapat-pendapat para mufasir yang lain.

·         Penaafsiran yang memakai metode komperatif tidak dapat diberikan kepada para pemula, seperti mereka yang sedang belajar pada tingkat sekolah menengah kebawah.
·         Metode komperatif kurang dapat diandalkan untuk menjawab permasalahan sosial yang tumbuh ditengah masyarakat.
·         Metode komperatif terkesan lebih banyak menelusuri penafsiran-penafsiran yang pernah diberikan oleh para ulama daripada mengemukakan penafsiran-penafsiran baru
C. Ruang Lingkup Metode Komparatif
Untuk lebih jelasnya, berikut akan diuraikan ruang lingkup dan langkah-langkah penerapan metode ini pada masing-masing aspek.
1).Perbandingan Ayat Dengan Ayat
2)Perbandingan redaksi yang mirip
3) Analisis redaksi yang mirip
4) Perbandingan Pendapat para Mufasir
5) Perbandingan Ayat Dengan Hadis.[22]

16.    Tafsir Al-Shufiah
A. Pengertian Tafsir Sufi Nazari dan pendapat ulama
 Tafsir Sufi al-Nazari  adalah tafsir sufi yang  dibangun untuk mempromosikan  dan memperkuat teori-teori mistik yang dianut mufassir.  Dalam menafsirkannya itu mufassir membawa al-Qur’an melenceng jauh dari tujuan utamanya yaitu untuk kemaslahatan manusia, tetapi yang ada adalah penafsiran pra konsepsi untuk menetapkan teori mereka. Al-Zahabi mengatakan bahwa tafsir sufi nazari dalam praktiknya adalah pensyarahan al-Qur’an yang tidak memperhatikan segi bahasa  serta apa yang dimaksudkan oleh syara’.  
 Ulama yang dianggap kompeten dalam tafsir al-Nazari yaitu Muhyiddin Ibn al-‘Arabi. Beliau dianggap sebagai ulama tafsir sufi nazari yang meyandarkan bebarapa teori-teori tasawufnya dengan al-Qur’an. Karya tafsir Ibn al-‘Arabi di antaranya al-Futuhat al-Makiyat dan al-Fushush.  Ibn al-‘Arabi adalah seorang sufi yang dikenal dengan paham wahdatul wujud-nya. Wahdat al-wujud dalam teori sufi adalah paham adanya persatuan antara manusia dengan Tuhan. Contoh Dalil al-Qur’an tentang paham ini adalah Al-Qur’an surat al-Baqarah ayat 186: “Jika hamba-hambaku bertanya padamu tentang aku, aku adalah dekat. Aku mengabulkan seruan orang memanggil jika dia panggil Aku”. Kata do’a yang terdapat dalam ayat tersebut oleh sufi diartikan bukan berdo’a dalam arti lazim dipakai. Kata itu bagi mereka adalah mengandung arti berseru atau memanggil. Tuhan mereka panggil dan Tuhan melihat dirinya kepada mereka.  Dengan perkataan lain, mereka berseru agar Tuhan membuka hijab dan menampakkan dirinya kepada mereka. 

 B. Tafsir Sufi Isyari
 Tafsir sufi Isyari adalah pentakwilan ayat-ayat al-Qur’an yang berbeda dengan makna lahirnya sesuai dengan petunjuk khusus yang diterima para tokoh sufisme tetapi di antara kedua makna tersebut dapat dikompromikan.  Yang menjadi asumsi dasar mereka dengan menggunakan tafsir isyari adalah bahwa al-Qur’an mencakup apa yang zhahir dan batin. Makna zhahir dari al-Qur’an adalah teks ayat sedangkan makna batinnya adalah makna isyarat yang ada dibalik makna tersebut.
Contoh penafsiran isyari yang dapat diterima karena telah memenuhi syarat-syarat tersebut di atas, yaitu penafsiran al-Tastary ketika menafsirkan ayat 22 dari surat al-Baqarah:
فلا تجعلوا لله اندادا
 Al-Tastary  menafsirkan andadan yaitu nafsu amarah yang jelek. Jadi maksud andadan disini bukan hanya patung-patung, setan atau jiwa tetapi nafsu amarah yang sering dijadikan Tuhan oleh manusia adalah perihal yang dimaksud dari ayat tersebut, karena manusia selalu menyekutukan Tuhannya dengan selalu menjadi hamba bagi nafsu amarahnya.  
 Menafsirkan ayat-ayat al-Qur’an dengan melihat isyarat yang ada di dalamnya telah banyak dilakukan oleh para sahabat Nabi, diantaranya penafsiran isyari sahabat yaitu: Ketika para sahabat mendengar ayat pertama dari surat al-Nasr yang bunyinya:
اذا جاء نصر الله والفتح
 Di antara mereka ada yang mencoba memberikan penafsiran ayat tersebut dengan mengatakan bahwa ayat tersebut memerintahkan kepada mereka untuk bersyukur kepada Allah dan meminta ampunannya. Tetapi berbeda dengan Ibn Abbas yang mengatakan bahwa ayat tersebut adalah sebagai tanda ajal Rasulullah saw.[23]


