BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar belakang
Setelah islam mengalami kekalahan
dalam perang salib, banyak yang terjadi kemunduran pada umat islam. Perubahan
besar pun terjadi pada Barat dari segala aspek, mulai dari ilmu pengetahuan
hingga sistem kemiliteran. Barat dan islam menjadi dua sisi yang berlawanan
karena masing-masing memiliki dua perbedaan mencolok. Barat mengambil
komponen-komponen penting dalam islam, tanpa meninggalkan sisa sedikitpun.
Terbukti dengan pembakaran perpustakaan-perpustakaan islam dan perampasan
buku-buku ilmu pengetahuan, hingga akhirnya islam memasuki era kegelapan. Umat
muslim sedikit demi sedikit tersingkirkan dari pergerakan zaman, sampai pada
akhirnya umat muslim;sebagian dari mereka namun tidak semua, merasa bahwa hal
yang terjadi pada islam ini berupa kemunduran dan masa kegelapan haruslah
diakhiri.
Umat islam pun melakukan semacam
‘Renaisance’. Tapi bagi umat islam, tidak hanya ilmu yang dikedepankan, namun
juga dari segi keagamaan yang tentunya orang Barat tidak punya. Perlahan-lahan
umat islam mulai meneliti faktor-faktor kemunduran dan komponen apa saja yang
harus diperbaiki untuk kembali pada masa yang cerah. Satu persatu muncul
tokoh-tokoh berpendidikan dari umat islam.
Masing-masing dari mereka melakukan remedi atau perbaikan pada hampir seluruh
komponen yang dapat membantu kembalinya kejayaan umat islam. Seperti membentuk
organisasi yang berlandaskan keislaman untuk memperjelas tujuan umat muslim
dalam berjuang melawan Barat dan racun-racunnya.Hingga pada masa kini dampak
dari pergerakan mereka masih tercermin dalam organisasi-organisasi islam yang
bergerak untuk membela islam dan membangun generasi islam. Namun pembahasan
pada makalah ini lebih pada ide-ide dan pembaharuan yang dilakukan pada
pembaharu tersebut, juga apa sumbangan nyata yang mereka berikan dan dapat kami
manfaatkan hingga sekarang.
B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana latar belakang
terjadinya pembaharuan islam ?
2. Siapa saja tokoh
pembaharuan islam ?
BAB II
PEMBAHASAN
A. Latar Belakang Terjadinya Pembaharuan Islam
Mulai abad pertengahan merupakan
abad gemilang bagi umat islam , pada abad inilah daerah-daerah islam meluas di
Barat melalui Afrika Utara sampai Spanyol, di Timur melalui Persia sampai
ke India.
Daerah-daerah ini tunduk karena
kepada kekuasaan khalifah yang pada mulanya berkedudukan di Madinah,
kemudian Damskus dan terakhir di Bagdad. Dari situlah banyak lahir
pemikir-pemikir hebat. Dari lahirnya pemikir dan para ulama besar itu, maka
ilmu pengetahuan berkambang pesat sampai ke puncaknya, baik dalam bidang agama,
non agama dan bidang kebudayaan lainya.
Para pemikir dan ulama islam pada
saat itu bukan hanya dapat mengislamisasikan pengetahuan-pengetahuan Persia
kuno dan warisan-warisan Yunani, akan tetapi kedua kebudayaan itu di sesuaikan
pula dengan kebutuhan dan perkembangan pemikiran pada masa itu. Ilmu
pengetahuan yang telah di tampung dan diolah oleh para pemikir islam.
Pada abad selanjutnya pemikiran
islam memasuki benua Eropa melalui Spayol dan Sisilia dan inilah yang menjadi
dasar ilmu yang menguasai alam pikiran Barat.
Dipandang dari sisi sejarah dan
kebudayaan maka tugas meme-lihara dan menyebarkan ilmu pengetahuan
tidaklah kecil nilainya dibanding mencipta ilmu pengetahuan. Jika tugas-tugas
penelitian diadakan oleh Aristoteles, Galinus dan para ilmua lainnya tidak
ditampung maka dunia akan miskin dengan ilmu. Puncak kemegahan dunia islam itu
akhirnya menurun, islam mulai mengalami kemunduran pada abad ke-10 dan
tenggelam berabad-abad lamanya.
Faktor penyebab kemunduran umat islam:
- Isu pintu ijtihad tertutup telah meluas
dikalangan umat islam. Berpaling pikiran untuk menggali secara langsung
pada sumber pertama dan utama, yaitu Al-Qur’an dan Al-Hadits.
Apabila mereka menemukan persoalan baru, pikiran mereka hanya terpusat
pada kepentingan mazhab. Praktek bermazhab dan ta’assuk terhadap mazhab
tertentu sangat marak dilakukan. Karena itulah ilmu pengetahuan mulai
berkurang, kehidupan berkelompok dengan pengaruh negatifnya tersebar
hampir disemua tempat di dunia islam.
- Keutuhan umat islam dalam bidang politik mulai
terpecah, kekuasaan khalifah menurun, masyarakat islam yang berbentuk
persatuan dan kesatuan dalam seiman telah pindah. Tidak ada satu ikatan di
dalamnya kecuali nama dan tatanan. Umat Islam terpecah belah dan saling
bermusuhan, masyarakat islam berubah dan kerajaan islam telah mewariskan
kota-kota dan kerajaan yang telah bertikai selama berabad-abad, dalam
sekejap mata sejarah kemanusiaan telah dirobek-robek oleh kelemahan
strategi politik.
- Adanya perang salib dibawah arahan gereja katolik
Roma dan serbuan tentara barbar. Karena itu khalifah sebagai lambang
kesatuan politik umat islam hilang. Tentara salib ingin menguasai baitul
maqdis untuk menyebarkan pengaruhnya dan mengajak bersatu dalam keyakinan.
Masa kemunduran ini berlangsung
berabad-abad lamanya hingga muncul gerakan yang dikumandangkan oleh
pelopor-pelopor pembaharuan seperti Ibnu Taimiyah dengan muridnya Ibnu
Al-Qoyyim, Muhammad Ibnu ‘Abdul Wahab, Muhammad Ibnu Ali Sanusi Al-Kabir, dan lain-lain.
Diantara yang mendorong timbulnya pembaharuan dan
kebangkitan islam adalah:
- Paham
tauhid yang dianut kaum muslimim yang bercampur dengan kebiasaan yang
dipengaruhi oleh kelompok-kelompok, pemujaan terhadap orang-orang suci dan hal
lain yang membawa kepada kekufuran.
- Sifat
jumud membuat umat islam berhenti berpikir dan berusaha. Umat islam maju
dikarenakan pada saat itu mereka mementingkan ilmu pengetahuan. Oleh karena itu
selama umat islam masih bersifat jumud dan tidak mau berpikir untuk berijtihad
maka mereka tidak mungkin mengalami kemajuan. Untuk itu perlu diadakan
pembaharuan yang berusaha memberantas kejumudan.
- Umat
islam selalu berpecah belah, mereka tidak akan mengalami kemajuan apabila tidak
adanya persatuan dan kesatuan yang diikat oleh tali ajaran islam. Karena
itulah, bangkit suatu gerakan pembaharuan.
- Hasil
dari kontak yang terjadi antara dunia islam dan barat. Dengan adanya kontak ini
mereka sadar bahwa mereka mengalami kemunduran dibandingkan dengan barat.
Terutama sekali saat terjadinya peperangan antara kerajaan ustmani dengan
kerajaan eropa, yang biasanya tentara kerajaan utsmani selalu menang dalam
peperangan dan pada akhirnya mengalami kekalahan ditangan barat. Hal ini
membuat pembesar-pembesar utsmani menyelidiki rahasia kekuatan militer eropa
yang baru muncul. Ternyata rahasianya adalah kekuatan militer modern yang
dimiliki eropa sehingga pembaharuan juga dipusatkan pada bidang militer.[1]
Pembahuran dalam islam berbeda
dengan renainsans Barat. Kalau renainsans Barat muncul dengan menyingkirkan
agama, maka pembaharuan islam sebaliknya, yaitu untuk memperkuat prinsip dan
ajaran-ajaran agama islam. Islam bukan hanya mengajak maju ke depan untuk
melawan segala kebodohan dan kemajuan islam itu sendiri.
B. Tokoh-tokoh pembaharuan Islam
Berawal dari kemunduran yang di
alami oleh umat islam dan Barat semakin menunjukan Eksistensinya sebagai pusat
peradaban. Akhirnya munculah banyak pemikir-pemikir islam yang tersadar bahwa
keadaan umat islam saat itu sangat terbelakang. Maka mereka melakukan suatu
gerakan yang menghasilkan gagasan untuk membangkitkan umat islam dari
ketepurukan itu. Dan sangat banyak tokoh-tokoh yang memberikan jasa nya. Di
makalah ini kita hanya memaparkan beberapa tokoh yang paling berpengaruh bagi
islam.
1. MUHAMMAD BIN
ABDUL WAHHAB
Lahir di nejad(Arab Saudi)pada tahun
1115 H(1703 M) dan wafat di Daryah tahun 1206 H(1793M).Nama Lengkapnya adalah
Muhammad bin สฟAbd al-Wahhฤb bin Sulaiman bin Ali bin Muhammad bin Ahmad bin
Rasyid bin Barid bin Muhammad bin al-Masyarif at-Tamimi al-Hambali an-Najdi.Dia
adalah seorang ahli teologi agama Islam dan seorang tokoh pemimpin
gerakan keagamaan yang pernah menjabat sebagai mufti Daulah Su'udiyyah, yang kemudian berubah
menjadi Kerajaan Arab Saudi.Dia juga merupakan seorang ulama besar yang
produktif,karena buku-buku karangannya tentang islam mencapai puluhan
buku,diantaranya buku yang berjudul”Kitab At-Tauhid”yang isinya tentang
pemberantasan syirik,khurafat,takhayul,dan bid’ah yang terdapat di kalangan
umat Islam dan mengajak umat Islam agar kembali kepada ajaran tauhid yang
murni.
Muhammad bin สฟAbd al-Wahhฤb, adalah
seorang ulama berusaha membangkitkan kembali pergerakan perjuangan Islam secara
murni. Para pendukung pergerakan ini sesungguhnya menolak disebut Wahabbi, karena pada dasarnya ajaran
Ibnu Wahhab menurut mereka adalah ajaran Nabi Muhammad, bukan ajaran
tersendiri. Karenanya mereka lebih memilih untuk menyebut diri mereka sebagai
Salafis atau Muwahhidun, yang berarti "satu Tuhan".
