BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Telah kita ketahui bersama bahwa sumber penetapan hukum di
masa Nabi adalah Al-Qur'an dan Al-Sunnah. Dua hal tersebut merupakan rujukan
tertinggi dalam berfatwa dan memutuskan suatu hukum. Namun setelah Nabi wafat
dan Wahyu tidak turun lagi, maka kepemimpinan umat dalam urusan dunia dan
agama, beralih ke tangan Khulafa al-Rasyidin dan pra sahabat yang terkemuka.
Mereka itulah yang mulai memikul beban dan bangkit dengan tugas yang berat.
Selanjutnya para sahabat menghadapi banyak masalah yang
tadinya tidak terdapat di Arab. Misalnya masalah pengairan, keuangan,
ketentaraan, perkawinan, pajak, cara menetapkan hukum di pengadilan, dan
lain-lain.
Dalam menjawab hukum persoalan yang baru, maka para sahabat
terlebih dahulu merujuk ke Al-Qur'an, bila tidak ada disana, mereka berpindah
ke Al-hadits dan setelah tidak ada al-hadits, maka para sahabat tersebut baru
Berijtihad. Maka dari itulah penulis ingin membahas beberapa kajian tentang “
Tarikh Pada Masa Sahabat”.
B. Rumusan Masalah
1. Bagimana Kondisi Tasyri’ pada masa
sahabat ?
2. Apa Saja Faktor Perkembangan Tasyri’
?
3. Apa Saja Sumber Hukum Tasyri’ pada
masa sahabat ?
4. Bagaimana metode dalam mengenal
hokum ?
BAB II
PEMBAHASAN
A. Kondisi Tasyri’ Pada Masa Sahabat
Dengan wafatnya Nabi Muhammad, berhentilah wahyu yang turun
selama 22 tahun 2 bulan 22 hari yang beliau terima melalui malaikat jibril baik
waktu beliau masih berada di Makkah maupun setelah hijrah ke Madinah. Demikian
juga halnya dengan sunnah, berakhir pula dengan meninggalnya Rasulullah itu.
Kedudukan nabi Muhammad sebagai utusan Tuhan tidak mungkin
diganti, tetapi tugas beliau sebagai pemimpin masyarakat islam dan kepala
Negara harus dilanjutkan oleh orang lain. Pengganti nabi Muhammad sebagai
kepala Negara dan pemimpin umat islam ini disebut Khalifah, suatu kata yang
dipinjam dari Al-Qur’an (Surat 2:30). Di dalam Al-Qur’an selain surat
Al-baqarah ayat 30 itu terdapat perkataan khalifah yang tersebar dalam sebelas
ayat. Ide yang dapat disimpulkan dari ayat-ayat tersebut adalah bahwa manusia
harus mempunyai tujuan hidup menata dunia ini. dan sebagai khalifah (wakil)
Tuhan dibumi ini, manusia harus menerjemahkan segala sifat-sifat Tuhan kedalam
kenyataan hidup dan kwhidupan dan wajib mengatur bumi ini sesuai dengan
pedoman yang telah ditetapkan-Nya. Manusia wajib melakukan tugas unutk mencapai
tujuan hidupnya menurut pola yang telah ditentukan oleh Tuhan dalam
ajaran-ajaran-Nya.[1]
Pengangkatan seorang khalifah dapat terjadi dengan
persetujuan masyarakat sebagaimana yang terjadi dalam kasus Abu Bakar, atau
dengan penunjukan khalifah sebelumnya seperti kasus Umar. Jika diperlukan
pemilihan, dapat dibentuk suatu badan khusus menyelenggarakan pemilihan itu.
Sesudah dipilih, khalifah harus berjanji bahwa ia akan memenuhi kewajiban yang
dipercayakan kepadanya. Ia harus melaksanakan janjinya dengan setia, sebab
tanggung jawab dan kewajibannya sebagai kepala Negara, jauh lebih berat
dari hak-hak istimewa yang ada padanya. Ia mendapat janji setia (bai’at) dari
rakyat atau wakil-wakilnya yang memenuhi syarat.
