Makalah Mukhtalif Al-Hadits

PENDAHULUAN
A.    LATAR BELAKANG
            Umat Islam mengalami kemajuan pada zaman klasik (650-1250 M.). Dalam sejarah, puncak kemajuan ini terjadi pada sekitar tahun 650-1000 M. Pada masa ini telah hidup ulama besar, yang tidak sedikit jumlahnya, baik di bidang tafsir, hadits, fiqih, ilmu kalam, filsafat, tasawuf, sejarah maupun bidang pengetahuan lainnya1. Dalam proses perkembangannya ilmu hadits mengalami beberapa kemajuan dalam tingkat kualitasnya, hal ini didukung karena adanya perkembangan pemikiran yang lahir dari para pemikir-pemikir modern yang berkecimpung dalam dunia penelitian hadits.
Oleh karenanya banyak sudah kitab-kitab khusus yang membahas tentang hadits-hadits. Baik dari segi pembagiannya ataupun ilmu-ilmu yang mendukung adanya pembukuan hadits. Dan juga dalam perkembangananya hadits juga membutuhkan berbagai ilmu yang membahas tentang bagaimana caranya memahami hadits. Dalam hal ini penulis bermaksud menguraikan seputar masalah ilmu Muhtalif al-Hadîts wa Masyâkilihi. Hal ini disebabkan banyak di antara hadits-hadits yang ikhtilaf yang mungkin hanya karena perbedaan pemahaman terhadap hadits tersebut. Oleh karenanya dalam menyelesaikan berbagai masalah seputar hadits-hadits mukhtalif ataupun hadits musykil maka dibutuhkan ilmu Mukhtalif al-Hadîts wa Masyâkilihi.
Sebagaimana kita ketahui Hadist adalah sumber rujukan kedua umat Islam dalam menentukan sebuah hukum dalam kehidupan. Rasulullah datang untuk menjawab segala permasalahan yang berkaitan dengan kehidupan. Dengan demikian menunjukkan bahwa Hadist merupakan sumber kedua hukum islam yang dapat memenuhi kebutuhan umat manusia. Dalam makalah ini akan dipaparkan secara singkat tentang pengertian Ikhtilaf Al-Hadist dan pendekatan-pendekatan yang digunakan dalam penyelesaian hadist-hadist yang secara lahiriah tersebut dianggap berlawanan,  yang merupakan bagian dari ilmu hadist.Pembahasan ini ditempuh melalui pengkajian kepustakaan yang berkaitan dengan topik pembahasan.

B.     RUMUSAN MASALAH
1.    Bagaimana Sejarah Singkat Mukhtalif al-Hadits ?
2.    Bagaimana Pengertian Ikhtilaf Al-Hadist ?
3.    Apa saja Sebab-sebab Mukhtalif Hadits ?
4.     Bagaimana Pendekatan dan metode penyelesaian Ikhtilaf Al-Hadist menurut para ulama ?



