Istilah Wahhabi sering menimbulkan
kontroversi berhubung dengan asal-usul dan kemunculannya dalam dunia Islam. Umat
Islam umumnya terkeliru dengan mereka kerana mereka mendakwa mazhab mereka
menuruti pemikiran Ahmad ibn Hanbal dan alirannya, al-Hanbaliyyah atau
al-Hanabilah yang merupakan salah sebuah mazhab dalam Ahl al-Sunnah wa
al-Jama'ah. Ia tumbuh dan dibesarkan dalam kalangan keluarga terpelajar.
Ayahnya adalah seorang tokoh agama di lingkungannya. Sedangkan abangnya adalah
seorang qadhi (mufti besar), tempat di mana masyarakat Najd menanyakan segala sesuatu
masalah yang bersangkutan dengan agama.
Dia menempuh berbagai macam cara,
dalam menyampaikan dakwahnya, sesuai dengan keadaan masyarakat yang
dihadapinya. Di samping berdakwah melalui lisan, beliau juga tidak mengabaikan
dakwah secara pena dan pada saatnya juga jika perlu beliau berdakwah dengan
besi (pedang).
Maka Syeikh mengirimkan suratnya
kepada ulama-ulama Riyadh dan para umaranya, salah satunya adalah Dahham bin Dawwas. Surat-surat itu
dikirimkannya juga kepada para ulama dan penguasa-penguasa. Ia terus
mengirimkan surat-surat dakwahnya itu ke seluruh penjuru Arab, baik yang dekat
ataupun jauh. Di dalam surat-surat itu, beliau menjelaskan tentang bahaya syirik yang mengancam negeri-negeri
Islam di seluruh dunia, juga bahaya bid’ah, khurafat dan takhayul.
Berkat hubungan surat menyurat
Syeikh terhadap para ulama dan umara dalam dan luar negeri, telah menambahkan
kemasyhuran nama Syeikh sehingga beliau disegani di antara kawan dan lawannya,
hingga jangkauan dakwahnya semakin jauh berkumandang di luar negeri, dan tidak
kecil pengaruhnya di kalangan para ulama dan pemikir Islam di seluruh dunia,
seperti di Hindia, Indonesia, Pakistan, Afganistan,Afrika Utara, Maghribi, Mesir, Syria, Iraq dan lain-lain
lagi.
Muhammad bin `Abdul Wahab telah
menghabiskan waktunya selama 48 tahun lebih di Dar’iyah. Keseluruhan hidupnya
diisi dengan kegiatan menulis, mengajar, berdakwah dan berjihad serta mengabdi sebagai
menteri penerangan Kerajaan Saudi di Tanah Arab. Muhammad bin Abdulwahab
berdakwah sampai usia 92 tahun, beliau wafat pada tanggal 29 Syawal 1206 H,
bersamaan dengan tahun 1793 M, dalam usia 92 tahun.[2]
2. Muhammad Abduh
Sang Modernis yang Tradisional
Akhir abad ke-18 dunia islam
terbantai oleh penjajah. Mesir, Pakistan, Sudan dan Bangladesh, Malaysia dan
Brunei Darussalam diduduki Inggris. Aljazair, Tunisai dan Maroko dijajah
perancis. Italia mendapatkan Libya. Indonesia oleh Belanda. Pada saat itu juga
kekhalifaan yang menjadi kebesaran islam yang ada di Turki yaitu kahlifah
Utsmani dalam keadaan sakit. Dan Muatfa Kamal Attaturk mengganti sistem
pemerintahan kesultanan menjadi republik sekuler untuk menyelamatkan Turki.
Sejak inilah dunia islam mengalami kemunduran.
Sebenarnya
kemunduran islam sudah terjadi 6 abad sebelumnya. Yaitu pada pemerintahan
Andalusia dan kekhalifahan Bani
Abbasiyah oleh tentara Mongol, selama itulah pemikiran islam berhenti. Dan pada
abad ke 19 kondisi mencair dengan muculnya
pelopor yang mengelaborasikan antara agama yang di sesuaikan pemahaman
masyarakat. Sejarah mencatat, peranan Muhammad Abduh tidak hanya membangkitakan
gerakan revolusioner melalui pemikiranya akan tetapi sebagai pencetus muncul
paham “islam kiri” dan “islam kanan” melalui murid-muridnya. Gerakan
revolusionernya membuat takut pemerintahan kolonial. Munculnya gerakan
perlawanan umat islam terhadap Eropa juga salah satu pemikiran Abduh.
Abduh, nama lengkapnya Muhammad
Abduh bin Hassan Khair Ullah, lahir di desa Mahalat Nashr, provinsi Gharbiyah,
Mesir pada 1265 H. Dia menganal agama dari orang tuanya. Dia sudah dapat
menghafal seluryh isi al-Quran dari kecil. Dan dia melanjutkan pendidikan
formalnya di Thanta, dis ebuah lembaga pendidikan Masjid Al-Ahmad, milik
Al-Azhar.
Gurunya, Syaikh Darwisi
membimbingnya dan mengantarkannya dalam kehidupan sufi. Tahun 1871 Abduh
bertemu dengan Jmaludin Al-Afghani. Pada jamaludi Al-Afghani dia belajar
filsafat, ilmu kalam, ilmu pasti, ilmu pengetahuan lain yang juga didapatkan di
al-Azhar metode diskusi yang diterapakan Jamaludin menarik minat Abduh.
Dalam karirnya ia pernah menjadi
dosen di Al-Azhar, Dar Al-Ulum dan perguruan bahasa Khedevi. Ia pernah menjadi
mufti Mesir dan menjabat sebagai Hakim agung. Di jurnalistik ia adalah penulis
produktif dari sebuahkoran dan dia menjadi pimpinan redaksi, yaitu koran Waqai
Al-Misriyah yang membahas persoalan politik, sosial, agama dan negara. Dia
meninggal pada tahun 1905.
Gagasan Pembaharuan
Kontribusi pembaharuan pemikiran abduh
paling menonjol dan menjadi fokus gerakanya meliputi dua bidang yaitu teologi
dan hukum, dua aspek ini yang dianggapnya vital yang telah di lupakan oleh umat
islam sehingga benih kemunduran di setiap kehidupan tidak dapat dihindari.
Pemikiran teologi Abduh didasari
oleh tiga hal yaitu; kebebasn manusia dalam memilih perbuatan, kepercayaan yang
kuat terhadapsunnah allah dan fungsi akal yang sangat dominan dalam menggunakan
kebebasan. Pandangan Abduh tentang perbuatan manusia bertolak dari satu deduksi,
bahwa manusia adalah mahluk yang bebas dalam memilih perbuatanya, akan tetapi
kebebasan tersebut bukanlah kebebasan tanpa batas.
Abduh memandang akal berperan
penting dalam mencapai pengetahuan yang hakiki tentang iman, bahkan menurut
Abduh akal memilik kekuatan yang sangat tinggi. Berkat akal, orang dapat
mengetahui adanya tuhan dan sifat-sifat nya, adanya hidup di akhirat ,
kewajjiban terhadap tuhan, kebaikan dan kejahatan, serta mengetahui kewajiban
membuat hukum-hukum. Tapi bukan berarti manusia tidak membutuhkan wahyu. Wahyu
tetap dibutuhkan, sebab wahyu sesungguhnya memiliki dua fungsi utama, yakni
menolong akal untuk mengetahui secara rinci kehidupan akhirat dan menguatkan
akal dalam mendidik manusia untuk hidup damai dalam lingkungan sosialdengan itu
maka para mukmin baru dapat mengenali tuhan dengan baik yang tercermin oleh
tindakan baik manusia.
Dalam aspek hukum, pemikiran Abduh
tercermin dalam 3prinsip, yaitu: al-Quran sebagai sumber syariat , memerangi
taklid dan berpegang kuat pada akal dalam memahami ayat Al-Quran.dia membagi
syariat menjadi 2: yang pasti (qath’i) dan yang tidak pasti (zhani). Hukum
syariat yang pertama wajib mengetahui dan mengamalkan tanpa interpertasi karena
dia jelas dalam al-Quran dan al-Hadits. Yang kedua dengan tunjukan nash
dan ijma’ yang tidak pasti.
Jenis hukum kedua hukum inilah yang
mejadi lapangan ijtihad dan mujtahid. Dalam komteks ini, ijtihad Abduh tampak
begitu jelas. Bebeda pendapat, menurutnya wajar dan merupakan tabiat manusia.
Keseragaman berpikir dalam semua hal adalah sesuatu yang tidak mungkin di
wujudkan. Akan membawa perpecahan jika semua perbedaan pendapat di jadikan
sebagai hukum. Maka dari itu kita harus kembali pada sumber aslinya, yaitu
al-Quran dan as-Sunnah. Bagi yang berilmu pengetahuan wajib berijtihad,
sedangkan bagi awam wajib bertanya pada orang yang ahli dalam agama.
Dia menyarankan agar para ahli fiqih
membentuk tim yang bekerja untuk mengadakan penelitian tentang pendapat yang
terkuat di antara di antara pendapat-pendapat yang ada. Kemudian keputusan itu
yang di jadika pegangan umat islam. Tim ahli fiqih itu juga bertugas mengadaka
reinterpretasi terhadap hasil ijtihad ulam amupun mazhab masa lalu, jadi,
menurutnya, bermazhab mencontoh metode ber-instinbath hukum.
Peran dan kiprah Abduh mengangkat
citra islam dan kualitas umatnya tidak kecil. Dialah seorang mujahid dan
mujadid sekaligus pada masanya. Bukan saja mengalami tentangan internal dan
eksternal. Berkat upayanya, meski begitu maksimal, modernisme pemikiran sudah
kelihatan. Dalam amatan cendikiawan muslim indonesia Dr. Nurcholis Majid (islam
kemoderenan dan keindonesiaan mizan: 1987), “modernisme” Abduh, antara lain,
tercermin dalam sikapnya yang apresiatif terhadap filsafat yang di perolah dari
gurunya yaitu Jamaludin al-Afghani, seorang penganjur gigi Pan-Islamisme dan
orator politik yang memukau.
Di Indonesia, pemikiran Abduh banyak
mempengaruhi pelajaran dan patron ormas lainnya. Di antara warisan nya adalah
Risalah Al-Tauhid sedangkan Tafsir Al-Manar merupakan kumpulan
pidato-pidatonya, pikiran-pikiran, dan ceramah-ceramhanya yan di tulis
oleh muridnya, Syaikh Muhammad Rasyid Ridha.
