Zakat Fitrah dan Saat Melakukannya


Zakat Fitrah dan Saat Melakukannya

D
I
S
U
S
U
N

Oleh:

 NAMA       :Irma Yusrina
                    Nurul Qamari
                    Mutiawati
                   Nurfajri
         
                                      DOSPEN  :Nasrun
.



   


SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM ALMUSLIM
BIREUEN PROVINSI ACEH

TAHUSN 2013






BAB I
PENDAHULUAN

A.    Latar Belakang

Zakat fitrah adalah mengeluarkan bahan makanan pokok dengan ukuran tertentu setelah terbenamnya matahari pada akhir bulan Ramadhan (malam 1 Syawwal) dengan syarat-syarat yang sudah ditentukan .Zakat fitrah diwajibkan ditahun kedua Hijriyah.Dasar wajib zakat fitrah:

 “Diriwayatkan dari Sayyidina Abdullah bin Umar, Sesungguhnya Rasulullah SAW mewajibkan zakat fitrah bulan Ramadhan berupa satu sho’ kurma atau satu sho’ gandum atas setiap orang muslim, merdeka atau budak, laki2 maupun perempuan“

            Penjelasan Hadis Diantara keistimewaan yang dimiliki oleh umat Muhammad adalah penyucian diri dari berbagai macam maksiat dan harapan diterimanya ibadah puasa sekaligus memberikan kenikmatan kepada fakir miskin, sebagaimana yang disabdakan rasulullah SAW dalam sebuah hadis “Jauhkanlah mereka dari kehinaan meminta-minta pada hari itu”Beliau juga bersabda, “Puasa Ramadhan itu tergantung antara langit dan bumi yang tidak diangkat kecuali Zakat fitrah”

            Zakat fitrah ini harus dibayarkan setiap orang yang mempunyai berlebihan dari apa yang yang dibutuhkan dirinya sendiri dan juga keluargana pada hari raya terbut. Jika mampu maka ia harus membayar zakat untuk dirinya dan juga orang-orang yang berada dibawah tanggungannya, baik itu isteri, anak, atau pelayan.

B.  Rumusan Masalah

1.      Apa Pengertian Zakat Fitrah ?
2.      Apa Rukun dan Syarat Zakat Fitrah ?
3.      Bagaimana Mengenai Waktu Pelaksanaan Zakat Fitrah ?




