1.
Sejarah Tururn
dan Pemeliharaan AlQuran
A.
Sejarah Turun
Alquran.
Nuzul qur’an terdiri dari dua kata
yaitu Nuzul dan Al-Qur’an. Kata Nuzul berasal dari bahasa Arab yaitu
“Nazala” yang berarti “meluncurkan dari tempat yang tinggi ke tempat
yang rendah”. Nuzul juga berarti “singgah” atau “tiba di tempat tertentu” . Jadi
nuzul Al-Qur’an adalah turunya sesuatu dari tempat yang tinggi ke tempat yang
rendah.
Terdapat
dalam firman Allah SWT Q. S. Al-mu’min ayat 29
@è%ur Éb>§
ÓÍ_ø9ÌRr& Zwu\ãB %Z.u$t7B |MRr&ur
çöyz tû,Î!Í\ßJø9$#
ÇËÒÈ
Artinya:
Dan berdoalah: Ya Tuhanku, tempatkanlah Aku pada
tempat yang diberkati, dan Engkau adalah sebaik-baik yang memberi tempat.
Sejarah
turunya Al-Qur’an mencakup tiga hal yaitu:
1.
Cara
Al-Qur’an itu turun di luh mahfuz
Menurut
sayati dalam masalah ini terdapat tiga pendapat yaitu:
· Al-Qur’an
itu diturunkan kelangit dunia pada malam lailatul Qadar , melengkapi
dari awal sampai akhir, kemudian Al-Qur’an itu diturunkan secara
berangsur-angsur sesudah itu dalam tempo 22 tahun 2 bulan 22 hari.
· Al-Qur’an
itu diturunkan kelangit dunia dalam tempo 20 kali malam lailatul Qadar.
Pada tiap-tiap malam di turunkan kelangit dunia sekedar yang dikehendaki oleh
Allah SWT dalam tahun itu secara berangsur-angsur.
· Al-qur’an
itu permulaanya turun pada malam lailatul Qadar, kemudian diturunkan
sesudah itu secara berangsur-angsur dalam waktu yang berbeda-beda.
2.
Cara
Al-Qur’an turun kepada Nabi Muhammad SAW.
$tBur tb%x. A|³u;Ï9 br& çmyJÏk=s3ã ª!$# wÎ) $·ômur ÷rr& `ÏB
Ç!#uur
A>$pgÉo ÷rr& @Åöã
Zwqßu zÓÇrqãsù ¾ÏmÏRøÎ*Î/
$tB âä!$t±o
4 ¼çm¯RÎ) ;Í?tã
ÒOÅ6ym ÇÎÊÈ
Artinya:
Dan tidak
mungkin bagi seorang manusiapun bahwa Allah berkata-kata dengan dia kecuali
dengan perantaraan wahyu atau dibelakang tabir atau dengan mengutus seorang
utusan (malaikat) lalu diwahyukan kepadanya dengan seizin-Nya apa yang dia
kehendaki. Sesungguhnya dia Maha Tinggi lagi Maha Bijaksana.(Q. S. Asy-syura :
51)
Apabila diperhatikan ayat di atas, ada tiga macam cara Allah berkomunikasi
dengan Nabi-Nabinya:
§ Dengan wahyu secara langsung tanpa
memakai perantara
§ Dengan wahyu dari balik takbir
B.
Pengertian Tujuh
Huruf Menurut Para Ulama
1.
Sebagai tujuh
bentuk bahasa yang berbeda lafalnya, tetapi sama maknanya
Al-Tabari, dan
jumhur ulama fiqh, dan hadis mengartikan sab’at ahruf sebagai tujuh bentuk
bahasa yang berbeda lafalnya, tetapi sama maknanya. Dengan bahasa lain, sab’at
ahruf di sini dapat diartikan tujuh bahasa dari bahasa-bahasa Arab tentang
lafaz-lafaz tertentu yang berbeda lafaznya tetapi sama maknanya, seperti lafaz
halumma, qasdi, ta’al, nahwi, dan aqbil. Meskipun kata-kata tersebut berbeda
dalam pelafalan namun maknanya satu, yaitu perintah untuk datang. Ibn Kasir
mengutip perkataan al-Tahawi dan yang lainnya, “Bahwasanya adanya tujuh huruf
itu adalah sebagai rukhsah (dispensasi) agar orang-orang boleh membaca
al-Qur’an dalam tujuh bahasa”. Hal ini berlaku tatkala kebanyakan orang Islam
kesulitan untuk membaca dalam bahasa Quraisy dan bacaan Rasulullah, dikarenakan
keterbatasan kemampuan yang dimiliki sebagian umat Islam saat itu.
2. Sab’at ahruf sebagai tujuh bentuk (awjuh) perubahan
Pendapat kedua,
Ibn Qutaibah menafsirkan sab’at ahruf dengan tujuh bentuk (awjuh) perubahan,
yaitu:
a. Perbedaan
dalam I’rab atau harakat kalimat tanpa perubahan makna dan bentuk kalimat,
misalnya pada firman Allah pada surat An-nisa’ ayat 37 tentang pembacaan “Bil
Buhkhli” (artinya kikir), disini dapat dibaca dengan harakat “Fatha” pada huruf
Ba’-nya, sehingga dibaca Bil Bakhli, dapat pula dibaca “Dhommah” pada Ba’-nya,
sehingga menjadi Bil Bukhli.
b. Perbedaan
I’rab dan harakat (baris) kalimat sehingga mengubah maknanya, misalnya pada
firman Allah surah Saba’ ayat 19, yang artinya “ Ya Tuhan kami jauhkanlah jarak
perjalanan kami “. Kata yang diterjemahkan menjadi jauhkanlah diatas adalah
“ba’id karena statusnya fi”il amar, maka boleh juga dibaca ba’ada yang berarti
kedudukannya menjadi fi’il mahdhi artinya telah jauh
c. Perbedaan
pada perubahan huruf tanpa perubahan I’rab dan bentuk tulisannya, sedangkan
maknanya berubah, misalnya pada firman Allah dalam surah Al-Baqarah ayat 259,
yang artinya “……dan lihatlah kepada tulang belulang keledai itu, kemudian kami
menyusunnya kembali.” Di dalam ayat tersebut terdapat kata “nunsyizuhaa”
artinya (kemudian kami menyusun kembali), yang ditulis dengan huruf Zai (ز) diganti dengan huruf ra’ ( ر ) sehingga berubah bunyi menjadi
“nunsyiruha” yang berarti (kami hidupkan kembali).
d. Perubahan
pada kalimat dengan perubahan pada bentuk tulisannya, tetapi maknanya tidak
berubah, misalnya pada firman Allah dalam surah Al-Qoria’ah ayat : 5, yang
artinya “……..dan gunung-gunung seperti bulu yang dihamburkan “. Dalam ayat
tersebut terdapat bacaan “kal-ih-ni” dengan “ka-ash-shufi” sehingga kata itu
yang mulanya bermakna bulu-bulu berubah menjadi bulu-bulu domba.
e. Perbedaan
pada kalimat yang menyebabkan perubahan bentuk dan maknanya, misalnya pada
ungkapan “thal in mandhud” menjadi “thalhin mandhud”
C. Pemeliharaan Alquran
pada masa Nabi.
Pada masa
Rasulullah Saw., upaya pemeliharaan Alquran dilakukan dengan dua cara:
Penghafalan dan Penulisan.
1. Penghafalan:
Setiap kali
Rasulullah menerima wahyu, beliau sendiri langsung menghafalkannya. Setelah itu
beliau juga menyampaikan dan membacakannya kepada para sahabat agar mereka ikut
meghafalkannya pula. Upaya Rasulullah untuk menghafalkan ayat-ayat yang turun
terlihat sangat antusias; bahkan terkesan sangat tergesa-gesa. Indikasi ini
dapat dipahami dari teguran Allah terhadap Nabi Muhammad agar tidak
tergesa-gesa dalam menerima bacaan ayat-ayat Alquran. Sebagaimana firman-Nya:
… و لا تعجل بالقرآن من قبل أن يقضى إليك
وحيه ، و قل رب زدني علمًا
Artinya: Jangan kau tergesa-gesa
membaca Alquran sebelum sempurna diwahyukannya kepadamu; dan berdo’alah, “Ya
Tuhanku, tambahkanlah ilmu pengetahuan kepadaku” (Q. S. Thaha/20: 114).
Untuk
meningkatkan motivasi dan intensitas penghafalan Alquran di kalangan sahabat,
Rasulullah Saw. menganjurkan agar Alquran yang sudah dihafal itu dibaca dalam
shalat, sehingga hafalan mereka dapat terpelihara. Selain itu, Rasulullah juga
sangat menganjurkan membaca Alquran di luar shalat. Hal ini terlihat dari sabda
beliau yang menyatakan bahwa pahala bacaan Alquran dihitung berdasarkan jumlah
huruf yang diucapkannya. Bahkan setiap huruf dilipatgandakan pahalanya menjadi
sepuluh kali lipat. Sebagaimana sabda Rasulullah Saw.:
مَنْ قَرَأَ حَرْفًا مِنْ كِتَابِ اللهِ فَلَهُ
حَسَنَــةٌ، وَ الْحَسَنَـةُ بِعَشْرِ أَمْــثَالِهَا، لاَ أَقُوْلُ آلـــم
حَرْفٌ، بَلْ أَلِفٌ حَرْفٌ وَ لاَمٌ فَرْفٌ وَ مِيْمٌ حَرْفٌ (رواه الترمذي)
Artinya: Siapa yang membaca satu
huruf dari Kitab Allah, maka mendapat pahala satu kebaikan, setiap kebaikan (hasanah)
dilipatgandakan menjadi sepuluh. Saya tidak mengatakan lafal alif lām mīm
(آلـــم ) itu dihitung satu huruf, akan tetapi alif
satu huruf, lām satu huruf, dan mīm satu huruh. (H. R.
Al-Turmudzi)
2. Penulisan:
Selain
melalui penghafalan, upaya pemeliharaan alquran pada masa ini juga dilakukan
dengan cara penulisan. Setiap kali Rasulullah menerima wahyu beliau
membacakannya kepada para sahabat, serta mendiktekannya kepada para juru tulis
wahyu ( كُتَّاب اْلوَحْيِ ) untuk menulis dan
mencatatkannya. Sehingga dikenallah pada saat itu nama-nama penulis wahyu,
antara lain: Khulafaur-Rasyidin (Abu Bakar, Umar, Usman dan Ali), Mu’awiyah,
Abban bin Sa’id, Khalid bin al-Walid, Ubayy bin Ka’ab, Zaid bin Tsabit, Tsabit
bin Qais, Arqam bin Ubayy, Hanzhalah bin ar-Rabi’, dan lain-lainnya.
Para penulis
wahyu ini, selain menulis untuk disimpan di rumah Nabi, mereka juga menulis
untuk koleksi pribadi yang disimpan di rumah masing-masing. Hal ini mereka
lakukan untuk menjaga keterpeliharaan hapalan mereka dari kemungkinan adanya
ayat-ayat yang terlupakan.[2]
D. Pemeliharaan Alquran pada
masa Khulafaur-Rasyidin
1. Masa Abu Bakar
Pada masa Abu
Bakar terjadi perang Yamamah yang menelan banyak korban gugur sebagai syuhada’.
Di antara para syuhada’ tersebut termasuklah para huffazh (penghafal
Alquran) yang jumlahnya sekitar 70 orang, bahkan menurut suatu riwayat samapai
500 orang. Peristiwa ini menggugah hati Umar bin al-Khaththab untuk mengusulkan
kepada Khalifah Abu Bakar agar Alquran ditulis kembali dan dibukukan dalam satu
mushaf. Karena dikhawatirkan Alquran akan hilang dengan hilangnya para
huffazh. Melalui dialog dan adu argumentasi, akhirnya usulan Umar ini
diterima oleh Abu Bakar.
Selanjutnya,
Abu Bakar menunjuk Zaid bin Tsabit untuk mengumpulkan dan menulis Alquran dalam
satu Mushhaf. Penunjukan ini didasarkan pada kredibilitas Zaid sebagai salah
seorang penulis wahyu pada masa Nabi. Lalu Zaid pun bekerje dengan mengumpulkan
dan memeriksa ayat-ayat Alquran yang ditulis dihadapan Nabi pada
kepingan-kepingan pelepah kurma, batu-batu, dll. yang tersimpan di rumah
kediaman Nabi. Sumber lain dalam penulisan ini juga di dapat dari hafalan para
sahabat penghafal Alquran.
Demikianlah
Zaid bin Tsabit mengerjakan tugas kodifikasi ini yang hasilnya Alquran
terkumpul dalam satu Mushaf. Selanjutnya, Mushhaf ini disimpan oleh Abu Bakar
sampai akhir hayatnya.
2. Masa Umar bin al-Khatthab
Setelah
wafatnya Abu Bakar, Mushaf Alquran disimpan oleh Umar bin al-Khatthab. Pada
masa ini tidak terlihat usaha-usaha yang menonjol berkaitan dengan upaya
pemeliharaan Alquran. Kemudian setelah Umar wafat, mushaf tersebut disimpan
oleh Hafshah binti Umar.
3. Masa Usman
Pada masa
pemerintahan Khalifah Usman bin ‘Affan penyebaran Islam semakin meluas ke
berbagai daerah. Begitu pula para sahabat ahli qiraat dan penghafal Alquran,
mereka berpencar tempat tinggalnya, sejalan dengan terpencarnya kaum muslimin.
Setiap sahabat ahli qiraat mengajarkan qiraat Alquran — yang qiraatnya,
kadangkala berbeda antara sahabat yang satu dengan yang lain — kepada kaum
muslimin di tempat tinggalnya masing-masing. Ubayy bin Ka’ab, umpamanya,
mengajarkan qiraat Alquran kepada penduduk Syam; Abdullah Ibnu Mas’ud
mengajarkan Alquran kepada penduduk Kufah, Abu Musa Al-Asy’ari mengajarkan qiraat
Alquran kepada penduduk Bashrah, dan demikian seterusnya.[3]
2. Asbab
al- Nuzul.
A. Pengertian
Asbabun Nuzul.