Kiri dan kanan Islam
Tidak
berlebihan jika Abduh dikatakan sebagai seorang figur yang modernis yang
menggerakan kebangkitan umat islam. Karena modernis , Abduh tetap di terima di
kalangan Al-Azhar , terbukti ia tetap menjadi mufti agung Mesir. Dalam hal ini,
Abduh sangat pandai bagaimana bersikap sebagai orang alim dan sekaligus menjadi
intelektual modernis. Selama menjadi mufti, ia mengeluarkan fatwa yang
berkaitan dengan persoalan-persoalan modernis. Tiga fatwa nya yang terkenal dan
masih kontroversial yaitu bunga bank, pakaian tradisional dan tentang daging
hasil sembelih non-muslim.
Karena sikapnya yang “dua wajah” itu
ia diterima oleh kalangan tradsional dan modernis, dengan sama kuatnya. Dalam
satu sisi, ia selalu dilihat sebagai seorang tokoh alim, mujtahid dan penganjur
doktrin orisinalitas Islam. Pada sisi lain, Abduh juga dianggap sebagai
reformis yang toleran, liberal dan kaya akan gagasan-gagasan modern. Tidak
heran kalau murid-murid Abduh kemudian terpecah menjadi dua kelompok besar yang
oleh Hasan Hanafi, pemikir Mesir kontemporer, dianalogikan seperti
murid-muridnya Hegel dalam tradisi filsafat Barat.
Sama seperti yang Hegel lahirkan
yaitu dikotomi “kanan” dan “kiri”, menurut Hasan Hanafi, murid-murid
Abduh juga dapat dikategorikan seperti kelompok kanan yang cenderung
mengembangkan pemikiran-pemikiran keagamaan, dan kelompok kiri Abduh yang lebih
cenderung mengembangkan gagasan modernnya. Di antara murid-murid Abduh yang
memiliki kecenderungan “kanan” adalah Muhammad Rasyid Ridha (w.)(1935) dan
Shakib Arselan (w.)(1946), Sayyid Qutb dan Hasal al-Banna. Sementara Qasim Amin
(w.)(1908), Thaha Husein, Ali Abduraziq, Hasan Hanafi di anggap sebagai
murid-murid Abduh beraliran “kiri”. Kecenderungan “kanan” dan “kiri” dalam
aliran mazhab Abduh ini dalam perkembangsn selanjutnya mengalami radikalisasi
yang cukup signifikan. Baik yang “kiri” dan “kanan” sama-sama menganggap
dirinya sebagai penerus Abduh yang paling benar.[3]
3.SYEIKH RASYID RIDHA
Muhammad Rasyid bin Ali Ridha bin
Muhammad Syama Al bin al-Kalamuny, dilahirkan ditengah-tengah sebuah keluarga
yang memiliki sedikit kedudukan dengan tradisi pendidikan dan kesalehan, pada
tahun 1865 di al-Qalamun, suatu desa di Libanon yang letaknya tidak jauh dari
kota Tripoli (Suria).
Semasa kecil ia dimasukkan ke
madrasah tradisional di al-Qalamun untuk belajar menulis, berhitung dan membaca
al-Qur’an. Di tahun 1882, ia meneruskan pelajaran di al-Madrasah al-Wathaniyah
al-Islamiyah (sekolah Nasional Islam) milik Syaikh Husain al-Jisr, yang
terletak di Tripoli. Di madrasah ini, selain bahasa Arab, diajarkan pula bahasa
Turki dan Perancis, dan juga, selain pengetahuan-pengetahuan agama, juga
diajarkan pengetahuan-pengetahuan modern.
Setelah itu, Rasyid Ridha meneruskan
pelajarannya di salah satu sekolah agama yang berada di Tripoli, walaupun
demikian, hubunganya dengan Syaikh Husain al-Jisr tetap berjalan, dan guru
inilah yang menjadi pembimbing baginya di masa muda. Selanjutnya, ia banyak
dipengaruhi oleh ide-ide Jamaluddin al-Afghani dan Muhammad Abduh, yaitu
melalui majalah al-Urwah al-Wutsqo.
Ia berniat untuk menggabungkan diri
dengan al-Afghani, tetapi niat itu tak terwujud, dan semenjak pertemuannya dengan
Muhammad Abduh, pengaruh Afghani pun mulai meredup dan tergantikan oleh
pengaruh Muhammad Abduh. Dengan demikian, pemikiran-pemikiran pembaru yang
diperolehnya dari syaikh al-Jisr dan yang kemudian diperluas dengan ide-ide
yang ia peroleh dari Afghani dan Abduh, menjadi sebuah pondasi yang kuat dan
tertanam dalam jiwanya.
Tidak seperti gurunya, Muhammad
Abduh, yang lebih bisa disebut sebagai seorang yang liberal, Rasyid Ridha
mendekatkan dirinya pada ajaran Ibnu Taimiyah dan praktik-praktik Wahabiyyah,
salah satu faktor yang menuntunya pada ajaran tersebut, adalah karena
kecurigaannya terhadap tasawuf.
Setelah menebarkan kiprah dirinya
dalam banyak bidang, pada bulan Agustus tahun 1935, sekembalinya dari Suez
setelah mengantarkan Pangeran Su’ud, ia meninggal dunia dan meninggalkan banyak
ide-ide pembaruan, yang cukup memberikan pengaruh terhadap generasi
selanjutnya.
BENTUK
PEMIKIRANNYA
Pada dasarnya, pemikiran-pemikiran
pembaruan yang diajukan Rasyid Ridha, tidaklah banyak berbeda dengan ide-ide
yang disampaikan oleh Afghani dan Muhammad Abduh. Ia juga berpendapat
bahwasanya umat Islam mundur karena tidak lagi menganut ajaran-ajaran Islam
yang sebenarnya. Perbuatan-perbuatan mereka telah menyeleweng dari
ajaran-ajaran islam yang sebenarnya.
Sebenarnya, ia telah mulai
menjalankan ide-ide pembaruannya semenjak ia masih berada di Suria, tetapi
usaha-usahanya tersebut mendapat tantangan dari pihak kerajaan Usmani. Oleh
karena itu, ia memutuskan untuk hijrah ke Mesir, dekat dengan gurunya, Muhammad
Abduh.
Beberapa bulan kemudian, ia mulai
menerbitkan majalah yang cukup ternama, yaitu al-Manar. Di
dalam nomor pertama dijelaskan bahwa tujuan al-Manar adalah
sama dengan tujuan al-Urwah al-Wutsqa, yaitu antara lain adalah
mengadakan pembaruan dalam bidang agama, sosial dan ekonomi, memberantas
takhayul dan bid’ah-bid’ah yang masuk ke dalam tubuh Islam, menghilangkan faham
fatalisme yang terdapat dalam kalangan umat Islam serta faham-faham salah yang
dibawa tarekat-tarekat tasawuf, serta meningkatkan mutu pendidikan dan membela
umat Islam dari permainan-permainan politik negara-negara Barat.
Sebagai tokoh pembaruan yang masih
condong pada ajaran-ajaran ibnu Taimiyah dan sekaligus sebagai penyokong aliran
Wahabi, ajarannya berpaham salaf yang bertujuan mengembalikan ajaran Islam
kepada al-Qur’an dan hadits.
Secara umum, pandangan Islam yang
dipegang oleh Rasyid ridha, adalah seperti yang disebarluaskan oleh Afghani dan
Muhammad Abduh. Pandangan ini dimulai dari pertanyaan tentang mengapa dunia
Islam mengalami ketertinggalan dalam semua aspek peradaban. Dan, jawaban
mendasar mengenai hal tersebut adalah ajaran-ajaran dan perintah-perintah Islam
yang pada dasarnya serba mencakup, sehingga jika dipahami dengan benar dan
dipatuhi sepenuhnya, ia akan membawa pada kesuksesan dunia dan akhirat kelak.
Umat Islam adalah jantung dari
peradaban dunia selama ia benar-benar Islami. Penyebab ketertinggalan ini
adalah dikarenakan muslim telah kehilangan kebenaran sejati agamanya. Kondisi
ini diperparah lagi dengan adanya penguasa-penguasa politik yang buruk.
Menurut Rasyid Ridha, kejayaan Islam
masa lalu dapat tercipta kembali, apabila orang-orang muslim bersedia kembali
pada al-Qur’an dan perintah-perintah moral yang terkandung di dalamnya.
Sedangkan keterampilan teknis secara potensial adalah universal, dan penguasaan
atasnya tergantung pada kebiasaan-kebiasaan moral dan prinsip-prinsip
intelektual tertentu. Jika orang-orang muslim memilikinya, mereka akan dengan
mudah dapat meraih keterampilan teknis, dan kebiasaan-kebiasaan serta
prinsip-prinsip semacam itu sesungguhnya telah terkandung di dalam Islam.
Meskipun pada dasrnya ide-ide dan
pemikiran yang dihasilkan oleh Rasyid Ridha memiliki banyak kesamaan dengan
ide-ide dan pemikiran sang Guru, Muhammad Abduh, namun, diantara keduanya juga
terdapat perbedaan. Salah satunya adalah, Muhammad Abduh, bersifat lebih
liberal dibandingkan Rasyid Ridha. Abduh tidak mau terikat pada salah satu
aliran atau mazhab yang ada dalam Islam, ia melepaskan diri dari aliran dan
mazhab yang pernah dianutnya, alasannya adalah karena ia ingin bebas dalam
menelurkan ide-ide dan pemikirannya. Pindah dari satu aliran ke aliran lain
bukanlah kebebasan, melainkan terikat pada ikatan-ikatan baru. Berbeda dengan
Rasyid ridha, ia masih memegang mazhab dan masih terikat pada pendapat-pendapat
Ibn Hambal dan Ibn Taimiyah. Ia juga sangat mendukung gerakan yang dipelopori
oleh Muhammad ibn Abdul Wahab, karena ia semazhab dengannya.
Selain itu, perbedaan antara
keduanya juga terlihat dari cara mereka menafsirkan ayat-ayat al-Qur’an. Bagi
Abduh, ayat yang menyatakan bahwa Tuhan mempunyai Wajah, Tangan, Kursi, dan
lain sebagainya, harus diberi interpretasi, dalam arti harus dimengerti makna
yang tersirat di dalammnya. Dengan demikian, yang dimaksud dengan Kursi Tuhan
adalah Pengetahuan Tuhan, dan yang dimaksud dengan Tahta Tuhan adalah
Kekuasaan-Nya. Bagi Rasyid Ridha, kelihatanya, Tahta Tuhan masih mengandung arti
sebagai tahta, meskipun Tahta Tuhan tidaklah sama dengan tahta pada manusia.
