MAKALAH AL-IRSYAD

A.Pendahuluan
Gerakan pembaharuan Islam, tidak bisa dilepaskan dari peran Muhammad bin Abdul Wahhab (1703-1787M) di Arab Saudi dan Muhammad Abduh (1849-1905M) di Mesir. Abdul Wahhab berdakwah secara otentik, sebuah pola dakwah model Islam pada zaman Nabi dan sahabatnya. Kala itu kaum muslimin hidup berpegang teguh pada Al-Qur’an dan hadits, tanpa intervensi akal atau ijtihad terhadap Al-Qur’an. Mereka inilah yang disebut kaum salafi.
Lain Abdul Wahhab, lain pula Muhammad Abduh. Menurut Abduh, kembali ke ajaran Salafi-kembali ke al-Qur’an dan As-Sunah saja tidak cukup. Ajaran Islam, menurut Abduh, harus dikembalikan kepada aslinya dengan interpretasi yang disesuaikan dengan keadaan modern. Karena itu, dalam pandangan Abduh, pintu ijtihad perlu dibuka, taklid buta pada pendapat ulama mesti dihindari.
Al-Qur’an dalam pandangan Abduh, berbicara kepada akal, bukan kepada hati manusia. Dan, akal itu bias diasah serta ditumbuh kembangkan melalui system pendidikan. Karena itu, gerakan pembaharuan Abduh, yang dilanjutkan seorang muridnya, Rasyid Ridha (1865-1935) adalah dengan memperbaiki kurikulum pendidikan. Dengan cara itu, umat Islam akan mengalami kemajuan berarti dalam pergaulan global.
Semangat Abdul Wahhab dan Abduh diwarisi oleh generasi sesudahnya. Implementasinya bisa beragam bentuk. Mulai dari kancah ilmiah, pendidikan, dakwah bil-lisan dan bil hal, sampai politik praktis. Semua dengan semangat tunggal: menegakkan syiar Islam di bumi Allah ini.
Hal ini juga yang diharapkan dengan berdirinya Al-Irsyad oleh para pendirinya, yaitu untuk mensiarkan pengetahuan alam sesuai Islam dan menyebarkan kebudayaan Arab yang sesuai dengan ajaran Allah (Al-Qur’an dan Sunah).




B. Sejarah berdirinya Al Irsyad
Latar belakang Lahirnya organisasi Al-Irsyad diprakarsai orang-orang Arab non-sayyid yang tidak puas dengan Jamiat Khair. Ketidakpuasan itu dilatar belakangi perbedaan pandangan tentang stratifikasi social dalam masyarakat Arab di Indonesia, diantaranya dalam permasalahan:
a) Kafa’ah (kesetaraan dalam perkawinan)
Tidak diperbolehkan untuk menikahkan wanita sayyid dengan non-sayyid, walaupun ia menyetujuinya dan mengesampingkan hak kesejajarannya bahkan dengan persetujuan wali. Hak kesejajaran didasari harga diri.
b) Taqbil (mencium tangan sayyid bila bersalaman)
Orang bukan sayyid diwajibkan mencium tangan kalangan Arab yang menyandang gelar sayyid.[1]
Patut garis bawahi bahwa dalam penyebaran gagasan atau pemikirannya, Al- Irsyad lebih memfokuskan pada upaya perbaikan dan pelayanan pendidikan.Ini biasa dilihat dari pembukaan sekolah Al-Isyad yang didukung oleh pemuka-pemuka arab.Terutama Syaikh Umar Manggus,yang saat itu menjabat sebagai Kapten Arab.Tokoh ini yang memberi saran agar didirikan suatu perkumpulan untuk menunjang sekolah yang didirikan oleh Syeikh Ahmad Surkati tersebut. Atas dukungan itu,berdirilah sekolah”Jam’iyyah Al Ishlah Wa Al Irsyad Al Islamiyyah”.Agar kehadirannya tidak terkesan hanya diperuntukkan bagi orang arab,maka beberapa waktu kemudian namanya di ubah menjadi ”Jam’iyyah Al- Irsyad Al-Islamiyyah”.Yang selanjutnya dikenal dengan nama Al- Irsyad,Al- Irsyad beranggotakan semua orang Islam yang berumur 18 tahun atau yang telah beristri dan tingggal diwilayah Indonesia.