Menurut bahasa (etimologi), asbabun nuzul berarti
turunnya ayat-ayat al-Qur’an dari kata “asbab” jamak dari “sababa” yang artinya
sebab-sebab, nuzul yang artinya turun. Yang dimaksud disini adalah ayat
al-Qur’an. asbabun nuzul membahas kasus-kasus yang menjadi turunnya beberapa
ayat Al-qur’an
Menurut istilah atau secara terminologi Asbabun nuzul
adalah suatu peristiwa yang menyebabkan turunnya ayat-ayat al-Qur’an untuk
menerangkan status hukumnya, pada masa hal itu terjadi, baik berupa peristiwa
maupun pertanyaan”,
Asbabun nuzul terdapat banyak pengertian, diantaranya
:
1. Menurut Az-Zarqani
“Asbab
an-Nuzul adalah hal khusus atau sesuatu yang terjadi serta hubungan dengan
turunnya ayat al-Qur’an yang berfungsi sebagai penjelas hukum pada saat
peristiwa itu terjadi”.
2. Ash-Shabuni
“Asbab
an-Nuzul adalah peristiwa atau kejadian yang menyebabkan turunnya satu atau
beberapa ayat mulia yang berhubungan dengan peristiwa dan kejadian tersebut,
baik berupa pertanyaan yang diajukan kepada Nabi atau kejadian yang berkaitan
dengan urusan agama”.
B. Cara Mengetahui Riwayat Asbabun Nuzul
Asbabun Nuzul adalah peristiwa yang terjadi pada zaman
Rasulullah SAW. Oleh karena itu, tidak boleh ada jalan lain untuk mengetahuinya
selain berdasarkan periwayatnya yang benar dari orang-orang yang melihat dan
mendengar langsung tentang turunnya ayat Al-Quran.[4]
C.
Metode Penelitian dan Pentarjihan Asbabun Nuzul
Penelitian
dilakukan terhadap riwayat yang mengemukakan asbab an-nuzul, karena banyak
riwayat tidak memenuhi syarat keshahihannya.
Apabila
asbab an-nuzul suatu ayat diterangkan oleh beberapa riwayat, maka muncul
beberapa kemungkinan sebagai berikut:
1. Kedua
riwayat tersebut yang satu shahih dan yang lain tidak.
2. Kedua
riwayat tersebut shahih, tetapi salah satunya ada dalil yang memperkuat dan
yang lain tidak.
3. Kedua
riwayat tersebut shahih dan tidak ditemukan dalil yang memperkuatkan salah
satunya tetapi dapat dikompromikan.
4. Kedua
riwayat tersebut shahih dan tidak ada dalil yang memperkuatkan salah satunya
dan kedua-duanya tidak mungkin dikompromikan.
Untuk
menjelaskan permasalahan beberapa riwayat diatas adalah:
1. Apabila
kedua riwayat shahih, yang pertama menyatakan sebab turunnya ayat dengan tegas,
sedangkan yang kedua tidak, maka diambil riwayat yang pertama.
2. Apabila
kedua riwayat shahih, salah satunya ditarjihkan, sedangkan yang lain
diriwayatkan oleh perawi yang menyaksikan sendiri, maka dipilih riwayat yang
lebih rajih (kuat).
3. Apabila
kedua riwayat menerangkan sebab riwayat yang lebih rajih dan yang lebih shahih,
sedangkan lain shahih tetapi marjuh (dipandang lebih lemah), maka diambil riwayat
yang shahih lagi rajih.
4. Apabila
kedua riwayat shahih dan tidak dapat dikompromikan, maka harus ditetapkan ayat
yang berulang kali diturunkan. Berulang kali turun menunjukkan sangat penting
dan untuk mempermudah diingat.[5]
D.
Kedudukan Asbabun Nuzul dalam Pemahaman Al-Qur’an
Asbabun
nuzul memiliki kedudukan (fungsi) yang penting dalam memahami/menafsirkan
ayat-ayat Al-qur’an, sekurang-kurangnya untuk sejumlah ayat tertentu. Ada
beberapa kegunaan yang dapat dipetik dari mengetahui asbabun nuzul,
diantaranya:
a. Mengetahui
sisi-sisi positif (hikmah) yang mendorong atas pensyari’atan hukum.
b. Dalam
mengkhususkan hukum bagi siapa yang berpegang dengan kaidah:” bahwasanya
ungkapan (teks) Al-Qur’an itu didasarkan atas kekhususan sebab, dan
c. Kenyataan
menunjukkan bahwa adakalanya lafal dalam ayat Al-Qur’an itu bersifat umum, dan
terkadang memerlukan pengkhususan yang pengkhususannya itu sendiri justru
terletak pada pengetahuan tentang sebab turun ayat itu.[6]
3.
Makki dan Madani
A. Pengertian
Makkiyah dan Madaniyyah
Kata المكي berasal dari
مكة dan المدني berasal dari
kata مدينة. Kedua kata tersebut telah dimasuki
“ي” nisbah sehingga menjadi “المكي” atau المكية dan المدني atau المدنية.
Secara
harfiah, المكي atau المكية berarti
“yang bersifat Makkah” atau “yang berasal dari Makkah”, sedangkan المدني atau المدنية berarti
“yang bersifat Madinah” atau “yang berasal dari Madinah”. Maka ayat atu surah
yang turun di Mekah disebut المكية.
Para sarjana
muslim mengemukakan tiga perspektif dalam mendefinisikan teminologi Makkiyyah
dan Madaniyyah. Ketiga perspektif itu adalah;
a.
Masa turun (زمان النزول)
b.
Tempat turun
(مكان النزول)
c.
Objek
pembicaraan (مخاطب).
Dari perspektif masa turun, mereka
mendefinisikan secara terminologi diatas sebagai berikut:
المكي: مانزل قبل الهجرة وان كان بغير
مكة
والمدني: ما نزل بعد الهجرة وان كان
بغير مدينة
فما نزل بعد الهجرة ولو بمكة او عرفة
مدني
Artinya:
“Makkiyyah
ialah ayat-ayat yang turun sebelum Rasulullah hijrah ke Madinah, walaupun bukan
turun di Mekah, sedangkan Madaniyyah adalah ayat-ayat yang turun sesudah
Rasulullah hijrah ke Madinah, walaupun bukan turun di Madinah. Ayat-ayat yang
turun setelah peristiwa hijrah disebut Madaniyyah walaupun turun di Mekah atau
di Arafah.”[7]
B. Kalsifikasi
Ayat-ayat Makkiyah dan Madaniyah
Ayat-ayat Makkiyah turun selama 12 tahun 5 bulan dan 13 hari. Tepatnya 17
Ramadhan tahun 41 hinggah awal Rabi’ul Awal tahun 54 dari kelahiran Nabi
Muhammad saw. Perbandingan ayat-ayat yang diturunkan di Mekkah berkisar 19/30
dan yang diturunkan di Madinah berkisar 11/30. Al-Qur’an yang berjumlah 114
surah, dimulai dari surah al-fatihah sampai surah an-Nas.
Agak sulit melacak dan mengidentifikasi secara pasti ayat-ayat Makkiyah dan
ayat-ayat Madaniyah karena urutan tertib ayat (tartib ayah) tidak
mengikuti kronologi waktu turunnya ayat, tetapi berdasarkan petunjuk Nabi (tawqifi).
Yang terpenting dipelajari para Ulama’ dalam
pembahasan ini ialah: 1) Yang diturunkan di Makkah; 2) Yang diturunkan di
Madinah; 3) Yang diperselisihkan; 4) Ayat-ayat Madaniyah dalam surat-surat
Makkiyah; 5) Ayat-ayat Makkiyah dalam surat-surat Madaniyah; 6) Yang diturunkan
di Makkah sedang hukumnya di Madinah; 7) Yang diturunkan di Madinah sedang
hukumnya di Makkah; 8) Yang serupa dengan yang diturunkan di Makkah (Makki)
dalam kelompok Madani; 9) Yang serupa dengan yang diturunkan di Madinah dalam
kelompok Makki; 10) Yang dibawa dari Makkah ke Madinah; 11) Yang dibawa dari
Madinah ke Makkah; 12) Yang diturunkan di waktu malam dan di waktu siang; 13)
Yang diturun di musim panas dan di musim dingin; 14) yang turun di waktu
menetap dan dalam perjalanan.[8]
C.
Ciri-ciri Khusus dan Umum Makkiyah dan Madaniyah
Para Ulama’
merumuskan ciri-ciri umum Makkiyah dan Madaniyah sebagai berikut:
1. Makkiyah:
a)
Ayat-ayat
dan surat-suratnya pendek, nada perkataannya keras dan agak bersajak,
b)
Mengandung
seruan pokok-pokok iman kepada Allah Swt, hari akhir dan menggambarkan keadaan
surga dan neraka,
c)
Menyeru
manusia berperangai mulia dan berjalan lempang di atas kebajikan,
d)
Mendebat
orang-orang musyrik dan menerangkan kesalahan-kesalahan pendirian mereka,
e)
Banyak
terdapat lafadz sumpah,
2. Madaniyah:
a)
Menjelaskan
permasalahan ibadah, muamalah, hudud, bangunan rumah tangga, warisan,
jihad, kehidupan sosial, aturan-aturan pemerintahan menangani perdamaian dan
peperangan, serta persoalan-persoalan pembentukan hukum syara’.
b)
Mengkhitobi
Ahli Kitab Yahudi dan Nashroni dan mengajaknya masuk islam, juga menguraikan
perbuatan mereka yang telah menyimpang dari kitab Allah dan menjauhi kebenaran
serta perselisihannya setelah datang kebenaran,
c)
Mengungkap
langkah-langkah orang-orang munafik.
d)
Surat dan
sebagian ayat-ayatnya panjang-panjang serta menjelaskan hukum dengan terang dan
menggunakan uslub yang terang pula.
D. Cara Mengetahui Makki dan
Madani
Dalam
menentukan kriteria untuk memisahkan mana bagian Al-Qur'an yang Makki atau
surat/ayat yang makiyah, dan mana bagian yang madani atau surah/ayat Madaniyah,
yaitu dengan menggunakan teori-teori sebagai berikut:
a. Teori
Mulahazhatu Makani Nuzuli (teori geografis)
Yaitu teori yang
berorientasi pada tempat turun Al-Qur'an atau tempat turun ayat.
b. Teori
Mulaahazhatul Mukhaathabiina Fin Nuzuli (teori Subjektif)
Yaitu
teori yang berorientasi pada subjek siapa yang dikhitab/dipanggil dalam ayat.
Jika subyeknya orang-orang Makkah maka ayatnya dinamakan Makiyah. Dan jika
subyeknya orang-orang Madinah maka ayatnya disebut Madaniyah.
c. Teori
Mulahazhatu Zamaanin Nuzuli (teori historis)
Yaitu
teori yang berorientasi pada sejarah waktu turunnya Al-Qur'an yang dijadikan
tonggak sejarah oleh teori ini adalah hijrah Nabi Muhammad SAW dari Makkah ke
Madinah.
d. Teori
Mulahazhatu ma Tadammanat As-Suuratu (teori content analysis)
Yaitu
suatu teori yang mendasarkan kriterianya dalam membedakan Makkiyah dan
Madaniyah kepada isi daripada ayat/surah yang bersangkutan.[9]
4.
Munasabah
A. Pengertian Munasabah
Munasabah berasal dari kata ناسب
يناسب مناسبة yang berarti dekat, serupa, mirip, dan rapat. المناسبة sama artinya dengan المقاربة
yakni mendekatkannya dan menyesuaikannya.; النسيب artinya القريب المتصل (dekat
dan berkaitan). Misalnya, dua orang bersaudara dan anak paman. Ini terwujud
apabila kedua-duanya saling berdekatan dalam artian ada ikatan atau hubungan
antara kedua-duanya. An-Nasib juga berarti Ar-Rabith, yakni
ikatan, pertalian, hubungan.
B. Macam-macam
Munasabah
Pada garis besarnya munasabah itu menyangkut pada
dua hal, yaitu hubungan antara ayat dengan dan hubungan surat dengan surat.
Dua
pokok hubungan itu di perincian sebagai berikut.
- Hubungan ayat dengan ayat meliputi :
1)
Hubungan kalimat dengan kalimat dalam ayat.
2)
Hubungan ayat dengan ayat dalam satu surat.
3)
Hubungan penutup ayat dengan kandungan ayatnya.
- Hubungan surat dengan surat meliputi:
1)
Hubungan awal uraian dengan ahir uraian surat.
2)
Hubungan nama surat dengan tujuan turunnya.
3)
Hubungan surat dengan surat sebelumnya.
C.
Peranan Munasabah dalam Penafsiran Alquran
Ada
empat fungsi utama dari Ilmu Al-Munasabah
1.
Untuk menemukan arti yang tersirat dalam susunan
dan urutan kalimat-kalimat, ayat-ayat, dan surah-surah dalam Al-Quran.
2.
Untuk menjadikan bagian-bagian dalam Al-Quran
saling berhubungan sehingga tampak menjadi satu rangkaian yang utuh dan
integral.
3.
Ada ayat baru dapat dipahami apabila melihat ayat
berikutnya.
5. I’ Jaz Al- Quran
A. Pengertian Mukjizat
secara bahasa, mu’jizat juga berasal dari kata a’jaza yu’jizu i’jazan,
yang artinya melemahkan atau menjadikan tidak mampu. Sedangkan secara istilah, mu’jizat dapat didefinisikan sebagai “suatu kejadian yang keluar dari kebiasaan,
disertai dengan unsur tantangan, dan tidak akan dapat ditandingi.
B.
Syarat- syarat Mu’jizat
Syarat-Syarat
Mukjizat
1.
Suatu yang luar dari yang dibiasakan manusia mengenai
sunnah alam dan kenyataan yang terjadi.
2.
Disertai oleh penghadangan atau tantangan dari orang yang
mendustakan atau ragu-ragu terhadapnya.
3.
Sesuatu urusan yang tidak punya penghadangan, lalu
ada kesempatan bagi seseorang untuk menentangnya dan dia lakukan saingannya,
maka ia tidak dinamakan mukjizat.
C. Tujuan dan Peranan Mu’jizat
Mukjizat bertujuan sebagai bukti kebenaran para nabi.
Keluarbiasaan yang tampak atau terjadi melalui mereka itu diibaratkan sebagai
ucapan Tuhan: ”Apa yang dinyatakan sang Nabi adalah benar. Dia adalah
utusan-Ku, dan buktinya adalah Aku melakukan mukjizat itu.”
Mukjizat, walaupun dari segi bahasa berarti melemahkan
sebagaimana dikemukakan di atas, namun dari segi agama, ia sama sekali tidak
dimaksudkan untuk melemahkan atau membuktikan ketidakmampuan yang ditantang.
Mukjizat ditampilkan oleh Tuhan melalui hamba-hamba pilihan-Nya untuk membuktikan
kebenaran ajaran Ilahi yang dibawa oleh masing-masing nabi. Jika demikian
halnya, maka ini paling tidak mengandung dua konsekuensi.