Perbedaan-perbedaan tersebut, juga
terlihat dalam karya mereka, yaitu tafsir al-Manar, misalnya
ketika Rasyid Ridha memberikan komentar terhadap uraian Abduh dalam menyoal permasalahan
mengenai balasan di akhirat yang disebutkan dalam ayat ke-25 surat al-Baqarah.
Muhammad Abduh menekankan terhadap makna filosofis. Tafsiran iu mengandung arti
bahwa balasan yang akan diterima bersifat rohani. Rasyid Ridha dalam
komentarnya lebih menekankan balasan dalam bentuk jasmani, dan bukan dalam
bentuk rohani.
Ide-ide pembaruan Rasyid Ridha
meliputi berbagai bidang, diantaranya adalah bidang agama, bidang pendidikan,
dan bidang politik, yang secara sedikit lebih terperincinya, akan dibahas pada
kalimat demi kalimat berikutnya.
Bidang Agama
Setelah banyak berguru kepada
Muhammad Abduh, Rasyid Ridla berpendapat bahwa madzhab dalam pengertian
Muhammad Abduh adalah lebih ditekankan pada cara pengambilan hukum dari nash
yang ditempuh oleh seorang mujtahid tertentu. Jadi bukan dalam artian mengikuti
dan tunduk pada hasil mujtahid tertentu, tetapi bermadzhab adalah dengan
mengikuti cara-cara atau metode yang mereka tempuh dalam beristinbath hukum .
Dengan demikian bermadzhab bukan bagi mereka yang awam, seperti umum dipahami,
tetapi bagi mereka yang berijtihad dalam lingkungan madzhab tertentu. Mereka
ini dalam istilah Ushul Fiqh adalah Mujtahid Bil-Madzhab.
Maka fanatisme madzhab yang biasanya
terjadi di kalangan awam dapat dihindari dan sikap taklid bisa diatasi. Akan
tetapi, menurut Abduh, yang terjadi di masyarakat adalah sebaliknya. Generasi
sesudah mujtahid mengikuti hasil ijtihad yang mereka dapatkan, bukan mengambil
cara yang ditempuh oleh para imam. Akibatnya, terjadinya perselisihan pendapat
yang membawa perpecahan di kalangan muslimin sendiri. Fanatisme madzhab pun
mucul dan taklid tidak bisa dihindarkan.
Rasyid ridha berpendapat bahwa
faktor utama yang menyebabkan umat islam lemah, adalah karena tidak lagi
mengamalkan ajaran islam yang sebenarnya. Menurutnya, Islam telah banyak
diselimuti oleh faktor bid’ah yang menghambat perkembangan dan kemajuan umat,
diantara bid’ah-bid’ah yang dimaksudkan itu ialah pendapat bahwa dalam Islam
terdapat ajaran kekuatan batin yang membuat pemiliknya dapat memperoleh segala
yang dikehendakinya, dan sekaligus juga memperoleh kebahagiaan di dunia dan di
akhirat. Selain itu, bid’ah lain yang juga mendapat tantangan keras dari Rasyid
Ridha, ialah ajaran syekh-syekh tarekat tentang tidak pentingnya kehidupan duniawi,
tawakkal yang berlebihan, serta kepatuhan yang berlebihan terhadap syekh dan
wali.
Ia berpendapat bahwa salah satu
penyebab mundurnya umat Islam lainnya adalah paham fatalisme, karena paham
tersebut menyebabkan manusia tidak memiliki etos kerja dan cenderung tidak mau
berpacu atau pasrah dengan keadaan. Menurutnya, salah satu penyebab kemajuan
Eropa adalah paham dinamika. Dalam pandangannya, sifat dinamis tersebut pada
dasarnya telah dimiliki oleh Islam, karena itu Islam harus bersikap aktif dan memberikan
penghargaan terhadap akal. Dinamika dan sifat aktif itu terkandung dalam
kata jihad, jihad dalan arti berusaha keras, dan bersedia
berkorban untuk mencapai tujuan perjuangan. Faham jihad serupa
inilah yan menyebabkan umat islam di zaman klasik dapat menguasai dunia.
Rasyid Ridha, sebagaimana Muhammad
Abduh, menghargai akal manusia. Meskipun, penghargaannya terhadap akal tidak
setinggi penghargaan yang diberikan oleh Muhammad Abduh. Baginya, akal dapat
dipakai dalam hal yang berkenaan dengan hidup bermasyarakat, dan tidak terhadap
hal-hal yang berkenaan dengan ibadah. Ijtihad tidaklah diperelukan dalam
persoalan ibadah. Ijtihad hanya diperlukan dalam menghadapi persoalan-persoalan
bermasyarakat. Ijtihad juga tidak diperlukan terhadap ayat dan hadits yang
mengandung arti tegas, namun hanya terhadap ayat dan hadits yang tidak
mengandung arti tegas, serta terhadap persoalan-persoalan yang tidak disebutkan
dalam al-Qur’an dan hadits. Disinilah letak dinamika Islam dalam pandangan
Rasyid Ridha.
Umat islam harus menggali kembali
teks al-Qur’an tanpa harus terikat pada pendapat para ulama terdahulu, sebab,
akal dapat memberikan interpretasi atau pemahaman ulang terhadap teks-teks
al-qur’an dan hadist yang tidak mengandung arti tegas, atau bersifat dhanny, apalagi
persoalan-persoalan yang tidak terkandung dalam al-qur’an dan hadits.
Untuk mengatasi sikap fanatik
terhadap pendapat para ulama terdahulu, Rasyid Ridha menganjurkan terhadap
adanya toleransi bermazhab. Yang perlu dipertahankan dalam kesamaan faham umat,
menurutnya hanyalah mengenai hal-hal mendasar saja (misalnya mengenai masalah
ke-Tuhan-an), sedangkan dalam hal perincian dan bukan dalam hal yang mendasar,
diberikan kemerdekaan bagi tiap orang untuk menjalankan mana yang disetujuinya.
Rasyid Ridha melihat perlunya
diadakan penafsiran modern terhadap al-Qur’an, yaitu penafsiran yang sesuai
dengan ide-ide yang dicetuskan oleh gurunya. Ketika Muhammad Abduh memberikan
kuliah mengenai tafsir al-Qur’an di al-azhar, ia menuliskan
keterangan-keterangan yang diberikan oleh gurunya tersebut, dan kemudian
disusun dalam bentuk karangan teratur dan diperiksa kembali oleh Abduh,
selanjutnya, karangan itu ia siarkan dalam al-Manar. Yang
dikemudian hari, menjadi titik awal tersusunnya tafsir al-Manar. Namun, Muhammad
Abduh hanya sempat menyelesaikan penafsiran hingga ayat ke-125 dari surat
an-Nisa (jilid III dari tafsir al-Manar), dan selanjutnya,
diteruskan oleh Rasyid Ridha sesuai dengan jiwa dan ide yang dicetuskan oleh
sang guru.
Menurut Rasyid Ridha, umat harus
dibawa kembali kepada ajaran islam yang sebenarnya, murni dari segala bid’ah
yang ada. Dan dalam pemahamannya, Islam yang murni itu sangatlah sederhana,
sederhana dalam ibadah, juga dalam muamalahnya. Ibadah terlihat berat dan ruwet
karena ke dalam hal-hal yang wajib dalam ibadah tersebut, telah ditambahkan
hal-hal yang bukan wajib, tetapi sebenarnya hanya sunnah. Sedangkan, mengenai
hal-hal yang sunnah ini, terdapat perbedaan faham, dan timbullah kekacauan.
Dalam soal muamalah, dasar-dasar
seperti keadilan, persamaan, serta pemerintahan, perincian dan
pelaksanaannya, umatlah yang menentukan. Sedangkan, hukum-hukum fiqh mengenai
hidup kemasyarakatan, didasarkan kepada al-Qur’an dan Hadits, namun demikian
ayat-ayat al-Qur’an dan hadits tidak boleh dianggap absolut dan seakan tidak
dapat dirubah. Hukum-hukum itu timbul sesuai dengan suasan tempat dan zaman ia
timbul.
Bidang
Pendidikan
Menurut Rasyid Ridha, membangun
sarana pendidikan adalah lebih baik dibandingkan membangun masjid. Menurutnya,
masjid tidak besar nilainya apabila mereka yang shalat di dalamnya hanyalah
orang-orang bodoh. Akan tetapi dengan membangun sarana dan prasarana
pendidikan, akan dapat menghapuskan kebodohan. Dengan begitu, pekerjaan duniawi
dan ukhrawi akan menjadi baik dan teratasi.
Ia juga mengadakan berubahan
kurikulum dengan melakukan penambahan materi-materi seperti Teologi, Pendidikan
Moral, Sosiologi, Ilmu Bumi, Sejarah, Ekonomi, Ilmu Hitung, Ilmu Kesehatan,
Bahasa-Bahasa Asing dan Ilmu Mengatur Rumah Tangga (kesejahteraan keluarga)
yaitu di samping ilmu-ilmu seperti Fiqh, Tafsir, Hadits, dan lain-lainnya yang
biasa diberikan di madrasah-madrasah tradisional.
Pada tahun 1909, ia menerima banyak
keluhan mengenai aktivitas missi Kristen di negara-negara Islam, dan untuk
menandingi aktivitas tersebut, ia melihat perlunya diadakan dan dibangun sebuah
sekolah missi Islam. Akhirnya, pada tahun 1912, ia berhasil mendirikan sekolah
yang dimaksud, dengan nama al-Da’wah wa al-Irsyad. Namun sayangnya,
sekolah missi tersebut tidaklah berumur panjang, karena terpaksa harus ditutup
pada tahun 1914, yaitu ketika pecahnya perang dunia I.
Muhammad Abduh dan Rasyid Ridha,
berpandangan bahwasanya untuk mengarahkan dan membawa umat Islam pada kemajuan,
kuncinya terletak pada upaya memperbarui pendidikan dengan segenap komponen
yang ada di dalamya. Serta, diarahkan kepada upaya melahirkan manusia yang
memiliki keunggulan dalam bidang ilmu agama dan umum.[4]
4. KH. Ahmad Dahlan
Muhammad Darwisy (Nama Kecil Kyai
Haji Ahmad Dahlan), Beliau adalah pendiri Muhammadiyah. Beliau adalah putera
keempat dari tujuh bersaudara. Bapaknya bernama K.H. Abu Bakar. K.H. Abu Bakar
adalah seorang ulama dan khatib terkemuka di Masjid Besar Kasultanan Yogjakarta
pada masa itu. Ibu dari K.H. Ahmad Dahlan adalah puteri dari H. Ibrahim yang
juga menjabat sebagai penghulu Kasultanan Yogyakarta pada masa itu. K.H. Ahmad
Dahlan meninggal dunia di Yogyakarta, tanggal 23 Februari 1923. Beliau juga
dikenal sebagai seorang Pahlawan Nasional Indonesia.
