MAKALAH TOKOH PEMBAHARUAN ISLAM

BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar belakang
Setelah islam mengalami kekalahan dalam perang salib, banyak yang terjadi kemunduran pada umat islam. Perubahan besar pun terjadi pada Barat dari segala aspek, mulai dari ilmu pengetahuan hingga sistem kemiliteran. Barat dan islam menjadi dua sisi yang berlawanan karena masing-masing  memiliki dua perbedaan mencolok. Barat mengambil komponen-komponen penting dalam islam, tanpa meninggalkan sisa sedikitpun. Terbukti dengan pembakaran perpustakaan-perpustakaan islam dan perampasan buku-buku ilmu pengetahuan, hingga akhirnya islam memasuki era kegelapan. Umat muslim sedikit demi sedikit tersingkirkan dari pergerakan zaman, sampai pada akhirnya umat muslim;sebagian dari mereka namun tidak semua, merasa bahwa hal yang terjadi pada islam ini berupa kemunduran dan masa kegelapan haruslah diakhiri.
Umat islam pun melakukan semacam ‘Renaisance’. Tapi bagi umat islam, tidak hanya ilmu yang dikedepankan, namun juga dari segi keagamaan yang tentunya orang Barat tidak punya. Perlahan-lahan umat islam mulai meneliti faktor-faktor kemunduran dan komponen apa saja yang harus diperbaiki untuk kembali pada masa yang cerah. Satu persatu muncul tokoh-tokoh berpendidikan dari umat islam. Masing-masing dari mereka melakukan remedi atau perbaikan pada hampir seluruh komponen yang dapat membantu kembalinya kejayaan umat islam. Seperti membentuk organisasi yang berlandaskan keislaman untuk memperjelas tujuan umat muslim dalam berjuang melawan Barat dan racun-racunnya.Hingga pada masa kini dampak dari pergerakan mereka masih tercermin dalam organisasi-organisasi islam yang bergerak untuk membela islam dan membangun generasi islam. Namun pembahasan pada makalah ini lebih pada ide-ide dan pembaharuan yang dilakukan pada pembaharu tersebut, juga apa sumbangan nyata yang mereka berikan dan dapat kami manfaatkan hingga sekarang.
B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana latar belakang terjadinya pembaharuan islam ?
2. Siapa saja tokoh pembaharuan islam ?


BAB II
PEMBAHASAN

A. Latar Belakang Terjadinya Pembaharuan Islam
Mulai abad pertengahan merupakan abad gemilang bagi umat islam , pada abad inilah daerah-daerah islam meluas di Barat melalui Afrika  Utara sampai Spanyol, di Timur melalui Persia sampai ke India.
Daerah-daerah ini tunduk karena kepada kekuasaan khalifah  yang pada mulanya berkedudukan di Madinah, kemudian Damskus dan terakhir di Bagdad. Dari situlah banyak lahir pemikir-pemikir hebat. Dari lahirnya pemikir dan para ulama besar itu, maka ilmu pengetahuan berkambang pesat sampai ke puncaknya, baik dalam bidang agama, non agama dan bidang kebudayaan lainya.
Para pemikir dan ulama islam pada saat itu bukan hanya dapat mengislamisasikan pengetahuan-pengetahuan Persia kuno dan warisan-warisan Yunani, akan tetapi kedua kebudayaan itu di sesuaikan pula dengan kebutuhan dan perkembangan pemikiran pada masa itu. Ilmu pengetahuan yang telah di tampung dan diolah oleh para pemikir islam.
Pada abad selanjutnya pemikiran islam memasuki benua Eropa melalui Spayol dan Sisilia dan inilah yang menjadi dasar ilmu yang menguasai alam pikiran Barat.
Dipandang dari sisi sejarah dan kebudayaan maka tugas meme-lihara  dan menyebarkan ilmu pengetahuan tidaklah kecil nilainya dibanding mencipta ilmu pengetahuan. Jika tugas-tugas penelitian diadakan oleh Aristoteles, Galinus dan para ilmua lainnya tidak ditampung maka dunia akan miskin dengan ilmu. Puncak kemegahan dunia islam itu akhirnya menurun, islam mulai mengalami kemunduran pada abad ke-10 dan tenggelam berabad-abad lamanya.
Faktor penyebab kemunduran umat islam:
  • Isu pintu ijtihad tertutup telah meluas dikalangan umat islam. Berpaling pikiran untuk menggali secara langsung pada sumber  pertama dan utama, yaitu Al-Qur’an dan Al-Hadits. Apabila mereka menemukan persoalan baru, pikiran mereka hanya terpusat pada kepentingan mazhab. Praktek bermazhab dan ta’assuk terhadap mazhab tertentu sangat marak dilakukan. Karena itulah ilmu pengetahuan mulai berkurang, kehidupan berkelompok dengan pengaruh negatifnya tersebar hampir disemua tempat di dunia islam.
  • Keutuhan umat islam dalam bidang politik mulai terpecah, kekuasaan khalifah menurun, masyarakat islam yang berbentuk persatuan dan kesatuan dalam seiman telah pindah. Tidak ada satu ikatan di dalamnya kecuali nama dan tatanan. Umat Islam terpecah belah dan saling bermusuhan, masyarakat islam berubah dan kerajaan islam telah mewariskan kota-kota dan kerajaan yang telah bertikai selama berabad-abad, dalam sekejap mata sejarah kemanusiaan telah dirobek-robek oleh kelemahan strategi politik.
  • Adanya perang salib dibawah arahan gereja katolik Roma dan serbuan tentara barbar. Karena itu khalifah sebagai lambang kesatuan politik umat islam hilang. Tentara salib ingin menguasai baitul maqdis untuk menyebarkan pengaruhnya dan mengajak bersatu dalam keyakinan.
            Masa kemunduran ini berlangsung berabad-abad lamanya hingga muncul gerakan yang dikumandangkan oleh pelopor-pelopor pembaharuan seperti Ibnu Taimiyah dengan muridnya Ibnu Al-Qoyyim, Muhammad Ibnu ‘Abdul Wahab, Muhammad Ibnu Ali Sanusi Al-Kabir, dan lain-lain.
Diantara yang mendorong timbulnya pembaharuan dan kebangkitan islam adalah:
-  Paham tauhid yang dianut kaum muslimim yang bercampur dengan kebiasaan yang dipengaruhi oleh kelompok-kelompok, pemujaan terhadap orang-orang suci dan hal lain yang membawa kepada kekufuran.
-  Sifat jumud membuat umat islam berhenti berpikir dan berusaha. Umat islam maju dikarenakan pada saat itu mereka mementingkan ilmu pengetahuan. Oleh karena itu selama umat islam masih bersifat jumud dan tidak mau berpikir untuk berijtihad maka mereka tidak mungkin mengalami kemajuan. Untuk itu perlu diadakan pembaharuan yang berusaha memberantas kejumudan.
-  Umat islam selalu berpecah belah, mereka tidak akan mengalami kemajuan apabila tidak adanya persatuan dan kesatuan yang diikat oleh tali ajaran islam. Karena itulah, bangkit suatu gerakan pembaharuan.
-  Hasil dari kontak yang terjadi antara dunia islam dan barat. Dengan adanya kontak ini mereka sadar bahwa mereka mengalami kemunduran dibandingkan dengan barat. Terutama sekali saat terjadinya peperangan antara kerajaan ustmani dengan kerajaan eropa, yang biasanya tentara kerajaan utsmani selalu menang dalam peperangan dan pada akhirnya mengalami kekalahan ditangan barat. Hal ini membuat pembesar-pembesar utsmani menyelidiki rahasia kekuatan militer eropa yang baru muncul. Ternyata rahasianya adalah kekuatan militer modern yang dimiliki eropa sehingga pembaharuan juga dipusatkan pada bidang militer.[1]
Pembahuran dalam islam berbeda dengan renainsans Barat. Kalau renainsans Barat muncul dengan menyingkirkan agama, maka pembaharuan islam sebaliknya, yaitu untuk memperkuat prinsip dan ajaran-ajaran agama islam. Islam bukan hanya mengajak maju ke depan untuk melawan segala kebodohan dan kemajuan islam itu sendiri.
B. Tokoh-tokoh pembaharuan Islam
Berawal dari kemunduran yang di alami oleh umat islam dan Barat semakin menunjukan Eksistensinya sebagai pusat peradaban. Akhirnya munculah banyak pemikir-pemikir islam yang tersadar bahwa keadaan umat islam saat itu sangat terbelakang. Maka mereka melakukan suatu gerakan yang menghasilkan gagasan untuk membangkitkan umat islam dari ketepurukan itu. Dan sangat banyak tokoh-tokoh yang memberikan jasa nya. Di makalah ini kita hanya memaparkan beberapa tokoh yang paling berpengaruh bagi islam.