Ahmad Sukarti pernah menyampaikan beberapa pandangan tentang ketauhidan, di antaranya:
Pertama,Taklid buta sebagaimana yang dilakukan para ulama yang sebenarnya memiliki kemampuan untuk memahami Al-Quran dan Hadits.Namun mereka menjadikan pendapat seseorang sebagai dalil agama, Sukarti menyatakan adapun taklid buta dan menjadikan pendapat orang sebagai dalil agama tidak diperbolehkan oleh Allah dan Rosull-Nya,para sahabat maupun para ulama terdahulu,dan merupakan bid’ah yang sesat.[2]
 Kedua, meminta syafa”at. Ia mengatakan kepada orang yang sudah minta dan bertawasul denga Mereka,Surkati menyatakansebagai perbuatan yang munkar dan bid”a, :”meminta syafa”at kepada orang yang mati atau bertawasul kepada mereka adalah perbuatan munkar, sebab hal tersebut tidak pernah di kerjakan oleh Rasulullah saw,al Khulafa”al Rasyidan ataupun oleh para Mujtahid,baik bertawasul dengan Rasul sendiri atau dengan yang lain. Selain itu,hal tersebut merupakan sesuatu yang diada-adakan dalam ruang lingkup al Din. Setiap yang baru dalam agama adalah bid ”ah,setiap bid ah adalah sesat ,dan setiap yang sesat akan masuk neraka’’.
Ketiga,dalam kasus pembayaran fidyah membayar sejumlah tebusan kepada orang lain untuk mengganti shalat dan puasa yang di tinggalkan oleh salah seorang anggota keluarganya,ketika menyampaikan fidyah seseorang berkata ;’’terimalah uang ini sebagai penebus shalat dan puasa si fulan ’’.Kemudian si penerima menjawab ,’’saya terima pemberian ini ’’.Bagi Surkarti, perbuatan ini dilarang karena tidak di dasarkan atas dasar dalil agama,dan merupakan perbuatan bid’ah.
Keempat,dalam kasus pembacaan talqin untuk mayat yang baru di kubur Surkarti melihatnya sebagai pembuatan yang tidak bedasarkan tuntunan al Qur’an dan Hadits juga tidak ada petunjuk dari para sahabat.[3]
Kelima, perbuatan berdiri pada saat melakukan pembacaan kisah maulid Nabi Muhammad saw,bagi Surkarti bukan perbuatan agama,namun demikian apa bila perbuatan tersebut di pandang sebagai perbuatan agama,atau termasuk dalam ruang lingkup agama,maka pembuatan tersebut tetap di anggap sebagai perbuatan bid’ah.
 Keenam,pengucapan niat (Nawaitu atau Ushalli) bagi Sukarti adalah perbuatan bid’dah.Alasannya,melafalkan niat demikian dipadang sebagai tambahan dalam melaksanakan niat yang seharusnya merupakan maksud didalam hati.Menurut Sukarti pula,ia tidak pernah memperoleh petunjuk bahwa perbuatan tersebut pernah dirawihkan orang dari Nabi Muhammad,atau dari para sahabat,walaupun diajarkan oleh salah satu imam yang keempat.Dari berbagai sumber rujukan dapat disimpulkan bahwa niat adalah maksud dalam hati lebih tidak beralasan lagi ialah pendapat tentang wajib atau sunnahnya pengucapan lafal niat tersebut.Itu berarti ”mewajibkan apa yang sebenarnya tidak wajib”.
Ketujuh, adat berkumpul untuk melakukan ritual tahlil dirumah orang yang baru ditimpah musibah kematian menurut Sukarti,merupakan perbuatan Bid’ah dan bertentangan dengan sunnah Rasul.Sukarti menilai parbuatan tersebut sebagai perbuatan yang membebeni keluarga yang terkena musibah.Dan perbuatan terpuji yang berkenan dengan keluarga yang terkena musibah adalah penyediakan makanan,sebagaimana Sabda nabi Jafar bin Abi Thalib meninggal dunia.”Buatlah makanan bagi keluarga Jafar, sebab mereka telah ditimpa sesuatu yang membuat mereka lupa makan”.