Pertama, bagi yang telah percaya kepada nabi, maka ia
tidak lagi membutuhkan mukjizat. la tidak lagi ditantang untuk melakukan hal
yang sama. Mukjizat yang dilihat atau dialaminya hanya berfungsi memperkuat
keimanan, serta menambah keyakinannya akan kekuasaan Allah SWT.
Kedua, para nabi sejak Adam a.s. hingga Isa a.s.
diutus untuk suatu kurun tertentu serta masyarakat tertentu. Tantangan yang
mereka kemukakan sebagai mukjizat pasti tidak dapat dilakukan oleh umatnya.
Namun apakah ini berarti peristiwa luar biasa yang terjadi melalui mereka itu
tidak dapat dilakukan oleh selain umat mereka pada generasi sesudah generasi
mereka? Jika tujuan mukjizat hanya untuk meyakinkan umat setiap nabi, maka
boleh jadi umat yang lain dapat melakukannya. Kemungkinan ini lebih terbuka
bagi mereka yang berpendapat bahwa mukjizat pada hakikatnya berada dalam
jangkauan hukum-hukum (Allah yang berlaku di) alam. Namun, ketika hal itu
terjadi, hukum-hukum tersebut belum lagi diketahui oleh masyrakat nabi yang
bersangkutan.
D. Pembagian Mu’jizat
1.
Berbentuk hissiyah atau dapat diraba
Umpamanya:
Mukjizat para Nabi seperti ke luar unta Nabi Saleh dari dalam batu, tongkat
Nabi Musa jadi ular yang sebenarnya, menyembuhkan orang sakit canggu dan belang
kulit oleh Nabi Isa bin (putera) Maryam.
2.
Berbentuk ‘aqliyah atau mengenai akal
Umpamanya:
Al-Quran dan mukjizat Rasul SAW yang tetap ada.
Secara garis
besar mukjizat dapat dibagi dalam dua bagian pokok, yaitu mukjizat yang
bersifat ma terial indrawi lagi tidak kekal dan mukjizat imaterial, logis, lagi
dapat dibuktikan sepanjang masa. Mukjizat nabi-nabi terdahulu kesemuanya
merupakan jenis pertama. Mukjizat mereka bersifat material dan indrawi dalam
arti keluarbiasaan tersebut dapat disaksikan atau dijangkau langsung lewat
indra oleh masyarakat tempat nabi tersebut menyampaikan risalahnya.[12]
E.
Bil Al- sharfah
Dalam sejarah Islam dikenal adanya kaum Mu’tazilah
yang didirikan oleh Washil Ibn Atha, th.80 H. Sebagian Ulama nya seperti
Abu Ishaq Ibrahim bin Sayyar al-Nazam berpendapat bahwa kemukjizatan Al-Qur’an
itu bukan terletak pada faktor kebahasaan, pemberitaan atau
isyarat-isyarat keilmuan, tetapi justru karena Allah S.W.T. mengalihkan
perhatian bangsa Arab agar tidak menandingi Al-Qur’an . Padahal mereka mampu
untuk melakukannya. Inilah yang dalam istilah mereka disebut sebagai sharfah
. Dengan demikian kemukjizatan Al-Qur’an bukan karena
Al-Qur’an sendiri tetapi karena factor lain diluar Al-Qur’an yang menjaga
ketat Al-Qur’an sehingga bangsa Arab tidak dapat melakukan rivalitas
terhadapnya, walaupun pada dasarnya mereka mampu melakukannya. Pernyataan itu
rupanya didasarkan pada kesimpulan logika bahwa orang yang mampu menyusun satu
atau dua kalimat yang baik, niscaya akan mampu menyusun lebih banyak lagi dari
itu.
Demikian juga Abu Hasan ‘Ali ibn Isa
al-Rumani, yang juga tokoh besar Mutazilah melihat lebih jauh lagi yakni
bahwa Allah S.W.T. mengalihkan perhatian manusia sehingga mereka tidak
mempunyai keinginan menyusun suatu karya untuk menandingi Al-Qur’an ; dan
membuat orang tidak tertarik melakukan rivalitas terhadap Kitab Suci ini.
F.
Sisi Kemu’jizatan Al-Quran
Yang dimaksud segi-segi I’jazil Qur’an ialah hal-hal
yang ada pada al-Quran yang menunjukkan bahwa kitab itu adalah benar-benar
wahyu Allah SWT, dan ketidakmampuan jin dan manusia untuk membikin hal-hal yang
sama seperti yang ada
pada
al-Quran.
Untuk
menentukan segi-segi I'jazil Qur'an, para ulama berbeda pandangan, antara lain:
a.
Syekh Abu Bakar Al-Baqillany (wafat 403 H.) dalam kitab I'jazil Qur'an
mengatakan: Alquran menjadi mukjizat itu karena 3 segi kemukjizatan, sebagai
berikut:
1. Di
dalam Alquran itu ada cerita mengenai hal-hal yang ghaib.
2. Di
dalam Alquran itu ada cerita umat dahulu beserta para Nabinya, padahal
Rasulullah SAW adalah seorang ummi.
3. Di
dalam Alquran terdapat susunan indah yang terdiri dari 10 segi: Ijaz, tasybih,
isti'arah, talaum, jawashil, tajamus, tasyrif, tadhmin, mubalaghah, dan husnul
bayan.
b. Al-Qadhi
lyad Al-Basty dalam buku Asy-Syifa'u bi Ta'rifi Huquqil Mushthafa mengatakan:
Segi-segi kemukjizatan Alquran itu 4 hal, sebagai berikut:
1.
Susunannya yang indah.
2.
Uslubnya yang lain dari pada yang lain
3.
Adanya berita-berita ghaib yang belum terjadi, tetapi lalu betul-betul
terjadi.
6. Al- Nasakh
Fil Al Quran
A.
Pengertian
Nasakh
Dari segi
bahasa nasakh mempunyai arti yang bermacam-macam. Di antara artinya ialah
menghapus (izalat). Nasakh juga berarti menukar (tabdil), mengubah (tahwil) dan
juga berarti memindahkan (al-naql), dan juga berarti menghapus.
Menurut
istilah naskh ialah “mengangkat (menghapuskan) hukum Syara’ dengan dalil hukum
syara’ yang lain.” Di sebutkan kata “hukum” di sini, menunjukkan bahwa prinsip
“segala sesuatu hukum asalnya boleh” tidak termasuk yang di nasakh. Kata-kata
dengan dalil hukum syara’” mengecualikan pengangkatan (penghapusan) hukum yang
disebabkan kematian atau gila, atau penghapusan dengan ijma’ atau qias.
B.
Macam-macam
Nasakh
Al-Qur’an membagi naskh menjadi tiga macam:
1. Naskh hukum, tanpa naskh tilawah: Al-Qur’an telah memberikan
penjelasan tentang hal ini dan naskh seperti ini telah dikenal baik oleh semua
ulama dan para mufasir, yang mana masuk akal dan dapat diterima. Karena
sesungguhnya hukum-hukum syar’i tidak diturunkan secara langsung sekaligus,
namun bertahap, supaya umat terbiasa dengannya dan akal-akal memahaminya.
Secara bertahap hukum-hukum yang pernah turun sebelumnya digantikan dengan
hukum-hukum yang baru; namun lafadz-lafadz (ayat-ayat) hukum yang lama itu
tetap ada karena mengandung rahasia Tuhan yang mendidik dan bermanfaat yang
mana hanya Tuhan yang lebih tahu tentang alasannya.
2. Naskh tilawah, tanpa naskh hukum: dalam hal ini, mereka
membawakan contoh ayat rajam yang telah dibahas sebelumnya, yang mana ayatnya
telah dihapus, namun hukumnya tetap ada sampai sekarang.
3. Naskh tilawah dan hukum: dalam hal ini mereka membawakan ayat radha’ sebagai
contohnya.
C. Pembagian Alnasakh ( dari segi bacaan dan Hukum )
Dilihat
dari segi bacaan dan hukumnya, mayoritas ulama membagi nasikh kepada tiga macam
yaitu:
1. Penghapusan terhadap hukum (hukm) dan bacaan
(tilawah) secara bersamaan. Ayat-ayat yang terbilang kategori ini tidak
dibenarkan dibaca dan tidak dibenarkan diamalkan.
2. Penghapusan terhadap hukumnya saja,
sedangkan bacaannya tetap ada. Contohnya, ajakan para penyembah berhala dari
kalangan musyrikin kepada umat lslam untuk saling bergantian dalam beribadah,
telah dihapus oleh ketentuan ayat qital (peperangan). Akan tetapi, bunyi
teksnya masih dapat kita temukan dalam surat Al-Kafirun ayat 6:
Artinya: Untukmu agamamu, dan untukkulah, agamaku."
3. Penghapusan terhadap bacaannya saja,
sedangkan hukumnya tetap berlaku. contoh kategori ini biasanya diambil dari
ayat rajam. Mula-mula ayat rajam ini terbilang ayat Al-Quran. Ayat yang
dinyatakan mansukh bacaannya, sementara hukumnya telap berlaku itu adalah:
Artinya: “Jika
seorang pria tua dan wanita tua berzina, maka rajamlah keduanya...”
Adapun
dari sisi otoritas mana yang lebih berhak menghapus sebuah nash, para ulama
membagi nasikh ke dalam empat macam:
1. Nasikh Al-Quran dengan Al-Quran
2. Nasikh Al-Quran dengan As-sunnah.
3. Nasikh As-Sunnah dengan Al-Quran.
4. Naskh As-Sunnah dengan As-Sunnah
D.
Pembagian
Al-nasakh ( dari segi nash yang dinasaki dan menasaki )
Berdasarkan
kejelasan dan cakupannya, nasikh dalam Al-quran dibagi menjadi empat macam
yaitu:
1. Nasikh sharih, yaitu ayat yang secara jelas
menghapus hukum yang terdapat pada ayat terdahulu. Misalnya ayat tentang perang
(qital) pada ayat 65 surat Al-Anfal yang mengharuskan satu orang muslim melawan
sepuluh kafir:
2. Nasikh
dhimmy, yaitu jika terdapat dua nasikh yang saling bertentangan dan tidak
dikompromikan, dan keduanya turun untuk sebuah masalah yang sama, serta
kedua-keduanya diketahui waktu turunnya, ayat yang datang kemudian menghapus
ayat yang terdahulu. Contohnya, ketetapan Allah yang mewajibkan berwasiat bagi
orang-orang yang akan mati yang terdapat dalam surat Al-Baqarah 180:
3. Nasikh kully, yaitu menghapus hukum yang
sebelumnya secara keseluruhan. Contohnya, ketentuan 'iddah empat bulan sepuluh
hari pada surat Al-Baqarah ayat 234.
4. Nasikh juz'iy, yaitu menghapus hukum umum
yang berlaku bagi semua individu dengan hukum yang hanya berlaku bagi sebagian
individu, atau menghapus hukum yang bersifat muthlaq dengan hukum yang
muqayyad. Contohnya, hukum dera 80 kali bagi orang yang menuduh seorang wanita.
E.
Pendapat Ulama
tentang Nasakh
Abdul Wahab
al-Khallaf berpendapat bahwa memang terdapat Nasikh sebelum Rasulullah saw
wafat. Namun setelah wafat, tidak ada lagi Nasikh itu. Suyuti lebih jauh
merinci ayat-ayat naskh dan macam-macam naskh. Muhammad bin Abdullah
az-Zarkasiy dan az-Zarqaniy, cenderung menolak nasikh. Sedangkan jumhur ulama
menyetujui adanya naskh termasuk imam Syafi’i dan imam-imam yang lain.
Para ulama
berbeda pendapat mengenai me-Nasikh al-Quran dengan sesama al-Quran, hal ada
tiga, sebagaimana keterangan di masa atas, apalagi dengan persoalan me-Nasikh
al-Quran dengan al-Hadis. Kebanyakan ulama atau yang umum dikenal dengan
sebutan Jumhur, berpendirian bahwa me-Nasikh sebagian ayat al-Quran dengan
sebagian yang lain hukumnya boleh bahkan diantara mereka ada yang tidak
keberatan untuk menasakh al-Quran dengan al-Hadis.[14]
Selain
alasan-alasan tersebut, mereka berpendapat bahwa dalam al-Quran, secara
implisit, memang mengandung konsep nasikh. Oleh karena itu, jika seorang ingin
menafsirkan al-Quran, maka ia harus terlebih dahulu mengetahui tentang nasikh
dan mansukh.
7.
Isra’iliyat
A.
Pengertian Isra’iliyat
Israiliyat adalah
kabar-kabar yang kebanyakannya dinukilkan dari orang-orang Yahudi Bani Israil
dan sebagian kecil berasal dari orang-orang Nashara.
B. Faktor-faktor Penyebab Masuknya Israiliyyat
Ada beberapa faktor yang menyebabkan masuknya
israiliyyat dalam tafsir yaitu:[9] Pertama, perbedaan metodologi
antara al-Qur'an, Taurat dan Injil. Al-Qur'an dalam global dan ringkasan titik
tekannya adalah memberikan petunjuk jalan yang benar bagi manusia, sedangkan
Taurat dan Injil mengemukakan secara terinci, perihal, waktu dan tempatnya. Ketika
menginginkan pengetahuan secara lebih teperinci tentang kisah-kisah umat Islam
bertanya kepada kelompok Yahudi dan Nasrani yang dianggap lebih.
Kedua, rendahnya kebudayaan masyarakat Arab karena kehidupan mereka yang
kurang banyak yang pandai dalam hal tulis menulis (ummi). Meskipun pada umumnya
ahli Kitab juga selalu berpindah-pindah, tetapi pengetahuan mereka tentang
sejarah masa lampau lebih luas.
Ketiga, ada justifikasi dari dalil-dalil naqlilah yang difahami masyarakat
Arab sebagai pembenaran bagi mereka untuk bertanya pada ahli Kitab.
Keempat, adalah heterogenitas penduduk. Menjelang masa kenabian Muhammad
saw jazirah Arab dihuni juga oleh kelompok Yahudi dan Nasrani.
C. Tokoh-tokoh Isra’illiyat
Kisah-kisah Israiliyat dalam tafsir Alqur’an,berkembangnya tidak terlepas
dari adanya
tokoh-tokoh Yahudi dan Nashrani yang sudah masuk Islam, seperti Abdullah bin
Salam, Ka’ab Al-Akhbari, Wahab bin Munabbih, dan Abdul Malik bin Al-Aziz bin
Juraij ( Ibnu Juraij).