Demikianlah untuk menggantikan kedudukan Nabi Muhammad
sebagai pemimpin umat dan kepala Negara, dipilihlah seorang pengganti yang
disebut khalifah dari kalangan sahabat Nabi sendiri. Sahabat nabi adalah orang
hidup semasa dengan nabi, menjadi teman atau kawan nabi Muhammad dalam
menyebarkanluaskan ajaran islam. Para sahabat Nabi ini silih berganti selama
empat periode, yaitu Abu Bakar Ash-Shiddiq, Umar bin Khattab, Usman bin Affan,
dan Ali bin Abi Thalib.
Periode kekuasaan
pemerintahan Nabi Muhammad saw hanya meliputi semenanjung Arabia, tetapi
periode Sahabat meliputi wilayah arab dan non-Arab, sehingga masalah yang
muncul semakin kompleks sementara ketetapan hukum yang rinci di dalam Al-Quran
dan al-Hadits terbatas jumlahnya. Oleh karena itu, Para sahabat menghadapi
banyak masalah yang tadinya tidak terdapat di masyarakat Arab. Misalnya masalah
pengairan, keuangan, kemiliteran, pajak, cara penetapan hukum di pengadilan,
dan lain-lain. Pada masa inilah mulai muncul interpretasi terhadap nash-nash
Al-Quran yang diterima oleh Rasulullah saw, dan terbukalah pintu istinbat
terhadap masalah-masalah yang tidak ada didalam nash secara jelas. Dalam masa
ini pula Islam mulai berkembang pesat meluas sampai ke-Timur dan ke-Barat,
sahabat-sahabat besar dalam masa ini mencoba untuk menginterpretasikan
nash-nash hukum baik dalam Al-Quran maupun Al-hadits, yang kemudian menjadi
pegangan untuk menta’wil nash-nash yang belum jelas itu. Selain dari pada itu
para sahabat besar memberikan fatwa-fatwa dalam berbagai masalah dalam
kejadian-kejadian sosial maupun politik yang tidak ada kejelasan dalam nash
mengenai hal itu, yang kemudian itu menjadi dasar sebagai bahan untuk
berijtihad. Para sahabat juga dapat dikatakan sebagai musyari’ yaitu
menerangkan hal dan tidak ketinggalan memberikan fatwa dalam urusan-urusan yang
tercantum secara tersurat dalam nash. Jika ini semua di hadapkan pada kita,
maka tidak sepatutnya kita merasakan keheranan, sebab mereka dalam
kesehariannya selalu bergaul dengan Nabi, sehingga mereka menyaksikan dan
mengetahui asbabun-nuzul serta asbabul-wurud suatu hadits melebihi pengetahuan
ulama-ulama’ sesudahnya. Bahkan Para sahabat bergabung dalam kelompok yang
biasa diajak bermusyawarah oleh Rasululloh saw. Karena itulah maka munculah
kepercayaan umat yang perlu di simak, pada periode ini fatwa-fatwa dan masail
fiqhiyah masih dicampur dengan dalil-dalil dan kaidah-kaidah istidlal.
Penetapan-penetapan pada waktu itu sebagian besar hanya bersifat melanjutkan apa
yang pernah diperbuat oleh Nabi, kecuali mengenai beberapa peristiwa yang pada
zaman Nabi belum ada.[2]
B. Faktor-faktor Penyebab
Perkembangannya
Para sahabat memainkan pesan yang sangat penting dalam
membela dan mempertahankan agama. Mereka tidak cukup melaksanakan dan
melestarikan syari’at yang dibawa Nabi Saw, tetapi juga membentangkan sayap
dakwah Islam hingga kemancanegara. Ini untuk kali pertama syari’at Islam
khususnya fiqih berhadapan dengan berbagai persoalan baru. Misalnya masalah
seputar moral, etika, kultur, dan kemanusiaan dalam suatu masyarakat yang
sangat majemuk.
Fase ini adalah adalah fase yang paling dominan, dalam
mempengaruhi perkembangan syari’at. Wilayah-wilayah yang dibuka dan dibebaskan
saat itu memiliki perbedaan masalah kultural, tradisi situasi dan kondisi yang
menghadang para fuqaha’ dari kalangan sahabat, khususnya Abu Bakar, Umar,
Utsman dan Ali untuk memberikan suatu fatwa.