Kedelapan,adat berdzikir bersama dan berdoaa bersama setelah shalat wajib lima waktu menurut Surkarti, merupakan perbuatan bid’ah dan bertentangan dengan sunnah Rasul. Surkati menilai perbuatan tersebut sebagai perbuatan yang mengada-ada dan menambah-nambah karena Rasulallah selesai sholat wajib lima waktu, langsung mengerjakan sholat sunnah ba’diah dirumah, tetapi kalau ada yang akan dia sampaikan maka dia berdiri lalu menyampaikannya ke umat Muslim.[4]
Pendeknya, dari negara Sudan, Ahmad Surkati datang dengan membawa ”gagasan rasional”. Gagasan itulah yang kemudian memberi kontribusi besar bagi lahirnya Al-Irsyad Al-Islamiyyah, sebuah gerakan pembaharuan untuk memperbaiki pemahaman keberagaman muslim Indonesia.Deliar Noor menyatakan, seperti halnya seperti Modernis muslim Indonesia yang lain. Pemikiran-pemikiran yang berkembang di Al-Irsyad banyak dipengaruhi oleh pemikiran Puritanisme yang berkembang di Timur Tengah, yang diplopori oleh Muhammad bin Abdul Wahab (dengan gerakan Wahabinya), pemikiran tersebut secara intensif masuki Indonesia pada awal abad ke-20, melalui kontak personal antara masyarakat Arab di Indonesia dengan mereka yang berada di Timur Tengah, juga melaui penerbitan-penerbitan majalah, seperti majalah Al-Manar dan lain-lainnya.
C. Pendiri-pendiri Al-Irsyad
Para pendirinya sebagian besar pedagang atau pengusaha dan ulama keturunan suku Arab. Pendiri-pendiri al-Irsyad diantaranya adalah :
a) Syeikh Ahmad Soorkati
Beliau mempunyai nama lengkap Ahmad Muhammad Soorkati al-Ansari. Lahir di desa Udfu, Jazirah Arqo, Dongula, Sudan, tahun 1875 M. Ayahnya, Muhammad al-Ansari adlah seorang ulama tamatan Al-Azhar Kairo, Mesir. Dalam bahasa Sudan, Soorkati, berasal dari kata ‘sur’ yang berarti kitab, dan ‘katti’ yang berarti banyak, jadi Soorkati punya arti ‘banyak kitab’.
b) Syeikh Umar bin Manggus
c) Saleh bin Ubaid Abdat
d) Said bin Salim Masyhabi
e) Salim bin Umar Balfas
f) Abdullah Harharah, dan
g) Umar bin Saleh bin Nahdi
Diantara para pendiri tersebut, Syeikh Ahmad soorkati adalah tokoh yang dilihat sebagai tempat meminta fatwa. [5]
Para pendiri memberi nama organisasi ini al-Irsyad, menurut Majlis Dakwah Al-Irsyad, nama ‘Irsyad’ mengacu pada nama Jam’iyat al-Da’wah wa Al-Irsyad yang didirikan Rasyid Ridha di Mesir. Organisasi ini bergerak dalam bidang pendidikan dan social keagamaan.
D. Perkembangan Al-Irsyad
Berdirinya al-Irsyad tidak dapat dipisahkan dari organisasi Jamiat Khair, karena kedatangan Syaikh Ahmad Soorkati ke Indonesia atas undangan Jamiat Khair, sebagai guru di sekolah Jamiat Khair. Rupanya keharmonisan tidak selalu seiring antara Ahmad Soorkati dengan Jamiat Khair, dengan adanya peristiwa yang dikenal dengan ‘fatwa Solo’ maka pada tanggal 6 September 1914, setelah 2 tahun mengabdi di Jamiat Khair, Soorkati mengundurkan diri, karena dirinya merasa sudah tidak lagi diperlukan.
Keluar dari Jamiat Khair, Soorkati ditampung oleh Umar Manggus, seorang pemuka masyarakat Arab di Jakarta yang bukan keturunan ‘Alawi, kemudian beliau diberi kepercayaan untuk memimpin madrasah yang didirikan oleh komunitas masyarakat Arab non-‘alawi. Madrasah tersebut diberi nama al-Irsyad al-Islamiyah wa al-Irsyad al-‘Arabiyah yang lebih dikenal dengan sebutan al-Irsyad.[6] Pada tanggal 11 Agustus 1915, al-Irsyad mendapat status hukum dari pemerintah Belanda. Meskipun demikian, pihak al-Irsyad mencatat hari kelahirannya pada 6 September 1914, yang bertepatan dengan dibukanya madrasah pertama di Jati Petamburan, Jakarta.