PEMBAHASAN
A. Sejarah Singkat Mukhtalif Al-Hadits
Pada masa awal sistematisasi, perumusan dan penulisannya, ilmu yang berhubungan dengan hadits-hadits yang mukhtalif ini dibahas dalam ilmu ushul fiqh. Ini jelas terlihat dari rumusan yang dilakukan oleh Imam Syafi’i dalam kitab ar-Risalah, al-Umm, dan Ikhtilaf al-Hadits. Pembahasan ikhtilaf ini juga ditulis oleh Ibnu Qutaibah dalam kitabnya Ta’wil Mukhtalif al-Hadits (213-276 H) dan Musykil al-Atsar karya ath-Thahawi (229-321 H).
Di sisi lain, ilmu yang berhubungan dengan ilmu hadits dalam makna ilmu riwayah, lebih bersifat ilmu  musthalah al-hadits. Hal ini terlihat jelas dalam kitab al-Muhaddits al-Fashil  karya Ramahurmuziy (w. 360), yang dipandang sebagai kitab pertama dalam ilmu ini.
Dalam perkembangannya, ilmu ini tidak saja dibahas dalam kitab-kitab ushul fiqih, tetapi juga dalam ilmu hadits pada umumnya. Sementara terapannya bertebaran dalam kitab-kitab fiqih dan syarah hadits, seperti al-Mughni karya Ibnu Qudamah, Fath al-Bari; Syarah Shahih Bukhori karya Ibnu Hajar, Syarah an-Nasa’iy karya as-Suyuti, Tanwir al-Hawalik; Syarah Muwaththa’ karya as-Suyuti, Syarah Muwaththa’ karya az-Zarqani, Subulus Salam;Syarah Bulughu al-Maram karya ash-Shan’ani dan sebagainya.[1]
Dalam penjelasan mengenai ilmu ini, nantinya akan berkaitan dengan hadits-hadits mukhtalif, atau bisa disebut sebagai objek kajian daripada disiplin ilmu ini. Oleh karenanya perlu adanya penjelasan tentang hadits mukhtalif tersebut.
Hadits mukhtalif adalah hadits–hadits yang mengalami pertentangan satu sama lain. Namun boleh jadi di antara pertentangan itu hanya terdapat pada zhahirnya saja, dan ketika ditelusuri sebenarnya masih memungkinkan untuk dikompromikan. Sementara menurut Nuruddin ‘Itr, hadits-hadits mukhtalif ialah hadis-hadits yang secara lahiriah bertentangan dengan kaedah-kaedah yang baku, sehingga mengesankan makna yang batil atau bertentangan dengan nash-nash syara’ yang lain. Atau lebih jelasnya tentang mukhtalif ini adalah adanya peretentangan dengan al-Quran, akal, sejarah, atau ilmu pengetahuan dan sains modern. Dan yang termasuk dalam pengertian hadits mukhtalif adalah hadits-hadits yang sulit dipahami (musykil). Dr. Abu al-Layth mendefinisikan hadits musykil sebagai hadits maqbûl (shahih dan hasan) yang tersembunyi maksudnya karena adanya sebab dan hanya diketahui setelah merenungkan maknanya atau dengan adanya dalil yang lain. Dinamakan musykil karena maknanya yang tidak jelas dan sukar difahami oleh orang yang bukan ahlinya.[2]
Ibn Furak (w. 406 H.) dalam kitabnya yang berjudul Musykil al-Hadîts wa Bayânuh, berpendapat bahwa hadis musykil adalah hadis yang tidak dapat dengan jelas dipahami tanpa menyertakan penjelasan lain, seperti hadis-hadis yang kandungannya berisi tentang hal-hal yang berkaitan dengan Dzat Allah, sifat-sifat maupun perbuatan-Nya yang menurut akal tidak layak dikenakan penisbatannya kepada-Nya kecuali setelah dilakukan ta’wîl terhadap hadis-hadis tersebut.
B. Pengertian Ikhtilaf al-Hadist
Ikhtilaf berasal dari bahasa Arab yang berarti ketidaksamnan, atau ketidakcocokan, dan ketidakserasian, dengan begitu Ikhtilaf Hadist adalah Hadist-hadist yang satu sama lain mengandung ketidaksamaan, ketidakcocokan, dan ketidakserasian.[3]
Dapat dikatakan bahwa Ikhtilaf al-hadist  adalah ilmu yang membahas tentang hadist-hadist yang lahirnya saling berlawanan, lalu menghilangkan pertentangan atau mempertemukan antara satu dengan yang lainnya, sebagaimana juga membahas hadist-hadist yang sulit dipahami lalu menghilangkan kesukaran dan menjelaskan hakikatnya.
Ilmu Mukhtalif AL-Hadist adalah termasuk salah satu bagian dari ilmu hadist yang sangat diperlukan oleh Muhaddisin, Fuqaha  dan lain sebagainya. Bagi seseorang yang ingin mengistimbatkan suatu hukum dari dalil-dalilnya, hendaklah ia mempuyai pengetahuan yang cukup, pemahaman yang kuat tentang hadist-hadist Rasulullah sebagai salah satu sumber hukum. Ia tidak cukup menghafal hadist, sanad-sanadnya dan lafadh-lafadhnya tanpa mengetahui ketentuan- ketentuannya dan tanpa memahami berbagai persoalan sekitar ilmu hadist itu dengan baik.
Hadist yang mukhtalif menurut At-Thahawiy adalah dua buah hadist yang sama-sama berkategori maqbul yang saling bertentangan secara lahiriah dan memungkinkan cara penyelesaiannya dengan mengkompromikan antara keduanya secara wajar. Namun demikian definisi tersebut dirasa kurang lengkap oleh Al-Syathibi, menurutnya tidak semua hadist mukhtalif dapat diselesaikan dengan cara mengkompromikannya, adakalanya harus diselesaikan dalam bentuk nasakh atau tarjih. Dengan demikian makna hadist mukhtalif menurut beliau adalah hadist hasan atau sahih (maqbul) yang secara lahiriah tampak saling bertentangan satu dengan lainnya, namun makna yang sebenarnya tidaklah bertentangan karena satu dengan lainnya dapat diselesaikan dengan metode jam’u, Tarjih ataupun nasakh.[4]
Ilmu Mukhtalif al-hadist ini awalnya hanya ada dalam bentuk praktisnya saja, belum merupakan suatu teori yang dapat diwarisi. Barulah kemudian Al-Syafi’i  membuka lembaran baru sejarah baru perkembangannya yang sebelumnya tidak tertulis menjadi sebuah warisan tertulis dan dapat dipelajari, yakni dengan menuangkan teori penyelesaian hadist-hadist mukhtalifnya dalam sebuah karya ikhtilaf al-hadist, bahkan kitabnya yang secara khusus membahas hadist-hadist mukhtalif juga terdapat dalam kitabnya al-Risalah, dan pada akhirnya langkah al-Syafi’i tersebut diikuti oleh Ibnu Qutaybah, yang juga menulis kitab khusus membahas hadist-hadist mukhtalif dan penyelesaiannya dengan judul Ta’wil Mukhtalif al-hadist. [5]
C. Sebab-sebab Mukhtalif al-Hadits
a.    Faktor Internal Hadits (al ‘Amil Al Dakhily)
Yaitu berkaitan dengan internal dari redaksi hadits tersebut. Biasanya terdapat ‘illat (cacat) didalam hadits tersebut yang nantinya kedudukan hadits tersebut menjadi dha’if. Dan secara otomatis hadits tersebut ditolak ketika hadits tersebut berlawanan dengan hadits shohih.
b.      Faktor Eksternal (al’ Amil al Kharijy)
Yaitu faktor yang disebabkan oleh konteks penyampaian dari Nabi, yang mana menjadi ruang lingkup dalam hal ini adalah waktu, dan tempat dimana Nabi menyampaikan haditsnya.
c.       Faktor Metodologi (al Budu’ al Manhajy)
Yakni berkitan dengan cara bagaimana cara dan proses seseorang memahami hadits tersebut. Ada sebagian dari hadits yang dipahami secara tekstualis dan belum secara kontekstual yaitu dengan kadar keilmuan dan kecenderungan yang dimiliki oleh seorang yang memahami hadits, sehingga memunculkn hadits-hadits yang mukhtalif.
d.       Faktor Ideologi
Yakni berkaitan dengan ideologi suatu madzhab dalam memahami suatu hadits, sehingga memungkinkan terjadinya perbedaan dengan berbagai aliran yang sedang berkembang.