D. Perkembangan Isra’iliyat pada Masa Sahabat dan Tabi’in
Pada era shahabat inilah israiliyvat mulai berkembang
dan tumbuh subur. Hanya saja dalam menerima riwayat dan kaum Yahudi dan
Nashrani pada umumnya mereka amat ketat. Mereka hanya membatasi kisah-kisah
dalam al-Qur'an secara global dan Nabi sendiri tidak
menerangkan kepada mereka kisah-kisah tersebut. Disampng itu mereka terkenal sebagai orang-orang yang konsekuen dan konsesten pada ajaran yang diteima dari Rasulullah saw, sehingga jika mereka menjumpai kisahkisah israiliyyat yang bertentangan dengan syari'at Islam, mereka menentangnya. Dan apabila kisah-kisah itu diperselisihan mereka
menangguhkannya. adz-Dzahabi mengatakan keterlibatan para sahabat dalam meriwayatkan israiliyyat tidak berlebih-lebihan dan dalam batas kewajaran.
menerangkan kepada mereka kisah-kisah tersebut. Disampng itu mereka terkenal sebagai orang-orang yang konsekuen dan konsesten pada ajaran yang diteima dari Rasulullah saw, sehingga jika mereka menjumpai kisahkisah israiliyyat yang bertentangan dengan syari'at Islam, mereka menentangnya. Dan apabila kisah-kisah itu diperselisihan mereka
menangguhkannya. adz-Dzahabi mengatakan keterlibatan para sahabat dalam meriwayatkan israiliyyat tidak berlebih-lebihan dan dalam batas kewajaran.
Pada era tabi'in,
penukilan dari ahli Kitab semakin meluas dan cerita-cerita israiliyyat dalam
tafsir semakin berkembang. Sumber cerita ini adalah orang-orang yang masuk
Islam dari kalangan ahli Kitab yang jumlahnya cukup banyak dan ditunjang oleh
keinginan yang kuat dari orang-orang untuk mendengar kisah-kisah yang ajaib
dalam kitab mereka. Oleh karenanya pada masa tersebut muncul sekelompok
mufassir yang ingin mengisi kekosongan pada tafsir, yang menurut mereka dengan
memasukan kisah-kisah yang bersumber pada orang-orang yang Yahudi dan Nasrani.
sehingga karenanya tafsir-tafsir tersebut menjadi simpang siur dan bahkan
kadang-kadang mendekati takhayul dan khurafat. Diantaranya adalah Muqatil bin
Sulaiman. Pada era ini pula banyak hadits-hadits palsu, kedustaan dan kebohongan
yang disandarkan kepada Rasulullah saw tersebar.[15]
Sikap selektef dalam periwayatan
menjadi hilang. Banyak periwayatan yang tidak melalui jalur "kode etik
metodologi penelitian" ilmu hadits dengan tidak menuliskan sanadnya secara
lengkap. Setelah era tabi'in tumbuh kecintaan yang luar biasa terhadap cerita
israiliyyat dan diambil secara ceroboh, sehinga setiap cerita tersebut tidak lagi ada yang ditolak.
israiliyyat dan diambil secara ceroboh, sehinga setiap cerita tersebut tidak lagi ada yang ditolak.
Mereka tidak lagi mengambil cerita
tersebut kepada al-Qur'an, walaupun tidak imengerti oleh akal. Mereka
menganggap tidak perlu membuang cerita-cerita dan kisah-kisah yang tidak
dibenarkan untuk menafsirkan al-Qur'an.
8.
Qishas al-Qur’an
A. Pengertian Qishas
Al-Qur’an
Kata Qashash
juga berasal dari bahasa Arab yang merupakan bentuk jamak dari kata Qishash
yang berarti tatabbu al-atsar (napak tilas/mengulang kembali masa lalu).
Arti ini diperoleh dari uraian Al-Qur’an pada surat Al-Kahfi ayat 64.
Secara Etimologi al-qashash juga berarti urusan (al-amr), berita (khabar),
dan keadaan (hal). Dalam bahasa Indonesia, kata itu di terjemahkan
dengan kisah yang berarti kejadian (riwayat, dan sebagainya)
B.
Macam-macam Qishas Al-Qur’an
Manna’
Al-Qaththan, membagi qashash (kisah-kisah) Al-Qur’an dalam tiga bagian, yaitu:
d.
Kisah para
Nabi terdahulu.
e.
Kisah yang
berhubungan dengan kejadian pada masa lalu dan orang-orang yang tidak di
sebutkan kenabiannya.
f.
Kisah-kisah
yang terjadi pada masa Rasulullah.
d.
Kisah
panjang, contohnya kisah Nabi Yusuf dalam surat Yusuf (12).
e.
Kisah yang
lebih pendek dari bagian yang pertama, seperti kisah Maryam dalam surat Maryam
(19).
f.
Kisah
pendek, yaitu kisah yang jumlahnya kurang dari sepuluh ayat, misalnya kisah Nabi
Hud dan Nabi Luth dalam surat Al-A’raf (7).
C.
Perulangan Kisah dan Hikmahnya
Al-Qur’an banyak mengandung kisah yang pengungkapannya diulang-ulang di
beberapa tempat. Berikut ini dikemukakan contoh pengulangan itu:
a.
Kisah Iblis
tidak mau tunduk kepada Adam: surat Al-Baqarah (2) ayat 34, surat Al-A’raf (7)
ayat 11:, surat Al-Kahfi (18) ayat 50, surat Thaha (20) ayat 116, surat Shad
(38) ayat 74.
b.
Kisah kaum
Nabi Luth yang melakukan perbuatan homoseks: surat Al-A’raf (7) ayat 80, 81:
surat Hud (11) ayat 78: surat An-Naml (27) ayat 54-55: surat Al-Ankabut (29)
ayat 29.
c.
Kisah istri
Nabi Luth yang dibinasakan: surat Al-A’raf (7) ayat 83; surat Hud (11) ayat 81;
surat Al-Hijr (15) ayat 60; surat Asy-Syura (26) ayat 171; surat An-Naml (27) :
57.
Dalam hal ini, Manna Al-Qaththan menjelaskan hikmah
pengulangan kisah-kisah Al-Qur’an sebagai berikut:
v Menjelaskan ketinggian kualitas
Al-Qur’an.
v Memberikan perhatian yang besar
terhadap kisah untuk menguatkan kesan dalam jiwa.
v Menunjukkan kehebatan mukjizat
Al-Qur’an.
v Memperlihatkan adanya perbedaan
tujuan diungkapkannya kisah tersebut.
D. Tujuan
Dan Faedah
a.
Mejelaskan
dasar-dasar dakwah agama Allah dan menerangkan pokok-pokok syariat yang di
sampaikan para Nabi.
b. Memantapkan hati Rasulullah SAW. Dan
umatnya dalam mengamalkan Agama Allah (Islam) dan menguatkan kepercayaan umat
mukmin tentang akan datangnya pertolongan Allah dan kehancuran orang-orang yang
sesat.
c.
Mengabadikan
usaha-usaha para Nabi dan peringatan bahwa pada Nabi yang terdahulu adalah
benar.
d. Menampakkan kebenaran Nabi Muhammad
SAW. Dalam dakwahnya, degan tepat beliau menerangkan keadaan umat-umat
terdahulu.
e.
Menyingkap
kebohongan-kebohongan ahli kitab yag telah menyembunyikan isi kitab mereka yang
murni dan mengoreksi pendapat mereka.
f.
Menanamkan
akhlakul karimah dan budi yang mulia.
9.
Aqsam Al-Quran
A. Pengertian
Aqsamul Qur’an
Secara etimologi kata Aqsama merupakan bentuk
jamak dari Qasama yang artinya sumpah. Adapun kata yang memiliki makna
sama dengan kataqasama adalah yamin atau al-half. Tentang yamin, Ibrahim
Anis dkk seperti yang dikutip oleh Hasan Mansur Nasution mengatakan bahwa
qasam sama dengan yamin yang bermakna sumpah. Qasam dan yamin
adalah dua kata sinonim yang berarti sama. Qasam didefinisikan sebagai
“mengikat hati jiwa (hati) agar tidak melakukan atau melakukan sesuatu, dengan
suatu makna yang dipandang besar, agung, baik secara hakiki maupun secara
I’tiqadi, oleh orang yang bersumpah itu. Sedangkan secara terminologi ilmu Aqsamul
Qur’an adalah ilmu yang membicarakan tentang sumpah-sumpah yang terdapat
dalam al-Qur’an.Kemudian yang dimaksud sumpah sendiri adalah sesuatu yang
digunakan untuk menguatkan pembicaraan.
B. Al Muqasam
Bih Dalam Al-Qur’an
Muqsam bih adaah lafad yang terletak sesudah adat qasam yang dijadikan sebagai
sandaran dalam bersumpah yang juga disebut sebagai syarat. Muqsam bih atau
mahluf bih maksudnya adalah sesuatu yang dengannya sumpah
dilakukan.Misalnya Allah bersumpah dengan Allah sendiri atau dengan sebagian
makhluk-Nya.
Allah dalam al-Qur’an bersumpah dengan Zatnya sendiri Yang Maha Suci atau
dengan tanda-tanda kekuasaan-Nya Yang Maha Besar.
Contoh Allah bersumpah dengan dzatnya sendiri:
zNtãytûïÏ%©!$#(#ÿrãxÿx.br&`©9(#qèVyèö7ã4ö@è%4n?t/În1uur£`èVyèö6çGs9§NèO¨bàs¬7t^çGs9$yJÎ/÷Läêù=ÏHxå4y7Ï9ºsurn?tã«!$#×Å¡oÇÐÈ
Artinya:
”Katakanlah: “Memang, demi Tuhanku benar-benar engkau akan dibangkitkan,
kemudian akan diberitakan kepadamu apa yang telah kamu kerjakan”
Allah
bersumpah dengan makhluk-Nya, karena makhluk itu menunjukkan pada Pencipta-Nya,
yaitu Allah di samping menunjukkan pula akan keutamaan dan kemanfaatan makluk
tersebut, agar dijadikan pelajaran bagi manusia.
C.
Al- Muqsam ‘Alaih dalam Al-Quran
Muqsam ‘alaih adalah bentuk jawaban
dari syarat yang telah disebutkan sebelumnya (muqsam bih). Posisi Muqsam
‘alaih terkadang bisa menjadi taukid, sebagai jawaban qasam. Karena yang
dikehendaki dengan qasam adalah untuk mentaukidimuqsam ‘alaih dan mentahkikannya.
Jawab qasam itu pada umumnya disebutkan.namun terkadang ada juga yang
dihilangkan, sebagaimana jawab “lau” (jika) sering dibuang, seperti firman
Allah:
xx.öqs9tbqßJn=÷ès?zNù=ÏæÈûüÉ)uø9$#ÇÎÈ
Artinya: ”Janganlah begitu, jika kamu mengetahui dengan pengetahuan yang
yakin”.
Penghilangan seperti ini merupakan bentuk/uslub penghilangan yang paling
baik, sebab menunjukkan kebesaran dan keagungan-Nya. Dan takdir ayat ini adalah:
“Seandainya kamu mengetahui apa yang akan kamu hadapi secara yakin, tentulah
kamu akan melakukan kebaikan yang tidak terlukiskan banyaknya”.
D.Macam-macam Al Qasam
Qasam
itu adakalanya zahir (jelas,tegas) dan adakalanya mudmar (tidak
jelas, tersirat).
1. Zahir adalah sumpah yang
didalamnya disebutkan fi’il qasam dan muqsam bih. Dan diantaranya
ada yang dihilangkan fi’il qasamnya, sebagaimana pada umumnya, karena
dicukupkan dengan huruf jar, berupa “ba”, “wawu”, dan “ta”.
2. Mudmar adalah sumpah yang didalamnya tidak dijelaskan fi’il
qasam dan tidak pula muqsam bih, tetapi ia ditunjukkan oleh lam taukid yang
masuk kedalam jawab qasam.
E. Faedah Qasam Dalam al-Qur’an.
Bahasa arab mempunyai keistimewaan
tersendiri berupa kelembutan ungkapan dan beraneka ragam uslubnya sesuai dengan
berbagai tujuannya. Lawan bicara (mukhatab) mempunyai beberapa keadaan yang
dalam ilmu ma’ani disebut adrubul khabaras-salasah atau tiga macam pola
penggunaan kalkimat berita, ibtida’i, thalabi, dan ingkari.
Mukhatab terkadang seorang yang
berhati kosong (khaliyuz zhanni) sama saekali tidak mempunyai persepsi
akan pernyataan (hukum) yang diterangkan kepadanya, maka perkataan yang
disampaikan kepadanya tidak perlu memakai penguat (ta’kid). Penggunaan
perkataan demikian dinamakan ibtida’i.
Terkadang pula ia ragu-ragu terhadap
kebenaran pernyataan yang disampaikan kepadanya. Maka perkataan untuk orang
semacam ini sebaiknya diperkuat dengan suatu penguat guna menghilangkan
keraguannya.Perkataan yang demikian dinamakan thalabi.
Dan terkadang ia inkar atau menolak
isi pernyataan. Maka pembicaraan untuknya harus disertai penguat sesuai dengan
kadar keingkarannya, kuat atau lemah. Pernyataan demikian dinamakan inkari.
Qasam merupakan salah satu penguat
perkataan yang masyhur untuk memantapkan dan memperkuat kebenaran sesuatu di
dalam jiwa.al-Qur’an diturunkan untuk seluruh manusia dan manusia mempunyai
sikap yang bermacam-macam terhadapnya. Di antaranya ada yang meragukan, ada
yang mengingkari dan ada pula yang amat memusuhi. Karena itu dipakailah qasam
dalam kalamullah guna menghilangkan keraguan, melenyapkan kesalahpahaman,
menegakkan hujjah, menguatkan khabar, dan menetapkan hukum dengan cara yang
paling sempurna.[17]
10.
Sebab-sebab Pokok Kekeliruan Menafsirkan Al-Quran
A. Syarat-syarat Mufassir
Untuk menafsirkan al-Qur’an,
seseorang harus memenuhi beberapa kreteria diantaranya:
1. Beraqidah shahihah,
1. Beraqidah shahihah,
2. Tidak dengan
hawa nafsu semata,
3. Menafsirkan
dahulu al-Qur’an dengan al-Qur’an,
4. Mencari
penafsiran dari sunnah,
5. Faham bahasa
arab dan perangkat-perangkatnya,
6.Faham dengan
pokok-pokok ilmu yang ada hubungannya dengan al-Qur’an seperti ilmu nahwu
(grammer), al-Isytiqoq (pecahan atau perubahan dari suatu kata ke kata yang
lainnya), al-ma’ani, al-bayan, al-badi’, ilmu qiroat (macam-macam bacaan dalam
al-Qur’an), aqidah shaihah, ushul fiqh, asbabunnuzul, kisah-kisah dalam islam,
mengetahui nasikh wal mansukh, fiqh, hadits, dan lainnya yang dibutuhkan dalam
menafsirkan.