Para Sahabat dengan tingkat pemahaman yang tinggi terhadap
Al Qur’an dan Sunnah, menyikapi terhadap persoalan-persoalan yang datang dengan
langsung merujuk kepada al-qur’an dan As-Sunnah. Adakalanya mereka menemukan
nash dalam al-Qur’an dan hadits secara tersurat, tetapi juga tidak jarang
mereka tidak menemukan dalam dua sumber pokok syari’at Islam tersebut. Kondisi
yang demikian ini mendorong mereka secara paksa untuk berjuang menggali
kaidah-kaidah dasar dan tujuan moral dari berbagai tema-tema dalam Al Qur’an
untuk diaplikasikan terhadap persoalan-persoalan baru.[3]
Konsekuensi lain dari perluasan wilayah Islam adalah
bercampurnya orang-orang Arab dengan yang lainnya. Sebagian dari mereka banyak
yang memeluk Islam, tetapi sebagian tetap pada agama dan kepercayaan
masing¬-masing. Dari sini muncul suatu tuntutan untuk menetapkan hukum baru
yang mengatur hubungan orang-orang Islam dengan orang-orang non Muslim. Para
fuqaha’ untuk yang kesekian kalinnya berusaha merumuskan bagaimana Islam
mengatur pluralitas hidup seperti ini. Termasuk disini adalah persoalan baru
yang belum pernah terjadi pada era kenabian disamping belum ada sumber hukum
yang secara jelas-jelas merinci hukum masalah ini.
Ada tiga hal pokok yang berkembang waktu itu sehubungan
dengan hukum:
1. Begitu banyaknya muncul kejadian
baru yang membutuhkan jawaban hukum yang secara lahiriyah tidak dapat ditemukan
jawabannya dalam Al-Qur’an maupun penjelasan dari sunah Nabi.
2. Timbulnya masalah-masalah yang
secara lahir telah di atur ketentuan hukumnya dalam Al-Qur’an maupun Sunah
Nabi, namun ketentuan itu dalam keadaan tertentu sulit untuk diterapkan dan
menghendaki pemahaman baru agar relevan dengan perkembangan dan persoalan yang
dihadapi.
3. Dalam Al-Qur’an ditemukan penjelasan
terhadap suatu kejadian secara jelas dan terpisah. Bila hal tersebut berlaku
dalam kejadian tertentu, para sahabat menemukan kesulitan dalam menerapkan
dalil-dalil yang ada.[4]
C. Sumber-sumber Tasyri’ Pada Masa
Sahabat
Sumber Tasyri’ pada masa ini adalah Al Qur’an, As-sunnah dan
ljtihad (termasuk didalamnya ijma’ dan qiyas). Sebab pada hakekatnya keduanya
dihasilkan dari jerih payah mujtahiddin. Al qur’an pada masa ini sudah
dibukukan, yaitu pada Utsman bin Afan, setelah dipertimbangkan akan
kemaslahatannya yang lebih besar. Adapun sumber hukum Islam yang kedua adalah
Hadits, yang ketika itu belum dibukukan, sebab dikhawatirkan akan bercampur
dengan al-Qur’ an. Meski demikian upaya untuk pemeliharaan tetap
dilakukan. Sehingga kebenaran riwayatnya dapat dijamin. Abu Bakar Misalnya,
beliau tidak mau menerima hadits dari seseorang kecuali mendapat pengakuan dan
pengetahuan dari orang lain yang terpercaya. Umar bin Khattab menuntut adanya
bukti-bukti bahwa hadits tersebut datang dari Rasulullah. Demikian juga Ali bin
Abi Thalib, beliau senantiasa menyumpah perawinya.