D.  Penyelesaian Mukhtalif al-Hadits

Ilmu ini termasuk hal penting dalam study hadis. Sebuah ilmu yang dibutuhkan oleh ahli hadis, ahli fikih, dan ulama lain. Orang yang mempelajarinya harus mempunyai daya tangkap tinggi, pemahaman mendalam, pengetahuan luas, dan pengalaman baik. Merekalah yang piawai dalam ilmu hadis dan fikih. As-sakhowi mengatakan, “Ilmu ini sangat penting dan dibutuhkan oleh setiap ulama dalam bidang apapun. Yang bisa sempurna melaksanakan ilmu ini adalah seseorang yang benar-benar pandai mengumpulkan ilmu hadis dan fikih, serta bisa menyelami arti dari kata-kata sulit”.
Bahkan As-Sakhowi mengatakan berikut:
ولذا كان إمام الأئمة أبو بكر بن خزيمة من أحسن الناس فيه كلاما لكنه توسع حيث قال لا أعرف حديثين صحيحين متضادين فمن كان عنده شيء من ذلك فليأتني به لأؤلف بينهما
“Oleh karena itu (yang menangani ilmu ini hanyalah mereka yang piawai bidangnya), Imam Abu Bakar bin Khuzaimah termasuk orang terbaik dalam hal ini. Tetapi beliau terlalu berlebihan, sampai beliau berkata, “aku tidak pernah menjumpai dua hadis yang bertentangan. Jika seseorang pernah menemukannya, maka datangkanlah padaku agar aku selesaikan (pengumpulannya)”.
Al-Bulqini menyanggah statemen Ibnu Khuzainah ini dengan mengatakan:
لو فتحنا باب التأويلات لاندفعت أكثر العلل
“Andai kita membiarkan pintu takwil, niscaya tertolak (tidak ada) kebanyakan illat hadis”
Ulama telah berantusias lebih dalam hal ini. Terbukti mereka menangani ilmu ini sejak periode sahabat. Yaitu mereka yang menjadi referensi seluruh ummat dalam menangani problematika hidupnya. Mereka berijtihad untuk mengumpulkan hadis, menggali hukumnya, dan mengompromikan beberapa hadis yang kelihatannya bertentangan. Begitu juga dengan ulama-ulama hadis yang telah menghancurkan tuduhan-tuduhan yang dilemparkan musuh-musuh Islam, seperti golongan Syi’ah dan Muktazilah. Dan mereka merumuskannya dalam karya besar yang akan kami sebutkan sebagiannya.