17.    Amtsal Al-Quran

A.    Pengertian
Secara bahasa amtsal adalah bentuk jama’ dari matsal yang artinya sama atau serupa, perumpamaan, sesuatu yang menyerupai dan bandingan. Di lihat dari wazannya, kata matsal, mitsil dan matsil sama dengan sabah, sibih dan sabih di dalam segi lafadz maupun maknanya.
            Sedangkan secara terminology, amtsal adalah suatu ungkapan yang dihikayatkan dan sudah populer dengan maksud menyerupakan keadaan yang terdapat dalam perkataan itu dengan keadaan sesuatu yang karenanya perkataan itu diucapkan.
Maksudnya, menyerupakan sesuatu (seseorang atau keadaan) dengan apa yang terkandung dalam perkataan. Misalnya, رب رمية من غير رام (betapa banyak lemparan panah yang mengena tanpa sengaja). Artinya, banyak pemanah yang mengenai sasaraan itu dilakukan pemanah yang biasanya yang tidak tepat lemparannya.

B.     Jenis-jenis Amtsal dalam Al-Quran

1.      Al-amtsal al-musharrahah, yaitu perumpamaan yang jelas yang di dalamnya terdapat lafazh matsal atau lafazh lain yang menunjukkan arti persamaan atau perumpamaan. Amtsal jenis ini banyak terdapat dalam al-Qur’an.  Seperti yang terdapat dalam surat al-Baqarah ayat 261:
مَثَلُ الَّذِينَ يُنْفِقُونَ أَمْوَالَهُمْ فِي سَبِيلِ اللَّهِ كَمَثَلِ حَبَّةٍ أَنْبَتَتْ سَبْعَ سَنَابِلَ فِي كُلِّ سُنْبُلَةٍ مِائَةُ حَبَّةٍ وَاللَّهُ يُضَاعِفُ لِمَنْ يَشَاءُ وَاللَّهُ وَاسِعٌ عَلِيمٌ
Artinya: “Perumpamaan (nafkah yang dikeluarkan oleh) orang-orang yang menafkahkan hartanya di jalan Allah adalah serupa dengan sebutir benih yang menumbuhkan tujuh bulir, pada tiap-tiap bulir: seratus biji. Allah melipat gandakan (ganjaran) bagi siapa yang Dia kehendaki. Dan Allah Maha Luas (kurnia-Nya) lagi Maha Mengetahui.”
Dalam ayat ini dijelaskan keuntungan besar bagi orang-orang yang mau berinfak dengan menyamakannya terhadap orang yang menanam 1 butir biji yang kelak menghasilkan 700 butir biji. Penyamaan pahala orang yang infak dengan hasil tanaman pada ayat ini jelas menggunakan lafazh matsal (مَثَلُ الَّذِيْنَ يُنْفِقُوْنَ أَمْوَالَهُمْ…). Dalam ayat ini yang disamakan adalah keuntungan.
2.      Al-amtsal al-kaaminah, yaitu perumpamaan yang tidak jelas dengan tanpa menggunakan lafazh matsal atau sejenisnya, akan tetapi artinya menunjukkan arti perumpamaan yang indah dan singkat. Makna amtsal seperti ini akan mengena jika lafazh tersebut dinukilkan kepada hal yang menyerupainya.
Jadi, sebenarnya dalam al-amtsal al-kaaminah al-Qur’an itu sendiri tidak menjelaskan bentuk perumpamaan terhadap suatu makna tertentu. Hanya saja maknanya menunjukkan pada makna suatu perumpamaan. Tegasnya amtsal jenis ini merupakan perumpamaan maknawi yang tersembunyi, bukan perumpamaan lafzhi yang jelas.
Salah satu contoh al-amtsal al-kaaminah adalah sebagaimana ungkapan yang disebutkan orang Arab yang berupa خَيْرُ الْأُمُوْرِ أَوْسَطُهَا (sebaik-baiknya perkara adalah tengah-tengah). Ungkapan ini merupakan hasil perumpamaan dari beberapa ayat al-Qur’an, di antaranya:
·         Surat al-Baqarah ayat 68:
إِنَّهَا بَقَرَةٌ لَا فَارِضٌ وَلَا بِكْرٌ عَوَانٌ بَيْنَ ذَلِكَ…الأية
Artinya: “…bahwa sapi betina itu adalah sapi betina yang tidak tua dan tidak muda; pertengahan antara itu…”