     1. MUHAMMAD BIN ABDUL WAHHAB
Lahir di nejad(Arab Saudi)pada tahun 1115 H(1703 M) dan wafat di Daryah tahun 1206 H(1793M).Nama Lengkapnya adalah Muhammad bin สฟAbd al-Wahhฤb bin Sulaiman bin Ali bin Muhammad bin Ahmad bin Rasyid bin Barid bin Muhammad bin al-Masyarif at-Tamimi al-Hambali an-Najdi.Dia adalah seorang ahli teologi agama Islam dan seorang tokoh pemimpin gerakan keagamaan yang pernah menjabat sebagai mufti Daulah Su'udiyyah, yang kemudian berubah menjadi Kerajaan Arab Saudi.Dia juga merupakan seorang ulama besar yang produktif,karena buku-buku karangannya tentang islam mencapai puluhan buku,diantaranya buku yang berjudul”Kitab At-Tauhid”yang isinya tentang pemberantasan syirik,khurafat,takhayul,dan bid’ah yang terdapat di kalangan umat Islam dan mengajak umat Islam agar kembali kepada ajaran tauhid yang murni.
Muhammad bin สฟAbd al-Wahhฤb, adalah seorang ulama berusaha membangkitkan kembali pergerakan perjuangan Islam secara murni. Para pendukung pergerakan ini sesungguhnya menolak disebut Wahabbi, karena pada dasarnya ajaran Ibnu Wahhab menurut mereka adalah ajaran Nabi Muhammad, bukan ajaran tersendiri. Karenanya mereka lebih memilih untuk menyebut diri mereka sebagai Salafis atau Muwahhidun, yang berarti "satu Tuhan".
Istilah Wahhabi sering menimbulkan kontroversi berhubung dengan asal-usul dan kemunculannya dalam dunia Islam. Umat Islam umumnya terkeliru dengan mereka kerana mereka mendakwa mazhab mereka menuruti pemikiran Ahmad ibn Hanbal dan alirannya, al-Hanbaliyyah atau al-Hanabilah yang merupakan salah sebuah mazhab dalam Ahl al-Sunnah wa al-Jama'ah. Ia tumbuh dan dibesarkan dalam kalangan keluarga terpelajar. Ayahnya adalah seorang tokoh agama di lingkungannya. Sedangkan abangnya adalah seorang qadhi (mufti besar), tempat di mana masyarakat Najd menanyakan segala sesuatu masalah yang bersangkutan dengan agama.
Dia menempuh berbagai macam cara, dalam menyampaikan dakwahnya, sesuai dengan keadaan masyarakat yang dihadapinya. Di samping berdakwah melalui lisan, beliau juga tidak mengabaikan dakwah secara pena dan pada saatnya juga jika perlu beliau berdakwah dengan besi (pedang).
Maka Syeikh mengirimkan suratnya kepada ulama-ulama Riyadh dan para umaranya, salah satunya adalah Dahham bin Dawwas. Surat-surat itu dikirimkannya juga kepada para ulama dan penguasa-penguasa. Ia terus mengirimkan surat-surat dakwahnya itu ke seluruh penjuru Arab, baik yang dekat ataupun jauh. Di dalam surat-surat itu, beliau menjelaskan tentang bahaya syirik yang mengancam negeri-negeri Islam di seluruh dunia, juga bahaya bid’ahkhurafat dan takhayul.
Berkat hubungan surat menyurat Syeikh terhadap para ulama dan umara dalam dan luar negeri, telah menambahkan kemasyhuran nama Syeikh sehingga beliau disegani di antara kawan dan lawannya, hingga jangkauan dakwahnya semakin jauh berkumandang di luar negeri, dan tidak kecil pengaruhnya di kalangan para ulama dan pemikir Islam di seluruh dunia, seperti di HindiaIndonesiaPakistanAfganistan,Afrika UtaraMaghribi, Mesir, Syria, Iraq dan lain-lain lagi.
Muhammad bin `Abdul Wahab telah menghabiskan waktunya selama 48 tahun lebih di Dar’iyah. Keseluruhan hidupnya diisi dengan kegiatan menulis, mengajar, berdakwah dan berjihad serta mengabdi sebagai menteri penerangan Kerajaan Saudi di Tanah Arab. Muhammad bin Abdulwahab berdakwah sampai usia 92 tahun, beliau wafat pada tanggal 29 Syawal 1206 H, bersamaan dengan tahun 1793 M, dalam usia 92 tahun.[2]
2.  Muhammad Abduh
Sang Modernis yang Tradisional
Akhir abad ke-18 dunia islam terbantai oleh penjajah. Mesir, Pakistan, Sudan dan Bangladesh, Malaysia dan Brunei Darussalam diduduki Inggris. Aljazair, Tunisai dan Maroko dijajah perancis. Italia mendapatkan Libya. Indonesia oleh Belanda. Pada saat itu juga kekhalifaan yang menjadi kebesaran islam yang ada di Turki yaitu kahlifah Utsmani dalam keadaan sakit. Dan Muatfa Kamal Attaturk mengganti sistem pemerintahan kesultanan menjadi republik sekuler untuk menyelamatkan Turki. Sejak inilah dunia islam mengalami kemunduran.
            Sebenarnya kemunduran islam sudah terjadi 6 abad sebelumnya. Yaitu pada pemerintahan Andalusia dan kekhalifahan Bani Abbasiyah oleh tentara Mongol, selama itulah pemikiran islam berhenti. Dan pada abad ke 19 kondisi mencair dengan muculnya pelopor yang mengelaborasikan antara agama yang di sesuaikan pemahaman masyarakat. Sejarah mencatat, peranan Muhammad Abduh tidak hanya membangkitakan gerakan revolusioner melalui pemikiranya akan tetapi sebagai pencetus muncul paham “islam kiri” dan “islam kanan” melalui murid-muridnya. Gerakan revolusionernya membuat takut pemerintahan kolonial. Munculnya gerakan perlawanan umat islam terhadap Eropa juga salah satu pemikiran Abduh.
Abduh, nama lengkapnya Muhammad Abduh bin Hassan Khair Ullah, lahir di desa Mahalat Nashr, provinsi Gharbiyah, Mesir pada 1265 H. Dia menganal agama dari orang tuanya. Dia sudah dapat menghafal seluryh isi al-Quran dari kecil. Dan dia melanjutkan pendidikan formalnya di Thanta, dis ebuah lembaga pendidikan Masjid Al-Ahmad, milik Al-Azhar.
Gurunya, Syaikh Darwisi membimbingnya dan mengantarkannya dalam kehidupan sufi. Tahun 1871 Abduh bertemu dengan Jmaludin Al-Afghani. Pada jamaludi Al-Afghani dia belajar filsafat, ilmu kalam, ilmu pasti, ilmu pengetahuan lain yang juga didapatkan di al-Azhar metode diskusi yang diterapakan Jamaludin menarik minat Abduh.
Dalam karirnya ia pernah menjadi dosen di Al-Azhar, Dar Al-Ulum dan perguruan bahasa Khedevi. Ia pernah menjadi mufti Mesir dan menjabat sebagai Hakim agung. Di jurnalistik ia adalah penulis produktif dari sebuahkoran dan dia menjadi pimpinan redaksi, yaitu koran Waqai Al-Misriyah yang membahas persoalan politik, sosial, agama dan negara. Dia meninggal pada tahun 1905.
Gagasan Pembaharuan
Kontribusi pembaharuan pemikiran abduh paling menonjol dan menjadi fokus gerakanya meliputi dua bidang yaitu teologi dan hukum, dua aspek ini yang dianggapnya vital yang telah di lupakan oleh umat islam sehingga benih kemunduran di setiap kehidupan tidak dapat dihindari.
Pemikiran teologi Abduh didasari oleh tiga hal yaitu; kebebasn manusia dalam memilih perbuatan, kepercayaan yang kuat terhadapsunnah allah dan fungsi akal yang sangat dominan dalam menggunakan kebebasan. Pandangan Abduh tentang perbuatan manusia bertolak dari satu deduksi, bahwa manusia adalah mahluk yang bebas dalam memilih perbuatanya, akan tetapi kebebasan tersebut bukanlah kebebasan tanpa batas.
Abduh memandang akal berperan penting dalam mencapai pengetahuan yang hakiki tentang iman, bahkan menurut Abduh akal memilik kekuatan yang sangat tinggi. Berkat akal, orang dapat mengetahui adanya tuhan dan sifat-sifat nya, adanya hidup di akhirat , kewajjiban terhadap tuhan, kebaikan dan kejahatan, serta mengetahui kewajiban membuat hukum-hukum. Tapi bukan berarti manusia tidak membutuhkan wahyu. Wahyu tetap dibutuhkan, sebab wahyu sesungguhnya memiliki dua fungsi utama, yakni menolong akal untuk mengetahui secara rinci kehidupan akhirat dan menguatkan akal dalam mendidik manusia untuk hidup damai dalam lingkungan sosialdengan itu maka para mukmin baru dapat mengenali tuhan dengan baik yang tercermin oleh tindakan baik manusia.
Dalam aspek hukum, pemikiran Abduh tercermin dalam 3prinsip, yaitu: al-Quran sebagai sumber syariat , memerangi taklid dan berpegang kuat pada akal dalam memahami ayat Al-Quran.dia membagi syariat menjadi 2: yang pasti (qath’i) dan yang tidak pasti (zhani). Hukum syariat yang pertama wajib mengetahui dan mengamalkan tanpa interpertasi karena dia jelas dalam al-Quran dan al-Hadits.  Yang kedua dengan tunjukan nash dan ijma’ yang tidak pasti.
Jenis hukum kedua hukum inilah yang mejadi lapangan ijtihad dan mujtahid. Dalam komteks ini, ijtihad Abduh tampak begitu jelas. Bebeda pendapat, menurutnya wajar dan merupakan tabiat manusia. Keseragaman berpikir dalam semua hal adalah sesuatu yang tidak mungkin di wujudkan. Akan membawa perpecahan jika semua perbedaan pendapat di jadikan sebagai hukum. Maka dari itu kita harus kembali pada sumber aslinya, yaitu al-Quran dan as-Sunnah. Bagi yang berilmu pengetahuan wajib berijtihad, sedangkan bagi awam wajib bertanya pada orang yang ahli  dalam agama.
Dia menyarankan agar para ahli fiqih membentuk tim yang bekerja untuk mengadakan penelitian tentang pendapat yang terkuat di antara di antara pendapat-pendapat yang ada. Kemudian keputusan itu yang di jadika pegangan umat islam. Tim ahli fiqih itu juga bertugas mengadaka reinterpretasi terhadap hasil ijtihad ulam amupun mazhab masa lalu, jadi, menurutnya, bermazhab mencontoh metode ber-instinbath hukum.
Peran dan kiprah Abduh mengangkat citra islam dan kualitas umatnya tidak kecil. Dialah seorang mujahid dan mujadid sekaligus pada masanya. Bukan saja mengalami tentangan internal dan eksternal. Berkat upayanya, meski begitu maksimal, modernisme pemikiran sudah kelihatan. Dalam amatan cendikiawan muslim indonesia Dr. Nurcholis Majid (islam kemoderenan dan keindonesiaan mizan: 1987), “modernisme” Abduh, antara lain, tercermin dalam sikapnya yang apresiatif terhadap filsafat yang di perolah dari gurunya yaitu Jamaludin al-Afghani, seorang penganjur gigi Pan-Islamisme dan orator politik yang memukau.
Di Indonesia, pemikiran Abduh banyak mempengaruhi pelajaran dan patron ormas lainnya. Di antara warisan nya adalah Risalah Al-Tauhid  sedangkan Tafsir Al-Manar merupakan kumpulan pidato-pidatonya,  pikiran-pikiran, dan ceramah-ceramhanya yan di tulis oleh muridnya, Syaikh Muhammad Rasyid Ridha.
Kiri dan kanan Islam
            Tidak berlebihan jika Abduh dikatakan sebagai seorang figur yang modernis yang menggerakan kebangkitan umat islam. Karena modernis , Abduh tetap di terima di kalangan Al-Azhar , terbukti ia tetap menjadi mufti agung Mesir. Dalam hal ini, Abduh sangat pandai bagaimana bersikap sebagai orang alim dan sekaligus menjadi intelektual modernis. Selama menjadi mufti, ia mengeluarkan fatwa yang berkaitan dengan persoalan-persoalan modernis. Tiga fatwa nya yang terkenal dan masih kontroversial yaitu bunga bank, pakaian tradisional dan tentang daging hasil sembelih non-muslim.
Karena sikapnya yang “dua wajah” itu ia diterima oleh kalangan tradsional dan modernis, dengan sama kuatnya. Dalam satu sisi, ia selalu dilihat sebagai seorang tokoh alim, mujtahid dan penganjur doktrin orisinalitas Islam. Pada sisi lain, Abduh juga dianggap sebagai reformis yang toleran, liberal dan kaya akan gagasan-gagasan modern. Tidak heran kalau murid-murid Abduh kemudian terpecah menjadi dua kelompok besar yang oleh Hasan Hanafi, pemikir Mesir kontemporer, dianalogikan seperti murid-muridnya Hegel dalam tradisi filsafat Barat.
Sama seperti yang Hegel lahirkan yaitu dikotomi  “kanan” dan “kiri”, menurut Hasan Hanafi, murid-murid Abduh juga dapat dikategorikan  seperti kelompok kanan yang cenderung mengembangkan pemikiran-pemikiran keagamaan, dan kelompok kiri Abduh yang lebih cenderung mengembangkan gagasan modernnya. Di antara murid-murid Abduh yang memiliki kecenderungan “kanan” adalah Muhammad Rasyid Ridha (w.)(1935) dan Shakib Arselan (w.)(1946), Sayyid Qutb dan Hasal al-Banna. Sementara Qasim Amin (w.)(1908), Thaha Husein, Ali Abduraziq, Hasan Hanafi di anggap sebagai murid-murid Abduh beraliran “kiri”. Kecenderungan “kanan” dan “kiri” dalam aliran mazhab Abduh ini dalam perkembangsn selanjutnya mengalami radikalisasi yang cukup signifikan. Baik yang “kiri” dan “kanan” sama-sama menganggap dirinya sebagai penerus Abduh yang paling benar.[3]
3.SYEIKH RASYID RIDHA
Muhammad Rasyid bin Ali Ridha bin Muhammad Syama Al bin al-Kalamuny, dilahirkan ditengah-tengah sebuah keluarga yang memiliki sedikit kedudukan dengan tradisi pendidikan dan kesalehan, pada tahun 1865 di al-Qalamun, suatu desa di Libanon yang letaknya tidak jauh dari kota Tripoli (Suria).
Semasa kecil ia dimasukkan ke madrasah tradisional di al-Qalamun untuk belajar menulis, berhitung dan membaca al-Qur’an. Di tahun 1882, ia meneruskan pelajaran di al-Madrasah al-Wathaniyah al-Islamiyah (sekolah Nasional Islam) milik Syaikh Husain al-Jisr, yang terletak di Tripoli. Di madrasah ini, selain bahasa Arab, diajarkan pula bahasa Turki dan Perancis, dan juga, selain pengetahuan-pengetahuan agama, juga diajarkan pengetahuan-pengetahuan modern.
Setelah itu, Rasyid Ridha meneruskan pelajarannya di salah satu sekolah agama yang berada di Tripoli, walaupun demikian, hubunganya dengan Syaikh Husain al-Jisr tetap berjalan, dan guru inilah yang menjadi pembimbing baginya di masa muda. Selanjutnya, ia banyak dipengaruhi oleh ide-ide Jamaluddin al-Afghani dan Muhammad Abduh, yaitu melalui majalah al-Urwah al-Wutsqo.
Ia berniat untuk menggabungkan diri dengan al-Afghani, tetapi niat itu tak terwujud, dan semenjak pertemuannya dengan Muhammad Abduh, pengaruh Afghani pun mulai meredup dan tergantikan oleh pengaruh Muhammad Abduh. Dengan demikian, pemikiran-pemikiran pembaru yang diperolehnya dari syaikh al-Jisr dan yang kemudian diperluas dengan ide-ide yang ia peroleh dari Afghani dan Abduh, menjadi sebuah pondasi yang kuat dan tertanam dalam jiwanya.
Tidak seperti gurunya, Muhammad Abduh, yang lebih bisa disebut sebagai seorang yang liberal, Rasyid Ridha mendekatkan dirinya pada ajaran Ibnu Taimiyah dan praktik-praktik Wahabiyyah, salah satu faktor yang menuntunya pada ajaran tersebut, adalah karena kecurigaannya terhadap tasawuf.
Setelah menebarkan kiprah dirinya dalam banyak bidang, pada bulan Agustus tahun 1935, sekembalinya dari Suez setelah mengantarkan Pangeran Su’ud, ia meninggal dunia dan meninggalkan banyak ide-ide pembaruan, yang cukup memberikan pengaruh terhadap generasi selanjutnya.