1.    Pendekatan dan metode penyelesaian ikhtilaf al-hadist menurut para ulama.

Sebagai Ulama pertama yang membicarakan masalah ini adalah al- Imam As-Syafi’i  dalam kitabnya Al- Umm dalam bab Mukhtalif al-hadist,  Beiau menawarkan metode al-Jam’u sebagai upaya untuk mempertemukan kedua hadist itu. Perlu digaris bawahi bahwa pertentangan yang terjadi dalam hadist tersebut adalah pertentangan dalam arti dhahiri, sedangkan secara subtantive, sama sekali tidak bertentangan, bahkan saling mendukung sesuai dengan kebutuhan situasi dan kondisi. Dapat dikatakan dalam menyelesaikan pertentangan hadist, metode pertama yang ditempuh oleh para ulama fiqih dan ulama hadist adalah Jam’u ( al-taufiq, al-talfiq atau al ta’lif ) , barulah setelah itu menempuh langkah lain secara bertahap seperti al-Tarjih, dan  al-Nasakh, yang akan saya uraikan dalam pembahasan ini satu persatu.
2.    Ikhtilaf al-Hadist dengan pendekatan al Jam’u wal taufiq.
            Al-Jam’u bermakna mengumpulkan atau menggabungkan. Kata ini semakna dengan al- Taufiq, al- Talfiq dan al- Ta’lif yang kesemuanya bermakna mengkompromikan. Al-Jam’u  dalam pengertian yang diberikan ulama ushul adalah mengalihkan makna dari setiap dalil kepada makna yang lain sehingga tidak terdapat perlawanan lagi, atau lebih mengarah kepada usaha mencari makna yang lain dibalik pertentangan tersebut. [6]
Imam Syafi’i juga memakai metode al-Jam’u sebagai prioritas d Al-Syafi’i di atas metode/ kaidah lain. Hal ini mungkin karena Al-Syafi’i menganggap bahwa dasarnya tidak ada pertentangan dalam hadist. Pertentangan itu hanya lahir karena keterbatasan kemampuan para pengiat hadist dalam khazanah hadist yang dikuasainya. Langkah yang digunakan Syafi’i dengan metode ini adalah mengklasifikasikan suatu hadist dalam kategori ‘Am dan Khas atau muthlaq dan muqayyad. Suatu hadist dilihat dari cakupan makna dan kondisi  serta situasi yang melatarbelakangi datangnya suatu hadist, namun perlu dicatat adalah penyelesaian ikhtilaf al-Hadist  sangat erat kaitannya dengan asbab al-wurud hadist . Hal ini masuk akal karena mungkin saja suatu hadist datang karena situasi tertentu, ditujukan pada orang-orang tertentu yang tidak termasuk orang lain secara keseluruhan sebab kondisi keimanan kaum muslimin ketika itu tidak sama, maka kadangkala terhadap orang yang masih labil imannya nabi memberikan semacam rukhsah dan kejadian seperti ini tentu hanya orang-orang khusus saja yang mengetahuinya.
Adapun cara Jam’u wa taufiq pada dua dalil yang berlawanan adalah :
·         Menakwilkan salah satu nash itu sehingga tidak berlawanan dengan nash yang lain.
·         Salah satu nash dijadikan takhsish terhadap nash lain.


Adapun contoh hadist mukhtalif yang diselesaikan dengan cara Jam’u wal taufiq adalah sebagai berikut :
Contoh aplikasi dari metode al-jam’u wa at-taufîq adalah hadits tentang cara berwudhu Rasulullah s.a.w.. Hadis pertama menyatakan bahwa Rasulullah s.aw. berwudhu dengan cara membasuh wajah dan kedua tangannya, serta mengusap kepala satu kali, sebagaimana tampak dalam hadits berikut ini:

حَدَّثَنَا الْرَّبِيْعُ ، قَالَ : أَخْبَرَنَا الْشَّافِعِيُّ ، قَالَ : أَخْبَرَنَا عَبْدُ الْعَزِيزِ بْنُ مُحَمَّدٍ ، عَنْ زَيْدِ بْنِ أَسْلَمَ ، عَنْ عَطَاءِ بْنِ يَسَارٍ ، عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ ، أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَضَّأَ وَجْهَهُ وَيَدَيْهِ ، وَمَسَحَ بِرَأْسِهِ مَرَّةً مَرَّةً. اختلاف الحديث – ج ١ ص ٦
Ar-Rabi’ telah bercerita kepada kami, dia berkata: Imam asy-Syafi’i memberi kabar kepada kami, Ia berkata: Abdul Aziz ibn Muhammad telah memberi kabar kepada kami dari Zaid ibn Aslam dari Atha’ ibn Yasar dari Ibnu Abbas bahwa Rasulullah s.a.w. berwudhu membasuh wajah dan kedua tangannya, serta mengusap kepala satu kali-satu kali.” (H.R. asy-Syafi’i)

Sementara dalam riwayat lain dinyatakan bahwa Nabi s.a.w. berwudhu dengan membasuh wajah dan kedua tangannya, serta mengusap kepala tiga kali, sebagaimana terbaca dalam hadits berikut ini:

أَخْبَرَنَا الْشَّافِعِيُّ ، قَالَ : أَخْبَرَنَا سُفْيَانُ بْنُ عُيَيْنَةَ ، عَنْ هِشَامِ بْنِ عُرْوَةَ ، عَنْ أَبِيهِ ، عَنْ حُمْرَانَ مَوْلَى عُثْمَانَ بْنِ عَفَّانَ ، أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ تَوَضَّأَ ثَلاَثًا ثَلاَثًا.اختلاف الحديث – ج ١ ص٧
Imam Asy-Syafi’i telah memberi kabar kepada kami, dia berkata Sufyan ibn ‘Uyainah telah memberi kabar kepada kami, dari Hisyam bin ‘Urwah dari ayahnya, dari Hamran maula “Utsman ibn ‘Affan bahwa Nabi s.a.w. berwudhu dengan mengulangi tiga kali (dalam membasuh dan mengusap).” (HR Asy-Syafi’i).

Kedua riwayat tersebut tampak bertentangan namun keduanya sama-sama shahih dan akhirnya diselesaikan dengan metode al-Jam’u wa at-Taufîq dengan komentar Imam asy-Syafi’i dalam kitab Ikhtilâf al- Hadîts :

قَالَ الشَّافِعِيُّ: وَلاَ يُقَالُ لِشَيْءٍ مِنْ هَذِهِ الأَحَادِيثِ: مُخْتَلِفٌ مُطْلَقًا، وَلَكِنَّ الْفِعْلَ فِيهَا يَخْتَلِفُ مِنْ وَجْهِ أَنَّهُ مُبَاحٌ لاِخْتِلاَفِ الْحَلاَلِ وَالْحَرَامِ ، وَالأَمْرِ وَالنَّهْيِ، وَلَكِنْ يُقَالُ: أَقَلُّ مَا يَجْزِي مِنَ الْوُضُوءِ مَرَّةٌ، وَأَكْمَلُ مَا يَكُونُ مِنَ الْوُضُوءِ ثَلاَثٌ. اختلاف الحديث – ج ١ ص٧
Dengan terjemahan bebasnya adalah Imam asy-Syafi’i berkata: “hadits-hadits itu tidak bisa dikatakan sebagai hadits yang benar–benar kontradiktif. Akan tetapi bisa dikatakan bahwa berwudhu dengan membasuh wajah dan kedua tangannya, serta mengusap kepala satu kali, sudah mencukupi, sedangkan yang lebih sempurna dalam berwudhu adalah mengulanginya tiga kali (dalam hal membasuh wajah dan mengusap tangan serta mengusap kepala).

Contoh lain dari dua hadist yang saling bertentangan tapi bisa dikompromikan adalah hadis yang artinya:
Dari Zaid Bin Khalid, Beliau berkata: Sesungguhnya Rasulullah Bersabda: “ Ingatlah aku akan memberitahukan kepada kalian tentang saksi yang paling baik itu adalah “ Orang yang datang dengan naik saksi sebelum bahwa diminta kesaksiannya”. Hadist Riwayat Muslim.
Hadist kedua yang artinya : Bersabda Rasulullah Saw “ Sebaik-baik kamu adalah orang yang sekurun denganku, kemudian orang-orang setelah kurunku, kemudian orang-orang setelah mereka, kemudian setelah itu akan ada suatu kaumyang memberikan kesaksian sebelum mereka dimintakesaksian “ Hadist Riwayat Bukhari.
Dari segi lafadh nya dapat dilihat jelas bahwa kedua hadist tersebut sangatlah bertentangan namun setelah dikompromikan “ Hadist pertama diarahkan atau ditujukan kepada saksi hisbah yaitu orang yang naik saksi dengan suka rela tanpa diminta oleh orang yang berperkara, dengan demikian salah satu dari orang yang berperkara bisa mendapatkan kembali haknya dengan adanya saksi Hisbah yang ikhlas dan dengan suka rela naik saksi.
Hadist yang kedua diarahkan kepada kasus dimana ada pihak yang diuntungkan dengan adanya kesaksian dari saksi yang paling buruk , ia mengetahui terhadap orang yang memberikan kesaksian, sehingga orang yang naik saksi tersebut tidak lagi ikhlas namun disertai kepentingan-kepentingan lain yaitu untuk mendapat pujian atau keuntungan dari orang yang ia bela.[7]