C.  Faedah –faedah Amtsal Al-Quran

Apabila diamati berbagai macam dan contoh amtsal dalam al-Qur’an, maka ditemukan bahwa pengungkapan amtsal dalam al-Qur’an mempunyai banyak faedah. Di antara faedah-faedah tersebut adalah:
1.      Menampilkan sesuatu yang abstrak (yang hanya bisa digambarkan dalam pikiran) ke dalam bentuk sesuatu yang konkret (material) yang dapat ditangkap indera agar akal dapat menerima pesan yang disampaikan oleh perumpamaan itu. Karena makna yang abstrak bisa jadi membuat hati masih ragu maka perlu adanya penggambaran dalam bentuk konkret agar mudah dicerna.
2.      Menyingkap makna yang sebenarnya dan menampilkan hal yang gaib dalam sesuatu yang tampak.
3.      Menghimpun arti-arti yang indah dalam ungkapan yang singkat, sebagaimana yang terdapat dalam amtsal kaaminah dan amtsal mursalah.
4.      Mendorong orang untuk beramal dan menimbulkan minat dalam ibadah dengan melaksanakan hal-hal yang dijadikan perumpamaan yang menarik dalam al-Qur’an.
5.      Dapat menjauhkan seseorang dari sesuatu yang tidak disenangi jiwa.
6.      Untuk memuji sesuatu yang dicontohkan, seperti pujian Allah kepada para sahabat Rasulullah.
7.      Digunakan untuk mencela. Ini terjadi apabila sesuatu yang menjadi perumpamaan adalah hal yang dianggap buruk oleh manusia.
8.      Pesan yang disampaikan melalui amtsal lebih mengena di hati, lebih mantap dalam menyampaikan nasihat atau larangan serta lebih kuat pengaruhnya.[24]




18.    Muhkam dan Mutasyabih
A.  Pengertian Muhkam dan Mutasyabih
Muhkam berasal dari kata Ihkam, yang berati kekukuhan, kesempurnaan, keseksamaan, dan pencegahan. Sedangkan secara terminologi, Muhkam berarti ayat-ayat yang jelas maknanya, dan tidak memerlukan keterangan dari ayat-ayat lain.
Kata Mutasyabih berasal dari kata tasyabuh, yang secara bahasa berarti keserupaan dan kesamaan yang biasanya membawa kepada kesamaran antara dua hal. Tasyabaha, Isytabaha sama dengan Asybaha (mirip, serupa, sama) satu dengan yang lain sehingga menjadi kabur, tercampur. Sedangkan secara terminoligi Mutasyabih berarti ayat-ayat yang belum jelas maksudnya, dan mempunyai banyak kemungkinan takwilnya, atau maknanya yang tersembunyi, dan memerlukan keterangan tertentu, atau hanya Allah yang mengetahuinya.
B.  Sebab dan macam-macam Ayat Mutasyabihat
Sesuai dengan sebab-sebab adanya ayat-ayat mutasyabihat dalam Al-Qur’an, maka ayat-ayat tersebut dikelompokkan menjadi tiga macam, yaitu:
  1. Ayat-ayat mutasyabihat yang tidak dapat diketahui oleh seluruh umat manusia, atau kecuali Allah SWT. Contohnya seperti Dzat Allah SWT, hakikat sifat-sifatNya, waktu datangnya hari kiamat, dan hal-hal ghoib lainnya. Seperti keterangan surah Al-An’am ayat 59:
Artinya: “Dan pada sisi Allah-lah kunci-kunci semua yang ghoib: tidak ada yang mengetahui kecuali Dia sendiri.”
Dan seperti isi surat lukman ayat 34:
Artinya: “Sesungguhnya Allah, hanya pada sisi-Nya sajalah pengetahuan tentang hari Kiamat; dan Dia-lah yang menurunkan hujan, dan mengetahui apa yang ada dalam rahim dan tiada seorangpun yang dapat mengetahui (dengan pasti) apa yang akan diusahakannya besok. dan tiada seorangpun yang dapat mengetahui di bumi mana dia akan mati.”
2.      Ayat-ayat mutasyabihat yang dapat diketahui maksudnya oleh semua orang. Hal ini dapat dilakukan dengan jalan pembahasan dan pengkajian/penelitian yang mendalam. Contohnya ayat-ayat mutasyabihat yang kesamarannya timbul akibat ringkas, panjang, urutan, dan seumpamanya.
Jadi, dalam menyikapi ayat-ayat ini adalah merinci yang mujmal, menentukan yang musytarak, menqayidkan yang mutlak, menertibkan yang kurang tertib, dan sebagainya. Seperti dalam firman Allah Q.S. An-Nisa ayat 3:
Artinya: “Dan jika kamu takut tidak akan berlaku adil terhadap (hak-hak) perempuan yang yatim, maka kawinilah wanita-wanita (lain).”
Maksud ayat ini tidak jelas dan ketidak jelasannya timbul karena lafalnya yang ringkas. Kalimat asalnya berbunyi:
 Artinya: “Dan jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil terhadap perempuan yang yatim sekiranya kamu kawini mereka, maka kawinilah wanita-wanita selain mereka.”