BENTUK PEMIKIRANNYA
Pada dasarnya, pemikiran-pemikiran pembaruan yang diajukan Rasyid Ridha, tidaklah banyak berbeda dengan ide-ide yang disampaikan oleh Afghani dan Muhammad Abduh. Ia juga berpendapat bahwasanya umat Islam mundur karena tidak lagi menganut ajaran-ajaran Islam yang sebenarnya. Perbuatan-perbuatan mereka telah menyeleweng dari ajaran-ajaran islam yang sebenarnya.
Sebenarnya, ia telah mulai menjalankan ide-ide pembaruannya semenjak ia masih berada di Suria, tetapi usaha-usahanya tersebut mendapat tantangan dari pihak kerajaan Usmani. Oleh karena itu, ia memutuskan untuk hijrah ke Mesir, dekat dengan gurunya, Muhammad Abduh.
Beberapa bulan kemudian, ia mulai menerbitkan majalah yang cukup ternama, yaitu al-Manar. Di dalam nomor pertama dijelaskan bahwa tujuan al-Manar adalah sama dengan tujuan al-Urwah al-Wutsqa, yaitu antara lain adalah mengadakan pembaruan dalam bidang agama, sosial dan ekonomi, memberantas takhayul dan bid’ah-bid’ah yang masuk ke dalam tubuh Islam, menghilangkan faham fatalisme yang terdapat dalam kalangan umat Islam serta faham-faham salah yang dibawa tarekat-tarekat tasawuf, serta meningkatkan mutu pendidikan dan membela umat Islam dari permainan-permainan politik negara-negara Barat.
Sebagai tokoh pembaruan yang masih condong pada ajaran-ajaran ibnu Taimiyah dan sekaligus sebagai penyokong aliran Wahabi, ajarannya berpaham salaf yang bertujuan mengembalikan ajaran Islam kepada al-Qur’an dan hadits.
Secara umum, pandangan Islam yang dipegang oleh Rasyid ridha, adalah seperti yang disebarluaskan oleh Afghani dan Muhammad Abduh. Pandangan ini dimulai dari pertanyaan tentang mengapa dunia Islam mengalami ketertinggalan dalam semua aspek peradaban. Dan, jawaban mendasar mengenai hal tersebut adalah ajaran-ajaran dan perintah-perintah Islam yang pada dasarnya serba mencakup, sehingga jika dipahami dengan benar dan dipatuhi sepenuhnya, ia akan membawa pada kesuksesan dunia dan akhirat kelak.
Umat Islam adalah jantung dari peradaban dunia selama ia benar-benar Islami. Penyebab ketertinggalan ini adalah dikarenakan muslim telah kehilangan kebenaran sejati agamanya. Kondisi ini diperparah lagi dengan adanya penguasa-penguasa politik yang buruk.
Menurut Rasyid Ridha, kejayaan Islam masa lalu dapat tercipta kembali, apabila orang-orang muslim bersedia kembali pada al-Qur’an dan perintah-perintah moral yang terkandung di dalamnya. Sedangkan keterampilan teknis secara potensial adalah universal, dan penguasaan atasnya tergantung pada kebiasaan-kebiasaan moral dan prinsip-prinsip intelektual tertentu. Jika orang-orang muslim memilikinya, mereka akan dengan mudah dapat meraih keterampilan teknis, dan kebiasaan-kebiasaan serta prinsip-prinsip semacam itu sesungguhnya telah terkandung di dalam Islam.
Meskipun pada dasrnya ide-ide dan pemikiran yang dihasilkan oleh Rasyid Ridha memiliki banyak kesamaan dengan ide-ide dan pemikiran sang Guru, Muhammad Abduh, namun, diantara keduanya juga terdapat perbedaan. Salah satunya adalah, Muhammad Abduh, bersifat lebih liberal dibandingkan Rasyid Ridha. Abduh tidak mau terikat pada salah satu aliran atau mazhab yang ada dalam Islam, ia melepaskan diri dari aliran dan mazhab yang pernah dianutnya, alasannya adalah karena ia ingin bebas dalam menelurkan ide-ide dan pemikirannya. Pindah dari satu aliran ke aliran lain bukanlah kebebasan, melainkan terikat pada ikatan-ikatan baru. Berbeda dengan Rasyid ridha, ia masih memegang mazhab dan masih terikat pada pendapat-pendapat Ibn Hambal dan Ibn Taimiyah. Ia juga sangat mendukung gerakan yang dipelopori oleh Muhammad ibn Abdul Wahab, karena ia semazhab dengannya.
Selain itu, perbedaan antara keduanya juga terlihat dari cara mereka menafsirkan ayat-ayat al-Qur’an. Bagi Abduh, ayat yang menyatakan bahwa Tuhan mempunyai Wajah, Tangan, Kursi, dan lain sebagainya, harus diberi interpretasi, dalam arti harus dimengerti makna yang tersirat di dalammnya. Dengan demikian, yang dimaksud dengan Kursi Tuhan adalah Pengetahuan Tuhan, dan yang dimaksud dengan Tahta Tuhan adalah Kekuasaan-Nya. Bagi Rasyid Ridha, kelihatanya, Tahta Tuhan masih mengandung arti sebagai tahta, meskipun Tahta Tuhan tidaklah sama dengan tahta pada manusia.
Perbedaan-perbedaan tersebut, juga terlihat dalam karya mereka, yaitu tafsir al-Manar, misalnya ketika Rasyid Ridha memberikan komentar terhadap uraian Abduh dalam menyoal permasalahan mengenai balasan di akhirat yang disebutkan dalam ayat ke-25 surat al-Baqarah. Muhammad Abduh menekankan terhadap makna filosofis. Tafsiran iu mengandung arti bahwa balasan yang akan diterima bersifat rohani. Rasyid Ridha dalam komentarnya lebih menekankan balasan dalam bentuk jasmani, dan bukan dalam bentuk rohani.
Ide-ide pembaruan Rasyid Ridha meliputi berbagai bidang, diantaranya adalah bidang agama, bidang pendidikan, dan bidang politik, yang secara sedikit lebih terperincinya, akan dibahas pada kalimat demi kalimat berikutnya.
     Bidang Agama
Setelah banyak berguru kepada Muhammad Abduh, Rasyid Ridla berpendapat bahwa madzhab dalam pengertian Muhammad Abduh adalah lebih ditekankan pada cara pengambilan hukum dari nash yang ditempuh oleh seorang mujtahid tertentu. Jadi bukan dalam artian mengikuti dan tunduk pada hasil mujtahid tertentu, tetapi bermadzhab adalah dengan mengikuti cara-cara atau metode yang mereka tempuh dalam beristinbath hukum . Dengan demikian bermadzhab bukan bagi mereka yang awam, seperti umum dipahami, tetapi bagi mereka yang berijtihad dalam lingkungan madzhab tertentu. Mereka ini dalam istilah Ushul Fiqh adalah Mujtahid Bil-Madzhab.
Maka fanatisme madzhab yang biasanya terjadi di kalangan awam dapat dihindari dan sikap taklid bisa diatasi. Akan tetapi, menurut Abduh, yang terjadi di masyarakat adalah sebaliknya. Generasi sesudah mujtahid mengikuti hasil ijtihad yang mereka dapatkan, bukan mengambil cara yang ditempuh oleh para imam. Akibatnya, terjadinya perselisihan pendapat yang membawa perpecahan di kalangan muslimin sendiri. Fanatisme madzhab pun mucul dan taklid tidak bisa dihindarkan.
Rasyid ridha berpendapat bahwa faktor utama yang menyebabkan umat islam lemah, adalah karena tidak lagi mengamalkan ajaran islam yang sebenarnya. Menurutnya, Islam telah banyak diselimuti oleh faktor bid’ah yang menghambat perkembangan dan kemajuan umat, diantara bid’ah-bid’ah yang dimaksudkan itu ialah pendapat bahwa dalam Islam terdapat ajaran kekuatan batin yang membuat pemiliknya dapat memperoleh segala yang dikehendakinya, dan sekaligus juga memperoleh kebahagiaan di dunia dan di akhirat. Selain itu, bid’ah lain yang juga mendapat tantangan keras dari Rasyid Ridha, ialah ajaran syekh-syekh tarekat tentang tidak pentingnya kehidupan duniawi, tawakkal yang berlebihan, serta kepatuhan yang berlebihan terhadap syekh dan wali.
Ia berpendapat bahwa salah satu penyebab mundurnya umat Islam lainnya adalah paham fatalisme, karena paham tersebut menyebabkan manusia tidak memiliki etos kerja dan cenderung tidak mau berpacu atau pasrah dengan keadaan. Menurutnya, salah satu penyebab kemajuan Eropa adalah paham dinamika. Dalam pandangannya, sifat dinamis tersebut pada dasarnya telah dimiliki oleh Islam, karena itu Islam harus bersikap aktif dan memberikan penghargaan terhadap akal. Dinamika dan sifat aktif itu terkandung dalam kata jihad, jihad dalan arti berusaha keras, dan bersedia berkorban untuk mencapai tujuan perjuangan. Faham jihad serupa inilah yan menyebabkan umat islam di zaman klasik dapat menguasai dunia.
Rasyid Ridha, sebagaimana Muhammad Abduh, menghargai akal manusia. Meskipun, penghargaannya terhadap akal tidak setinggi penghargaan yang diberikan oleh Muhammad Abduh. Baginya, akal dapat dipakai dalam hal yang berkenaan dengan hidup bermasyarakat, dan tidak terhadap hal-hal yang berkenaan dengan ibadah. Ijtihad tidaklah diperelukan dalam persoalan ibadah. Ijtihad hanya diperlukan dalam menghadapi persoalan-persoalan bermasyarakat. Ijtihad juga tidak diperlukan terhadap ayat dan hadits yang mengandung arti tegas, namun hanya terhadap ayat dan hadits yang tidak mengandung arti tegas, serta terhadap persoalan-persoalan yang tidak disebutkan dalam al-Qur’an dan hadits. Disinilah letak dinamika Islam dalam pandangan Rasyid Ridha.
Umat islam harus menggali kembali teks al-Qur’an tanpa harus terikat pada pendapat para ulama terdahulu, sebab, akal dapat memberikan interpretasi atau pemahaman ulang terhadap teks-teks al-qur’an dan hadist yang tidak mengandung arti tegas, atau bersifat dhanny, apalagi persoalan-persoalan yang tidak terkandung dalam al-qur’an dan hadits.
Untuk mengatasi sikap fanatik terhadap pendapat para ulama terdahulu, Rasyid Ridha menganjurkan terhadap adanya toleransi bermazhab. Yang perlu dipertahankan dalam kesamaan faham umat, menurutnya hanyalah mengenai hal-hal mendasar saja (misalnya mengenai masalah ke-Tuhan-an), sedangkan dalam hal perincian dan bukan dalam hal yang mendasar, diberikan kemerdekaan bagi tiap orang untuk menjalankan mana yang disetujuinya.
Rasyid Ridha melihat perlunya diadakan penafsiran modern terhadap al-Qur’an, yaitu penafsiran yang sesuai dengan ide-ide yang dicetuskan oleh gurunya. Ketika Muhammad Abduh memberikan kuliah mengenai tafsir al-Qur’an di al-azhar, ia menuliskan keterangan-keterangan yang diberikan oleh gurunya tersebut, dan kemudian disusun dalam bentuk karangan teratur dan diperiksa kembali oleh Abduh, selanjutnya, karangan itu ia siarkan dalam al-Manar. Yang dikemudian hari, menjadi titik awal tersusunnya tafsir al-Manar. Namun, Muhammad Abduh hanya sempat menyelesaikan penafsiran hingga ayat ke-125 dari surat an-Nisa (jilid III dari tafsir al-Manar), dan selanjutnya, diteruskan oleh Rasyid Ridha sesuai dengan jiwa dan ide yang dicetuskan oleh sang guru.
Menurut Rasyid Ridha, umat harus dibawa kembali kepada ajaran islam yang sebenarnya, murni dari segala bid’ah yang ada. Dan dalam pemahamannya, Islam yang murni itu sangatlah sederhana, sederhana dalam ibadah, juga dalam muamalahnya. Ibadah terlihat berat dan ruwet karena ke dalam hal-hal yang wajib dalam ibadah tersebut, telah ditambahkan hal-hal yang bukan wajib, tetapi sebenarnya hanya sunnah. Sedangkan, mengenai hal-hal yang sunnah ini, terdapat perbedaan faham, dan timbullah kekacauan.
Dalam soal muamalah, dasar-dasar seperti keadilan, persamaan, serta pemerintahan, perincian dan pelaksanaannya, umatlah yang menentukan. Sedangkan, hukum-hukum fiqh mengenai hidup kemasyarakatan, didasarkan kepada al-Qur’an dan Hadits, namun demikian ayat-ayat al-Qur’an dan hadits tidak boleh dianggap absolut dan seakan tidak dapat dirubah. Hukum-hukum itu timbul sesuai dengan suasan tempat dan zaman ia timbul.