Kemudian sumber hukum yang ketiga, adalah ijtihad. Para
shahabat dalam berijtihad tidak selalu sama, artinya pendapat mereka
kadang-kadang berbeda. Berkenaan dengan ini Ibnu Qoyyim pernah berkata bila
seseorang sahabat mengemukakan pendapat atau mengemukakan suatu hukum atau
memberikan fatwa, tentu ia telah mempunyai pengetahuan, baik yang dimiliki oleh
para sahabat maupun pengetahuan yang kita miliki. Adapun pengetahuan yang hanya
dimiliki oleh sahabat, mungkin didengar langsung dari Nabi melalui sahabat yang
lain. Pengetahuan yang hanya diketahui oleh masing-masing sahabat banyak
sekali, sehingga para sahabat tidak semua dapat meriwayatkan semua
hadits¬hadits yang didergar dari Khulafa’ ar Rasyidin dan sahabat-sahabat
lainnya.[5]
Walaupun
Abu bakar Assiddiq selalu mendampingi Nabi, hingga nabi tidak pernah lepas dari
pantauan Abu Bakar dan ia digolongkan sebagai orang yang mengetahui tentang
Rasulullah SAW, tetapi hadits-hadits yang ia riwayatkan tidak lebih dari
seratus hadits. Anggapan orang bahwa seorang sahabat selalu meriwayatkan suatu
Hadits atau menyatakan suatu kejadian yang ia ketahui, adalah anggapan yang
keliru, bahwa orang tersebut tidak mengetahui sikap dan tingkah laku para
sahabat. Sebab mereka sangat takut untuk meriwayatkan suatu hadits, lantaran
khawatir akan menambah atau mengurangi hadits tersebut. Karena itu mereka
sedikit sekali meriwayatkan dan hanya menceritakan apa yang mereka dengar dari
Rasulullah, atau sabda beliau.
Para Sahabat dalam menghadap suatu
masalah atau berbagai masalah mereka lebih dahulu mencari nashnya dari Al Quran
atau Sunnah, kalau mereka tidak menemukan dalam Al Quran dan Sunnah mereka
mengadakan pertemuan dengan fuqoha sahabat untuk meminta pendapat mereka.
Apabila mereka telah sepakati suatu pendapat, maka mereka menetapkan pendapat
itu sebagai suatu keputusan. Inilah yang disebut ijma’.
Untuk menyelesaikan persoalan-persoalan baru para sahabat
kembali kepada Alqur’an dan Sunnah Nabi. Para sahabat banyak yang hafal
al-Qur’an, kendati pernah timbul keresahan ketika banyak yang gugur ketika
menghadapi peperangan. Karenanya kembali kepada al-Qur’an itu mudah. Hadits
memang diriwayatkan dan dihafal. Tetapi nasib hadits tidak sebagus al-Qur’an
karena perhatian mereka lebih terpusat kepada al-Qur’an. Disamping dihafal,
al-Qur’an juga ditulis. Namun demikian, sumber hukum Islam dimasa ini adalah
al-Qur’an dan hadits. Berdasar kedua sumber hukum itulah para kahlifah dan
sahabat berijtihad dengan menggunakan akal pikiran.
Pada umumnya dalam memutuskan hukum, sahabat tidak
sendirian, tetapi bertanya terlebih dahulu kepada sahabat lain, takut kalau
salah. Sikap ini menunjukkan bahwa penafsiran terhadap al-Qur’an bukan hak
perogratif sahabat. Selanjutanya keputusan diambil dari hasil consensus, yang
lazim disebut ijma’. Melihat luasnya kekuasaan Islam, tetapi kesepakatan
beberapa pemuka Islam yang dipandang mewakili keseluruhan.
Pada awal masa sahabat ini , yaitu pada masa khalifah Abu
Bakar dan masa khalifah Umar, para sahabat dengan cara bersama-bersama
menetapkan hukum terhadap sesuatu yang tidak ada nashnya. Hukum yang di
keluarkan oleh para sahabat dengan cara bersama-sama ini di sebut sebagai ijma’
sahabat.
Khalifah Umar pun berbuat demikian, yaitu apabila sulit
baginya mendapatkan hukum dalam al-qur’an dan as-sunnah, maka beliau memperhatikan
apakah telah ada keputusan-keputusan terhadap masal itu. Jika Abu Bakar
mendapatkan suatu keputusan hukum, maka Umar memutuskan dengan hukum itu, dan
kalau tidak maka beliau memanggil pemuka-pemuka kaum muslimin, apabila sepakat
tentang hukum tersebut, maka beliau memberikan keputusan dengan hukum yang
telah di sepakati tersebut.
Jadi, dalam menghadapi permasalahan yang terjadi,
berkembanglah pemikiran para sahabat. Adapun metode yang digunakan pada masa
sahabat dapat melalui beberapa cara diantaranya :
a.
Dengan
semata pemahaman lafaz yaitu memahami maksud yang terkandung dalam lahir lafaz.