C.  Pendapat Ulama Tentang Ayat-ayat Mutasyabih
Pada dasarnya perbedaan pendapat para Ulama dalam menanggapi sifat-sifat mutasyabihat dalam Al-Qur’an dilatarbelakangi oleh perbedaan pemahaman atas firman Allah SWT dalam Al-Qur’an Surah Ali Imran ayat 7.
Subhi Al-Shalih membedakan pendapat para ulama ke dalam dua mazhab, yaitu:
1.   Mazhab Salaf
Yaitu orang-orang yang mempercayai dan mengimani sifat-sifat mutasyabihat ini dan menyerahkan hakikatnya kepada Allah sendiri. Para Ulama Salaf mengharuskan kita berwaqaf (berhenti) dalam membaca QS. Ali Imran : 7 pada lafal jalalah. Hal ini memberikan pengertian bahwa hanya Allah yang mengerti takwil dari ayat-ayat mutasyabihat yang ada. Mazhab ini juga disebut mazhab Muwaffidah atau Tafwid
2.   Mazhab Khalaf
Yaitu orang-orang yang mentakwilkan (mempertangguhkan) lafal yang mustahil dzahirnya kepada makna yang layak dengan zat Allah. Dalam memahami QS. Ali-Imran : 7 mazhab ini mewaqafkan bacaan mereka pada lafal “Warraasikhuuna fil ‘Ilmi”. Hal ini memberikan pengertian bahwa yang mengetahui takwil dari ayat-ayat mutasyabih adalah Allah dan orang-orang yang Rasikh (mendalam) dalam ilmunya. Mazhab ini disebut juga Mazhab Muawwilah atau Mazhab Takwil.

D.  Hikmah Diturunkannya Ayat-ayat Mutasyabih
Adanya ayat-ayat mutasyabihat dalam Alquran membawa faedah/ hikmah yang banyak juga. Bahkan, lebih banyak daripada hikmah ayat-ayat muhkamat di atas. Adapun hikmahnya adalah sebagai berikut;
  1. Sebagai rahmat Allah SWT. Hal ini jelas sekali, karena jika tidak disamarkan, bisa jadi merupakan siksaan bagi mereka, terutama mereka yang tidak tahan menzahirkannya.
  2. Ujian dan cobaan terhadap kekuatan iman umat manusia.
  3. Membuktikan kelemahan dan kebodohan manusia.
  4. Mendorong umat untuk giat belajar, tekun menalar, dan rajin meneliti.
  5. Memperlihatkan kemukjizatan Al-Qur’an ketinggian mutu sastra dan balaghahnya, agar manusia menyadari sepenuhnya bahwa kitab itu bukanlah buatan manusia biasa, melainkan wahyu ciptaan Allah SWT.
  6. Memudahkan orang dalam memahami Al-Qur’an. Sebab, adanya ayat-ayat yang mutasyabihat tersebut pasti mendorong seseorang untuk serius menghadapinya. Sehingga, dengan sendirinya akan lebih meresapkan hasil-hasil usahanya itu yang pada gilirannya dapat mempermudah segalanya.
  7. Menambah pahala umat manusia, dengan bertambah sukarnya memahami ayat-ayat mutasyabihat. Sebab, semakin sukar kerjaan orang, akan semakin besar pahalanya.
  8. Mendorong kegiatan mempelajari disiplin ilmu pengetahuan yang bermacam-macam. Sebab, adanya ayat-ayat mutasyabihat dalam Alquran, mendorong orang-orang yang akan mempelajarinya harus lebih dahulu mempelajari beberapa disiplin ilmu yang terkait dengan berbagai isi ajaran Al-Qur’an yang bermacam-macam. Seperti Ilmu matematika, bahasa, kimia, fisika, dan sebagainya.[25]