Seiring dengan kemajuan al-Irsyad, pihak ‘Alawi cemburu berat. Lalu mereka melakukan maneuver-manuver politik yang sifatnya fitnah. Bahkan, mereka pun sempat mendekati konsul Inggris, agar para anggota al-Irsyad tidak boleh memasuki wilayah jajahan Inggris. Tidak hanya itu, untuk melaksanakan ibadah haji saja, mereka dihalang-halangi, dengan berbagai cara, antara lain memberikan informasi yang tidak benar kepada pihak-pihak yang berwenang.
Pada tahun 1920, semua bentuk larangan dan hambatan yang dilakukan pemerintah Inggris terhadap jamah al-Irsyad bisa dicairkan. Upaya-upaya untuk berdamai dengan ‘Alawi pun mulai dirintis. Menyadari keadaan yang tidak juga membaik, dan demi kerukunan antar masyarakat, Soorkati mengundurkan diri dari al-Irsyad, tahun 1921.
Soorkati mundur dari al-Irsyad karena ia ingin perguruan yang dikelolanya itu maju. Agar bias maju, diperlukan beberapa persyaratan antara lain hadirnya guru-guru yang berkualitas, sistem pendidikan dan sarana penunjang. Semua itu memerlukan dana, sementara al-Irsyad sebagai ormas yang belum kuat secara finansial, belum mampu menopang keinginan Soorkati tersebut. Maka, Soorkati memutuskan untuk mundur sementara, lalu ia berdagang, dengan harapan hasil upayanay itu nantinya bias mengembangkan perguruan al-Irsyad, sebagaimana yang ia cita-citakan.
Pada tahun 1923, Soorkati merintis lembaga pendidikan diluar stuktur organisasi al-Irsyad. Madrasah al-Irsyad al-Islamiyah namanya, didanai oleh para dermawan yang dekat dengan Soorkati. Walhasil, madrasah yang didirikan Soorkati berhasil dan maju pesat, sementara madrasah milik jamiah al-Irsyad, yang ditinggalkannya mengalami kemunduran.
Semua madrasah al-Irsyad dimaksudkan untuk menampung atau menerima semua anak-anak Muslim bukan hanya keturunan Arab. Tidak seperti pondok pesantern yang menekankan penghafalan masalah teologi dan hokum, sekolah al-Irsyad mencoba membekali siswanya dengan ajarn Islam yang komprehensif. Madrasah al-Irsyad menekankan pelajaran bahasa Arab karena merupakan basis dari ilmu pengetahuan yang berasal dari ilmuwan Muslim. Al-Irsyad lebih memilih karya-karya Muhammad Abduh dan Rashid Ridha sebagai cara terbaik menghidupkan kembali Islam. Dengan mengikuti konsep-konsep reformasi yang dijelaskan lebar oleh kedua orang ini, Al-Irsyad menyakini bahwa revitalisasi Islam akan terjadi.[7]
Keberhasilan al-Irsyad mendapat tempat yang dihormati oleh masyarakat Muslim Indonesia adalah bukti ketangguhannya mencoba menjalankan kegiatan pendidikan. Al-Irsyad berhasil mendapatkan dukungan dari dalam dan luar, yaitu masyarakat Muslim Indonesia dan reformis Mesir. Tak lama setelah madrasah al-Irsyad didirikan, kontak dengan gerakan Muslim modern yang lain menjadi lebih erat, khususnya dengan Muhammadiyah. Kedua organisasi ini membentuk tahap awal pembentukan gerakan reformasi di daerah koloni. Al-Irsyad didirikan untuk menyebarkan paham modernisme Islam, organisasi ini tidak begitu peduli dengan membentuk sistem yang mencerminkan sifat penduduk asli, bahkan mencoba menghilangkan kepercayaan setempat dan tindakan yang bertolak belakang dengan ajaran aslinya. Al-Irsyad tidak mencoba menyerupai pondok pesantren yang menjadi pusat pembelajaran Muslim tradisional. Sebaliknya, Al-Irsyad berjalan bersama Muhammadiyah di Jawa dan mewakili usaha-usaha memerangi ide-ide kuno dan mendidik Muslim Indonesia cara-cara hidup modern. Dari segi pendidikan Al-Irsyad lebih memperhatikan bagaimana membekali siswa-siswanya dengan pendidikan agama, yang akan membantu mereka berhadapan dengan ide-ide reformasi. Adapun secara umum tujuan pendidikan pada sekolah-sekolah yang bernaung di bawah al-Irsyad adalah pembentukan watak, pembentukan kemauan serta latihan untuk melaksanakan kewajiban.