 Bidang Pendidikan
Menurut Rasyid Ridha, membangun sarana pendidikan adalah lebih baik dibandingkan membangun masjid. Menurutnya, masjid tidak besar nilainya apabila mereka yang shalat di dalamnya hanyalah orang-orang bodoh. Akan tetapi dengan membangun sarana dan prasarana pendidikan, akan dapat menghapuskan kebodohan. Dengan begitu, pekerjaan duniawi dan ukhrawi akan menjadi baik dan teratasi.
Ia juga mengadakan berubahan kurikulum dengan melakukan penambahan materi-materi seperti Teologi, Pendidikan Moral, Sosiologi, Ilmu Bumi, Sejarah, Ekonomi, Ilmu Hitung, Ilmu Kesehatan, Bahasa-Bahasa Asing dan Ilmu Mengatur Rumah Tangga (kesejahteraan keluarga) yaitu di samping ilmu-ilmu seperti Fiqh, Tafsir, Hadits, dan lain-lainnya yang biasa diberikan di madrasah-madrasah tradisional.
Pada tahun 1909, ia menerima banyak keluhan mengenai aktivitas missi Kristen di negara-negara Islam, dan untuk menandingi aktivitas tersebut, ia melihat perlunya diadakan dan dibangun sebuah sekolah missi Islam. Akhirnya, pada tahun 1912, ia berhasil mendirikan sekolah yang dimaksud, dengan nama al-Da’wah wa al-Irsyad. Namun sayangnya, sekolah missi tersebut tidaklah berumur panjang, karena terpaksa harus ditutup pada tahun 1914, yaitu ketika pecahnya perang dunia I.
Muhammad Abduh dan Rasyid Ridha, berpandangan bahwasanya untuk mengarahkan dan membawa umat Islam pada kemajuan, kuncinya terletak pada upaya memperbarui pendidikan dengan segenap komponen yang ada di dalamya. Serta, diarahkan kepada upaya melahirkan manusia yang memiliki keunggulan dalam bidang ilmu agama dan umum.[4]