19.    Manthuq dan Mafhum

A.  Pengertian Mantuq
Kata mantuq secara bahasa berarti sesuatu yang ditunjukkan oleh lafal ketika diucapkan. Secara istilah dilalah mantuq adalah:
دلالة المنطوق هي دلالة اللفظ على حكم شيئ مذ كور في الكلم
“Dilalah mantuq adalah penunjukkan lafal terhadap hukum sesuatu yang disebutkan dalam pembicaraan (lafal)”.
Dari definisi ini diketahui bahwa apabila suatu hukum dipahami langsung lafal yang tertulis, maka cara seperti ini disebut pemahaman secara mantuq.

Para ahli ushul fiqh membagi mantuq kepada dua macam yaitu:
1)      Mantuq sharih secara bahasa berarti sesuatu yang diucapkan secara tegas. Adapun definisi mantuq sharih secara istilah adalah:
المنطوق الصريح هوما وضغ اللفظ له فيد ل عليه بالمطابقة او بالتضمن
      “Mantuq sharih adalah makna yang secara tegas yang ditunjukkan suatu lafal sesuai dengan penciptaannya, baik secara penuh atau berupa bagiannya”
Untuk memahami definisi ini dengan baik perlu dikemukakan contoh penggunaandilalah mantuq sharih pada firman Allah surat Al-Baqarah ayat 275 yang berbunyi :
وَأَحَلَّ اللَّهُ الْبَيْعَ وَحَرَّمَ الرِّبَا
      Artinya: “Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba”.
Ayat ini menunjukkan secara jelas dan tegas melalui mantuq sharih tentang kehalalan jual beli dan keharaman riba.
2)      Mantuq ghairu sharih secara istilah adalah:
المنطوق غير صريح هو مالم يوضع اللفظ له بل هولا زم لما وضع
      “Mantuq ghairu sharih adalah pengertian yang ditarik bukan dari makna asli dari suatu lafal, sebagai konsekuensi dari suatu ucapan”
Dari definisi ini jelas bahwa apabila penunjukkan suatu hukum didasarkan pada konsekuensi dari suatu ucapan (lafal), bukan ditunjukkan secara tegas oleh suatu lafal sejak penciptaannya, baik secara penuh atau bagiannya disebut dilalah mantuq ghairu sharih.  Misalnya dalam firman Allah surat Al-Baqarah ayat 233 yang berbunyi :
وَعَلَى الْمَوْلُودِ لَهُ رِزْقُهُنَّ وَكِسْوَتُهُنَّ بِالْمَعْرُوفِ
      Artinya: “Dan kewajiban ayah memberi makan dan pakaian kepada para ibu dengan cara yang ma’ruf”.
Dari ayat ini dapat dipahami bahwa nasab seorang anak dihubungkan kepada ayah bukan kepada ibu karena tanggung jawab nafkah anak berada di tangan seorang ayah. Kesimpulan seperti ini diambil dengan cara mantuq ghairu sharih dari ayat di atas.


B.  Dalalah Iqtidha dan dalalah Isyarah

Dalalat al-Isyarah adalah suatu pengertian yang ditunjukkan oleh suatu redaksi, namun bukan pengertian aslinya, tetapi merupakan suatu kemestian atau konsekuensi dari hukum yang ditunjukkan oleh redaksi itu.
Contohnya dalam surat Al-Luqman ayat 14:
وَوَصَّيْنَا الإنْسَانَ بِوَالِدَيْهِ حَمَلَتْهُ أُمُّهُ وَهْنًا عَلَى وَهْنٍ وَفِصَالُهُ فِي عَامَيْنِ
“Dan kami perintahkan kepada manusia (berbuat baik) kepada dua orang ibu bapaknya; ibunya telah mengandungnya dalam keadaan lemah yang bertambah-tambah, dan menyapihnya dalam dua tahun”
       Dalalat al-Iqtida’ adalah pengertian kata yang disisipkan secara tersirat (dalam pemahaman) pada redaksi tertentu yang tidak bisa dipaami secara lurus kecuali dengan adanya penyisipan itu.
Contohnya sebuah hadits Rasulullah menjelaskan:
عَنْ أَبِي ذَرٍّ الْغِفَارِ يٍّ قَالَ قَالَ رَسُوْلُ اللّهِ صَلَّى اللّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِنَّ اللّهَ تَجَاوَزَ عَنْ أُمَّتِي الْخَطَأَ وَالنِّسْيَانَ وَمَا اسْتَكْرِهُوَا عَلَيْهِ {رواه ابن ماجه}
“Dari Abu Dzar al-Ghiffari berkata, Rasulullah SAW bersabda: Sesungguhnya Allah mengangkat dari umatku tersalah, lupa dan keterpaksaan.” (HR. Ibnu Majah)
Hadits tersebut secara jelas menunjukkan bahwa tersalah, lupa dan keterpaksaan diangkatkan dari umat Muhammad saw. pengertian tersebut sudah jelas ridak lurus, karena bertentangan dengan kenyataan. Untuk meluruskan maknanya perlu disisipkan secara tersirat kata al-ism (dosa) atau al-hukm (hukum), sehingga demikian arti hadits menjadi : diangkatkan dari umatku (dosa atau hukum) perbuatan tersalah, karena lupa atau karena keterpaksaan.