3. Ikhtilaf Hadist dengan Pendekatan Tarjih
Tarjih sebagaimana disebutkan oleh Hasbi Ash-Shiddiqie adalah : Menampakkan suatu kelebihan salah satu dari dua dalil yang serupa dengan sesuatu yang tidak berdiri sendiri.[8]  Maka apabila telah nyata kerajihan salah satunya, hendaklah kita mengamalkan yang rajih tersebut. Tarjih dalam ta’rif ulama ushul adalah menjadikan sesuatu lebih kuat atau mempunyai kelebihan.Sedangkan ulama Hanafiyah menyatakan bahwa Tarjih adalah menyatakan keistimewaan salah satu dari dua dalil yang sama dengan suatu sifat yang menjadikan lebih utama dilihat dari yang lain.
Dalam mentarjihkan hadist ada beberapa aspek yang harus diperhatikan  perlu diperhatikan dalam tarjih sanad ini adalah mendeteksi Ittisalnya hadist, kemudian jumlah periwayat dan jalur periwayatan hadits. Disamping jumlah periwayat, kualitas ketinggian sanad termasuk aspek terpenting yang harus diperhatikan, apakah hadist tersebut tergolong mutawatir , masyhur, ahad, atau mursal.
Kedua: Mentarjih dengan memperhatikan sifat-sifat periwayat. Sifat-sifat periwayat yang terpenting adalah adil dan dhabit , karena apabila periwayat tidak memiliki sifat dhabit maka mudah sekali terjebak dalam kesalahan menyampaikan riwayat, demikian pula dengan periwayat yang tidak adil, maka dengan tidak segan-segan untuk melakukan kebohongan. Oleh karena itu, sasaran utama yang menjadi perhatian dalam persoalan sifat-sifat periwayat ini adalah masalah keadilan dan kedhabitan periwayat.
Ketiga: Mentarjih dengan memperhatikan keadaan matan hadist. Oleh karena itu suatu matan hadist mesti terhindar dari Syadz dan Illah, maka yang tidak memiliki Syadz dan Illah itulah yang lebih utama digunakan.
Keempat : Mentarjih dengan memerhatikan perkara ( persoalan hukum) yang keluar dari sebuah Hadist . Perkara yang keluar dari sebuah hadist mesti sejalan dengan kandungan ayat Al-Alqur’an, Hadist dan Qiyas. Jika berlawanan dengan ketiganya, maka yang dipegang adalah yang tidak berlawanan.
Sebagai contoh penyelesaian hadist mukhtalif dengan kaidah tarjih adalah sebagai berikut:
Ada salah satu hadis yang benar-benar bertentangan dengan al-Qur’an, yaitu hadis tentang nasib bayi yang dikubur hidup-hidup akan masuk neraka.
الوائدة والموؤودة في النار
Artinya: perempuan yang mengubur bayi hidup-hidup dan bayinya akan masuk neraka. (HR. Abu Dawud).
Melihat konteks turunnya hadis tersebut yaitu ketika Salamah Ibn Yazid al-Ju’fi pergi bersama saudaranya untuk menghadap Rasulullah saw. Dan bertanya kepada Rasulullah saw mengenai bayi perempuan yang dikubur hidup-hidup. Rasulullah saw menjawab dengan tegas bahwa nasib bayi perempuan tersebut akan masuk neraka, kecuali jika perempuan yang mengubur bayi itu kemudian masuk islam, maka Allah swt akan memaafkannya. Hadis tersebut dinilai sebagai hadis hasan dari segi sanad menurut imam Ibn Katsir, dan diriwayatkan oleh Imam Ahmad dan al-Nasa’i.
Akan tetapi jika diamati lebih telisik lagi, matan hadis tersebut bertentangan dengan ayat al-Qur’an surah at-takwir :8-9
وَأِذَ الْمَوْءُودَةُ سُئِلَتْ. بِأَىِّ ذَنْبٍ قُتِلَتْ.
Artinya : Dan apabila bayi-bayi perempuan yang dikubur hidup-hidup ditanya, karena dosa apakah ia dibunuh. (QS.at-takwir:8-9).
Secara logis, orang yang mengubur bayi memang sangat berdosa dan ditempatkan di neraka, akan tetapi bagaimana dengan bayi yang dikubur, apakah harus ikut mengemban dosa dari orang yang dikubur sehingga masuk neraka, padahal setiap bayi yang lahir adalah dalam keadaan suci tak berdosa. Maka jelaslah bahwa hadis tersebut harus kita tolak, karena telah bertentangan dengan al-Qur’an dan secara logis juga tidak mendukung.
Ada riwayat lain yang menjelaskan tentang kasus tersebut yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad. Rasulullah saw ditanya oleh anak perempuan Mu’awiyyah al-Shamiriyyah tentang orang-orang yang akan masuk surga. Kemudian Rasulullah saw menjawab: Nabi saw akan masuk surga, orang yang mati syahid akan masuk surga, anak kecil juga akan masuk surga, anak perempuan yang dikubur hidup-hidup juga akan masuk surga. (HR.Ahmad)[9].