4. KH. Ahmad Dahlan
Muhammad Darwisy (Nama Kecil Kyai Haji Ahmad Dahlan), Beliau adalah pendiri Muhammadiyah. Beliau adalah putera keempat dari tujuh bersaudara. Bapaknya bernama K.H. Abu Bakar. K.H. Abu Bakar adalah seorang ulama dan khatib terkemuka di Masjid Besar Kasultanan Yogjakarta pada masa itu. Ibu dari K.H. Ahmad Dahlan adalah puteri dari H. Ibrahim yang juga menjabat sebagai penghulu Kasultanan Yogyakarta pada masa itu. K.H. Ahmad Dahlan meninggal dunia di Yogyakarta, tanggal 23 Februari 1923. Beliau juga dikenal sebagai seorang Pahlawan Nasional Indonesia.
Nama kecil K.H. Ahmad Dahlan adalah Muhammad Darwisy. Ia merupakan anak keempat dari tujuh orang bersaudara yang keseluruhanya saudaranya perempuan, kecuali adik bungsunya. Dalam silsilah ia termasuk keturunan yang kedua belas dari Maulana Malik Ibrahim, seorang wali besar dan seorang yang terkemuka diantara Walisongo, yang merupakan pelopor pertama dari penyebaran dan pengembangan Islam di Tanah Jawa. Adapun silsilahnya ialah Muhammad Darwisy (Ahmad Dahlan) bin KH. Abu Bakar bin KH. Muhammad Sulaiman bin Kyai Murtadla bin Kyai Ilyas bin Demang Djurung Djuru Kapindo bin Demang Djurung Djuru Sapisan bin Maulana Sulaiman Ki Ageng Gribig (Djatinom) bin Maulana Muhammad Fadlullah (Prapen) bin Maulana ‘Ainul Yaqin bin Maulana Ishaq bin Maulana Malik Ibrahim.
Pada umur 15 tahun, beliau pergi haji dan tinggal di Makkah selama lima tahun. Pada periode ini, Ahmad Dahlan mulai berinteraksi dengan pemikiran-pemikiran pembaharu dalam Islam, seperti Muhammad Abduh, Al-Afghani, Rasyid Ridha dan Ibnu Taimiyah. Ketika pulang kembali ke kampungnya tahun 1888, beliau berganti nama menjadi Ahmad Dahlan. Pada tahun 1903, beliau bertolak kembali ke Makkah dan menetap selama dua tahun. Pada masa ini, beliau sempat berguru kepada Syeh Ahmad Khatib yang juga guru dari pendiri NU, K.H. Hasyim Asyari. Pada tahun 1912, ia mendirikan Muhammadiyah di kampung Kauman, Yogyakarta.
Sepulang dari Makkah, ia menikah dengan Siti Walidah, sepupunya sendiri, anak Kyai Penghulu Haji Fadhil, yang kelak dikenal dengan Nyai Ahmad Dahlan, seorang Pahlawanan Nasional dan pendiri Aisyiyah. Dari perkawinannya dengan Siti Walidah, KH. Ahmad Dahlan mendapat enam orang anak yaitu Djohanah, Siradj Dahlan, Siti Busyro, Irfan Dahlan, Siti Aisyah, Siti Zaharah (Kutojo dan Safwan, 1991). Disamping itu KH. Ahmad Dahlan pernah pula menikahi Nyai Abdullah, janda H. Abdullah. la juga pernah menikahi Nyai Rum, adik Kyai Munawwir Krapyak. KH. Ahmad Dahlan juga mempunyai putera dari perkawinannya dengan Ibu Nyai Aisyah (adik Adjengan Penghulu) Cianjur yang bernama Dandanah. Beliau pernah pula menikah dengan Nyai Yasin Pakualaman Yogyakarta. Beliau dimakamkan di Karang Kajen, Yogyakarta.[5]

B. Proses Terbentuknya Organisasi Muhammadiyah
Bulan Dzulhijjah (8 Dzulhijjah 1330 H) atau November (18 November 1912 M) merupakan momentum penting lahirnya Muhammadiyah. Itulah kelahiran sebuah gerakan Islam modernis terbesar di Indonesia, yang melakukan perintisan atau kepeloporan pemurnian sekaligus pembaruan Islam di negeri berpenduduk terbesar muslim di dunia. Sebuah gerakan yang didirikan oleh seorang kyai alim, cerdas, dan berjiwa pembaru, yakni Kyai Haji Ahmad Dahlan atau Muhammad Darwis dari kota santri Kauman Yogyakarta.

            Kata ”Muhammadiyah” secara bahasa berarti ”pengikut Nabi Muhammad”. Penggunaan kata ”Muhammadiyah” dimaksudkan untuk menisbahkan (menghubungkan) dengan ajaran dan jejak perjuangan Nabi Muhammad. Penisbahan nama tersebut menurut H. Djarnawi Hadikusuma mengandung pengertian sebagai berikut: ”Dengan nama itu dia bermaksud untuk menjelaskan bahwa pendukung organisasi itu ialah umat Muhammad, dan asasnya adalah ajaran Nabi Muhammad saw, yaitu Islam. Dan tujuannya ialah memahami dan melaksanakan agama Islam sebagai yang memang ajaran yang serta dicontohkan oleh Nabi Muhammad saw, agar supaya dapat menjalani kehidupan dunia sepanjang kemauan agama Islam. Dengan demikian ajaran Islam yang suci dan benar itu dapat memberi nafas bagi kemajuan umat Islam dan bangsa Indonesia pada umumnya.”