Dikenal sebagai cendekiawan dan intelektual Ahmad Soorkati tidak menulis banyak buku. Tetapi beliau lebih banyak mengeluarkan fatwa-fatwa yang ada hubungannya dengan pelaksanaan kehidupan masyarakat sehari-hari. Dari tulisan-tulisannya tampak Ahmad soorkati menyadari kaum Muslim di Indonesia masih sangat lemah dan ia berkeinginan menebalkan keimanan mereka. Keadaan moral, social dan intelektual juga sangat rendah, ditandai dengan adanya kebiasaan yang sangat tidak dianjurkan Islam. Melihat kondisi ini Ahmad Soorkati menyimpulkan, bahwa jalan keluarnya adalah kembali mengajarkan Islam sesuai yang diajarkan Nabi Muhammad SAW, ia berpendapat tujuan inilah yang terpenting dari semua tujuannya.
Tujuan-tujuan itu dipaparkan Ahmad Soorkati dalam pengantar yang ditulisnya di al-Dhakirah :
• Memperlihatkan hadis-hadis yang palsu dan kisah-kisah yang direkayasa, namun dipercayai sebagai ajarn Islam oleh Muslim di Indonesia
• Untuk membuktikan bahwa argumentasi-argumentasi yang kontra-Islam salah dengan menggunakan dalil al-Qur’an dan hadis Nabi. Ia juga berharap dengan cara ini Muslim Indonesia akan melaksanakan rukun Islam dengan benar
• Untuk menjelaskan bahwa Islam adalah agama yang menganjurkan kebajikan, sesuai untuk segala zaman dan semua Negara
• Untuk mendorong kaum Muslim agar mengikuti kemajuan dan tidak didekte oleh kekuasaan atau pengaruh asing.[8]
E. Peranan Al-Irsyad dalam Memajukan Peradaban Islam di Indonesia
1) Prinsip-prinsip Gerakan Al-Irsyad
Gerakan Al-Irsyad yang dengan cepat berkembang, didirikan dengan didasari lima prinsip, yang kemudian dikenal dengan konsep pembaharuan Islam yang menjadi anutan organisasi, yaitu :
• Untuk meneguhkan doktrin persatuan dengan membersihkan sholat dan do’a dari kontaminasi unsur politheisme (kemurnian Tauhid)
• Untuk mewujudkan kesetaraan di antara kaum muslim dan mencari dalil yang shahih di al-Qur’an dan Sunah, serta mengikuti jalan yang salaf untuk semua solusi masalah agama yang diperdebatkan.
• Untuk memerangi taqlid a’ma (penerimaan membabi buta) yang berkonflik dengan dalil aqli (sesuai akal) dan dalil naqli (sesuai al-Qur’an dan Sunah).
• Untuk mensiarkan pengetahuan alam sesuai Islam dan menyebarkan kebudayaan Arab yang sesuai dengan ajaran Allah
• Mencoba untuk menciptakan pemahaman dua arah antara muslim Indonesia dan Arab.[9]
2) Dengan melalui media informasi, diantaranya :
Selain dengan mendirikan lembaga pendidikan dengan berbagai jenjang atau tahapan, al-Irsyad juga menyebarkan ide-idenya dengan menyelenggarakan pertemuan-pertemuan, tabligh, ceramah, kelompok studi, serta penerbitan brosur atau bulletin berkala melalui Sharikah Tijariyah li-al-Tab wa al-Nashr ( usaha untuk percetakan dan penerbitan) yang dibentuk di bawah naungan Sayyid Muhammad bin Rais bin Thalib. Lembaga tersebut telah mencetak berbagai bulletin untuk kemajuan al-Irsyad, diantaranya :
• Pada tahun 1920, telah menerbitkan majalah yang pertama dengan nama al-Salam
• Majalah kedua, dengan nama al-Irsyad
• Pada tahun 1923, kembali menerbitkan bulletin yang diberi nama al-Dhakhirah (peringatan), yang isinya banyak mengandung kupasan tentang persoalan keagamaan dan menjawab persoalan yang diajukan para pembacanya
• Pada tahun 1925, telah menerbitkan al-Masail al-Thalath, berisi tentang fatwa kepada pimpinan Muhammadiyah yang mempertanyakan mengenai al-din (agama), al-dunya (dunia) dan Ijtihad. Jawaban-jawaban Ahmad Soorkati dalam bentuk fatwa pada Muhammadiyah ini terangkum dalam terbitan tersebut.