Umpamanya bagaimana hukum membakar harta anak yatim. Ketentuan yang jelas
dalamm alquran hanya larangan memakan harta anak yatim. Ketentuan jelas dalam
alquran hanya larangan memakan harta anak yatim secara aniaya, sedangkan hukum
membakarnya tidak ada. Karena semua orang itu tahu bahwa membakar dan memakan
harta itu sama dalam hal mengurangi atau menghilangkan harta anak yatim, maka
keduanya juga sama hukumnya yaitu haram. Cara ini kemudian disebut penggunaan
metode mafhum.
b. Dengan cara memahami alasan atau
illat yang terdapat dalam suatu kasus (kejadian) yang baru, kemudian
menghubungkannya kepada dalil nash yang memiliki alasan atau illat yang sama
dengan kasus tersebut. Cara ini kemudian disebut metode qiyas.[6]
E. Sebab-sebab Timbulnya Perbedaan
Pendapat Dalam Penetapan Hukum
Menurut Para ahli, timbulnya perbedaan pendapat di kalangan
sahabat disebabkan adanya beberapa faktor, setidaknya kita perlu mengatakan
lima persoalan mendasar yang menyebabkan beberapa ikhtilaf pada periode ini.
1) Perbedaan dalam memahami nash
al-Qur’an dan Hadits.
Perbedaan
seperti ini biasanya disebabkan karena tidak jelasnya batasan pengertian nash
dan perbedaan persepsi dikalangan sahabat seperti persoalan quru’, Adanya
aya-ayat ahkam yang musytarak, atau belum pasti pengertiannya (dzanni). Dalam
Surat Al baqarah : 228 memiliki dua pengertian. Menurut Zaid bin Tsabit, quru’
berarti suci, sementara Umar bin Khattab memahaminya sebagai Haidh.
2) Munculnya dua persoalan yang merujuk
pada dua nash saling berlawanan kesepakatan akhir dari para sahabat bahwa
masalah seperti ini harus melewati tiga tahapan, caranya mencari titik temu
antara dua nash tersebut, baru kemudian mencari dalil-dalil yang rnenguatkan
salah satu dari nash (at-Tarjih), dan jika kedua cara tersebut tidak
memungkinkan maka diterapkan teori nash.
3) Sebagian fuqaha dari kalangan
sahabat mengatakan bahwa suatu peristiwa berdasarkan pengetahuan dari sunnah,
sementara yang lain belum mendapatkannya atau menganggapnya tidak memenuhi
syarat untuk disebut sebagai hadits shahih. Pada masa ini terjadi seleksi yang
sangat ketat terhadap periwayatan hadits. Beberapa hadits yang dijadikan sebagai
sumber hukum oleh Sebagian fuqaha’ ditolak oleh fuqaha’ lain sebab berbagai
alasan. Selektifnya penerimaan periwayatan hadits ini diatur pihak dan
kecenderungan untuk mengamalkan hadits dilain pihak, terutama dikalangan ulama’
Madinah .
4) Perbedaan kaidah dan metode ijtihad
dari para sahabat.
Dari
perbedaan penggunaan kaidah dan metode ini muncul beberapa perbedaan pendapat
dalam suatu persoalan yang sama dan ini sangat memperkaya perbendaharaan fiqh
Islam.
5) Hal ini adalah yang terpenting, kebebasan
dan kesungguhan para sahabat periode Sahabat dalam melakukan ijtihad terhadap
berbagai masalah yang mereka hadapi. Kebebasan dan kesungguhan inilah yang
menjadi sumber konseptualisasi dan redinamisasi syariat periode ini.
6) Perbedaan mereka dalam menerima
hadits dari Rasulullah. Sebagian sahabat ada yang menerima hadits dengan jelas
dan cukup banyak, sementara yang lain hanya menerima sebagian saja. Hal ini
disebabkan karena kondisi tempat tinggal mereka. Bagi yang dekat dengan
Rasulullah, praktis mereka banyak menerima hadits, demikian sebaliknya.