C.  Pengertian Mafhum dan macam-macamnya
Pengertian Mafhum secara bahasa adalah sesuatu yang ditunjuk oleh lafadz, tetapi bukan dari ucapan lafadz itu sendiri. Para ahli ushul fiqh mendefinisikan mafhum sebagai berikut.
“Mafhum adalah penunjukkan lafal yang tidak diucapkan atau dengan kata lain penunjukkan lafal terhadap suatu hukum yang tidak disebutkan atau menetapkan pengertian kebalikan dari pengertian lafal yang diucapkan (bagi sesuatu yang tidak diucapkan)” Seperti firman Allah SWT.
فَلَا تَقُل لَّهُمَا أُفٍّ وَلَا تَنْهَرْهُمَا وَقُل لَّهُمَا قَوْلًا كَرِيمًا
            Secara mantuq, hukum yang dapat ditarik dari ayat ini adalah haramnya mengucapkan kata “ah” dan menghardik orang tua. Dari ayat ini dapat juga digunakan mafhum, dimana melaluinya dapat diketahui haram hukumnya memukul orang tua dan segala bentuk perbuatan yang menyakiti keduanya.

Macam-macam Pembagian Mafhum
Mafhum juga dapat dibedakan kepada 2 bagian yaitu:
  1. Mafhum Muwafaqah, yaitu pengertian yang dipahami sesuatu menurut ucapan lafadz yang disebutkan. Menurut para ahli usul fiqh mafhum muwafaqah adalah penunjukan hukum yang tidak disebutkan untuk memperkuat hukumnya karena terdapat kesamaan antara keduanya dalam meniadakan atau menetapkan. Mafhum Muwafaqah dapat dibagi kepada 2 bagian yaitu:
1)      Fahwal Khitab, yaitu apabila yang dipahamkan lebih utama hukumnya daripada yang diucapkan. Seperti memukul orang tua lebih tidak boleh hukumnya, firman Allah yang berbunyi :
فَلَا تَقُل لَّهُمَا أُفٍّ وَلَا تَنْهَرْهُمَا وَقُل لَّهُمَا قَوْلًا كَرِيمًا
Sedangkan kata-kata yang keji saja tidak boleh (dilarang) apalagi memukulnya.
Dari ayat ini dapat dipahami bahwa haramnya mengatakan “ah”, oleh karena itu, keharaman mencaci maki dan memukul lebih pantas diambil karena keduanya lebih berat.
2)      Lahnal Khitab, yaitu apabila yang tidak diucapkan sama hukumnya dengan yang diucapkan, seperti firman Allah SWT dalam Al-qur’an surat An-Nisa ayat 10 :
إِنَّ الَّذِينَ يَأْكُلُونَ أَمْوَالَ الْيَتَامَىٰ ظُلْمًا إِنَّمَا يَأْكُلُونَ فِي بُطُونِهِمْ نَارًا
Artinya: Sesungguhnya orang-orang yang memakan harta anak yatim secara zalim, Sebenarnya mereka itu menelan api sepenuh perutnya dan mereka akan masuk ke dalam api yang menyala-nyala (neraka).
Membakar atau setiap cara yang menghabiskan harta anak yatim sama hukumnya dengan memakan harta anak tersebut yang berarti dilarang (haram).