            Kelahiran dan keberadaan Muhammadiyah pada awal berdirinya tidak lepas dan merupakan menifestasi dari gagasan pemikiran dan amal perjuangan Kyai Haji Ahmad Dahlan (Muhammad Darwis) yang menjadi pendirinya. Setelah menunaikan ibadah haji ke Tanah Suci dan bermukim yang kedua kalinya pada tahun 1903, Kyai Dahlan mulai menyemaikan benih pembaruan di Tanah Air. Gagasan pembaruan itu diperoleh Kyai Dahlan setelah berguru kepada ulama-ulama Indonesia yang bermukim di Mekkah seperti Syeikh Ahmad Khatib dari Minangkabau, Kyai Nawawi dari Banten, Kyai Mas Abdullah dari Surabaya, dan Kyai Fakih dari Maskumambang; juga setelah membaca pemikiran-pemikiran para pembaru Islam seperti Ibn Taimiyah, Muhammad bin Abdil Wahhab, Jamaluddin Al-Afghani, Muhammad Abduh, dan Rasyid Ridha. Dengan modal kecerdasan dirinya serta interaksi selama bermukim di Saudi Arabia dan bacaan atas karya-karya para pembaru pemikiran Islam itu telah menanamkan benih ide-ide pembaruan dalam diri Kyai Dahlan. Jadi sekembalinya dari Arab Saudi, Kyai Dahlan justru membawa ide dan gerakan pembaruan, bukan malah menjadi konservatif.
Gagasan untuk mendirikan organisasi Muhammadiyah tersebut selain untuk mengaktualisasikan pikiran-pikiran pembaruan Kyai Dahlan, menurut Adaby Darban (2000: 13) secara praktis-organisatoris untuk mewadahi dan memayungi sekolah Madrasah Ibtidaiyah Diniyah Islamiyah, yang didirikannya pada 1 Desember 1911. Sekolah tersebut merupakan rintisan lanjutan dari ”sekolah” (kegiatan Kyai Dahlan dalam menjelaskan ajaran Islam) yang dikembangkan Kyai Dahlan secara informal dalam memberikan pelajaran yang mengandung ilmu agama Islam dan pengetahuan umum di beranda rumahnya. Dalam tulisan Djarnawi Hadikusuma yang didirikan pada tahun 1911 di kampung Kauman Yogyakarta tersebut, merupakan ”Sekolah Muhammadiyah”, yakni sebuah sekolah agama, yang tidak diselenggarakan di surau seperti pada umumnya kegiatan umat Islam waktu itu, tetapi bertempat di dalam sebuah gedung milik ayah Kyai Dahlan, dengan menggunakan meja dan papan tulis, yang mengajarkan agama dengan dengan cara baru, juga diajarkan ilmu-ilmu umum.
            Maka pada tanggal 18 November 1912 Miladiyah bertepatan dengan 8 Dzulhijah 1330 Hijriyah di Yogyakarta akhirnya didirikanlah sebuah organisasi yang bernama ”MUHAMMADIYAH”. Organisasi baru ini diajukan pengesahannya pada tanggal 20 Desember 1912 dengan mengirim ”Statuten Muhammadiyah” (Anggaran Dasar Muhammadiyah yang pertama, tahun 1912), yang kemudian baru disahkan oleh Gubernur Jenderal Belanda pada 22 Agustus 1914. Dalam ”Statuten Muhammadiyah” yang pertama itu, tanggal resmi yang diajukan ialah tanggal Miladiyah yaitu 18 November 1912, tidak mencantumkan tanggal Hijriyah. Dalam artikel 1 dinyatakan, ”Perhimpunan itu ditentukan buat 29 tahun lamanya, mulai 18 November 1912. Namanya ”Muhammadiyah” dan tempatnya di Yogyakarta”.
Dalam pandangan Djarnawi Hadikusuma, kata-kata yang sederhana tersebut mengandung arti yang sangat dalam dan luas. Yaitu, ketika umat Islam sedang dalam kelemahan dan kemunduran akibat tidak mengerti kepada ajaran Islam yang sesungguhnya, maka Muhammadiyah mengungkap dan mengetengahkan ajaran Islam yang murni itu serta menganjurkan kepada umat Islam pada umumnya untuk mempelajarinya, dan kepada para ulama untuk mengajarkannya, dalam suasana yang maju dan menggembirakan.
Kelahiran Muhammadiyah sebagaimana digambarkan itu melekat dengan sikap, pemikiran, dan langkah Kyai Dahlan sebagai pendirinya, yang mampu memadukan paham Islam yang ingin kembali pada Al-Quran dan Sunnah Nabi dengan orientasi tajdid (pembaharuan) yang membuka pintu ijtihad untuk kemajuan, sehingga memberi karakter yang khas dari kelahiran dan perkembangan Muhammadiyah di kemudian hari. Kyai Dahlan, sebagaimana para pembaru Islam lainnya, tetapi dengan tipikal yang khas, memiliki cita-cita membebaskan umat Islam dari keterbelakangan dan membangun kehidupan yang berkemajuan melalui tajdid (pembaruan) yang meliputi aspek-aspek tauhid (‘aqidah), ibadah, mu’amalah, dan pemahaman terhadap ajaran Islam dan kehidupan umat Islam, dengan mengembalikan kepada sumbernya yang asli yakni Al-Quran dan Sunnah Nabi yang Shahih, dengan membuka ijtihad.

            Kyai Dahlan dengan Muhammadiyah yang didirikannya, menurut Djarnawi Hadikusuma telah menampilkan Islam sebagai ”sistem kehidupan manusia dalam segala seginya”. Artinya, secara Muhammadiyah bukan hanya memandang ajaran Islam sebagai aqidah dan ibadah semata, tetapi merupakan suatu keseluruhan yang menyangkut akhlak dan mu’amalat dunyawiyah. Selain itu, aspek aqidah dan ibadah pun harus teraktualisasi dalam akhlak dan mu’amalah, sehingga Islam benar-benar mewujud dalam kenyataan hidup para pemeluknya. Karena itu, Muhammadiyah memulai gerakannya dengan meluruskan dan memperluas paham Islam untuk diamalkan dalam sistem kehidupan yang nyata.

            Kyai Dahlan dalam mengajarkan Islam sungguh sangat mendalam, luas, kritis, dan cerdas. Menurut Kyai Dahlan, orang Islam itu harus mencari kebenaran yang sejati, berpikir mana yang benar dan yang salah, tidak taklid dan fanatik buta dalam kebenaran sendiri, menimbang-nimbang dan menggunakan akal pikirannya tentang hakikat kehiduupan, dan mau berpikir teoritik dan sekaligus beripiki praktik. Kyai Dahlan tidak ingin umat Islam taklid (ikut2an tnpa dsar) dalam beragama, juga tertinggal dalam kemajuan hidup. Karena itu memahami Islam haruslah sampai ke akarnya, ke hal-hal yang sejati atau hakiki dengan mengerahkan seluruh kekuatan akal piran dan ijtihad (usaha yg b’sungguh unt mncapai tujuan yg benar).
Kelahiran Muhammadiyah dengan gagasan-gagasan cerdas dan pembaruan dari pendirinya, Kyai Haji Ahmad Dahlan, didorong oleh dan atas pergumulannya dalam menghadapi kenyataan hidup umat Islam dan masyarakat Indonesia kala itu, yang juga menjadi tantangan untuk dihadapi dan dipecahkan. Adapun faktor-faktor yang menjadi pendorong lahirnya Muhammadiyah ialah antara lain:
Umat Islam tidak memegang teguh tuntunan Al-Quran dan Sunnah Nabi, sehingga menyebabkan merajalelanya syirik, bid’ah, dan khurafat, yang mengakibatkan umat Islam tidak merupakan golongan yang terhormat dalam masyarakat, demikian pula agama Islam tidak memancarkan sinar kemurniannya lagi;
Ketiadaan persatuan dan kesatuan di antara umat Islam, akibat dari tidak tegaknya ukhuwah Islamiyah serta ketiadaan suatu organisasi yang kuat;
Kegagalan dari sebagian lembaga-lembaga pendidikan Islam dalam memprodusir kader-kader Islam, karena tidak lagi dapat memenuhi tuntutan zaman;
Umat Islam kebanyakan hidup dalam alam fanatisme yang sempit, bertaklid buta serta berpikir secara dogmatis, berada dalam konservatisme, formalisme, dan tradisionalisme;
dan Karena keinsyafan akan bahaya yang mengancam kehidupan dan pengaruh agama Islam, serta berhubung dengan kegiatan misi dan zending Kristen di Indonesia yang semakin menanamkan pengaruhnya di kalangan rakyat. Karena itu, jika disimpulkan, bahwa berdirinya Muhammadiyah adalah karena alasan-alasan dan tujuan-tujuan sebagai berikut:
(1) Membersihkan Islam di Indonesia dari pengaruh dan kebiasaan yang bukan Islam. Cntohnya: mengadakan pesta minuman keras, main judi, panco apabila ad raja2 yg meninggal di istana. Lalu memotong kerbau.
(2) Reformulasi doktrin Islam dengan pandangan alam pikiran modern
(3) Reformulasi ajaran dan pendidikan Islam; dan
(4) Mempertahankan Islam dari pengaruh dan serangan luar.[6]           
C.Gagasan Pemikiran KH. Ahmad Dahlan  Pembaruan & Pemurnian Islam.
            Formalitas beragama adalah fokus utama yang ingin didekonstruksi oleh Kyai Dahlan. Ide pembaharuannya menyangkut akidah dan syariat, misalnya tentang upacara ritual kematian, upacara perkawinan, kehamilan, sunatan, berziarah ke kuburan keramat, memberikan sesajen kepada hal yang dianggap keramat dan sebagainya. Menurut Kyai Dahlan, hal-hal tersebut bertentangan dengan Islam dan dapat menimbulkan perbuatan syirik dan musyrik. Kyai Dahlan juga berupaya menegakkan ajaran Islam sesuai dengan Al-Qur’an dan Hadist, berusaha mengedepankan ijtihad jika ada hal yang tidak dapat dalam Al-Qur’an maupun Hadist serta berusaha menghilangkan taqlid (pendapat ulama terdahulu tanpa ada dasarnya) dalam fiqih dan menegakkan amar ma’ruf nahi munkar.
  • Pembaharuan Lewat Politik 
            Sebelum Muhammadiyah berdiri, Kiai Ahmad Dahlan telah melakukan berbagai kegiatan keagamaan dan dakwah. Tahun 1906, Kiai diangkat sebagai khatib Masjid Besar Yogyakarta dengan gelar Katib Amin oleh Kerajaan Ngayogyakarta Hadiningrat dalam usianya yang relatif muda sekitar 28 tahun, ketika ayahanda Kyai mulai uzur dari jabatan serupa. Satu tahun kemudian (1907) Kiai memelopori Musyawarah Alim Ulama. Dalam rapat pertama beliau menyampaikan arah kiblat Masjid Besar kurang tepat.
Tahun 1922 Kiai membentuk Badan Musyawarah Ulama. Tujuan badan itu ialah mempersatukan ulama di seluruh Hindia Belanda dan merumuskan berbagai kaidah hukum Islam sebagai pedoman pengamalan Islam khususnya bagi warga Muhammadiyah. Badan Musyawarah ini diketuai RH Moehammad Kamaludiningrat, penghulu Kraton. Meskipun pernah berbeda pendapat, Moehammad Kamaludiningrat ini yang mendorong para pimpinan Muhammadiyah kemudian membentuk Majelis Tarjih (1927). Majelis ini diketuai Kiai Mas Mansur. Dengan tujuan dakwah agar manusia berfikir dan tertarik pada kebagusan Islam melalui pembuktian jalan kepandaian dan ilmu.