4. Ikhtilaf Hadist dengan pendekatan Nasikh Wal Mansukh.
       Secara Etimologi kata Nasakh mengandung arti pembatalan (Al-Ibhtal ), penghapusan (Al-Izalah ), dan memindahkan (Al-Naql ), memalingkan ( Al-Ta’wil )[10] Sedangkan secara Terminologi arti Nasakh adalah mengangkat atau menghapuskan hukum syara’ yang terdahulu dengan hukum syara’ yg baru atau yang selanjutnya, atau mengangkatkan hukum syara’ yang terdahulu dengan mendatangkan hukum syara’ yang baru, dengan kata lain  sesuatu yang telah di Nasakhkan berarti tidak ada lagi tuntutan hukum kepada si Mukallaf.[11]
Hukum yang lama dinamakan Mansukh dan dalil yang datang kemudian . 1ilmu ushul fiqh, karena hakikatnya untuk mengetahui tentang nasakh secara komprehensif  dapat dilihat dalam kitab-kitab ushul fiqh, namun demikian dalam hadist-hadist rasulullah juga dibicarakan, yang pada akhirnya melahirkan suatu ilmu yang dinamakan nasakh al-hadist wa mansukh

Untuk mengetahui Naskh dan Mansukh terdapat beberapa cara diantaranya adalah:
1.      Keterangan tegas dari Rasulullah Saw atau sahabat.
2.      Ijma’ umat bahwa ayat ini adalah Nasikh dan itu Mansukh
3.      Mengetahui mana yang terlebih dahulu dan mana yang datang kemudian berdasarkan sejarah.
Proses nasakh-mansukh dalam hadis hanya terjadi ketika Nabi Muhammad saw masih hidup. Sebab pada masa Nabi masih hidup, proses penetapan atau pembentukan syari’at sedang berlangsung pada masa itu, sehingga ada hadis yang temanya sama akan tetapi hukumnya berbeda, dan mungkin hadis yang terakhir datang setelah turunnya ayat al-Qur’an yang terkait dengan masalah di masyarakat. Para ulama hadis hanya memberikan kemudahan kepada peneliti atau orang yang belajar studi hadis dengan menamakan hal tersebut dengan nasakh-mansukh hadis.
Contoh hadis dengan metode penyelesaian ini yaitu hadis tentang wajib dan tidak wajibnya seseorang untuk mandi jinabah karena melakukan senggama akan tetapi tidak mengeluarkan sperma.[12] Hadis pertama berbunyi :
عن أبي سعيد الخدريّ عن النبي ص.م أنه قال : أِنَّمَا الْمَاءُ مِنَ الْمَاءِ. (رواه مسلم وأبو داود والترمذي وغيرهم واللفظ لمسلم)
Artinya: dari Abu Sa’id al-Khudri, dari Rasulullah saw bahwa beliau telah bersabda, “Sesungguhnya air (yakni mandi janabah menjadi wajib karena) dari air (yakni keluarnya sperma tatkala bersengama)”. (HR. Muslim, Abu Daud, al-Turmudzi, dan lain-lain dengan lafal riwayat Muslim).
Berbeda dengan hadis yang kedua yaitu,:
عن عائشة قالت ……. قال رسول الله ص.م : أِذَا جَلَسَ بَيْنَ شُعَبِهَا الأَرْبَعِ وَمَسَّ الْخِتَانُ الْخِتَانَ فَقَدْ وَجَبَ الْغُسْلُ. (رواه البخاري ومسلم وغيرهما واللفظ لمسلم).
Artinya: dari Aisyah, dia berkata:… Nabi saw telah bersabda,” Apabila (seseorang) telah duduk di atas empat anggota tubuh (isterinya) dan alat kelamin telah menyentuh (masuk) ke alat kelamin, maka sungguh telah wajib mandi janabah.” (HR.al-Bukhari, Muslim, dan lain-lain dengan lafal riwayat Muslim).
Hadis yang pertama menyatakan bahwa mandi jinabah harus dilakukan oleh seseorang ketika telah melakukan senggama dan mengeluarkan sperma. Artinya jika tidak sampai mengeluarkan sperma, maka tidak wajiblah untuk mandi jinabah. Sedangkan keterangan hadis kedua, mandi jinabah harus dilakukan oleh seseorang ketika telah melakukan senggama, baik itu sampai orgasme maupun tidak. Dilihat secara tekstual kedua hadis di atas tampak saling bertentangan.
Menurut Imam Syafi’i, kata junub dalam al-Qur’an, surah an-nisa’ jika dilihat dari makna bahasa arabnya tidak membedakan antara senggama yang sampai orgasme maupun tidak. Jadi, dapat dikatakan bahwa hadis yang pertama telah dinasakh oleh hadis yang kedua setelah turunnya ayat al-Qur’an. Sehingga hadis yang dipakai adalah hadis yang kedua. Contoh lain yaitu hadis tentang nikah mut’ah.