BAB II
PEMBAHASAN

A.    Pengertian Zakat Fitrah
              Betapa indahnya Islam memilih kalimat zakat untuk mengungkapkan hak harta yang wajib dibayarkan oleh orang yang kaya kepada orang yang miskin. Secara etimologi zakat berarti pensucian sebagai-mana firman Allah:
ôs% yxn=øùr& `tB $yg8©.y ÇÒÈ  
Artinya :”Sesungguhnya beruntunglah orang yang mensuci-kan jiwa itu”. (Asy-Syams: 9),
dan zakat berarti memuji dan menghargai seperti firman Allah:
            Zakat juga bermakna tumbuh dan bertambah sebagaimana dikatakan zakatuz zar’i artinya tatkala tum-buhan sedang tumbuh merekah dan bertambah. Semua makna di atas akan terlihat jelas tatkala seseorang telah menunaikan zakat sebagaimana yang akan kami jelas-kan dalam kitab ini.
            Ulama syari’ah menjelaskan bahwa yang dimak-sud dengan istilah zakat adalah hak yang berupa harta yang wajib ditunaikan dalam harta tertentu untuk diberikan kepada kelompok tertentu dan dalam waktu tertentu pula.
            Zakat adalah hak orang lain bukan pemberian dan karunia dari orang kaya kepada orang miskin. Zakat adalah hak harta yang wajib dibayarkan dan syari’at Islam telah mengkhususkan harta yang wajib dikeluar-kan serta kelompok orang yang berhak menerima zakat, juga menjelaskan secara jelas tentang waktu yang tepat untuk mengeluarkan kewajiban zakat
            Allah Ta’ala memberi dorongan untuk berzakat dengan firmanNya:
õè{ ô`ÏB öNÏlÎ;ºuqøBr& Zps%y|¹ öNèdãÎdgsÜè? NÍkŽÏj.tè?ur $pkÍ5 Èe@|¹ur öNÎgøn=tæ ( ¨bÎ) y7s?4qn=|¹ Ö`s3y öNçl°; 3 ....
Artinya :”Ambillah zakat dari sebagian harta mereka, dengan zakat itu kamu membersihkan dan mensuci-kan mereka.” (At-Taubah: 103)
            Dan dari hadits Rasulullah bahwa beliau bersabda: “Sesungguhnya Allah menerima sadaqah dan diambilnya dengan tangan kanan-Nya lalu dikem-bangkan untuk seseorang di antara kalian, seperti seseorang di antara kalian memelihara anak kuda yang dimilikinya, hingga sesuap makanan menjadi sebesar gunung Uhud”. (HR. Ahmad dan At-Tirmidzi, hadits ini dishahihkan oleh beliau dari Abu Hurai-rah) “Sesungguhnya Allah menerima sadaqah dan diambilnya dengan tangan kanan-Nya lalu dikem-bangkan untuk seseorang di antara kalian, seperti seseorang di antara kalian memelihara anak kuda yang dimilikinya, hingga sesuap makanan menjadi sebesar gunung Uhud”. (HR. Ahmad dan At-Tirmidzi, hadits ini dishahihkan oleh beliau dari Abu Hurai-rah).[1]
            Sebaliknya Allah memberi peringatan keras kepada orang-orang yang tidak menunaikan zakat dengan firman-Nya: “Dan orang-orang yang menyimpan emas dan perak dan tidak menafkahkannya pada jalan Allah, maka beritahukanlah kepada mereka, (bahwa mereka akan mendapat) siksa yang pedih pada hari dipanaskan emas perak itu dalam Neraka Jahannam, lalu dibakar dengannya dahi mereka, lambung dan punggung mereka (lalu dikatakan) kepada mereka: “Inilah harta bendamu yang kamu simpan untuk dirimu sendiri, maka rasakanlah sekarang akibat dari yang kamu simpan itu”. (At-Taubah: 34-35)
            Dan Rasulullah menjelaskan tentang bentuk siksa tersebut dalam haditsnya:
“Tidaklah seseorang yang memiliki simpanan harta lalu tidak mengeluarkan zakatnya melainkan akan dipanaskan dalam Neraka Jahannam, lalu dijadikan lempengan-lempengan yang akan disetrikakan di punggung dan dahinya hingga Allah memutuskan perkara di antara hamba-Nya pada suatu hari yang dihitung sehari sama dengan lima puluh ribu tahun”. (Muttafaq ‘alaih dari Abu Hurairah).
             Pedih dan beratnya siksaan itu dikarenakan hak-hak orang miskin yang tertahan sehingga mereka harus merasakan kepedihan dan kesengsaraan hidup akibat dari ulah orang-orang kaya yang menahan zakat. Islam tidak hanya memberi sanksi di akhirat bahkan di dunia Allah memerintahkan kepada negara untuk mengambil dengan paksa harta zakat dari mereka yang mengha-langi zakat. Dan di antara kelebihan negara Islam adalah nega-ra yang pertama kali dalam sejarah yang mengobarkan peperangan dalam rangka membela hak orang fakir miskin sebagaimana yang terjadi pada zaman pemerintahan Abu Bakar Ash-Shidiq dengan tegas beliau meme-rangi orang-orang yang menghalangi zakat.
Zakat adalah peraturan yang menjamin dan mem-berantas kesenjangan sosial yang tidak bisa hanya ditanggulangi dengan mengumpulkan sedekah per-orangan yang bersifat sunnah belaka. [2]
            Tujuan utama disyari’atkan zakat adalah untuk mengeluarkan orang-orang fakir dari kesulitan hidup yang melilit mereka menuju ke kemudahan hidup mereka sehingga mereka bisa mempertahankan kehidupannya dan tujuan ini tampak jelas pada kelompok penerima zakat dari kalangan gharim (orang terlilit hutang) dan ibnu sabil (orang yang sedang dalam bepergian kehabisan bekal). Zakat juga berfungsi sebagai pembersih hati bagi para penerima dari penyakit hasad dan dengki serta pembersih hati bagi pembayar zakat dari sifat bakhil dan kikir.

B.  Rukun  Zakan Fitrah

Rukun zakat fitrah adalah segala sesuatu yang harus ada dalam pelaksanaan zakat fitrah.
  • Rukun zakat fitrah adalah sebagai berikut : 
a) Niat untuk menunaikan zakat fitrah dengan ikhlas,semata-mata karena Allah swt.
b) Ada orang yang menunaikan zakat fitrah
c) Ada orang yangmenerima zakat fitrah
d) Ada barang atau makanan pokok yang dizakatkan

C. Syarat Wajib Zakat Fitrah
  • Syarat-syarat wajib zakat fitrah adalah sebagai berikut : 
a) Mempunyai kelebihan makanan pokok untuk dirinya dan keluarganya pada malam Hari Raya Idulfitri
b) Masih hidup saat terbenamnya matahari pada akhir bulan ramadahan
c) Beragama Islam,orang yang tidak beragama islam tidak wajib menunaikan zakat fitrah.Apabila dia menunaikan zakat fitrah ,tidak sah.[3]