Jadi dengan adanya faktor tersebut, maka munculah beberapa
fatwa diantara mereka, yang masing-masing mempunyai dalih dan argumentasi yang
berbeda. Akan tetapi, fatwa-fatwa pada waktu itu hanya terbatas pada
persoalan-¬persoalan tertentu yang mendesak saja. Perbedaan pendapat belum
begitu meluas, sebab problem hukum yang muncul saat itu masih relatif sedikit
ketimbang sesudahnya. Disamping konsensus mereka (ijma’) yang masih sangat
dimungkinkan. Diantara sahabat besar yang sangat menghindari ijtihad/ra’yu
adalah Ibnu Abbas Zubair, dan Abdulah bin Umar, Dan yang terkenal besar Ijtihad
adalah Umar Bin Khattab dan Abdullah bin Masud.
Diantara
para sahabat yang memegang peran penting dalam hukum pada masa ini adalah: Abu
Bakar, Umar bin Khattab, Utsman bin Affan, Ali bin Abi Thalib, Dzaid bin
Tsabit, Ubay Bin Ka’ab Abdulah bin Umar, Aisyah, isteri na
bi. Mereka
semua tinggal di Madinah, termasuk beberapa sahabat yang lain.
F. Contoh-contoh penerapan hukum
(Ijtihad) Para Sahabat
Para sahabat dalam mencari istimbat hukum pasti merujuk pada
Al-Qur’an dan Hadits. Akan tetapi permasalahan terjadi ketika dalam dua sumber
hukum ,tersebut tidak ada rujukan, sehingga para sahabat harus menggunakan
penalarannya, untuk memecahkan masalah yang sedang terjadi. Berikut ini
beberapa contoh penerapan hukum pada masa sahabat:
a.
Memerangi
orang yang tidak mau membayar zakat
Allah SWT. Dalam Al-Qur’an mewajibkan zakat. Nabi dalam
Sunnah-Nya menyebutkan bahwa zakat itu di ambil dari orang kaya dan diberikan
kepada orang miskin. Nabi disuruh Allah unutk mengambil harta zakat dari
umatnya (At-taubah:103). Cara yang dilakukan Nabi adalah cara yang bijaksana
sesuai dengan pesan Allah unutk berdakwah dengan cara bijaksana (An-nahl:125).
Atas kesadaran umat waktu itu, kewajiban zakat dapat terlaksana dengan baik.
Pada masa Abu Bakar menjadi khalifah, beliau melihat bahwa
pemungutan zakat secara lemah lembut seperti yang dilakukan Nabi tidak efektif
lagi karena adanya kecenderungan pembangkangan dari sebagian masyarakat
terhadap kewajiban membayar zakat. Karena itu Abu Bakar mengambil sikap yang
keras, bahkan menetapkan unutk memerangi orang-orang yang tidak mau membayar
kewajiban zakat. Dasar pemikiran Abu Bakar ialah bahwa menempuh sikap lemah
lembut sebagaimana dilakukan oleh Nabi, kewajiban membayar zakat tidak dapat
ditegakkan.
b. Larangan meminum khamar
Allah melarang meminum khamar bagi orang islam secara tegas
(Al-maidah:90) karena perbuatan tersebut merupakan dosa besar, maka Nabi
melalui ijtihadnya menetapkan sanki minum khamar, yaitu dera sebanyak 40 kali.
Pelaksanaan sanksi yang ditetpkan Nabi itu dapat menjerakan orang. Dengan
demikian tujuan larangan tercapai.
Pada masa Umar bin Khatab menjadi khalifah, kebiasaan minum
khamar waktu jahiliyah kmbuh lagi dikalangan orang islam dan sanksi dera 40
kali sudah kurang efektif sebagai alt penjera. Umar memikirkan cara unutk
mebuat orang jera minum khamar yang merupakan tujuan dari hukum. Dalam hal ini
Umar menetapkan sanksi minum khamar menjadi 80 kali dera, sehingga ornag
menjadi bertambah takut meminum khamar. Dengan demikian, sanksi yang ditetapan
Umar berbeda dengan yang ditetapkan Nabi sebelumnya, unutk mencapai tujuan
larangan, yaitu menjerakan berbuat kejahatan.[7]
c.