7. Mempunyai
pengetahuan pokok-pokok ilmu yang berhubungan dengan Al-Qur’an.
B.
Sebab Sebab
Terjadi Penyimpangan dalam Penafsiran Al Quran
Banyak faktor yang menyebabkan
mereka berani untuk melakukan penyelewengan terhadap tafsir al Quran,
diantaranya:
1) Kecenderungan
mufassir terhadap makna yang diyakininya tanpa melihat petunjuk dan penjelasan
yang terkandung dalam lafadz-lafadz al Quran tersebut.
2)
Kecenderungan mufassir untuk semata-mata memperhatikan lafadz dan maknanya yang
bisa difahanu oleh penutur bahada Arab, tanpa memperhatikan apa yang sebenarnya
dikehendaki oleh yang berbicara dengan al Quran tersebut, yang dibicarakan
olehnya dan siyak (konteks) kalimatnya.
3) Adanya
ambisi besar dari din individu untuk melakukan penyelewengan tafsir tanpa
memperhatika apa yang akan terjadi di kemudian hari.
4) Adanya
dorongan dari madzhab atau aliran dengan bermaksud untuk menyembunyian
menyembunyikan kerancuan pemikiran mereka dan menonjolkan pemikiran aliran atau
madzahbnya sendiri.
Penyebab pokok
kekeliruan penafsiran Al-quran dapat ditinjau dari tiga segi, yaitu:
a. Dari segi
Mufassir (pelakunya):
1. Subyektifitas si Mufassir yang
bermula dari perbedaan kemampuan, orientasi, sistem berfikir, keyakinan atas
kebenaran pendapat atau madzhab yang di anutnya, kepentingan dan keinginannya.
2. Tidak menguasi ilmu alat, seperti
nahwu, shorof, dan lain-lain.
Contoh: kekeliruan orientasi
menafsirkan QS.Maryam (19): 19
“Ia (Jibril) berkata: sesungguhnya
aku ini hanyalah seorang utusan Tuhan-Mu, untuk memeberimu seorang anak laki-laki
yang suci.”
b. Dari segi
materi ( sasarannya):
1. Kurang memperhatikan siapa yang
menjadi Mukhattab ayat, untuk ini perlu diperhatikan ayat-ayat sebelumnya.
2. Tidak memperhatikan siapa yang
mutakallim yang dibicarakan ayat. Contoh Q.S Yusuf ayat 28.
Maka
tatkala suami wanita itu melihat baju gamis Yusuf koyak di belakang berkatalah
dia: "Sesungguhnya (kejadian) itu adalah diantara tipu daya kamu,
Sesungguhnya tipu daya kamu adalah besar."
3. Mendahulukan yang mutlaq dari
yang muqoyyad.
4. Tidak memperhatikan munasabah
ayat.
5. Tidak menguasai masalah yang di
tafsirkan.
6. Mendahulukan yang mtasyabih dari
yang muhkam.
c. Dari segi
produk (hasil karya) para musafir tersebut.[18]
11. Qawa’id Al-Tafsir
A. Pengertian Qawa’id al-Tafsir
Menurut bahasa Qawa’id
artinya kaidah-kaidah atau prinsip-prinsip dasar tafsir. Sedangkan yang
dimaksud Qawaid Tafsir dalam hal ini ialah kaidah-kaidah yang diperlukan oleh
para mufasir dalam memahami ayat-ayat Alquran. Kaidah-kaidah yang diperlukan
para mufasir dalam memahami Alquran meliputi penghayatan uslub-uslubnya,
pemahaman asal-asalnya, penguasaan rahasia-rahasianya dan kaidah-kaidah
kebahasaan.
Istilah “tafsir“
adalah kata serapan dari bahasa Arab yang merujuk kepada derivasi kata “فسّر - يفسّر - تفسير “ yang secara
etimologi berarti الشرح والبيان ( menerangkan dan
menjelaskan) dan كشف المراد عن اللفظ المشكل
( menyingkap maksud dari lafaz yang sulit ).
Istilah tafsir
dalam pengertian terminologi ditemukan berbagai defenisi. Al-Zarkasyi umpamanya
mendefenisikannya sebagai ilmu yang dipergunakan untuk memahami alquran yang
diturunkan kepada Nabi Muhammad dan menjelaskan makna-maknannya serta
mengeluarkan hukum-hukum dan hikmah-hikmahnya.
B.Kaidah-kaidah yang
ditentukan dalam pembahasan Al-quran Itu sendiri
Kaidah dasar berkaitan dengan
penggunaan sumber pokok dalam menafsirkan al-Qur’an yang meliputi al-Qur’an,
Hadis, penjelasan sahabat dan perkataan tabiin. Dalam kaidah dasar ini seorang
mufasir pertama-tama harus kembali kepada al-Qur’an dengan meneliti secara
cermat dalam rangka mengumpulkan ayat-ayat al-Qur’an tentang suatu pokok
persoalan. Kemudian menghubungkan dan memperbandingkan kandungan ayat-ayat yang
mengandung arti mujmal yang diperinci oleh ayat lain. Atau jika pada suatu ayat
masalahnya disebut secara singkat, maka diperluas oleh ayat lain .
Kemudian mufasir juga harus
memerhatikan hadis-hadis nabi. Bila mendapatkan hadis shahih, ia harus
menafsirkan ayat berdasarkan hadis tersebut. Ia tidak dibenarkan untuk
menafsirkannya menurut pendapatnya sendiri, dengan meninggalkan hadis tersebut.
Selanjutnya, apabila terdapat penjelasan sahabat nabi untuk menafsirkan ayat
al-Qur’an, ia harus menggunakan penjelasan tersebut sebagai dasar tafsirnya.
C. Kaidah-kaidah dari Ilmu Lain
Kaidah khusus yang
dimaksudkan di sini adalah seperangkat ilmu pengetahuan yang dibutuhkan oleh
seorang mufasir dalam menafsirkan al-Qur’an. Ilmu-ilmu tersebut meliputi ilmu
bahasa Arab, nahwu, sharaf, isytiqaq, balaghah (ma’ani, bayan dan badi’), ushul
fiqh, dan ilmu qiraat. Ilmu bahasa (linguistik) berfungsi untuk mengetahui kosa
kata, konotasi dan konteks al-Qur’an. Melalui ilmu nahwu (tata bahasa), seorang
mufasir akan mengetahui bahwa sebuah makna akan berubah seiring dengan
perubahan i’rab. Dengan ilmu sharah (konyugasi), seorang mufasir dapat melihat
bentuk, asal dan pola (shighat) sebuah kata.
Sementara kaidah isytiqaq (derivasi
kata, etimologi) digunakan untuk mengetahui akar atau kata dasar dari suatu
kata. Sebab, jika diambil dari kata dasar yang berbeda, sebuah kata akan
memiliki makna yang berbeda pula. Ilmu balaghah berperan dalam membimbing
mufasir untuk mengetahui karakteristik susunan sebuah ungkapan yang dilihat
dari makna yang dihasilkannya atau retorika (ma’ani), perbedaan-perbedaan
maksudnya (bayan) dan sisi-sisi keindahan sebuah ungkapan (badi’).[19]
12. Al- Tafsir Al Tahlili
A.
Definisi
Metode tahlili atau yang disebut Muhammad Baqir Al-Shadr sebagai
metode tajzi’iy. Metode tahlili menurut Al-Farmawy adalah suatu
metode menafsirkan ayat-ayat al-Qur’an dengan memaparkan segala aspek yang
terkandung didalam ayat-ayat yang ditafsirkan itu serta menerangkan makna-makna
yang tercakup didalamnya sesuai dengan keahlian dan kecenderungan mufassir yang
menafsirkan ayat-ayat tersebut
Dilihat dari segi uraian tafsir, metode tahlili mempunyai berbagai
macam ragam diantaranya: 1). Ada yang mempunyai (uraian) redaksi yang panjang
lebar, luas dan memasukan segala aspek dalam penafsirannya, seperti tafsir
al-Thabari, tafsir Ibn Katsir. 2). Ada tafsir yang menguraikan
secara sedang atau pertengahan (tidak panjang/luas dan ringkas), seperti tafsir
Al-Naisaburi.
B. Ciri-Ciri Metode Tahlili
Diantara ciri-ciri dari tafsir
yang menggunakan metode tahlili adalah sebagai berikut:
1. Seorang penafsir dalam menafsirkan ayat-ayat al-Qur’an
secara komprehensip dan menyeluruh, baik itu dari segi i‘rab-nya, munasabah
ayatnya, asbab an-nuzul-nya dan yang lainnya.
2. Dalam
menafsirkan ayat, mufassir akan menfsirkan ayat demi ayat dan surah demi surah
sesuai dengan apa yang terdapat dalam mushaf.
3. Mufassir biasanya mengungkapkan berbagai macam pendapat atau
penafsiran yang pernah diungkapkan baik itu oleh Rosulullah, Shahabat, tabi’in
dan para ulama-ulama sebelumnya.[20]
13. Al Tafsir al-adabi al-Ijtima’i
A. Pengertian
Kata al-adaby
dilihat dari bentuknya termasuk mashdar (infinitif) dari kata kerja (madhi)
aduba, yang berarti sopan santun, tata krama dan sastra. Secara
leksikal, kata tersebut bermakna norma-norma yang dijadikan pegangan bagi
seseorang dalam bertingkah laku dalam kehidupannya dan dalam mengungkapkan
karya seninya. Oleh karena itu, istilah al-adaby bisa diterjemahkan
sastra budaya. Sedangkan kata al-ijtima’iy bermakna banyak bergaul dengan
masyarakat atau bisa diterjemahkan kemasyarakatan. Jadi secara etimologis
tafsir al-adaby al-Ijtima’i adalah tafsir yang berorientasi pada satra
budaya dan kemasyarakatan, atau bisa di sebut dengan tafsir sosio-kultural
B. Ciri-ciri
Adapun ciri dari corak adabi ijtimai
adalah penonjolan ketelitian redaksi ayat-ayat al-Qur’an, penguraian makna yang
dikandung dalam ayat dengan redaksi yang menarik hati, dan adanya upaya untuk
menghubungkan ayat-ayat al-Qur’an dengan hukum-hukum alam yang berlaku dalam
masyarakat. Dalam artian lain bahwa memahami ayat dari segi balaghahnya untuk
kemudian difahami sesuai dengan makna yang dimaksud di dalamnya dengan
menggunakan bahasa yang mudah difahami dan indah. Sehingga al-Qur’an dengan
mudah difahami oleh umat Islam dari kalangan manapun (bukan hanya ulama) untuk
dijadikan sebagai huda li al-nas, sebagaimana yang merupakan fungsi
utama dari al-Qur’an.
C. Tafsir Al-Manar serta pemikiran Abduh dan Rasyid Ridha
Tafsir al-Manar oleh
Muhammad Abduh beserta Rasyid Ridha. Disebutkan oleh Harun Nasution dalam
bukunya Pembaharuan dalam Islam mengutip pendapat Muhammad Abduh dalam
bukunya al-Islam Din al-‘Ilm wa al-Madaniah, menyebutkan bahwa “kondisi
sebagian umat Islam pada saat dituliskannya tafsir al-Manar itu adalah
kondisi jumud, statis dan tidak berkembang karena tradisi Islam saat itu
diwarnai oleh animisme dan masyarakatnya enggan memakai akal”. Kondisi
masyarakat yang seperti itu diperparah oleh sistem pemerintahan Mesir yang
seolah sengaja membiarkan rakyat menjadi bodoh.
Karena itulah usaha pertama Abduh dalam gerak
pembaharunya adalah memperbaiki sistem pendidikan sebagai jantung umat Islam.
Setelah munculnya putri-putri Mesir yang terdidik dan terpelajar, baik dari
pendidikan lokal maupun pendidikan Barat, maka mulailah ada gelombang-gelombang
reformasi dan pembaharuan sebagaimana yang diharapkan oleh Abduh.
Dalam kondisi politik dan masyarakat
yang seperti itu, sebuah respon politik yang belum pernah terjadi pada zaman mufassir
sebelumnya lahir. Majalah al-Manar yang nantinya menjadi tafsir al-Manar
ditulis dengan corak baru dalam tafsir sebagai usaha menjawab tantangan
zamannya. Corak tafsir yang dikembangkan oleh Abduh dan Rasyid Ridha itu
kemudian dikenal corak adabi ijtima’i.
- Ciri-ciripenafsiran
Muhammad Abduh
- Memandangsetiap
surah sebagaisatukesatuanayat-ayat yang serasi.
- Ayat
al-Qur’anbersifatumum.
- Ayat
al-Qur’anadalahsumberaqidahdan hukum.
- Penggunaanakalsecaraluasdalammemahamiayat-ayat
al-Qur’an.
- Ciri-ciri
Pokok Tafsir Rasyid Ridha
- Keluasan
pembahasan tentang ayat-ayat yang ditafsirkan dengan hadis-hadis Nabi SAW.
- Keluasan
pembahasan tentang penafsiran ayat dengan ayat lain.
- Penyisipan
pembahasan-pembahasan yang luas tentang hal-hal yang sangat dibutuhkan
oleh masyarakat pada masanya, dengan tujuan mengantar kepada penjelasan
tentang petunjuk agama, yang menyangkut argumentasi keyakinan maupun
pemecahan problem-problem yang berkembang.
- Keluasan
pembahasan tentang arti mufradat, susunan redaksi, serta pengungkapan pendapat-pendapat
ulama dalam bidang tersebut.[21]
14. Al- Tafsir Al-Maudhui’i
A.
Pengertian Tafsir Maudhu’i
Secara bahasa
kata maudhu’i berasal dari kata موضوع yang
merupakan isim maf’ul dari kata وضع yang
artinya masalan atau pokok pembicaraan, yang berkaitan dengan aspek-aspek
kehidupan manusia yang dibentangkan ayat-ayat al-Quran.
Berdasarkan pengertian bahasa, secara sederhana metode tafsir maudhu’I ini
adalah menafsirkan ayat-ayat al-Quran berdasarkan tema atau topik pemasalahan.