            Tahun 1909, Kiai Ahmad Dahlan bergabung dengan Boedi Oetomo. Tujuannya selain sebagai wadah semangat kebangsaan, juga untuk memperlancar aktivitas dakwah dan pendidikan Islam yang dilakukannya. Ketika Muhammadiyah terbentuk, bahkan 7 orang pengurusnya menyusul bergabung dengan Boedi Oetomo. Hubungan Muhammadiyah dengan Boedi Oetomo sangat erat, sehingga Kongres Boedi Oetomo tahun 1917 diselenggarakan di rumah Kiai Ahmad Dahlan.
            Di sisi lain Dr. Soetomo pendiri Boedi Oetomo juga banyak terlibat dalam kegiatan-kegiatan Muhammadiyah dan menjadi Penasehat (Adviseur Besar) Muhammadiyah. Dalam Kongres Muhammadiyah ke-26 (Surabaya), Dr.Soetomo memberikan ceramah (khutbah) dengan tema Penolong Kesengsaraan Oemoem (PKO). Khutbah ini yang mendorong lahirnya PKO dengan rumah sakit dan panti asuhannya kemudian. Dr.Soetomo pun membantu memperlancar pengesahan berdirinya Muhammadiyah, tiga tahun setelah berdirinya.
            Untuk mengetahui informasi perkembangan pemikiran di Timur Tengah Ahmad Dahlan menjalin hubungan intensif melalui Jami’at Khair dan masuk menjadi anggotanya pada tahun 1910. Ketika Syarikat Islam berdiri, Ahmad Dahlan pun ikut serta menjadi anggota.

            Rupannya dengan masuknya Ahmad Dahlan pada semua organisasi tersebut di atas dakwahnya semakin meluas dan mendapat respon positif dan di dukung oleh kalangan modernis dan perkotaan. Dari sinilah Ahmad Dahlan mendapat masukan dari berbagai pihak, yang akhirnya pada tanggal 18 November 1912 Ahmad Dahlan mendirikan wadah gerakan bagi pikirannya yaitu “Muhammadiyah”
  •  Pembaharuan Lewat Pendidikan 

            Tak kalah penting dalam pembicaraan kita tentang Kyai Dahlan adalah semangatnya sebagai seorang pendidik. Beliau begitu intens mengkritik dualisme pendidikan pada masanya. Pandangan muslim tradisional terhadap pendidikan terlalu menitikberatkan pada aspek spiritual dalam kehidupan sehari-hari. Hal ini terlihat dari lembaga pendidikannya yaitu pesantren. Pesantren lebih mengembangkan ilmu agama dibanding ilmu pengetahuan sehingga menyebabkan kemunduran pada dunia Islam karena umat Islam hanya memikirkan masalah akhirat dan menimbulkan sikap pasrah.
            Begitu pun dengan sistem pendidikan kolonial. Dilihat dari metode pengajaran dan alat-alat pendidikannya, memang terbilang banyak sekali manfaat dan kemajuan yang bisa diraih siswa dari pendidikan kolonial ini. hanya saja, dalam sekolah kolonial tidak terdapat pelajaran tentang agama, khususnya Islam. Hal ini menyebabkan siswa cakap secara intelektual namun lemah karakter dan moralitasnya. Karena itulah Kyai Dahlan memandang penting persoalan sinergi antara ilmu umum dan agama. Karena itulah institusi pendidikan Muhammadiyah tidak memberlakukan pemisahan antara ilmu umum dan agama.
            Sekolah Muhammadiyah yang pertama telah berdiri satu tahun sebelum Muhammadiyah sebagai organisasi berdiri. Pada tahun 1911 Kyai Dahlan mendirikan sebuah madrasah di rumahnya yang diharapkan bisa memenuhi kebutuhan kaum muslim terhadap pendidikan agama dan pada saat yang sama memberikan mata pelajaran umum. Di sekolah itu, pendidikan agama diberikan oleh Kyai Dahlan sendiri dan pelajaran umum diajarkan oleh seorang anggota Budi Utomo yang juga guru di sekolah pemerintah.

            Ketika sekolah ini dibuka hanya ada 9 murid yang mendaftar. Hal itu membuktikan bahwa umat Islam belum memandang pentingnya ilmu pengetahuan umum dan agama. Respon tersebut tidak mematahkan semangat Kyai Dahlan. Ia tidak segan-segan mendatangi anak-anak sampai ke rumahnya untuk mengajak mereka masuk sekolah. Kyai Dahlan juga memberikan perhatian khusus pada pendidikan anak-anak perempuan. Karena bila anak laki-laki maju, anak perempuan terbelakang maka terjadi kepincangan. Pada tahun 1918 didirikan sekolah Aisyiyah. Suatu pertanda bahwa pemikiran emansipasi pendidikan juga menjadi perhatian Kyai Dahlan.
            Sinergi antara ilmu umum dan agama juga merupakan tanda bahwa Kyai Dahlan sangat menyadari pentingnya pembangunan kepribadian sebagai salah satu tujuan pendidikan. Entah disadari atau tidak, upaya Kyai Dahlan menyinergikan antara ilmu umum dan agama ini merupakan sebuah antitesis terhadap Prof. Snouck Hurgronje. Inilah sebab mengapa pemikiran Kyai Dahlan di bidang pendidikan merupakan sebuah terobosan yang membawa dampak besar bagi umat. Lebih jauh kedepan, dapat kita lihat hasilnya dengan munculnya kader-kader Muhammadiyah yang turut mewarnai dunia politik dengan membawa identitas ke-Islamannya.[7]
5. HASBI ASH SHIDDIEQY
      Seorang mufasir, dan penulis buku-buku keagamaan asal Aceh, terutama masalah-masalah hukum (fiqih), tafsir dan hadits.
     Ia lahir di Lhokseumawe, Aceh Utara. Ia masih mempunyai silsilah sampai Abu Bakar Siddik (sahabat Nabi SAW). Ayahnya, Al hajj Teungku Muhammad Hussein Ibn Muhammad Ibn Mas’ud, yang menjabat sebagai Qadi Srimaharaja Mangkubumi di Lhokseumawe. Ibunya, Teuku Amrah, putri Teuku Abdul Aziz, yang menjabat Qadi Srimaharaja, yang digantikan ayahnya.
    Pendidikan agamanya didapat dari ayahnya sendiri (yang mempunyai dayah). Sejak usia 8 tahun ia belajar dari dayah (pesantren) ke dayah yang lain dengan memakan waktu 12 tahun. Pada tahun 1925 ia baru menyelesaikan pelajaran sekaligus memperoleh ijazah untuk dapat membuka dayah sendiri.
    Hasbi adalah seorang otodidak (belajar sendiri), pendidikan yang ditempuhnya dari dayah ke dayah yang lainnya, dan hanya 1,5 tahun duduk dibangku sekolah Al Irsyad (di Surabaya tahun 1926). Meskipun basis pendidikan formalnya relatif rendah, tetapi ia memperlihatkan dirinya sebagai pemikir. Kemampuannya selaku seorang intelektual telah diakui oleh dunia international. Ia pernah diundang dan menyampaikan makalah dalam International Islamic Colloquium yang diselenggarakan di Lahore, Pakistan (1958). Pada tahun 1960 ia diangkat menjadi dekan di IAIN Kalijaga Yogyakarta (hingga tahun 1972).
     Ia memperoleh 2 gelar Doctor Honoris Causa karena jasanya terhadap perkembangan perguruan tinggi dan ilmu pengetahuan keislaman di Indonesia. Gelar tersebut didapat dari Unisba (Universitas Islam Bandung) pada 22 Maret 1975, dan IAIN Kalijaga Yogyakarta (29 Oktober 1975).
     Ia meninggal pada 9 Desember 1975 di Jakarta, dan dimakamkan di pemakaman keluarga IAIN Ciputat, jakarta.
     Hasbi adalah salah seorang tokoh yang menyerukan pembaharuan di Indonesia. Dan ia termasuk salah seorang tokoh yang pernah mengusulkan perlunya menyusun fiqih baru ‘ala Indonesia. Ia menulis sekitar 72 judul buku dan tidak kurang dari 50 artikel dibidang tafsir, hadits, fiqih, dan pedoman ibadah umum.[8]