Penetapan
azan shalat jum’at dua kali
Pada masa Nabi, azan memberi tahu masuk waktu Jum’at
dilakukan satu kali, yaitu setelah khatib naik mimbar. Hal ini merupakan pemahaman
terhadap ayat 9 surat al-jumu’ah yang berbunyi:
$pkr'¯»t
tûïÏ%©!$# (#þqãZtB#uä
#sÎ) ÏqçR
Ío4qn=¢Á=Ï9 `ÏB
ÏQöqt ÏpyèßJàfø9$#
(#öqyèó$$sù 4n<Î)
Ì�ø.Ï «!$#
(#râsur yìøt7ø9$#
4 öNä3Ï9ºs
×ö�yz öNä3©9
bÎ) óOçGYä.
tbqßJn=÷ès? ÇÒ
BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
Khulafaurrasyidin ( masa sahabat ) adalah pewaris kepemimpinan
Islam setelah wafatnya Rasulullah Saw. Setelah Rasul Saw wafat para sahabat
berkedudukan sebagai musyar’i dalam istinbat suatu hukum yang tentunya dengan jalan
musyawarah seperti yang dilakukan Rasul dan mereka bertindak sebagai musyawirin
Rasul Saw.
Sahabat
juga merupakan generasi pertama islam yang mewarisi seluruh tradisi Nabi yang
terangkum dalam sunnah beliau disamping al-Qur’an sebagai pedoman hidup bagi
kaum muslimin. Namun, dalam perkembangan selanjutnya umat islam dihadapkan pada
persoalan-persoalan hukum yang baru dan tidak terdapat dalam al-Qur’an dan
Hadits. Sedangkan ketentuan hukum harus segera diputuskan, maka ijtihad yang
telah diajarkan kepada mereka menjadi peranan penting terhadap perkembangan
hukum selanjutnya.
Adapun sumber atau dalil hukum Islam yang digunakan
pada zaman sahabat adalah Al-Quran, Sunnah dan Ijtihad ( ra’yu ). Ijtihad yang
dilakukan ketika itu berbentuk kolektif, para sahabat berkumpul dan
memusyawarahkan hukum suatu kasus, hasil musyawarah sahabat disebut Ijma’.
Walaupun para sahabat melakukan musyawarah tetapi diantara mereka tetap terjadi
khilafiah dalam istinbat hukum.
Faktor yang mempengaruhi adalah sifat Al-Quran, dan
Sunnah serta perbedaan ra’yu. Disamping sosiokultur yang jelas sangat
mempengaruhi. Perkembangan tasyri’ pada masa Khulafaurrasyidin sangat hidup dan
semarak. Beberapa ikhtilaf mulai muncul meskipun lebih kecil disbanding
masa-masa berikutnya. Para sahabat Khulafaurrasyidin tidak menyikapi
hukum-hukum Islam secara ideal yang lepas dari konteks social, tetapi dimensi
social itu telah menyadarkan mereka untuk mencari jawaban-jawaban yang tepat
dan ideal terhadap berbagai problematika yang bermunculan.
DAFTAR PUSTAKA
Abdul Wahab Khallaf, Sejarah Hukum
Islam, Sebuah Ikhtisar dan Dokumentasinya, Darul-Kutub, Mesir : Marja, 2005.
Zainuddin Ali, Hukum Islam, Jakarta
: Sinar Grafika Ofset, 2006.
M. Hasbi Ash Shidiqi, Pengantar
Kebudayaan Islam, Jakarta : Bulan Bintang, 1967.
http://www.scribd.com/doc/24408760/Tasyri-Pada -Masa-Khulafaurrasyidi1, di akses pada tanggal 22 April 2014
http://www.scribd.com/doc/24408760/Tasyri-Pada -Masa-Khulafaurrasyidi1, di akses pada tanggal 22 April 2014
Jaih Mubarok, Sejarah dan
Perkembangan Hukum Islam, Bandung : Remaja Rosda Karya, 2000.
http://www.scribd.com/doc/24408760/Tasyri-Pada
-Masa-Khulafaurrasyidi1, di akses pada tanggal 22 April 2014
[4] .
http://www.scribd.com/doc/24408760/Tasyri-Pada -Masa-Khulafaurrasyidi1, di
akses pada tanggal 22 April 2014.
[5] .
Zainuddin Ali, Hukum Islam, (Jakarta : Sinar Grafika Ofset, 2006), 68
[7] .
http://www.scribd.com/doc/24408760/Tasyri-Pada -Masa-Khulafaurrasyidi1, di
akses pada tanggal 22 April 2014.
0 Response to "MAKALAH TASYRI MASA SAHABAT"
Post a Comment