B.
Langkah-langkah Tafsir Maudhu’i
Langkah-langkah metode tafsir maudhu’i baru dimunculkan
pada akhir tahun 1960 oleh Prof. Dr. Ahmad Sayyid Al-Kumiy dengan
langkah-langkah sebagai berikut:
1.
Memilih atau menetapkan masalah al-Qur'an yang akan dikaji secara maudhu’i (tematik).
2.
Menghimpun seluruh ayat al-quran yang terdapat pada seluruh surat al-Qur'an
yang berkaitan dan berbicara tentang tema yang hendak dikaji, baik surat makkiyyat atau
surat madaniyyat.
3.
Menentukan urutan ayat-ayat yang dihimpun itu sesuai dengan masa turunnya
dan mengemukakan sebab-sebab turunnya jika hal itu dimungkinkan (artinya, jika
ayat-ayat itu turun karena sebab-sebab tertentu).
4.
Menjelaskan munasabah (relevansi) antara ayat-ayat itu
pada masing-masing suratnya dan kaitan antara ayat-ayat itu dengan ayat-ayat
sebelum dan sesudahnya pada masing-masing suratnya (dianjurkan untuk melihat
kembali pada tafsir tahlily).
5.
Menyusun tema bahasan di dalam kerangka yang pas, sistematis, sempurna, dan
utuh (outline) yang mencakup semua segi dari tema kajian.
6.
Mengemukakan hadith-hadith Rasulullah SAW yang berbicara tentang tema
kajian serta men-takhrij dan menerangkan derajat hadith-hadith itu
untuk lebih meyakinkan kepada orang lain yang mempelajari tema itu. Dikemukakan
pula riwayat-riwayat (athar) dari para sahabat dantabi’in.
7.
Merujuk kepada kalam (ungkapan-ungkapan bangsa) Arab dan shair-shair mereka
dalam menjelaskan lafaz-lafaz yang terdapat pada ayat-ayat
yang berbicara tentang tema kajian dan dalam menjelaskan makna-maknanya.
8.
Mempelajari ayat-ayat tersebut secara maudu’i dan
menyeluruh dengan cara menghimpun ayat-ayat yang mengandung pengertian serupa,
mengkompromikan pengertian antara yang ‘am dan khas, antara
yang mutlaq dan muqayyad, mengsinkronkan ayat-ayat
yang lahirnya tampak kontradiktif, menjelaskan ayat yang nasikh danmansukh,
sehingga semua ayat tersebut bertemu pada satu muara, tanpa perbedaan dan
kontradiksi atau tindakan pemaksaan terhadap sebagian ayat kepada makna-makna
yang sebenarnya tidak tepat.
C. Keistimewaan
Tafsir Maudhi’i
Keistimewaan metode tafsir maudhu’i antara lain:
a. Menjawab tantangan
zaman: Permasalahan dalam kehidupan selalu tumbuh dan berkembang sesuai dengan
perkembangan kehidupan itu sendiri. Maka metode maudhu’i sebagai upaya metode
penafsiran untuk menjawab tantangan tersebut. Untuk kajian tematik ini
diupayakan untuk menyelesaikan permasalahan yang dihadapi masyarakat.
b. Praktis dan sistematis:
Tafsir dengan metode tematik
disusun secara praktis dan sistematis dalam usaha memecahkan permasalahan yang
timbul.
c.
Dinamis: Metode tematik membuat tafsir al-Qur’an selalu dinamis sesuai
dengan tuntutan zaman sehingga menimbulkan image di dalam pikiran pembaca dan
pendengarnya bahwa al-Qur’an senantiasa mengayomi dan membimbing kehidupan di
muka bumi ini pada semua lapisan dan starata sosial.
d.
Membuat pemahaman menjadi utuh: Dengan ditetapkannya judul-judul yang akan
dibahas, maka pemahaman ayat-ayat al-Qur’an dapat diserap secara utuh.
Pemahaman semacam ini sulit ditemukan dalam metode tafsir yang dikemukakan di
muka. Maka metode tematik ini dapat diandalkan untuk pemecahan suatu
permasalahan secara lebih baik dan tuntas
D.
Perbedaan Maudhi’i dengan Tahlili
Perbedaan metode maudhu’i (tematik)
dengan metode tahlili
Metode Tahlili
|
Metode Maudhu’i (Tematik)
|
- mufassir terikat dengan susunan ayat sebagaimana tercantum dalam mushaf.
- Mufassir berusaha berbicara menyangkut beberapa tema yang ditemukan dalam
satu ayat.
- Mufassir berusaha menjelaskan segala sesuatu yang ditemukan dalam satu
ayat.
- Sulit ditemukan tema-tema tertentu yang utuh
- Sudah dikenal sejak dahulu dan banyak digunakan dalam kitab-kitab tafsir
yang ada.
|
-
Mufassir tidak terikat dengan susunan ayat dalam mushaf, tetapi lebih
terikat dengan urutan masa turunya ayat, atau kronologi kejadian.
-
Mufassir tidak berbicara tema lain selain tema ysng sedang dikaji.
Oleh karena itu, ia dapat mengangkat tema-tema Al-qur’an yang
masing-masing berdiri sendiri dan tidak bercampur aduk dengan tema-tema
lain.
-
Mufassir tidak membahas segala permasalahan yang dikandung oleh satu
ayat. Tetapi hanya yang berkaitan dengan pokok bahasan.
-
Mudah untuk menyusun tema-tema al-qur’an yang berdiri sendiri.
-
Walaupun benihnya ditemukan sejak dahulu, sebagai sebuah metode
penafsiran yang jelas dan utuh baru dikenal belakangan saja.
|
15. Al- tafsir
al-muqarin
A.
Pengertian
Para ahli tidak berbeda pendapat mengenai definisi
metode ini. Dari berbagai literartur yang ada, dapat dirangkum bahwa yang
dimaksud dengan metode komparatif ialah: 1) Membandingkan teks (nash) ayat-ayat
al-Qur’an yang memiliki kemiripan atau persamaan redaksi dalam dua kasus atau
lebih, dan atau memiliki redaksi yang berbeda bagi satu kasus yang sama; 2)
membandingkan ayat al-Qur’an dengan hadis yang pada lahirnya terlihat
bertentangan; 3) membandingkan berbagai pendapat ulama tafsir dalam menafsirkan
al-Qur’an.
Dari definisi
itu terlaihat jelas bahwa tafsir al-Qur’an dengan menggunakan metode ini
mempunyai cakupan yang amat luas, tidak hanya membandingkan ayat dengan ayat
melainkan juga membandingkan ayat dengan hadis serta membandingkan
pendapat para mufasir dalam menafsirkan suatu ayat.
B.
Tujuan,
Kelebihan , Kekurangan, Faedah, dan Hikmah
·
Memberikan
wawasan penafsiran yang relatif lebih luas kepada para pembaca bila
dibandingkan dengan metode-metode yang lain.
·
Membuka
pintu untuk selalu bersikap toleran terhadap pendapat orang lain yang kadang
kadang jauh berbeda dari pendapat kita dan tidak mustahil ada kontroversi.
·
Tafsir
dengan metode komperatif ini amat berguna bagi mereka yang ingin mengetahui
berbagai pendapat tentang suatu ayat.
·
Dengan
menggunakan metode komperatif, mufasir didorong untuk mengkaji berbagai ayat
dan hadist-hadist serta pendapat-pendapat para mufasir yang lain.
·
Penaafsiran
yang memakai metode komperatif tidak dapat diberikan kepada para pemula,
seperti mereka yang sedang belajar pada tingkat sekolah menengah kebawah.
·
Metode
komperatif kurang dapat diandalkan untuk menjawab permasalahan sosial yang
tumbuh ditengah masyarakat.
·
Metode
komperatif terkesan lebih banyak menelusuri penafsiran-penafsiran yang pernah
diberikan oleh para ulama daripada mengemukakan penafsiran-penafsiran baru
C. Ruang
Lingkup Metode Komparatif
Untuk lebih jelasnya, berikut akan diuraikan ruang
lingkup dan langkah-langkah penerapan metode ini pada masing-masing aspek.
1).Perbandingan
Ayat Dengan Ayat
2)Perbandingan
redaksi yang mirip
3) Analisis
redaksi yang mirip
4)
Perbandingan Pendapat para Mufasir
16.
Tafsir Al-Shufiah
A. Pengertian Tafsir Sufi Nazari dan pendapat ulama
Tafsir Sufi al-Nazari adalah tafsir sufi yang dibangun untuk
mempromosikan dan memperkuat teori-teori mistik yang dianut
mufassir. Dalam menafsirkannya itu mufassir membawa al-Qur’an
melenceng jauh dari tujuan utamanya yaitu untuk kemaslahatan manusia, tetapi
yang ada adalah penafsiran pra konsepsi untuk menetapkan teori mereka.
Al-Zahabi mengatakan bahwa tafsir sufi nazari dalam praktiknya adalah
pensyarahan al-Qur’an yang tidak memperhatikan segi bahasa serta apa yang
dimaksudkan oleh syara’.
Ulama yang dianggap kompeten dalam tafsir
al-Nazari yaitu Muhyiddin Ibn al-‘Arabi. Beliau dianggap sebagai ulama tafsir
sufi nazari yang meyandarkan bebarapa teori-teori tasawufnya dengan al-Qur’an.
Karya tafsir Ibn al-‘Arabi di antaranya al-Futuhat
al-Makiyat dan al-Fushush.
Ibn al-‘Arabi adalah seorang sufi yang dikenal dengan paham wahdatul wujud-nya.
Wahdat al-wujud dalam teori sufi adalah paham adanya persatuan antara manusia
dengan Tuhan. Contoh Dalil al-Qur’an tentang paham ini adalah Al-Qur’an surat
al-Baqarah ayat 186: “Jika hamba-hambaku
bertanya padamu tentang aku, aku adalah dekat. Aku mengabulkan seruan orang
memanggil jika dia panggil Aku”. Kata do’a yang terdapat dalam ayat
tersebut oleh sufi diartikan bukan berdo’a dalam arti lazim dipakai. Kata itu
bagi mereka adalah mengandung arti berseru atau memanggil. Tuhan mereka panggil
dan Tuhan melihat dirinya kepada mereka. Dengan perkataan lain, mereka
berseru agar Tuhan membuka hijab dan menampakkan dirinya kepada mereka.
B. Tafsir Sufi Isyari
Tafsir sufi Isyari adalah pentakwilan
ayat-ayat al-Qur’an yang berbeda dengan makna lahirnya sesuai dengan petunjuk
khusus yang diterima para tokoh sufisme tetapi di antara kedua makna tersebut
dapat dikompromikan. Yang menjadi asumsi dasar mereka dengan menggunakan
tafsir isyari adalah bahwa al-Qur’an mencakup apa yang zhahir dan batin. Makna
zhahir dari al-Qur’an adalah teks ayat sedangkan makna batinnya adalah makna
isyarat yang ada dibalik makna tersebut.
Contoh penafsiran
isyari yang dapat diterima karena telah memenuhi syarat-syarat tersebut di
atas, yaitu penafsiran al-Tastary ketika menafsirkan ayat 22 dari surat
al-Baqarah:
فلا تجعلوا لله اندادا
Al-Tastary menafsirkan andadan yaitu nafsu amarah yang jelek.
Jadi maksud andadan disini bukan
hanya patung-patung, setan atau jiwa tetapi nafsu amarah yang sering dijadikan
Tuhan oleh manusia adalah perihal yang dimaksud dari ayat tersebut, karena
manusia selalu menyekutukan Tuhannya dengan selalu menjadi hamba bagi nafsu
amarahnya.
Menafsirkan ayat-ayat al-Qur’an dengan melihat
isyarat yang ada di dalamnya telah banyak dilakukan oleh para sahabat Nabi,
diantaranya penafsiran isyari sahabat yaitu: Ketika para sahabat mendengar ayat
pertama dari surat al-Nasr yang bunyinya:
اذا جاء نصر الله والفتح
Di antara mereka ada yang mencoba memberikan
penafsiran ayat tersebut dengan mengatakan bahwa ayat tersebut memerintahkan
kepada mereka untuk bersyukur kepada Allah dan meminta ampunannya. Tetapi
berbeda dengan Ibn Abbas yang mengatakan bahwa ayat tersebut adalah sebagai
tanda ajal Rasulullah saw.[23]
17. Amtsal Al-Quran
A. Pengertian
Secara bahasa amtsal adalah bentuk jama’ dari matsal
yang artinya sama atau serupa, perumpamaan, sesuatu yang menyerupai dan
bandingan. Di lihat dari wazannya, kata matsal, mitsil dan matsil sama dengan sabah,
sibih dan sabih di dalam segi lafadz maupun maknanya.
Sedangkan secara terminology, amtsal adalah suatu ungkapan yang dihikayatkan
dan sudah populer dengan maksud menyerupakan keadaan yang terdapat dalam
perkataan itu dengan keadaan sesuatu yang karenanya perkataan itu diucapkan.
Maksudnya, menyerupakan sesuatu (seseorang atau
keadaan) dengan apa yang terkandung dalam perkataan. Misalnya, رب رمية من
غير رام (betapa
banyak lemparan panah yang mengena tanpa sengaja). Artinya, banyak pemanah yang
mengenai sasaraan itu dilakukan pemanah yang biasanya yang tidak tepat
lemparannya.
B.
Jenis-jenis Amtsal dalam Al-Quran
1. Al-amtsal al-musharrahah, yaitu perumpamaan yang
jelas yang di dalamnya terdapat lafazh matsal atau lafazh lain yang
menunjukkan arti persamaan atau perumpamaan. Amtsal jenis ini banyak
terdapat dalam al-Qur’an. Seperti yang terdapat dalam surat al-Baqarah
ayat 261:
مَثَلُ الَّذِينَ يُنْفِقُونَ أَمْوَالَهُمْ فِي سَبِيلِ اللَّهِ كَمَثَلِ
حَبَّةٍ أَنْبَتَتْ سَبْعَ سَنَابِلَ فِي كُلِّ سُنْبُلَةٍ مِائَةُ حَبَّةٍ
وَاللَّهُ يُضَاعِفُ لِمَنْ يَشَاءُ وَاللَّهُ وَاسِعٌ عَلِيمٌ
Artinya: “Perumpamaan (nafkah yang dikeluarkan oleh) orang-orang yang
menafkahkan hartanya di jalan Allah adalah serupa dengan sebutir benih yang
menumbuhkan tujuh bulir, pada tiap-tiap bulir: seratus biji. Allah melipat
gandakan (ganjaran) bagi siapa yang Dia kehendaki. Dan Allah Maha Luas
(kurnia-Nya) lagi Maha Mengetahui.”