Nama kecil K.H. Ahmad Dahlan adalah
Muhammad Darwisy. Ia merupakan anak keempat dari tujuh orang bersaudara yang
keseluruhanya saudaranya perempuan, kecuali adik bungsunya. Dalam silsilah ia
termasuk keturunan yang kedua belas dari Maulana Malik Ibrahim, seorang wali
besar dan seorang yang terkemuka diantara Walisongo, yang merupakan pelopor
pertama dari penyebaran dan pengembangan Islam di Tanah Jawa. Adapun
silsilahnya ialah Muhammad Darwisy (Ahmad Dahlan) bin KH. Abu Bakar bin KH.
Muhammad Sulaiman bin Kyai Murtadla bin Kyai Ilyas bin Demang Djurung Djuru
Kapindo bin Demang Djurung Djuru Sapisan bin Maulana Sulaiman Ki Ageng Gribig
(Djatinom) bin Maulana Muhammad Fadlullah (Prapen) bin Maulana ‘Ainul Yaqin bin
Maulana Ishaq bin Maulana Malik Ibrahim.
Pada umur 15 tahun, beliau pergi
haji dan tinggal di Makkah selama lima tahun. Pada periode ini, Ahmad Dahlan
mulai berinteraksi dengan pemikiran-pemikiran pembaharu dalam Islam, seperti
Muhammad Abduh, Al-Afghani, Rasyid Ridha dan Ibnu Taimiyah. Ketika pulang
kembali ke kampungnya tahun 1888, beliau berganti nama menjadi Ahmad Dahlan.
Pada tahun 1903, beliau bertolak kembali ke Makkah dan menetap selama dua
tahun. Pada masa ini, beliau sempat berguru kepada Syeh Ahmad Khatib yang juga
guru dari pendiri NU, K.H. Hasyim Asyari. Pada tahun 1912, ia mendirikan
Muhammadiyah di kampung Kauman, Yogyakarta.
Sepulang dari Makkah, ia menikah
dengan Siti Walidah, sepupunya sendiri, anak Kyai Penghulu Haji Fadhil, yang
kelak dikenal dengan Nyai Ahmad Dahlan, seorang Pahlawanan Nasional dan pendiri
Aisyiyah. Dari perkawinannya dengan Siti Walidah, KH. Ahmad Dahlan mendapat
enam orang anak yaitu Djohanah, Siradj Dahlan, Siti Busyro, Irfan Dahlan, Siti
Aisyah, Siti Zaharah (Kutojo dan Safwan, 1991). Disamping itu KH. Ahmad Dahlan
pernah pula menikahi Nyai Abdullah, janda H. Abdullah. la juga pernah menikahi
Nyai Rum, adik Kyai Munawwir Krapyak. KH. Ahmad Dahlan juga mempunyai putera
dari perkawinannya dengan Ibu Nyai Aisyah (adik Adjengan Penghulu) Cianjur yang
bernama Dandanah. Beliau pernah pula menikah dengan Nyai Yasin Pakualaman
Yogyakarta. Beliau dimakamkan di Karang Kajen, Yogyakarta.[5]
B. Proses
Terbentuknya Organisasi Muhammadiyah
Bulan Dzulhijjah (8 Dzulhijjah 1330
H) atau November (18 November 1912 M) merupakan momentum penting lahirnya
Muhammadiyah. Itulah kelahiran sebuah gerakan Islam modernis terbesar di
Indonesia, yang melakukan perintisan atau kepeloporan pemurnian sekaligus
pembaruan Islam di negeri berpenduduk terbesar muslim di dunia. Sebuah gerakan
yang didirikan oleh seorang kyai alim, cerdas, dan berjiwa pembaru, yakni Kyai
Haji Ahmad Dahlan atau Muhammad Darwis dari kota santri Kauman Yogyakarta.
Kata ”Muhammadiyah” secara bahasa berarti ”pengikut Nabi Muhammad”. Penggunaan kata ”Muhammadiyah” dimaksudkan untuk menisbahkan (menghubungkan) dengan ajaran dan jejak perjuangan Nabi Muhammad. Penisbahan nama tersebut menurut H. Djarnawi Hadikusuma mengandung pengertian sebagai berikut: ”Dengan nama itu dia bermaksud untuk menjelaskan bahwa pendukung organisasi itu ialah umat Muhammad, dan asasnya adalah ajaran Nabi Muhammad saw, yaitu Islam. Dan tujuannya ialah memahami dan melaksanakan agama Islam sebagai yang memang ajaran yang serta dicontohkan oleh Nabi Muhammad saw, agar supaya dapat menjalani kehidupan dunia sepanjang kemauan agama Islam. Dengan demikian ajaran Islam yang suci dan benar itu dapat memberi nafas bagi kemajuan umat Islam dan bangsa Indonesia pada umumnya.”
Kelahiran dan keberadaan Muhammadiyah pada awal berdirinya tidak lepas dan merupakan menifestasi dari gagasan pemikiran dan amal perjuangan Kyai Haji Ahmad Dahlan (Muhammad Darwis) yang menjadi pendirinya. Setelah menunaikan ibadah haji ke Tanah Suci dan bermukim yang kedua kalinya pada tahun 1903, Kyai Dahlan mulai menyemaikan benih pembaruan di Tanah Air. Gagasan pembaruan itu diperoleh Kyai Dahlan setelah berguru kepada ulama-ulama Indonesia yang bermukim di Mekkah seperti Syeikh Ahmad Khatib dari Minangkabau, Kyai Nawawi dari Banten, Kyai Mas Abdullah dari Surabaya, dan Kyai Fakih dari Maskumambang; juga setelah membaca pemikiran-pemikiran para pembaru Islam seperti Ibn Taimiyah, Muhammad bin Abdil Wahhab, Jamaluddin Al-Afghani, Muhammad Abduh, dan Rasyid Ridha. Dengan modal kecerdasan dirinya serta interaksi selama bermukim di Saudi Arabia dan bacaan atas karya-karya para pembaru pemikiran Islam itu telah menanamkan benih ide-ide pembaruan dalam diri Kyai Dahlan. Jadi sekembalinya dari Arab Saudi, Kyai Dahlan justru membawa ide dan gerakan pembaruan, bukan malah menjadi konservatif.
Kata ”Muhammadiyah” secara bahasa berarti ”pengikut Nabi Muhammad”. Penggunaan kata ”Muhammadiyah” dimaksudkan untuk menisbahkan (menghubungkan) dengan ajaran dan jejak perjuangan Nabi Muhammad. Penisbahan nama tersebut menurut H. Djarnawi Hadikusuma mengandung pengertian sebagai berikut: ”Dengan nama itu dia bermaksud untuk menjelaskan bahwa pendukung organisasi itu ialah umat Muhammad, dan asasnya adalah ajaran Nabi Muhammad saw, yaitu Islam. Dan tujuannya ialah memahami dan melaksanakan agama Islam sebagai yang memang ajaran yang serta dicontohkan oleh Nabi Muhammad saw, agar supaya dapat menjalani kehidupan dunia sepanjang kemauan agama Islam. Dengan demikian ajaran Islam yang suci dan benar itu dapat memberi nafas bagi kemajuan umat Islam dan bangsa Indonesia pada umumnya.”
Kelahiran dan keberadaan Muhammadiyah pada awal berdirinya tidak lepas dan merupakan menifestasi dari gagasan pemikiran dan amal perjuangan Kyai Haji Ahmad Dahlan (Muhammad Darwis) yang menjadi pendirinya. Setelah menunaikan ibadah haji ke Tanah Suci dan bermukim yang kedua kalinya pada tahun 1903, Kyai Dahlan mulai menyemaikan benih pembaruan di Tanah Air. Gagasan pembaruan itu diperoleh Kyai Dahlan setelah berguru kepada ulama-ulama Indonesia yang bermukim di Mekkah seperti Syeikh Ahmad Khatib dari Minangkabau, Kyai Nawawi dari Banten, Kyai Mas Abdullah dari Surabaya, dan Kyai Fakih dari Maskumambang; juga setelah membaca pemikiran-pemikiran para pembaru Islam seperti Ibn Taimiyah, Muhammad bin Abdil Wahhab, Jamaluddin Al-Afghani, Muhammad Abduh, dan Rasyid Ridha. Dengan modal kecerdasan dirinya serta interaksi selama bermukim di Saudi Arabia dan bacaan atas karya-karya para pembaru pemikiran Islam itu telah menanamkan benih ide-ide pembaruan dalam diri Kyai Dahlan. Jadi sekembalinya dari Arab Saudi, Kyai Dahlan justru membawa ide dan gerakan pembaruan, bukan malah menjadi konservatif.
Gagasan untuk mendirikan organisasi
Muhammadiyah tersebut selain untuk mengaktualisasikan pikiran-pikiran pembaruan
Kyai Dahlan, menurut Adaby Darban (2000: 13) secara praktis-organisatoris untuk
mewadahi dan memayungi sekolah Madrasah Ibtidaiyah Diniyah Islamiyah, yang
didirikannya pada 1 Desember 1911. Sekolah tersebut merupakan rintisan lanjutan
dari ”sekolah” (kegiatan Kyai Dahlan dalam menjelaskan ajaran Islam) yang
dikembangkan Kyai Dahlan secara informal dalam memberikan pelajaran yang
mengandung ilmu agama Islam dan pengetahuan umum di beranda rumahnya. Dalam
tulisan Djarnawi Hadikusuma yang didirikan pada tahun 1911 di kampung Kauman
Yogyakarta tersebut, merupakan ”Sekolah Muhammadiyah”, yakni sebuah sekolah
agama, yang tidak diselenggarakan di surau seperti pada umumnya kegiatan umat
Islam waktu itu, tetapi bertempat di dalam sebuah gedung milik ayah Kyai
Dahlan, dengan menggunakan meja dan papan tulis, yang mengajarkan agama dengan
dengan cara baru, juga diajarkan ilmu-ilmu umum.