Karya
  • Tafsir Al Qur’anul Majid
  • Tafsir An Nur
  • Tafsir Al Bayan (1733 halaman). Tafsir ini menjelaskan ayat demi ayat, dilengkapi penjelasan tambahan dan juga catatan kaki.
  • Pengantar Ilmu Hadits
  • Ilmu hadits Dirayah (2 jilid)
  • 2002 Mutiara Hadits (8 jilid)
  • Pedoman Haji, merupakan naskah yang terakhir ia buat.
  • Pokok-pokok Pegangan Imam Madzhab (616 halaman). Dalam buku ini ia menjelaskan bahwa semua mujtahid baik dari kalangan Sunni maupun Syi’ah, dalam menggali hukum syara’ tetap bersumber pada Al Qur’an dan Hadits. Mereka hanya berbeda pandangan dalam menentukan dasar-dasar yang boleh dipakai Al Qur’an dan As Sunah. Buku ini juga dilengkapi sejarah perkembangan madzhab, riwayat hidup para imam, dan glossary (kamus istilah).
  •  Falsafah Hukum Islam, buku ini mencakup dasar, tujuan, keistimewaan, keindahan dan rahasia-rahasia yang dikandung setiap hukum, yang dibagi dalam 2 bagian, yaitu segi falsafah dan segi ruhul ahkam yang ditanggapi dari hasil istiqra’.
  • Hukum Antar Golongan. Buku ini mempberi tuntunan dalam menghadapi persoalan dengan agama lain, seperti : perkawinan, bisnis dan hutang piutang.
  • Tuntunan Qurban & Aqiqah. Buku ini secara ringkas menjelaskan berbagai hal tentang ibadah qurban dan memberikan tuntunan yang benar mengenai syarat-syarat pelaksanaannya agar qurban yang dilakukan benar-benar penuh keikhlasan sesuai dengan syari’at. Dalam buku ini dibahas juga mengenai penyembelihan diluar qurban (aqiqah, atirah, dan fara’).
  • Peradilan & Hukum Acara Islam (204 halaman)
  • Pidana Mati Dalam Syari’at Islam (68 halaman)
  • Islam dan Politik Bernegara (261 halaman), buku ini menguraikan dasar-dasar teori politik Islam yang menjelaskan tentang sejarah negara Islam dan munculnya partai-partai politik, imamah, syarat dan kewajiban negara, hubungan rakyat dan penguasa serta perbedaan demokrasi Islam dan barat.
  • Ilmu-ilmu Al Qur’an (340 halaman), merupakan buku tentang dasar untuk mempelajari Al Qur’an (ulumul Qur’an) dari sejarah dan perkembangannya sampai kaidah-kaidah yang diperlukan mufasir.
  • Kuliah Ibadah (262 hal), buku ini menguraikan ibadah secara luas, mendalam dan detail dilihat dari segi hukum (fiqih) dan hikmah (filosofi0. Buku ini dijadikan panduan perkuliahan di IAIN atau setingkat.
  • Pedoman Dzikir dan Do’a.Buku ini terdiri dari 4 jilid, jilid satu berisi mengenai bagaiman hukum dan adab berdo’a; Jilid dua tentang berdzikir dan berdo’a untuk berbagai pengalaman; Jilid 3, dzikir dan do’a para rasul dalam Al Qur’an, serta surat-surat yang dibaca malam; Jilid 4, berisi bacaan dzikir dan do’a dalam shalat, zakat, puasa, haji dan umrah.
  •  Dasar dasar fiqih Islam
  •  Fiqhul Mawaris
  •  Hukum-hukun fiqih Islam
  •  Al Islam: Kepercayaan, Kesusilaan, amal Kebajikan
  • Koleksi hadits-hadits hukum.
  • Pedoman Puasa
  • Pedoman Shalat
  • Pengantar Hukum Islam
  • Pokok pokok Ilmu dirayah
  • Sejarah dan pengantar Ilmu hadits
  • Sejarah dan Pengantar ilmu tauhid / ilmu kalam.
  • Sejarah dan Pengantar ilmu Al Qur’an 

















BAB III
PENUTUP

A.   Kesimpulan
“Islam adalah agama yang mencakup  berbagai macam aspek, baik itu ekonomi, politik, budaya, ibadah, dan lain-lain.” Bila memandang Islam dalam konteks kekinian, rasanya memang perjuangan atau usaha yang dilakukan oleh para tokoh pembaharu islam belum sempurna. Perjuangan dan usaha mereka kami analogikan sebagai sebuah ajang lari estafet, mereka—para tokoh pembaharu islam—berlari dan membawa tongkat estafet kemajuan islam dengan susah payah dan penuh perjuangan agar sampai kepada kita—umat saat ini—dengan harapan besar kita mampu melanjutkan tongkat estafet tersebut sampai pada generasi selanjutnya hingga akhir  zaman. Namun, potret umat islam saat ini bisa dikatakan amat menyedihkan dari segi keilmuan dan persatuan. Umat islam saat ini tidak lagi dinamis, dan seperti tidak memiliki pendirian. Hal ini terlihat dari mudahnya umat islam terprovokasi oleh oknum-oknum tertentu yang tak bertanggung jawab.Hal ini menunjukkan kesadaran umat islam untuk melanjutkan tongkat estafet kemajuan itu masih belum maksimal.
Semoga dengan hadirnya kajian(studi tokoh) ini kita semakin menyadari kondisi islam yang masih terpuruk saat ini dan harapan besar kami adalah munculnya jiwa dan semangat Muhammad Bin Abdul Wahab, Muhammad Abduh,Syaikh Rasyid Ridha dan lain-lain yang mampu kembali meneruskan tongkat estafet perjuangan itu dan menanggalkan seluruh pengaruh barat pada islam yang merupakan hambatan bagi umat islam untuk maju. Amien.









DAFTAR PUSTAKA

            Asmuni,Drs. H.M.Yusran, Pengantar Studi Pemikiran Dan Gerakan Pembaharuan (Dirasah Islamiah III), Rajawali Pers: Jakarta, 2001
            Rahman, Fazlur, Kebangkitan dan Pembaharuan di dalam Islam, Penerbit Pustaka: Bandung, 2001.
            Nasution, Harun. Pembaharuan dalam Islam (Sejarah Pemikiran dan Gerakan), Jakarta: Bulan Bintang, 1975.
            Taufik, Ahmad dkk, Sejarah Pemikiran dan Tokoh modernisme Islam, Jakarta:  Raja Grafindo Persada, 2005.
            Anshoriy, Nasruddin, Matahari Pembaruan; Rekam Jejak KH Ahmad Dahlan. Yogyakarta: Jogja Bangkit Publisher, 2010.
            Damimi, Mohammad.  Akar Gerakan Muhammadiyah. Yogyakarta: Penerbit Fajar Pustaka Baru, 2000.
            Syuja’. Islam Berkemajuan; Kisah Perjuangan KH Ahmad Dahlan dan Muhammadiyah Masa Awal. Tangerang: Penerbit Al-Wasath, 2009.
NourouzzamanAShiddiqi,FiqhIndonesia,PenggagasdanGagasannya,cet.1Yogyakarta:Pustaka Pelajar, 1997.




[1] . Asmuni, Drs. H. M. Yusran, Pengantar Studi Pemikiran Dan Gerakan Pembaharuan (Dirasah Islamiah III), Rajawali Pers: Jakarta, 2001

[2]. Nasution, Harun. Pembaharuan dalam Islam (Sejarah Pemikiran dan Gerakan), Jakarta: PT Bulan Bintang, 1975


[3] . Rahman, Fazlur, Kebangkitan dan Pembaharuan di dalam Islam, Penerbit Pustaka: Bandung, 2001

[4] . Taufik, Ahmad dkk, Sejarah Pemikiran dan Tokoh modernisme Islam, Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2005
[5] . Anshoriy, Nasruddin. 2010. Matahari Pembaruan; Rekam Jejak KH Ahmad Dahlan. Yogyakarta: Jogja Bangkit    Publisher.
[6] . Damimi, Mohammad. 2000. Akar Gerakan Muhammadiyah. Yogyakarta: Penerbit Fajar Pustaka Baru.


[7]. Syuja’. 2009. Islam Berkemajuan; Kisah Perjuangan KH Ahmad Dahlan dan Muhammadiyah Masa Awal. Tangerang: Penerbit Al-Wasath.

 
[8] . Nourouzzaman AShiddiqi,Fiqh Indonesia,Penggagas dan Gagasannya,cet.1(Yogyakarta:Pustaka Pelajar,1997), hlm.3-7.

0 Response to "MAKALAH TOKOH PEMBAHARUAN ISLAM"

Post a Comment

Labels

Aceh ( 4 ) ARTIKEL ( 23 ) Bollywood ( 1 ) CERPEN ( 16 ) HABA ( 1 ) Hollywood ( 1 ) INDO ( 2 ) Makalah ( 97 ) Skript ( 1 ) SOSOK ( 10 ) Wisata ( 2 )