Dalam ayat ini dijelaskan keuntungan besar bagi orang-orang yang mau
berinfak dengan menyamakannya terhadap orang yang menanam 1 butir biji yang
kelak menghasilkan 700 butir biji. Penyamaan pahala orang yang infak dengan
hasil tanaman pada ayat ini jelas menggunakan lafazh matsal (مَثَلُ الَّذِيْنَ
يُنْفِقُوْنَ أَمْوَالَهُمْ…). Dalam ayat ini yang
disamakan adalah keuntungan.
2. Al-amtsal al-kaaminah, yaitu perumpamaan yang
tidak jelas dengan tanpa menggunakan lafazh matsal atau sejenisnya, akan
tetapi artinya menunjukkan arti perumpamaan yang indah dan singkat. Makna amtsal
seperti ini akan mengena jika lafazh tersebut dinukilkan kepada hal
yang menyerupainya.
Jadi, sebenarnya dalam al-amtsal al-kaaminah al-Qur’an itu sendiri
tidak menjelaskan bentuk perumpamaan terhadap suatu makna tertentu. Hanya saja
maknanya menunjukkan pada makna suatu perumpamaan. Tegasnya amtsal jenis
ini merupakan perumpamaan maknawi yang tersembunyi, bukan perumpamaan lafzhi
yang jelas.
Salah satu contoh al-amtsal al-kaaminah adalah sebagaimana ungkapan
yang disebutkan orang Arab yang berupa خَيْرُ الْأُمُوْرِ أَوْسَطُهَا (sebaik-baiknya perkara adalah
tengah-tengah). Ungkapan ini merupakan hasil perumpamaan dari beberapa ayat
al-Qur’an, di antaranya:
·
Surat al-Baqarah ayat 68:
…إِنَّهَا بَقَرَةٌ لَا
فَارِضٌ وَلَا بِكْرٌ عَوَانٌ بَيْنَ ذَلِكَ…الأية
Artinya: “…bahwa sapi betina itu adalah sapi betina yang tidak tua dan
tidak muda; pertengahan antara itu…”
C. Faedah
–faedah Amtsal Al-Quran
Apabila diamati berbagai macam dan contoh amtsal dalam
al-Qur’an, maka ditemukan bahwa pengungkapan amtsal dalam al-Qur’an
mempunyai banyak faedah. Di antara faedah-faedah tersebut adalah:
1. Menampilkan sesuatu yang abstrak (yang hanya bisa digambarkan dalam
pikiran) ke dalam bentuk sesuatu yang konkret (material) yang dapat ditangkap
indera agar akal dapat menerima pesan yang disampaikan oleh perumpamaan itu.
Karena makna yang abstrak bisa jadi membuat hati masih ragu maka perlu adanya
penggambaran dalam bentuk konkret agar mudah dicerna.
2. Menyingkap makna yang sebenarnya dan menampilkan hal yang gaib dalam
sesuatu yang tampak.
3. Menghimpun arti-arti yang indah dalam ungkapan yang singkat, sebagaimana
yang terdapat dalam amtsal kaaminah dan amtsal mursalah.
4. Mendorong orang untuk beramal dan menimbulkan minat dalam ibadah dengan
melaksanakan hal-hal yang dijadikan perumpamaan yang menarik dalam al-Qur’an.
5. Dapat menjauhkan seseorang dari sesuatu yang tidak disenangi jiwa.
6. Untuk memuji sesuatu yang dicontohkan, seperti pujian Allah kepada para
sahabat Rasulullah.
7. Digunakan untuk mencela. Ini terjadi apabila sesuatu yang menjadi
perumpamaan adalah hal yang dianggap buruk oleh manusia.
8. Pesan yang disampaikan melalui amtsal lebih mengena di hati, lebih
mantap dalam menyampaikan nasihat atau larangan serta lebih kuat pengaruhnya.[24]
18. Muhkam dan Mutasyabih
A. Pengertian Muhkam dan Mutasyabih
Muhkam berasal dari kata Ihkam, yang
berati kekukuhan, kesempurnaan, keseksamaan, dan pencegahan. Sedangkan secara
terminologi, Muhkam berarti ayat-ayat yang jelas maknanya, dan tidak memerlukan
keterangan dari ayat-ayat lain.
Kata Mutasyabih berasal dari kata
tasyabuh, yang secara bahasa berarti keserupaan dan kesamaan yang biasanya
membawa kepada kesamaran antara dua hal. Tasyabaha, Isytabaha sama dengan
Asybaha (mirip, serupa, sama) satu dengan yang lain sehingga menjadi kabur,
tercampur. Sedangkan secara terminoligi Mutasyabih berarti ayat-ayat yang belum
jelas maksudnya, dan mempunyai banyak kemungkinan takwilnya, atau maknanya yang
tersembunyi, dan memerlukan keterangan tertentu, atau hanya Allah yang
mengetahuinya.
B. Sebab dan macam-macam Ayat
Mutasyabihat
Sesuai dengan sebab-sebab adanya
ayat-ayat mutasyabihat dalam Al-Qur’an, maka ayat-ayat tersebut dikelompokkan
menjadi tiga macam, yaitu:
- Ayat-ayat
mutasyabihat yang tidak dapat diketahui oleh seluruh umat manusia, atau
kecuali Allah SWT. Contohnya seperti Dzat Allah SWT, hakikat
sifat-sifatNya, waktu datangnya hari kiamat, dan hal-hal ghoib lainnya.
Seperti keterangan surah Al-An’am ayat 59:
Artinya:
“Dan pada sisi Allah-lah kunci-kunci semua yang ghoib: tidak ada yang
mengetahui kecuali Dia sendiri.”
Dan seperti
isi surat lukman ayat 34:
Artinya:
“Sesungguhnya Allah, hanya pada sisi-Nya sajalah pengetahuan tentang hari
Kiamat; dan Dia-lah yang menurunkan hujan, dan mengetahui apa yang ada dalam
rahim dan tiada seorangpun yang dapat mengetahui (dengan pasti) apa yang akan
diusahakannya besok. dan tiada seorangpun yang dapat mengetahui di bumi mana
dia akan mati.”
2. Ayat-ayat
mutasyabihat yang dapat diketahui maksudnya oleh semua orang. Hal ini dapat
dilakukan dengan jalan pembahasan dan pengkajian/penelitian yang mendalam.
Contohnya ayat-ayat mutasyabihat yang kesamarannya timbul akibat ringkas,
panjang, urutan, dan seumpamanya.
Jadi, dalam
menyikapi ayat-ayat ini adalah merinci yang mujmal, menentukan yang musytarak,
menqayidkan yang mutlak, menertibkan yang kurang tertib, dan sebagainya.
Seperti dalam firman Allah Q.S. An-Nisa ayat 3:
Artinya:
“Dan jika kamu takut tidak akan berlaku adil terhadap (hak-hak) perempuan yang
yatim, maka kawinilah wanita-wanita (lain).”
Maksud ayat ini tidak jelas dan ketidak jelasannya
timbul karena lafalnya yang ringkas. Kalimat asalnya berbunyi:
Artinya: “Dan jika kamu takut tidak akan dapat
berlaku adil terhadap perempuan yang yatim sekiranya kamu kawini mereka, maka
kawinilah wanita-wanita selain mereka.”
C. Pendapat
Ulama Tentang Ayat-ayat Mutasyabih
Pada dasarnya perbedaan pendapat para Ulama dalam
menanggapi sifat-sifat mutasyabihat dalam Al-Qur’an dilatarbelakangi oleh
perbedaan pemahaman atas firman Allah SWT dalam Al-Qur’an Surah Ali Imran ayat
7.
Subhi
Al-Shalih membedakan pendapat para ulama ke dalam dua mazhab, yaitu:
1.
Mazhab Salaf
Yaitu
orang-orang yang mempercayai dan mengimani sifat-sifat mutasyabihat ini dan
menyerahkan hakikatnya kepada Allah sendiri. Para Ulama Salaf mengharuskan kita
berwaqaf (berhenti) dalam membaca QS. Ali Imran : 7 pada lafal jalalah. Hal ini
memberikan pengertian bahwa hanya Allah yang mengerti takwil dari ayat-ayat
mutasyabihat yang ada. Mazhab ini juga disebut mazhab Muwaffidah atau Tafwid
2.
Mazhab Khalaf
Yaitu
orang-orang yang mentakwilkan (mempertangguhkan) lafal yang mustahil dzahirnya
kepada makna yang layak dengan zat Allah. Dalam memahami QS. Ali-Imran : 7
mazhab ini mewaqafkan bacaan mereka pada lafal “Warraasikhuuna fil ‘Ilmi”. Hal
ini memberikan pengertian bahwa yang mengetahui takwil dari ayat-ayat
mutasyabih adalah Allah dan orang-orang yang Rasikh (mendalam) dalam ilmunya.
Mazhab ini disebut juga Mazhab Muawwilah atau Mazhab Takwil.
D. Hikmah Diturunkannya Ayat-ayat
Mutasyabih
Adanya ayat-ayat mutasyabihat dalam Alquran membawa
faedah/ hikmah yang banyak juga. Bahkan, lebih banyak daripada hikmah ayat-ayat
muhkamat di atas. Adapun hikmahnya adalah sebagai berikut;
- Sebagai rahmat Allah SWT. Hal
ini jelas sekali, karena jika tidak disamarkan, bisa jadi merupakan
siksaan bagi mereka, terutama mereka yang tidak tahan menzahirkannya.
- Ujian dan cobaan terhadap
kekuatan iman umat manusia.
- Membuktikan kelemahan dan
kebodohan manusia.
- Mendorong umat untuk giat
belajar, tekun menalar, dan rajin meneliti.
- Memperlihatkan kemukjizatan Al-Qur’an
ketinggian mutu sastra dan balaghahnya, agar manusia menyadari sepenuhnya
bahwa kitab itu bukanlah buatan manusia biasa, melainkan wahyu ciptaan
Allah SWT.
- Memudahkan orang dalam memahami
Al-Qur’an. Sebab, adanya ayat-ayat yang mutasyabihat tersebut pasti
mendorong seseorang untuk serius menghadapinya. Sehingga, dengan
sendirinya akan lebih meresapkan hasil-hasil usahanya itu yang pada
gilirannya dapat mempermudah segalanya.
- Menambah pahala umat manusia,
dengan bertambah sukarnya memahami ayat-ayat mutasyabihat. Sebab, semakin
sukar kerjaan orang, akan semakin besar pahalanya.
- Mendorong kegiatan mempelajari
disiplin ilmu pengetahuan yang bermacam-macam. Sebab, adanya ayat-ayat
mutasyabihat dalam Alquran, mendorong orang-orang yang akan mempelajarinya
harus lebih dahulu mempelajari beberapa disiplin ilmu yang terkait dengan
berbagai isi ajaran Al-Qur’an yang bermacam-macam. Seperti Ilmu
matematika, bahasa, kimia, fisika, dan sebagainya.[25]
19. Manthuq dan Mafhum
A.
Pengertian Mantuq
Kata mantuq secara bahasa berarti sesuatu yang
ditunjukkan oleh lafal ketika diucapkan. Secara istilah dilalah mantuq adalah:
دلالة
المنطوق هي دلالة اللفظ على حكم شيئ مذ كور في الكلم
“Dilalah
mantuq adalah penunjukkan lafal terhadap hukum sesuatu yang disebutkan dalam
pembicaraan (lafal)”.
Dari definisi ini diketahui bahwa apabila suatu hukum
dipahami langsung lafal yang tertulis, maka cara seperti ini disebut pemahaman
secara mantuq.
Para ahli
ushul fiqh membagi mantuq kepada dua macam yaitu:
1)
Mantuq sharih secara bahasa berarti sesuatu yang diucapkan secara tegas.
Adapun definisi mantuq sharih secara istilah adalah:
المنطوق
الصريح هوما وضغ اللفظ له فيد ل عليه بالمطابقة او بالتضمن
“Mantuq sharih adalah makna yang secara tegas yang ditunjukkan suatu lafal
sesuai dengan penciptaannya, baik secara penuh atau berupa bagiannya”
Untuk
memahami definisi ini dengan baik perlu dikemukakan contoh penggunaandilalah
mantuq sharih pada firman Allah surat Al-Baqarah ayat 275 yang berbunyi :
وَأَحَلَّ
اللَّهُ الْبَيْعَ وَحَرَّمَ الرِّبَا
Artinya: “Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba”.
Ayat ini
menunjukkan secara jelas dan tegas melalui mantuq sharih tentang kehalalan jual
beli dan keharaman riba.
2)
Mantuq ghairu sharih secara istilah adalah:
المنطوق غير
صريح هو مالم يوضع اللفظ له بل هولا زم لما وضع
“Mantuq ghairu sharih adalah pengertian yang ditarik bukan dari makna asli
dari suatu lafal, sebagai konsekuensi dari suatu ucapan”
Dari
definisi ini jelas bahwa apabila penunjukkan suatu hukum didasarkan pada
konsekuensi dari suatu ucapan (lafal), bukan ditunjukkan secara tegas oleh
suatu lafal sejak penciptaannya, baik secara penuh atau bagiannya disebut
dilalah mantuq ghairu sharih. Misalnya dalam firman Allah surat Al-Baqarah
ayat 233 yang berbunyi :
وَعَلَى
الْمَوْلُودِ لَهُ رِزْقُهُنَّ وَكِسْوَتُهُنَّ بِالْمَعْرُوفِ
Artinya: “Dan kewajiban ayah memberi makan dan pakaian kepada para ibu
dengan cara yang ma’ruf”.
Dari ayat
ini dapat dipahami bahwa nasab seorang anak dihubungkan kepada ayah bukan
kepada ibu karena tanggung jawab nafkah anak berada di tangan seorang ayah.
Kesimpulan seperti ini diambil dengan cara mantuq ghairu sharih dari ayat di
atas.
B. Dalalah
Iqtidha dan dalalah Isyarah
Dalalat al-Isyarah adalah suatu pengertian yang ditunjukkan oleh suatu redaksi, namun bukan
pengertian aslinya, tetapi merupakan suatu kemestian atau konsekuensi dari
hukum yang ditunjukkan oleh redaksi itu.