2.      Mafhum Mukhalafah, yaitu pengertian yang dipahami berbeda daripada ucapan, baik dalam istinbat (menetapkan) maupun nafi (meniadakkan). Oleh sebab hal itu yang diucapkan.
Seperti dalam firman Allah SWT surat Al-Jumuah ayat 9 :
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِذَا نُودِيَ لِلصَّلَاةِ مِن يَوْمِ الْجُمُعَةِ فَاسْعَوْا إِلَىٰ ذِكْرِ اللَّهِ وَذَرُوا الْبَيْعَ
Artinya: Wahai orang-orang yang beriman apabila diseru untuk menunaikan shalat Jum’at, Maka bersegeralah kamu kepada mengingat Allah dan tinggalkanlah jual beli
dari ayat ini dipahami bahwa boleh jual beli dihari Jum’at sebelum azan dikumandangkan dan sesudah mengerjakan shalat Jum’at. Dalil Khitab ini dinamakan juga mafhum mukhalafah.[26]
Mafhum mukhalafah adalah makna yang berbeda hukumnya dengan mantuq. Mafhum ini terbagi kedalam 6 macam. Ialah :
1. Mafhum Shifat
2. Mafhum ’illat
3. Mafhum ’adad
4. Mafhum ghayah
5. Mafhum had
6. Mafhum al-Laqab







Daftar Pustaka
Al-Zarqani, Muhammad Ibn Abd al-Azim. Manahil al-Irfan fi ‘Ulum al-Qur’an, jilid I. Beirut: Dar al-Fikr, 1988.
Syihab, H. Umar, Al-Quran Dan Rekayasa Social, Pustaka kartini, Jakarta, 1990.
Az-Zarqani, Manahil al-‘Irfn Fi ‘Ulum al-Qur’an, Daar al-Fikr, Beirut, Cet.I, 1988.
DR. Rosihon Anwar, M.Ag.ulum al-quran,Bandung: Pustaka Setia, 2008.
Manna’ Khalil al-Qattan, Studi Ilmu-ilmu Qur’an, Jakarta: Pustaka Litera AntarNusa, 1992. Muhammad Amin Suma, Studi Ilmu-ilmu Al-Qur’an 3, Jakarta: Pustaka Firdaus, 2004.
Ali Ash-Shabuni, Muhammad. At-Tibyaan fii Ulumil Qur'an. Terj. H. Aminudin. Editor: Maman Abd-Djaliel. Bandung: Pustaka Setia.1991.
M.Quraish Shihab, Wawasan Al-Quran. Bandung,Mizan,cet IV, 1996.
Badr al-Din al-Zarkasyi, al-Burhân fi ‘Ulûm al-Qur’an, Beirut : Dar al-Ma’rifah li al-Tiba’ah wa al-Nasyr, 1972.
Masyhur, Kahar. Ulumul Qur’an. Jakarta: RINEKA CIPTA.1992.
Shihab, M. Quraish. Mukjizat Al-Quran. Bandung: Mizan. 1998.
Rifai, Zainal Hasan, Kisah-kisah Israiliyyat dalam Penafsiran al-Qur'an dalam Belajar Ulumul Qur'an, Jakarta, Lentera Basitama, 1992.
Drs. H. Ahmad Syadali MA, Drs. H. Ahmad Rofi’I, Ulumul Qur’an II, CV.Pustaka Setia, Bandung, 1997.
Prof. Dr. H. Abdul Djalal HA, Ulumul Qur’an, Surabaya: Dunia Ilmu, 2000.
Dahlan, Abd. Rahman.Kaidah-Kaidah Penafsiran al-Qur’an. Bandung: Mizan, cetakan II.1998.
Ahmad Syurbasyi, Qishshatul Tafsir, Terj. Zufran Rahman, Sejarah Perkembangan Tafsir Al-Qur’an Al-Karim, Jakarta: Kalam Mulia, 1999.
Nashruddin Baidan, DR., Metodologi Penafsiran Al-Qur’an, Yogyakarta, Glagah UH/343, cet. Ke-1, 1998.
M. Husein al-Dzahabi, Kitâb al-Tafsîr wa al-Mufassirûn, Dar al-Fikr, Beirut, 1995.
Chirzin, Muhammad. Al-qur’an dan Ulumul Qur’an. Yogyakarta: PT. Dana Bhakti Prima Yasa. 1998.
Asshiddieqy, Teungku Muhammad Hasbi.Ilmu-Ilmu Ulumul Al Quran, Semarang:Pustaka Rizki Putra.2002.
Mana’ul Quthan, Pembahasan Ilmu Al-Qur’an, Jakarta : Rineka Cipta, 1995.

