Maka
pada tanggal 18 November 1912 Miladiyah bertepatan dengan 8 Dzulhijah 1330
Hijriyah di Yogyakarta akhirnya didirikanlah sebuah organisasi yang bernama
”MUHAMMADIYAH”. Organisasi baru ini diajukan pengesahannya pada tanggal 20
Desember 1912 dengan mengirim ”Statuten Muhammadiyah” (Anggaran Dasar
Muhammadiyah yang pertama, tahun 1912), yang kemudian baru disahkan oleh
Gubernur Jenderal Belanda pada 22 Agustus 1914. Dalam ”Statuten Muhammadiyah”
yang pertama itu, tanggal resmi yang diajukan ialah tanggal Miladiyah yaitu 18
November 1912, tidak mencantumkan tanggal Hijriyah. Dalam artikel 1 dinyatakan,
”Perhimpunan itu ditentukan buat 29 tahun lamanya, mulai 18 November 1912. Namanya
”Muhammadiyah” dan tempatnya di Yogyakarta”.
Dalam pandangan Djarnawi Hadikusuma, kata-kata yang
sederhana tersebut mengandung arti yang sangat dalam dan luas. Yaitu, ketika
umat Islam sedang dalam kelemahan dan kemunduran akibat tidak mengerti kepada
ajaran Islam yang sesungguhnya, maka Muhammadiyah mengungkap dan mengetengahkan
ajaran Islam yang murni itu serta menganjurkan kepada umat Islam pada umumnya
untuk mempelajarinya, dan kepada para ulama untuk mengajarkannya, dalam suasana
yang maju dan menggembirakan.
Kelahiran Muhammadiyah sebagaimana digambarkan itu
melekat dengan sikap, pemikiran, dan langkah Kyai Dahlan sebagai pendirinya,
yang mampu memadukan paham Islam yang ingin kembali pada Al-Quran dan Sunnah
Nabi dengan orientasi tajdid (pembaharuan) yang membuka pintu ijtihad untuk
kemajuan, sehingga memberi karakter yang khas dari kelahiran dan perkembangan
Muhammadiyah di kemudian hari. Kyai Dahlan, sebagaimana para pembaru Islam
lainnya, tetapi dengan tipikal yang khas, memiliki cita-cita membebaskan umat
Islam dari keterbelakangan dan membangun kehidupan yang berkemajuan melalui
tajdid (pembaruan) yang meliputi aspek-aspek tauhid (‘aqidah), ibadah, mu’amalah,
dan pemahaman terhadap ajaran Islam dan kehidupan umat Islam, dengan
mengembalikan kepada sumbernya yang asli yakni Al-Quran dan Sunnah Nabi yang
Shahih, dengan membuka ijtihad.
Kyai Dahlan dengan Muhammadiyah yang didirikannya, menurut Djarnawi Hadikusuma telah menampilkan Islam sebagai ”sistem kehidupan manusia dalam segala seginya”. Artinya, secara Muhammadiyah bukan hanya memandang ajaran Islam sebagai aqidah dan ibadah semata, tetapi merupakan suatu keseluruhan yang menyangkut akhlak dan mu’amalat dunyawiyah. Selain itu, aspek aqidah dan ibadah pun harus teraktualisasi dalam akhlak dan mu’amalah, sehingga Islam benar-benar mewujud dalam kenyataan hidup para pemeluknya. Karena itu, Muhammadiyah memulai gerakannya dengan meluruskan dan memperluas paham Islam untuk diamalkan dalam sistem kehidupan yang nyata.
Kyai Dahlan dalam mengajarkan Islam sungguh sangat mendalam, luas, kritis, dan cerdas. Menurut Kyai Dahlan, orang Islam itu harus mencari kebenaran yang sejati, berpikir mana yang benar dan yang salah, tidak taklid dan fanatik buta dalam kebenaran sendiri, menimbang-nimbang dan menggunakan akal pikirannya tentang hakikat kehiduupan, dan mau berpikir teoritik dan sekaligus beripiki praktik. Kyai Dahlan tidak ingin umat Islam taklid (ikut2an tnpa dsar) dalam beragama, juga tertinggal dalam kemajuan hidup. Karena itu memahami Islam haruslah sampai ke akarnya, ke hal-hal yang sejati atau hakiki dengan mengerahkan seluruh kekuatan akal piran dan ijtihad (usaha yg b’sungguh unt mncapai tujuan yg benar).
Kyai Dahlan dengan Muhammadiyah yang didirikannya, menurut Djarnawi Hadikusuma telah menampilkan Islam sebagai ”sistem kehidupan manusia dalam segala seginya”. Artinya, secara Muhammadiyah bukan hanya memandang ajaran Islam sebagai aqidah dan ibadah semata, tetapi merupakan suatu keseluruhan yang menyangkut akhlak dan mu’amalat dunyawiyah. Selain itu, aspek aqidah dan ibadah pun harus teraktualisasi dalam akhlak dan mu’amalah, sehingga Islam benar-benar mewujud dalam kenyataan hidup para pemeluknya. Karena itu, Muhammadiyah memulai gerakannya dengan meluruskan dan memperluas paham Islam untuk diamalkan dalam sistem kehidupan yang nyata.
Kyai Dahlan dalam mengajarkan Islam sungguh sangat mendalam, luas, kritis, dan cerdas. Menurut Kyai Dahlan, orang Islam itu harus mencari kebenaran yang sejati, berpikir mana yang benar dan yang salah, tidak taklid dan fanatik buta dalam kebenaran sendiri, menimbang-nimbang dan menggunakan akal pikirannya tentang hakikat kehiduupan, dan mau berpikir teoritik dan sekaligus beripiki praktik. Kyai Dahlan tidak ingin umat Islam taklid (ikut2an tnpa dsar) dalam beragama, juga tertinggal dalam kemajuan hidup. Karena itu memahami Islam haruslah sampai ke akarnya, ke hal-hal yang sejati atau hakiki dengan mengerahkan seluruh kekuatan akal piran dan ijtihad (usaha yg b’sungguh unt mncapai tujuan yg benar).
Kelahiran Muhammadiyah dengan gagasan-gagasan cerdas
dan pembaruan dari pendirinya, Kyai Haji Ahmad Dahlan, didorong oleh dan atas
pergumulannya dalam menghadapi kenyataan hidup umat Islam dan masyarakat
Indonesia kala itu, yang juga menjadi tantangan untuk dihadapi dan dipecahkan.
Adapun faktor-faktor yang menjadi pendorong lahirnya Muhammadiyah ialah antara
lain:
Umat Islam tidak memegang teguh tuntunan Al-Quran dan Sunnah Nabi, sehingga menyebabkan merajalelanya syirik, bid’ah, dan khurafat, yang mengakibatkan umat Islam tidak merupakan golongan yang terhormat dalam masyarakat, demikian pula agama Islam tidak memancarkan sinar kemurniannya lagi;
Umat Islam tidak memegang teguh tuntunan Al-Quran dan Sunnah Nabi, sehingga menyebabkan merajalelanya syirik, bid’ah, dan khurafat, yang mengakibatkan umat Islam tidak merupakan golongan yang terhormat dalam masyarakat, demikian pula agama Islam tidak memancarkan sinar kemurniannya lagi;
Ketiadaan
persatuan dan kesatuan di antara umat Islam, akibat dari tidak tegaknya ukhuwah
Islamiyah serta ketiadaan suatu organisasi yang kuat;
Kegagalan dari sebagian lembaga-lembaga pendidikan Islam dalam memprodusir kader-kader Islam, karena tidak lagi dapat memenuhi tuntutan zaman;
Umat Islam kebanyakan hidup dalam alam fanatisme yang sempit, bertaklid buta serta berpikir secara dogmatis, berada dalam konservatisme, formalisme, dan tradisionalisme;
dan Karena keinsyafan akan bahaya yang mengancam kehidupan dan pengaruh agama Islam, serta berhubung dengan kegiatan misi dan zending Kristen di Indonesia yang semakin menanamkan pengaruhnya di kalangan rakyat. Karena itu, jika disimpulkan, bahwa berdirinya Muhammadiyah adalah karena alasan-alasan dan tujuan-tujuan sebagai berikut:
(1) Membersihkan Islam di Indonesia dari pengaruh dan kebiasaan yang bukan Islam. Cntohnya: mengadakan pesta minuman keras, main judi, panco apabila ad raja2 yg meninggal di istana. Lalu memotong kerbau.
Kegagalan dari sebagian lembaga-lembaga pendidikan Islam dalam memprodusir kader-kader Islam, karena tidak lagi dapat memenuhi tuntutan zaman;
Umat Islam kebanyakan hidup dalam alam fanatisme yang sempit, bertaklid buta serta berpikir secara dogmatis, berada dalam konservatisme, formalisme, dan tradisionalisme;
dan Karena keinsyafan akan bahaya yang mengancam kehidupan dan pengaruh agama Islam, serta berhubung dengan kegiatan misi dan zending Kristen di Indonesia yang semakin menanamkan pengaruhnya di kalangan rakyat. Karena itu, jika disimpulkan, bahwa berdirinya Muhammadiyah adalah karena alasan-alasan dan tujuan-tujuan sebagai berikut:
(1) Membersihkan Islam di Indonesia dari pengaruh dan kebiasaan yang bukan Islam. Cntohnya: mengadakan pesta minuman keras, main judi, panco apabila ad raja2 yg meninggal di istana. Lalu memotong kerbau.
(2)
Reformulasi doktrin Islam dengan pandangan alam pikiran modern
(3)
Reformulasi ajaran dan pendidikan Islam; dan
C.Gagasan
Pemikiran KH. Ahmad Dahlan Pembaruan & Pemurnian Islam.
Formalitas beragama adalah fokus utama yang ingin didekonstruksi oleh Kyai Dahlan. Ide pembaharuannya menyangkut akidah dan syariat, misalnya tentang upacara ritual kematian, upacara perkawinan, kehamilan, sunatan, berziarah ke kuburan keramat, memberikan sesajen kepada hal yang dianggap keramat dan sebagainya. Menurut Kyai Dahlan, hal-hal tersebut bertentangan dengan Islam dan dapat menimbulkan perbuatan syirik dan musyrik. Kyai Dahlan juga berupaya menegakkan ajaran Islam sesuai dengan Al-Qur’an dan Hadist, berusaha mengedepankan ijtihad jika ada hal yang tidak dapat dalam Al-Qur’an maupun Hadist serta berusaha menghilangkan taqlid (pendapat ulama terdahulu tanpa ada dasarnya) dalam fiqih dan menegakkan amar ma’ruf nahi munkar.
Formalitas beragama adalah fokus utama yang ingin didekonstruksi oleh Kyai Dahlan. Ide pembaharuannya menyangkut akidah dan syariat, misalnya tentang upacara ritual kematian, upacara perkawinan, kehamilan, sunatan, berziarah ke kuburan keramat, memberikan sesajen kepada hal yang dianggap keramat dan sebagainya. Menurut Kyai Dahlan, hal-hal tersebut bertentangan dengan Islam dan dapat menimbulkan perbuatan syirik dan musyrik. Kyai Dahlan juga berupaya menegakkan ajaran Islam sesuai dengan Al-Qur’an dan Hadist, berusaha mengedepankan ijtihad jika ada hal yang tidak dapat dalam Al-Qur’an maupun Hadist serta berusaha menghilangkan taqlid (pendapat ulama terdahulu tanpa ada dasarnya) dalam fiqih dan menegakkan amar ma’ruf nahi munkar.