D.Waktu Pelaksanaan Zakat Fitrah
Zakat fithri wajib ditunaikan sebelum pelaksanaan shalat ‘Iedul-Fithri.
عَنِ ابْنِ عُمَرَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَمَرَ بِزَكَاةِ الْفِطْرِ قَبْلَ خُرُوجِ النَّاسِ إِلَى الصَّلَاةِ
Dari Ibnu ‘Umar radliyallaahu ‘anhumaa : Bahwasannya Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan menunaikan zakat fithri sebelum orang-orang keluar melaksanakan shalat ‘Ied [Diriwayatkan oleh Al-Bukhaariy no. 1509, Muslim no. 986, Abu Daawud no. 1610, dan yang lainnya].
Barangsiapa yang menunaikan setelah pelaksanaan shalat, maka ia terhitung shadaqah biasa.

عَنْ ابْنِ عَبَّاسٍ، قَالَ: " فَرَضَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ زَكَاةَ الْفِطْرِ طُهْرَةً لِلصَّائِمِ مِنَ اللَّغْوِ وَالرَّفَثِ وَطُعْمَةً لِلْمَسَاكِينِ، مَنْ أَدَّاهَا قَبْلَ الصَّلَاةِ فَهِيَ زَكَاةٌ مَقْبُولَةٌ، وَمَنْ أَدَّاهَا بَعْدَ الصَّلَاةِ فَهِيَ صَدَقَةٌ مِنَ الصَّدَقَاتِ "
Dari Ibnu ‘Abbaas radliyallaahu ‘anhumaa, ia berkata : Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam telah mewajibkan zakat fithri sebagai pembersih bagi orang yang berpuasa dari perbuatan sia-sia dan kata-kata kotor, serta menjadi makanan bagi orang-orang miskin. Barangsiapa yang menunaikannya sebelum shalat (‘Ied), maka ia adalah zakat yang diterima. Dan barangsiapa yang menunaikannya setelah shalat (‘Ied), maka ia hanyalah shadaqah biasa” [Diriwayatkan oleh Abu Daawud no. 1609, Ibnu Majah no. 1827, Al-Haakim 1/409, dan yang lainnya. Dihasankan oleh Asy-Syaikh Al-Albaaniy dalam Shahiih Sunan Abi Daawud 1/447 dan Irwaaul-Ghaliil 3/332 no. 843].
Tentu saja, jika ia menyengaja membayarkan setelah usai shalat ‘Ied, ia berdosa karenanya.
            Para ulama berselisih pendapat, boleh tidaknya mempercepat pembayaran zakat fithri sebelum waktu di atas. Ibnu Hazm rahimahullah berpendapat tidak boleh mempercepat dari waktu asalnya. Adapun jumhur ulama memperbolehkannya, dan inilah yang kuat.
            Jumhur ulama kemudian berselisih pendapat berapa kadar mempercepat pembayaran zakat fithri tersebut.
1.     Madzhab Hanabilah.
Jumhur ulama madzhab Hanabilah berpendapat tidak boleh mempercepat lebih dari 2 hari (sebelum ‘Ied). Sebagian Hanaabilah membolehkan mempercepat setelah pertengahan Ramadlaan, sebagaimana dibolehkan mempercepat adzan Fajr dan berangkat dari Muzdalifah (menuju Mina) setelah pertengahan malam.
2.     Madzhab Maalikiyyah.
Ada dua pendapat yang beredar dalam kebolehan mempercepat sehari hingga tiga hari (ada yang membolehkan, ada pula yang tidak).
3.     Madzhab Asy-Syaafi’iyyah.
Jumhur membolehkan mempercepat mulai dari awal bulan Ramadlaan. Pendapat lain ada yang merincinya, yaitu boleh mempercepatnya mulai terbitnya fajar hari pertama bulan Ramadlaan hingga akhir bulan, namun tidak boleh membayarnya di waktu malam pertama hari pertama bulan Ramadlaan – karena waktu itu belum disyari’atkan untuk berpuasa. Pendapat lain, boleh mempercepat dalam seluruh waktu pada tahun tersebut (sepanjang tahun).
4.     Madzhab Al-Hanafiyyah.