[1] . Al-Zarqani, Muhammad Ibn Abd al-Azim. Manahil al-Irfan fi ‘Ulum al-Qur’an, jilid I. Beirut: Dar al-Fikr, 1988.hal.52
[2] . Syihab, H. Umar, Al-Quran Dan Rekayasa Social, Pustaka kartini, Jakarta, 1990.hal.85-89
[3] . Az-Zarqani, Manahil al-‘Irfn Fi ‘Ulum al-Qur’an, Daar al-Fikr, Beirut, 1988: I, hal. 346 – 347.
[4] . DR. Rosihon Anwar, M.Ag.ulum al-quran,Bandung: Pustaka Setia, 2008, hal. 65
[5] . Manna’ Khalil al-Qattan, Studi Ilmu-ilmu Qur’an, (Jakarta: Pustaka Litera AntarNusa, 1992), hlm.107.
[6] . Muhammad Amin Suma, Studi Ilmu-ilmu Al-Qur’an 3, (Jakarta: Pustaka Firdaus, 2004), hlm. 111.
[7] . Dr. Rosihan Anwar, M.Ag., Ulum Al-Qur’an, hal.107
[8] . Manna’ Khalil Al-Qattan, studi ilmu-ilmu Al-Qur’an, hal 73
[9] . Ali Ash-Shabuni, Muhammad. 1991. At-Tibyaan fii Ulumil Qur'an. Terj. H. Aminudin. Editor: Maman Abd-Djaliel. Bandung: Pustaka Setia.
[10] . M.Quraish Shihab, Wawasan Al-Quran (Bandung,Mizan,cet IV, 1996) hlm. 319
[11].Badr al-Din al-Zarkasyi, al-Burhân fi ‘Ulûm al-Qur’an, Beirut : Dar al-Ma’rifah li al-Tiba’ah wa al-Nasyr, 1972
[12] . Masyhur, Kahar. 1992. Ulumul Qur’an. Jakarta: RINEKA CIPTA.hal. 26
[13] . Shihab, M. Quraish.1998. Mukjizat Al-Quran. Bandung: Mizan.hal. 36
[14] . DR. Rosihon Anwar, M. Ag, 2007, Ulum Qur’an, CV. Pustaka Setia, Badung,  hal:164
[15] . Rifai, Zainal Hasan, Kisah-kisah Israiliyyat dalam Penafsiran al-Qur'an dalam Belajar Ulumul Qur'an, Jakarta, Lentera Basitama, 1992.
[16] . Drs. H. Ahmad Syadali MA, Drs. H. Ahmad Rofi’I, Ulumul Qur’an II, CV.Pustaka Setia, Bandung, 1997.hal.58
[17] . Prof. Dr. H. Abdul Djalal HA, Ulumul Qur’an, Surabaya: Dunia Ilmu, 2000.hal. 125

[18] . Anwar, Rosihon, Pengantar Ulumul Quran. Pustaka setia, Bandung, 2009. Hal, 196
[19] . Dahlan, Abd. Rahman dalam Kaidah-Kaidah Penafsiran al-Qur’an. Bandung: Mizan, 1998. cetakan II.hal.45
[20] . Ahmad Syurbasyi, Qishshatul Tafsir, Terj. Zufran Rahman, Sejarah Perkembangan Tafsir Al-Qur’an Al-Karim, Jakarta: Kalam Mulia, 1999.hal.75
[21] . Dr. M. Quraishshihab, StudiKritisTafsirAl-Manar, Karya Muhammad AbduhdanM.RasyidRidha (Bandung: Pustaka Hidayah., 1994), hlm.11
[22] . Nashruddin Baidan, DR., Metodologi Penafsiran Al-Qur’an, Yogyakarta, Glagah UH/343, cet. Ke-1, 1998.hal.23
[23] . M. Husein al-Dzahabi, Kitâb al-Tafsîr wa al-Mufassirûn, Dar al-Fikr, Beirut, 1995, Jilid I, hlm. 419
[24] . Chirzin, Muhammad. Al-qur’an dan Ulumul Qur’an. Yogyakarta: PT. Dana Bhakti Prima Yasa. 1998.hal.65
[25] . Asshiddieqy, Teungku Muhammad Hasbi.2002.Ilmu-Ilmu Ulumul Al Quran, Semarang:Pustaka Rizki Putra.hal.145
[26] . Mana’ul Quthan, Pembahasan Ilmu Al-Qur’an, (Jakarta : Rineka Cipta, 1995), 58-59

0 Response to "MAKALAH SEJARAH TURUNNYA AL-QUR'AN"

Post a Comment

Labels

Aceh ( 4 ) ARTIKEL ( 23 ) Bollywood ( 1 ) CERPEN ( 16 ) HABA ( 1 ) Hollywood ( 1 ) INDO ( 2 ) Makalah ( 97 ) Skript ( 1 ) SOSOK ( 10 ) Wisata ( 2 )