- Pembaharuan Lewat Politik
Sebelum
Muhammadiyah berdiri, Kiai Ahmad Dahlan telah melakukan berbagai kegiatan
keagamaan dan dakwah. Tahun 1906, Kiai diangkat sebagai khatib Masjid Besar
Yogyakarta dengan gelar Katib Amin oleh Kerajaan Ngayogyakarta Hadiningrat
dalam usianya yang relatif muda sekitar 28 tahun, ketika ayahanda Kyai mulai
uzur dari jabatan serupa. Satu tahun kemudian (1907) Kiai memelopori Musyawarah
Alim Ulama. Dalam rapat pertama beliau menyampaikan arah kiblat Masjid Besar
kurang tepat.
Tahun 1922 Kiai membentuk Badan Musyawarah Ulama. Tujuan badan itu ialah mempersatukan ulama di seluruh Hindia Belanda dan merumuskan berbagai kaidah hukum Islam sebagai pedoman pengamalan Islam khususnya bagi warga Muhammadiyah. Badan Musyawarah ini diketuai RH Moehammad Kamaludiningrat, penghulu Kraton. Meskipun pernah berbeda pendapat, Moehammad Kamaludiningrat ini yang mendorong para pimpinan Muhammadiyah kemudian membentuk Majelis Tarjih (1927). Majelis ini diketuai Kiai Mas Mansur. Dengan tujuan dakwah agar manusia berfikir dan tertarik pada kebagusan Islam melalui pembuktian jalan kepandaian dan ilmu.
Tahun 1909, Kiai Ahmad Dahlan bergabung dengan Boedi Oetomo. Tujuannya selain sebagai wadah semangat kebangsaan, juga untuk memperlancar aktivitas dakwah dan pendidikan Islam yang dilakukannya. Ketika Muhammadiyah terbentuk, bahkan 7 orang pengurusnya menyusul bergabung dengan Boedi Oetomo. Hubungan Muhammadiyah dengan Boedi Oetomo sangat erat, sehingga Kongres Boedi Oetomo tahun 1917 diselenggarakan di rumah Kiai Ahmad Dahlan.
Tahun 1922 Kiai membentuk Badan Musyawarah Ulama. Tujuan badan itu ialah mempersatukan ulama di seluruh Hindia Belanda dan merumuskan berbagai kaidah hukum Islam sebagai pedoman pengamalan Islam khususnya bagi warga Muhammadiyah. Badan Musyawarah ini diketuai RH Moehammad Kamaludiningrat, penghulu Kraton. Meskipun pernah berbeda pendapat, Moehammad Kamaludiningrat ini yang mendorong para pimpinan Muhammadiyah kemudian membentuk Majelis Tarjih (1927). Majelis ini diketuai Kiai Mas Mansur. Dengan tujuan dakwah agar manusia berfikir dan tertarik pada kebagusan Islam melalui pembuktian jalan kepandaian dan ilmu.
Tahun 1909, Kiai Ahmad Dahlan bergabung dengan Boedi Oetomo. Tujuannya selain sebagai wadah semangat kebangsaan, juga untuk memperlancar aktivitas dakwah dan pendidikan Islam yang dilakukannya. Ketika Muhammadiyah terbentuk, bahkan 7 orang pengurusnya menyusul bergabung dengan Boedi Oetomo. Hubungan Muhammadiyah dengan Boedi Oetomo sangat erat, sehingga Kongres Boedi Oetomo tahun 1917 diselenggarakan di rumah Kiai Ahmad Dahlan.
Di sisi lain
Dr. Soetomo pendiri Boedi Oetomo juga banyak terlibat dalam kegiatan-kegiatan
Muhammadiyah dan menjadi Penasehat (Adviseur Besar) Muhammadiyah. Dalam Kongres
Muhammadiyah ke-26 (Surabaya), Dr.Soetomo memberikan ceramah (khutbah) dengan
tema Penolong Kesengsaraan Oemoem (PKO). Khutbah ini yang mendorong lahirnya
PKO dengan rumah sakit dan panti asuhannya kemudian. Dr.Soetomo pun membantu
memperlancar pengesahan berdirinya Muhammadiyah, tiga tahun setelah berdirinya.
Untuk
mengetahui informasi perkembangan pemikiran di Timur Tengah Ahmad Dahlan
menjalin hubungan intensif melalui Jami’at Khair dan masuk menjadi anggotanya
pada tahun 1910. Ketika Syarikat Islam berdiri, Ahmad Dahlan pun ikut serta
menjadi anggota.
Rupannya dengan masuknya Ahmad Dahlan pada semua organisasi tersebut di atas dakwahnya semakin meluas dan mendapat respon positif dan di dukung oleh kalangan modernis dan perkotaan. Dari sinilah Ahmad Dahlan mendapat masukan dari berbagai pihak, yang akhirnya pada tanggal 18 November 1912 Ahmad Dahlan mendirikan wadah gerakan bagi pikirannya yaitu “Muhammadiyah”
Rupannya dengan masuknya Ahmad Dahlan pada semua organisasi tersebut di atas dakwahnya semakin meluas dan mendapat respon positif dan di dukung oleh kalangan modernis dan perkotaan. Dari sinilah Ahmad Dahlan mendapat masukan dari berbagai pihak, yang akhirnya pada tanggal 18 November 1912 Ahmad Dahlan mendirikan wadah gerakan bagi pikirannya yaitu “Muhammadiyah”
- Pembaharuan
Lewat Pendidikan
Tak kalah penting dalam pembicaraan kita tentang Kyai Dahlan adalah semangatnya sebagai seorang pendidik. Beliau begitu intens mengkritik dualisme pendidikan pada masanya. Pandangan muslim tradisional terhadap pendidikan terlalu menitikberatkan pada aspek spiritual dalam kehidupan sehari-hari. Hal ini terlihat dari lembaga pendidikannya yaitu pesantren. Pesantren lebih mengembangkan ilmu agama dibanding ilmu pengetahuan sehingga menyebabkan kemunduran pada dunia Islam karena umat Islam hanya memikirkan masalah akhirat dan menimbulkan sikap pasrah.
Begitu pun
dengan sistem pendidikan kolonial. Dilihat dari metode pengajaran dan alat-alat
pendidikannya, memang terbilang banyak sekali manfaat dan kemajuan yang bisa
diraih siswa dari pendidikan kolonial ini. hanya saja, dalam sekolah kolonial
tidak terdapat pelajaran tentang agama, khususnya Islam. Hal ini menyebabkan siswa
cakap secara intelektual namun lemah karakter dan moralitasnya. Karena itulah
Kyai Dahlan memandang penting persoalan sinergi antara ilmu umum dan agama.
Karena itulah institusi pendidikan Muhammadiyah tidak memberlakukan pemisahan
antara ilmu umum dan agama.
Sekolah
Muhammadiyah yang pertama telah berdiri satu tahun sebelum Muhammadiyah sebagai
organisasi berdiri. Pada tahun 1911 Kyai Dahlan mendirikan sebuah madrasah di
rumahnya yang diharapkan bisa memenuhi kebutuhan kaum muslim terhadap pendidikan
agama dan pada saat yang sama memberikan mata pelajaran umum. Di sekolah itu,
pendidikan agama diberikan oleh Kyai Dahlan sendiri dan pelajaran umum
diajarkan oleh seorang anggota Budi Utomo yang juga guru di sekolah pemerintah.
Ketika sekolah ini dibuka hanya ada 9 murid yang mendaftar. Hal itu membuktikan bahwa umat Islam belum memandang pentingnya ilmu pengetahuan umum dan agama. Respon tersebut tidak mematahkan semangat Kyai Dahlan. Ia tidak segan-segan mendatangi anak-anak sampai ke rumahnya untuk mengajak mereka masuk sekolah. Kyai Dahlan juga memberikan perhatian khusus pada pendidikan anak-anak perempuan. Karena bila anak laki-laki maju, anak perempuan terbelakang maka terjadi kepincangan. Pada tahun 1918 didirikan sekolah Aisyiyah. Suatu pertanda bahwa pemikiran emansipasi pendidikan juga menjadi perhatian Kyai Dahlan.
Ketika sekolah ini dibuka hanya ada 9 murid yang mendaftar. Hal itu membuktikan bahwa umat Islam belum memandang pentingnya ilmu pengetahuan umum dan agama. Respon tersebut tidak mematahkan semangat Kyai Dahlan. Ia tidak segan-segan mendatangi anak-anak sampai ke rumahnya untuk mengajak mereka masuk sekolah. Kyai Dahlan juga memberikan perhatian khusus pada pendidikan anak-anak perempuan. Karena bila anak laki-laki maju, anak perempuan terbelakang maka terjadi kepincangan. Pada tahun 1918 didirikan sekolah Aisyiyah. Suatu pertanda bahwa pemikiran emansipasi pendidikan juga menjadi perhatian Kyai Dahlan.
Sinergi
antara ilmu umum dan agama juga merupakan tanda bahwa Kyai Dahlan sangat
menyadari pentingnya pembangunan kepribadian sebagai salah satu tujuan pendidikan.
Entah disadari atau tidak, upaya Kyai Dahlan menyinergikan antara ilmu umum dan
agama ini merupakan sebuah antitesis terhadap Prof. Snouck Hurgronje. Inilah
sebab mengapa pemikiran Kyai Dahlan di bidang pendidikan merupakan sebuah
terobosan yang membawa dampak besar bagi umat. Lebih jauh kedepan, dapat kita
lihat hasilnya dengan munculnya kader-kader Muhammadiyah yang turut mewarnai
dunia politik dengan membawa identitas ke-Islamannya.[7]
5. HASBI ASH
SHIDDIEQY
Seorang
mufasir, dan penulis buku-buku keagamaan asal Aceh, terutama
masalah-masalah hukum (fiqih), tafsir dan hadits.
Ia lahir di Lhokseumawe, Aceh
Utara. Ia masih mempunyai silsilah sampai Abu Bakar Siddik (sahabat Nabi SAW).