Contohnya dalam surat Al-Luqman ayat 14:
وَوَصَّيْنَا
الإنْسَانَ بِوَالِدَيْهِ حَمَلَتْهُ أُمُّهُ وَهْنًا عَلَى وَهْنٍ وَفِصَالُهُ
فِي عَامَيْنِ
“Dan kami perintahkan
kepada manusia (berbuat baik) kepada dua orang ibu bapaknya; ibunya telah
mengandungnya dalam keadaan lemah yang bertambah-tambah, dan menyapihnya dalam
dua tahun”
Dalalat al-Iqtida’ adalah pengertian kata
yang disisipkan secara tersirat (dalam pemahaman) pada redaksi tertentu yang
tidak bisa dipaami secara lurus kecuali dengan adanya penyisipan itu.
Contohnya sebuah hadits Rasulullah menjelaskan:
عَنْ أَبِي ذَرٍّ الْغِفَارِ يٍّ قَالَ قَالَ رَسُوْلُ اللّهِ صَلَّى اللّهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِنَّ اللّهَ تَجَاوَزَ عَنْ أُمَّتِي الْخَطَأَ
وَالنِّسْيَانَ وَمَا اسْتَكْرِهُوَا عَلَيْهِ {رواه ابن ماجه}
“Dari Abu Dzar
al-Ghiffari berkata, Rasulullah SAW bersabda: Sesungguhnya Allah mengangkat
dari umatku tersalah, lupa dan keterpaksaan.” (HR. Ibnu Majah)
Hadits tersebut secara jelas menunjukkan bahwa tersalah, lupa dan
keterpaksaan diangkatkan dari umat Muhammad saw. pengertian tersebut sudah
jelas ridak lurus, karena bertentangan dengan kenyataan. Untuk meluruskan
maknanya perlu disisipkan secara tersirat kata al-ism (dosa) atau al-hukm
(hukum), sehingga demikian arti hadits menjadi : diangkatkan dari umatku (dosa
atau hukum) perbuatan tersalah, karena lupa atau karena keterpaksaan.
C. Pengertian Mafhum dan macam-macamnya
Pengertian Mafhum secara bahasa adalah sesuatu yang
ditunjuk oleh lafadz, tetapi bukan dari ucapan lafadz itu sendiri. Para ahli
ushul fiqh mendefinisikan mafhum sebagai berikut.
“Mafhum
adalah penunjukkan lafal yang tidak diucapkan atau dengan kata lain penunjukkan
lafal terhadap suatu hukum yang tidak disebutkan atau menetapkan pengertian
kebalikan dari pengertian lafal yang diucapkan (bagi sesuatu yang tidak
diucapkan)” Seperti firman Allah SWT.
فَلَا تَقُل
لَّهُمَا أُفٍّ وَلَا تَنْهَرْهُمَا وَقُل لَّهُمَا قَوْلًا كَرِيمًا
Secara mantuq, hukum yang dapat ditarik dari ayat ini adalah haramnya
mengucapkan kata “ah” dan menghardik orang tua. Dari ayat ini dapat juga
digunakan mafhum, dimana melaluinya dapat diketahui haram hukumnya memukul
orang tua dan segala bentuk perbuatan yang menyakiti keduanya.
Macam-macam Pembagian
Mafhum
Mafhum juga
dapat dibedakan kepada 2 bagian yaitu:
- Mafhum
Muwafaqah, yaitu pengertian yang dipahami sesuatu menurut
ucapan lafadz yang disebutkan. Menurut para ahli usul fiqh mafhum
muwafaqah adalah penunjukan hukum yang tidak disebutkan untuk memperkuat
hukumnya karena terdapat kesamaan antara keduanya dalam meniadakan atau
menetapkan. Mafhum Muwafaqah dapat dibagi kepada 2 bagian yaitu:
1)
Fahwal Khitab, yaitu apabila yang dipahamkan lebih utama hukumnya
daripada yang diucapkan. Seperti memukul orang tua lebih tidak boleh hukumnya,
firman Allah yang berbunyi :
فَلَا تَقُل
لَّهُمَا أُفٍّ وَلَا تَنْهَرْهُمَا وَقُل لَّهُمَا قَوْلًا كَرِيمًا
Sedangkan
kata-kata yang keji saja tidak boleh (dilarang) apalagi memukulnya.
Dari ayat
ini dapat dipahami bahwa haramnya mengatakan “ah”, oleh karena itu, keharaman
mencaci maki dan memukul lebih pantas diambil karena keduanya lebih berat.
2)
Lahnal Khitab, yaitu apabila yang tidak diucapkan sama hukumnya dengan
yang diucapkan, seperti firman Allah SWT dalam Al-qur’an surat An-Nisa ayat 10
:
إِنَّ
الَّذِينَ يَأْكُلُونَ أَمْوَالَ الْيَتَامَىٰ ظُلْمًا إِنَّمَا يَأْكُلُونَ فِي
بُطُونِهِمْ نَارًا
Artinya:
Sesungguhnya orang-orang yang memakan harta anak yatim secara zalim, Sebenarnya
mereka itu menelan api sepenuh perutnya dan mereka akan masuk ke dalam api yang
menyala-nyala (neraka).
Membakar
atau setiap cara yang menghabiskan harta anak yatim sama hukumnya dengan
memakan harta anak tersebut yang berarti dilarang (haram).
2. Mafhum
Mukhalafah, yaitu pengertian yang dipahami berbeda daripada
ucapan, baik dalam istinbat (menetapkan) maupun nafi (meniadakkan). Oleh sebab
hal itu yang diucapkan.
Seperti
dalam firman Allah SWT surat Al-Jumuah ayat 9 :
يَا أَيُّهَا
الَّذِينَ آمَنُوا إِذَا نُودِيَ لِلصَّلَاةِ مِن يَوْمِ الْجُمُعَةِ فَاسْعَوْا
إِلَىٰ ذِكْرِ اللَّهِ وَذَرُوا الْبَيْعَ
Artinya: Wahai
orang-orang yang beriman apabila diseru untuk menunaikan shalat Jum’at, Maka
bersegeralah kamu kepada mengingat Allah dan tinggalkanlah jual beli
dari ayat
ini dipahami bahwa boleh jual beli dihari Jum’at sebelum azan dikumandangkan
dan sesudah mengerjakan shalat Jum’at. Dalil Khitab ini dinamakan juga mafhum
mukhalafah.[26]
Mafhum mukhalafah adalah makna yang berbeda hukumnya
dengan mantuq. Mafhum ini terbagi kedalam 6 macam. Ialah :
1. Mafhum
Shifat
2. Mafhum
’illat
3. Mafhum
’adad
4. Mafhum
ghayah
5. Mafhum
had
6. Mafhum
al-Laqab
Daftar Pustaka
Al-Zarqani, Muhammad Ibn Abd al-Azim. Manahil al-Irfan fi ‘Ulum
al-Qur’an, jilid I. Beirut: Dar al-Fikr, 1988.
Syihab, H. Umar, Al-Quran Dan Rekayasa Social, Pustaka
kartini, Jakarta, 1990.
Az-Zarqani, Manahil al-‘Irfn Fi ‘Ulum al-Qur’an,
Daar al-Fikr, Beirut, Cet.I, 1988.
DR. Rosihon Anwar, M.Ag.ulum
al-quran,Bandung: Pustaka Setia, 2008.
Manna’ Khalil al-Qattan, Studi Ilmu-ilmu Qur’an, Jakarta: Pustaka
Litera AntarNusa, 1992. Muhammad Amin Suma, Studi Ilmu-ilmu Al-Qur’an 3,
Jakarta: Pustaka Firdaus, 2004.
Ali Ash-Shabuni, Muhammad. At-Tibyaan fii Ulumil Qur'an.
Terj. H. Aminudin. Editor: Maman Abd-Djaliel. Bandung: Pustaka Setia.1991.
M.Quraish Shihab, Wawasan Al-Quran. Bandung,Mizan,cet IV,
1996.
Badr al-Din al-Zarkasyi, al-Burhân fi ‘Ulûm al-Qur’an, Beirut
: Dar al-Ma’rifah li al-Tiba’ah wa al-Nasyr, 1972.
Masyhur, Kahar. Ulumul Qur’an. Jakarta: RINEKA CIPTA.1992.
Shihab, M. Quraish. Mukjizat Al-Quran. Bandung: Mizan. 1998.
Rifai, Zainal Hasan, Kisah-kisah Israiliyyat dalam Penafsiran
al-Qur'an dalam Belajar Ulumul Qur'an, Jakarta, Lentera Basitama,
1992.
Drs. H. Ahmad Syadali MA, Drs. H. Ahmad Rofi’I, Ulumul Qur’an II,
CV.Pustaka Setia, Bandung, 1997.
Prof. Dr. H. Abdul Djalal HA, Ulumul Qur’an, Surabaya: Dunia
Ilmu, 2000.
Dahlan, Abd. Rahman.Kaidah-Kaidah Penafsiran al-Qur’an.
Bandung: Mizan, cetakan II.1998.
Ahmad Syurbasyi, Qishshatul Tafsir,
Terj. Zufran Rahman, Sejarah Perkembangan Tafsir Al-Qur’an Al-Karim, Jakarta:
Kalam Mulia, 1999.
Nashruddin Baidan, DR., Metodologi Penafsiran Al-Qur’an,
Yogyakarta, Glagah UH/343, cet. Ke-1, 1998.
M. Husein al-Dzahabi, Kitâb al-Tafsîr wa al-Mufassirûn, Dar
al-Fikr, Beirut, 1995.
Chirzin,
Muhammad. Al-qur’an dan Ulumul Qur’an. Yogyakarta: PT. Dana Bhakti Prima
Yasa. 1998.
Asshiddieqy, Teungku Muhammad Hasbi.Ilmu-Ilmu
Ulumul Al Quran, Semarang:Pustaka Rizki Putra.2002.
Mana’ul Quthan, Pembahasan Ilmu Al-Qur’an, Jakarta : Rineka
Cipta, 1995.
[1] .
Al-Zarqani, Muhammad Ibn Abd al-Azim. Manahil al-Irfan fi ‘Ulum al-Qur’an,
jilid I. Beirut: Dar al-Fikr, 1988.hal.52
[2] .
Syihab, H. Umar, Al-Quran Dan Rekayasa Social, Pustaka kartini, Jakarta, 1990.hal.85-89
[3] .
Az-Zarqani, Manahil al-‘Irfn Fi ‘Ulum al-Qur’an,
Daar al-Fikr, Beirut, 1988: I, hal. 346 – 347.
[4] .
DR. Rosihon Anwar, M.Ag.ulum al-quran,Bandung:
Pustaka Setia, 2008, hal. 65
[5] .
Manna’ Khalil al-Qattan, Studi Ilmu-ilmu Qur’an, (Jakarta: Pustaka
Litera AntarNusa, 1992), hlm.107.
[7] .
Dr. Rosihan Anwar, M.Ag., Ulum Al-Qur’an, hal.107
[8] .
Manna’ Khalil Al-Qattan, studi ilmu-ilmu Al-Qur’an, hal 73
[9] .
Ali Ash-Shabuni, Muhammad. 1991. At-Tibyaan fii Ulumil Qur'an. Terj. H.
Aminudin. Editor: Maman Abd-Djaliel. Bandung: Pustaka Setia.
[10] .
M.Quraish Shihab, Wawasan Al-Quran (Bandung,Mizan,cet IV, 1996) hlm. 319
[11].Badr
al-Din al-Zarkasyi, al-Burhân fi ‘Ulûm al-Qur’an, Beirut
: Dar al-Ma’rifah li al-Tiba’ah wa al-Nasyr, 1972
[12] .
Masyhur, Kahar. 1992. Ulumul Qur’an. Jakarta: RINEKA CIPTA.hal. 26
[13] .
Shihab, M. Quraish.1998. Mukjizat Al-Quran. Bandung: Mizan.hal. 36
[14] .
DR. Rosihon Anwar, M. Ag, 2007, Ulum Qur’an, CV. Pustaka Setia, Badung, hal:164
[15] .
Rifai, Zainal Hasan, Kisah-kisah Israiliyyat dalam Penafsiran al-Qur'an dalam
Belajar Ulumul Qur'an, Jakarta, Lentera Basitama, 1992.
[16] .
Drs. H. Ahmad Syadali MA, Drs. H. Ahmad Rofi’I, Ulumul Qur’an II, CV.Pustaka
Setia, Bandung, 1997.hal.58
[17] .
Prof. Dr. H. Abdul Djalal HA, Ulumul Qur’an, Surabaya: Dunia
Ilmu, 2000.hal. 125
[18] .
Anwar, Rosihon, Pengantar Ulumul Quran. Pustaka setia, Bandung, 2009.
Hal, 196
[19] .
Dahlan, Abd. Rahman dalam Kaidah-Kaidah Penafsiran al-Qur’an. Bandung: Mizan,
1998. cetakan II.hal.45
[20] . Ahmad Syurbasyi, Qishshatul Tafsir,
Terj. Zufran Rahman, Sejarah Perkembangan Tafsir Al-Qur’an Al-Karim, Jakarta:
Kalam Mulia, 1999.hal.75
[21]
.
Dr. M. Quraishshihab, StudiKritisTafsirAl-Manar, Karya Muhammad
AbduhdanM.RasyidRidha (Bandung: Pustaka Hidayah., 1994), hlm.11
[22] .
Nashruddin Baidan, DR., Metodologi Penafsiran Al-Qur’an, Yogyakarta, Glagah
UH/343, cet. Ke-1, 1998.hal.23
[23] .
M. Husein al-Dzahabi, Kitâb al-Tafsîr wa al-Mufassirûn, Dar al-Fikr,
Beirut, 1995, Jilid I, hlm. 419
[24] . Chirzin, Muhammad. Al-qur’an dan
Ulumul Qur’an. Yogyakarta: PT. Dana Bhakti Prima Yasa. 1998.hal.65
[25] .
Asshiddieqy, Teungku Muhammad Hasbi.2002.Ilmu-Ilmu
Ulumul Al Quran, Semarang:Pustaka Rizki Putra.hal.145
[26]
. Mana’ul Quthan, Pembahasan Ilmu Al-Qur’an, (Jakarta : Rineka
Cipta, 1995), 58-59
Pelajaran dan pendidikan akhlak sangat penting bagi pelajar muslim di seluruh Indonesia. Bagi seorang muslim dan muslimah sudah seharusnya Kita memiliki semangat dan ghirah dalam mempelajari bahasa arab. Terlebih lagi bahasa arab dan wasilah bagi kita dalam mengenal ilmu syari.
ReplyDeletesebutkan adab berpakaian dalam islam Sejarah diturunkannya Al Quran Ufa Bunga SMartphone