PENUTUP
Kesimpulan
Dari uraian diatas maka dapat disimpulkan sebagai berikut :
1.      Ikhtilaf al-hadist berasal dari bahasa Arab yang berarti ketidaksamaan, ketidakserasian, atau ketidakcocokan
2.      Ilmu ikhtilaf al - hadis adalah ilmu yang membahas tentang hadis-hadis yang lahirrnya saling berlawanan, lalu menghilangkan pertentangan atau mempertemukan antara satu dengan yang lainnya, sebagaimana juga membahas hadis yang sulit dipahami lalu menghilangkan kesukaran dan menjelaskan hakikatnya.
3.      Dalam menyelesaikan hadist-hadist yang mukhtalif ada bebrapa pendekatan yang dilakukan oleh para ulama, yaitu :
-          Al – Jam’u (Mengkompromikan)
-          Tarjih ( Menguatkan salah satu dari kedua hadist
-          Nasakh – Mansukh (Menghapus salah- satu hadis)


DAFTAR PUSTAKA

Ali Hasballah ,  Usul Tasyri’ al-islami, Darul Ma’arif, Mesir : 1976
Imam Alsyafi’i , Khilafal Hadis Beirut : Muassasah al- Kutub Al – Tsaqafiyyah, 1985
Dr. Moh. Isom Yoesqi, Inklusivitas hadist Nabi Muhammad Saw menurut Ibnu Tamiyah,2006. Jakarta: Pustaka Mapan.
Daniel Juned, Ilmu Hadis, Jakarta: Erlangga, 2010.
Mukhtar Yahya dan Fatchur Rahman, Dasar-dasar pembinaan hukum Islam, (Bandung : Al-Maarif), 1997.
Muhammad hasbi Ash-Shiddiqie, Pengantar hukum Islam,  (Semarang: Pustaka Rizki Putra), 2001.
Muhammad  Ma’shum Zein Zubrah Usul Fiqh,  Jombang Darul Istiqamah, 2008.
Nuruddin ‘Itr, “Ulûm al-Hadîts”, diterjemahkan oleh Mujiyo dari Manhaj al-Naqd fî Ulûm al-Hadîts (Bandung: Remaja Rosdakarya, 1994) Cet. ke-1.
Saifullah Ansyari, Khazanah pemikiran Al-Syafi’i dan Ibnu Tamiyah dalam memahami hadist Mukhtalif, Tesis program Magister ( Banda Aceh, IAIN Ar-Raniry,2002)
Sayed Muhammad Bin Alwi, AlQawaid Asasiah Fi Usulil Fiqh. ( Jeddah: Hazamain T.T.) 2010.
M. Syuhudi Ismail, Hadis Nabi Yang Tekstual Dan Kontekstual,Jakarta: Bulan Bintang, 2009.





[1] Daniel Juned, Ilmu Hadis, Jakarta: Erlangga, 2010, hal. 109-111
[2]Nuruddin ‘Itr, “Ulûm al-Hadîts”, diterjemahkan oleh Mujiyo dari Manhaj al-Naqd fî Ulûm al-Hadîts (Bandung: Remaja Rosdakarya, 1994) Cet. ke-1, Jilid 2, Hal. 114
[3] Saifullah Ansyari, Khazanah pemikiran Al-Syafi’i dan Ibnu Tamiyah dalam memahami hadist Mukhtalif, Tesis program Magister ( Banda Aceh, IAIN Ar-Raniry,2002), Hal.24
[4] Dr. Moh. Isom Yoesqi, Inklusivitas hadist Nabi Muhammad Saw menurut Ibnu Tamiyah,2006. Jakarta: Pustaka Mapan. Hal.158
[5] Ibid. Hal.160
[6] Mukhtar Yahya dan Fatchur Rahman, Dasar-dasar pembinaan hukum Islam, (Bandung : Al-Maarif), 1997. Hal. 477
[7] Muhammad  Ma’shum Zein Zubrah Usul Fiqh, ( Jombang Darul Istiqamah, 2008) hal. 144
[8] Muhammad hasbi Ash-Shiddiqie, Pengantar hukum Islam,  (Semarang: Pustaka Rizki Putra), 2001, hal 284
[9] . Abdul Mustaqim, Ilmu Ma’anil Hadits: Paradigma Interkoneksi, (Yogyakarta: IDEA Press, 2008).hlm.96.
[10] Ali Hasballah ,  Usul Tasyri’ al-islami, Darul Ma’arif, Mesir : 1976, Hal 212aa
[11] Imam Alsyafi’i , Khilafal Hadis Beirut : Muassasah al- Kutub Al – Tsaqafiyyah, 1985
[12].M. Syuhudi Ismail, Hadis Nabi Yang Tekstual Dan Kontekstual, (Jakarta: Bulan Bintang, 2009).hlm.77.

0 Response to "Makalah Mukhtalif Al-Hadits"

Post a Comment

Labels

Aceh ( 4 ) ARTIKEL ( 23 ) Bollywood ( 1 ) CERPEN ( 16 ) HABA ( 1 ) Hollywood ( 1 ) INDO ( 2 ) Makalah ( 97 ) Skript ( 1 ) SOSOK ( 10 ) Wisata ( 2 )