Ayahnya, Al hajj Teungku Muhammad Hussein Ibn Muhammad Ibn Mas’ud, yang
menjabat sebagai Qadi Srimaharaja Mangkubumi di Lhokseumawe. Ibunya, Teuku
Amrah, putri Teuku Abdul Aziz, yang menjabat Qadi Srimaharaja, yang digantikan
ayahnya.
Pendidikan agamanya didapat dari
ayahnya sendiri (yang mempunyai dayah). Sejak usia 8 tahun ia belajar dari
dayah (pesantren) ke dayah yang lain dengan memakan waktu 12 tahun. Pada tahun
1925 ia baru menyelesaikan pelajaran sekaligus memperoleh ijazah untuk dapat
membuka dayah sendiri.
Hasbi adalah seorang otodidak
(belajar sendiri), pendidikan yang ditempuhnya dari dayah ke dayah yang
lainnya, dan hanya 1,5 tahun duduk dibangku sekolah Al Irsyad (di Surabaya
tahun 1926). Meskipun basis pendidikan formalnya relatif rendah, tetapi ia
memperlihatkan dirinya sebagai pemikir. Kemampuannya selaku seorang intelektual
telah diakui oleh dunia international. Ia pernah diundang dan menyampaikan
makalah dalam International Islamic Colloquium yang diselenggarakan di Lahore,
Pakistan (1958). Pada tahun 1960 ia diangkat menjadi dekan di IAIN Kalijaga
Yogyakarta (hingga tahun 1972).
Ia memperoleh 2 gelar Doctor
Honoris Causa karena jasanya terhadap perkembangan perguruan tinggi dan ilmu
pengetahuan keislaman di Indonesia. Gelar tersebut didapat dari Unisba
(Universitas Islam Bandung) pada 22 Maret 1975, dan IAIN Kalijaga
Yogyakarta (29 Oktober 1975).
Ia meninggal pada 9 Desember
1975 di Jakarta, dan dimakamkan di pemakaman keluarga IAIN Ciputat,
jakarta.
Hasbi adalah salah seorang
tokoh yang menyerukan pembaharuan di Indonesia. Dan ia termasuk salah seorang
tokoh yang pernah mengusulkan perlunya menyusun fiqih baru ‘ala Indonesia. Ia
menulis sekitar 72 judul buku dan tidak kurang dari 50 artikel dibidang
tafsir, hadits, fiqih, dan pedoman ibadah umum.[8]
Karya
- Tafsir Al Qur’anul Majid
- Tafsir An Nur
- Tafsir Al Bayan (1733 halaman). Tafsir ini
menjelaskan ayat demi ayat, dilengkapi penjelasan tambahan dan juga
catatan kaki.
- Pengantar Ilmu Hadits
- Ilmu hadits Dirayah (2
jilid)
- 2002 Mutiara Hadits (8
jilid)
- Pedoman Haji, merupakan naskah yang
terakhir ia buat.
- Pokok-pokok Pegangan Imam Madzhab (616
halaman). Dalam buku ini ia menjelaskan bahwa semua mujtahid baik dari
kalangan Sunni maupun Syi’ah, dalam menggali hukum syara’ tetap bersumber
pada Al Qur’an dan Hadits. Mereka hanya berbeda pandangan dalam
menentukan dasar-dasar yang boleh dipakai Al Qur’an dan As Sunah. Buku ini
juga dilengkapi sejarah perkembangan madzhab, riwayat hidup para imam, dan
glossary (kamus istilah).
- Falsafah Hukum Islam, buku ini
mencakup dasar, tujuan, keistimewaan, keindahan dan rahasia-rahasia yang
dikandung setiap hukum, yang dibagi dalam 2 bagian, yaitu segi
falsafah dan segi ruhul ahkam yang ditanggapi dari hasil istiqra’.
- Hukum Antar Golongan. Buku
ini mempberi tuntunan dalam menghadapi persoalan dengan agama lain,
seperti : perkawinan, bisnis dan hutang piutang.
- Tuntunan Qurban & Aqiqah. Buku
ini secara ringkas menjelaskan berbagai hal tentang ibadah qurban dan
memberikan tuntunan yang benar mengenai syarat-syarat pelaksanaannya
agar qurban yang dilakukan benar-benar penuh keikhlasan sesuai dengan
syari’at. Dalam buku ini dibahas juga mengenai penyembelihan diluar
qurban (aqiqah, atirah, dan fara’).
- Peradilan & Hukum Acara Islam (204
halaman)
- Pidana Mati Dalam Syari’at Islam (68
halaman)
- Islam dan Politik Bernegara (261
halaman), buku ini menguraikan dasar-dasar teori politik Islam yang
menjelaskan tentang sejarah negara Islam dan munculnya partai-partai
politik, imamah, syarat dan kewajiban negara, hubungan rakyat dan penguasa
serta perbedaan demokrasi Islam dan barat.
- Ilmu-ilmu Al Qur’an (340
halaman), merupakan buku tentang dasar untuk mempelajari Al Qur’an (ulumul
Qur’an) dari sejarah dan perkembangannya sampai kaidah-kaidah yang
diperlukan mufasir.
- Kuliah Ibadah (262 hal), buku ini
menguraikan ibadah secara luas, mendalam dan detail dilihat dari segi
hukum (fiqih) dan hikmah (filosofi0. Buku ini dijadikan panduan
perkuliahan di IAIN atau setingkat.
- Pedoman Dzikir dan Do’a.Buku
ini terdiri dari 4 jilid, jilid satu berisi mengenai bagaiman hukum dan
adab berdo’a; Jilid dua tentang berdzikir dan berdo’a untuk berbagai
pengalaman; Jilid 3, dzikir dan do’a para rasul dalam Al Qur’an, serta
surat-surat yang dibaca malam; Jilid 4, berisi bacaan dzikir dan do’a
dalam shalat, zakat, puasa, haji dan umrah.
- Dasar dasar fiqih Islam
- Fiqhul Mawaris
- Hukum-hukun fiqih Islam
- Al
Islam: Kepercayaan, Kesusilaan, amal Kebajikan
- Koleksi hadits-hadits hukum.
- Pedoman Puasa
- Pedoman Shalat
- Pengantar Hukum Islam
- Pokok pokok Ilmu dirayah
- Sejarah dan pengantar Ilmu hadits
- Sejarah dan Pengantar ilmu tauhid / ilmu kalam.
- Sejarah dan Pengantar ilmu Al Qur’an
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
“Islam adalah agama yang
mencakup berbagai macam aspek, baik itu ekonomi, politik, budaya, ibadah,
dan lain-lain.” Bila memandang Islam dalam konteks kekinian, rasanya memang
perjuangan atau usaha yang dilakukan oleh para tokoh pembaharu islam belum
sempurna. Perjuangan dan usaha mereka kami analogikan sebagai sebuah ajang lari
estafet, mereka—para tokoh pembaharu islam—berlari dan membawa tongkat estafet
kemajuan islam dengan susah payah dan penuh perjuangan agar sampai kepada
kita—umat saat ini—dengan harapan besar kita mampu melanjutkan tongkat estafet
tersebut sampai pada generasi selanjutnya hingga akhir zaman. Namun, potret
umat islam saat ini bisa dikatakan amat menyedihkan dari segi keilmuan dan
persatuan. Umat islam saat ini tidak lagi dinamis, dan seperti tidak memiliki
pendirian. Hal ini terlihat dari mudahnya umat islam terprovokasi oleh
oknum-oknum tertentu yang tak bertanggung jawab.Hal ini menunjukkan kesadaran
umat islam untuk melanjutkan tongkat estafet kemajuan itu masih belum maksimal.
Semoga dengan hadirnya kajian(studi
tokoh) ini kita semakin menyadari kondisi islam yang masih terpuruk saat ini
dan harapan besar kami adalah munculnya jiwa dan semangat Muhammad Bin Abdul Wahab, Muhammad
Abduh,Syaikh Rasyid Ridha dan lain-lain yang mampu kembali meneruskan tongkat
estafet perjuangan itu dan menanggalkan seluruh pengaruh barat pada islam yang
merupakan hambatan bagi umat islam untuk maju. Amien.
DAFTAR PUSTAKA
Asmuni,Drs.
H.M.Yusran, Pengantar Studi Pemikiran Dan
Gerakan Pembaharuan (Dirasah Islamiah
III), Rajawali Pers: Jakarta, 2001
Rahman,
Fazlur, Kebangkitan dan Pembaharuan di
dalam Islam, Penerbit Pustaka: Bandung, 2001.
Nasution,
Harun. Pembaharuan dalam Islam (Sejarah Pemikiran dan Gerakan), Jakarta:
Bulan Bintang, 1975.
Taufik,
Ahmad dkk, Sejarah Pemikiran dan Tokoh modernisme Islam, Jakarta:
Raja Grafindo Persada, 2005.
Anshoriy,
Nasruddin, Matahari Pembaruan; Rekam Jejak KH Ahmad Dahlan. Yogyakarta: Jogja
Bangkit Publisher, 2010.
Damimi,
Mohammad. Akar Gerakan Muhammadiyah. Yogyakarta: Penerbit Fajar Pustaka Baru, 2000.
Syuja’. Islam Berkemajuan; Kisah Perjuangan KH
Ahmad Dahlan dan Muhammadiyah Masa
Awal. Tangerang: Penerbit Al-Wasath, 2009.
NourouzzamanAShiddiqi,FiqhIndonesia,PenggagasdanGagasannya,cet.1Yogyakarta:Pustaka
Pelajar, 1997.
[1]
. Asmuni, Drs. H. M. Yusran,
Pengantar Studi Pemikiran Dan Gerakan Pembaharuan (Dirasah Islamiah III),
Rajawali Pers: Jakarta, 2001
[2]. Nasution,
Harun. Pembaharuan dalam Islam (Sejarah Pemikiran dan Gerakan), Jakarta:
PT Bulan Bintang, 1975
[4] . Taufik,
Ahmad dkk, Sejarah Pemikiran dan Tokoh modernisme Islam, Jakarta:
PT Raja Grafindo Persada, 2005
[5]
. Anshoriy, Nasruddin. 2010. Matahari Pembaruan; Rekam
Jejak KH Ahmad Dahlan. Yogyakarta: Jogja Bangkit Publisher.
[7]. Syuja’. 2009. Islam Berkemajuan;
Kisah Perjuangan KH Ahmad Dahlan dan Muhammadiyah Masa Awal. Tangerang:
Penerbit Al-Wasath.
[8]
. Nourouzzaman AShiddiqi,Fiqh Indonesia,Penggagas dan
Gagasannya,cet.1(Yogyakarta:Pustaka Pelajar,1997), hlm.3-7.
0 Response to "MAKALAH TOKOH PEMBAHARUAN ISLAM"
Post a Comment