Kesimpulan
Organisasi Al-Irsyad diprakarsai orang-orang Arab non-sayyid yang tidak puas dengan Jamiat Khair. Ketidakpuasan itu dilatar belakangi perbedaan pandangan tentang stratifikasi social dalam masyarakat Arab di Indonesia, diantaranya dalam permasalahan:
a) Kafa’ah (kesetaraan dalam perkawinan) Tidak diperbolehkan untuk menikahkan wanita sayyid dengan non-sayyid, walaupun ia menyetujuinya dan mengesampingkan hak kesejajarannya bahkan dengan persetujuan wali. Hak kesejajaran didasari harga diri.
b) Taqbil (mencium tangan sayyid bila bersalaman)
Orang bukan sayyid diwajibkan mencium tangan kalangan Arab yang menyandang gelar sayyid.
Para pendirinya sebagian besar pedagang atau pengusaha dan ulama keturunan suku Arab. Pendiri-pendiri al-Irsyad diantaranya adalah :
a) Syeikh Ahmad Soorkati
b) Syeikh Umar bin Manggus
c) Saleh bin Ubaid Abdat
d) Said bin Salim Masyhabi
e) Salim bin Umar Balfas
f) Abdullah Harharah, dan
g) Umar bin Saleh bin Nahdi






DAFTAR PUSTAKA

Asrohah Hanun, 1992. SejarahPendidikan Islam Cet : 1;  Logos Wacana Ilmu, Jakarta.
Azra, Azyumardi,1999. Esei-Esei Intelektual Muslim dan Pendidikan Islam Cet. 1.,  Logos Wacana Ilmu, Jakarta.
Maksum, 1999., Madrasah Sejarah dan Perkembangannya Cet I : Logos Wacana Ilmu, Jakarta.
Mughi, Syafiq A dan Hasan Bandung., 1994.  Pemikiran Islam Radikal Cet II., Bina Ilmu, Surabaya.
Noer, Delian., 1991., Gerakan Modern Islam di Indonesia., LP3ES., jakarta.





[1] . Asrohah Hanun, 1992. SejarahPendidikan Islam Cet : 1;  Logos Wacana Ilmu, Jakarta. Hal: 25
[2] . Azra, Azyumardi,1999. Esei-Esei Intelektual Muslim dan Pendidikan Islam Cet. 1.,  Logos Wacana Ilmu, Jakarta, hlm. 25
[3] . Ibid, hlm. 26
[4] . Ibid, hlm. 28-30
[5] . Asrohah Hanun, 1992. SejarahPendidikan Islam Cet : 1;  Logos Wacana Ilmu, Jakarta. Hal: 32
[6] . Noer, Delian., 1991., Gerakan Modern Islam di Indonesia., LP3ES., Jakarta hal: 24
[7] . Maksum, 1999., Madrasah Sejarah dan Perkembangannya Cet I : Logos Wacana Ilmu, Jakarta.hal: 32-34
[8] . Mughi, Syafiq A dan Hasan Bandung., 1994.  Pemikiran Islam Radikal Cet II., Bina Ilmu, Surabaya. Hal: 28
[9] . Noer, Delian., 1991., Gerakan Modern Islam di Indonesia., LP3ES., jakarta. Hal:20

0 Response to "MAKALAH AL-IRSYAD"

Post a Comment

Labels

Aceh ( 4 ) ARTIKEL ( 23 ) Bollywood ( 1 ) CERPEN ( 16 ) HABA ( 1 ) Hollywood ( 1 ) INDO ( 2 ) Makalah ( 97 ) Skript ( 1 ) SOSOK ( 10 ) Wisata ( 2 )