Pendapat yang masyhur, mereka membolehkan mempercepat pembayaran dari awal haul. Dihikayatkan dari Ath-Thahawiy dan shahabat-shahabatnya bahwa mereka membolehkan mempercepat secara mutlak tanpa perincian. Abul-Hasan Al-Karjiy membolehkan mempercepat sehari atau dua hari (sebelum ‘Ied). Diriwayatkan dari Abu Haniifah bahwa ia membolehkan mempercepat satu tahun hingga dua tahun. Diriwayatkan dari Al-Hasan bin Ziyaad bahwa ia tidak membolehkan mempercepatnya.
[Diringkas dari Tharhut-Tatsriib oleh Al-‘Iraaqiy, 4/465-466].
Yang raajihwallaahu a’lam – adalah pendapat yang membolehkan mempercepat sehari hingga tiga hari, tidak boleh lebih dari itu. Dalilnya adalah :
عَنِ ابْنِ عُمَرَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا، قَالَ: " فَرَضَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ صَدَقَةَ الْفِطْرِ أَوْ قَالَ: رَمَضَانَ عَلَى الذَّكَرِ وَالْأُنْثَى وَالْحُرِّ وَالْمَمْلُوكِ صَاعًا مِنْ تَمْرٍ أَوْ صَاعًا مِنْ شَعِيرٍ، فَعَدَلَ النَّاسُ بِهِ نِصْفَ صَاعٍ مِنْ بُرٍّ "، فَكَانَ ابْنُ عُمَرَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا يُعْطِي التَّمْرَ فَأَعْوَزَ أَهْلُ الْمَدِينَةِ مِنَ التَّمْرِ فَأَعْطَى شَعِيرًا، فَكَانَ ابْنُ عُمَرَ يُعْطِي عَنِ الصَّغِيرِ، وَالْكَبِيرِ حَتَّى إِنْ كَانَ لِيُعْطِي عَنْ بَنِيَّ، وَكَانَ ابْنُ عُمَرَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا يُعْطِيهَا الَّذِينَ يَقْبَلُونَهَا، وَكَانُوا يُعْطُونَ قَبْلَ الْفِطْرِ بِيَوْمٍ أَوْ يَوْمَيْنِ
Dari Ibnu ‘Umar radliyallaahu ‘anhumaa, ia berkata : “Nabi shallallaahu 'alaihi wa sallam mewajibkan zakat fithri - atau zakat Ramadlaan -  bagi setiap laki-laki maupun wanita, orang merdeka maupun budak; berupa satu shaa' kurma atau satu shaa' gandum. Kemudian orang-orang menyamakannya dengan setengah shaa' burr”. (Naafi’ berkata) : Adalah Ibnu 'Umar radliyallaahu 'anhumaa (bila berzakat) dia memberikan kurma. Kemudian penduduk Madinah kesulitan mendapatkan kurma, akhirnya ia (Ibnu ‘Umar) memberikan gandum. Ibnu 'Umar radliyallaahu ‘anhumaa memberikan zakatnya dari anak kecil, orang dewasa, hingga bayi sekalipun. Dan Ibnu 'Umar radliyallaahu ‘anhumaa memberikan zakat fithri kepada orang-orang yang menerimanya (petugas zakat), dan mereka (petugas) memberikan zakat tersebut sehari atau dua hari sebelum ‘Iedul-Fithri” [Diriwayatkan oleh Al-Bukhaariy no. 1511].
Dalam riwayat Ibnu Khuzaimah :
قُلْتُ: مَتَى كَانَ ابْنُ عُمَرَ يُعْطِي الصَّاعَ؟ قَالَ: إِذَا قَعَدَ الْعَامِلُ، قُلْتُ: مَتَى كَانَ الْعَامِلُ يَقْعُدُ؟ قَالَ: قَبْلَ الْفِطْرِ بِيَوْمٍ أَوْ يَوْمَيْنِ
Aku (Ayyuub) berkata : “Kapan Ibnu ‘Umar memberikan shaa’ zakatnya ?”. Naafi’ berkata : “Apabila petugas pemungut zakat (‘aamil) telah duduk (bertugas)”. Aku berkata : “Kapankah petugas pemungut zakat duduk ?”. Ia menjawab : “Sehari atau dua hari sebelum ‘Iedul-Fithri” [Shahiih Ibni Khuzaimah no. 2421].
Atau bisa juga tiga hari sebelum ‘Ied :
عَنْ نَافِعٍ، أَنَّ عَبْدَ اللَّهِ بْنَ عُمَرَ كَانَ يَبْعَثُ بِزَكَاةِ الْفِطْرِ، إِلَى الَّذِي يُجْمَعُ عِنْدَهُ قَبْلَ الْفِطْرِ: بِيَوْمَيْنِ، أَوْ ثَلَاثَةٍ
Dari Naafi’ : Bahwasannya ‘Abdullah bin ‘Umar menyerahkan zakat Fithri kepada orang pengumpul zakat dua hari atau tiga hari sebelum ‘Ied [Diriwayatkan oleh Maalik dalam Al-Muwaththa’ 2/301-302 no. 684].
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ، قَالَ: وَكَّلَنِي رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بِحِفْظِ زَكَاةِ رَمَضَانَ، فَأَتَانِي آتٍ يَحْثُو مِنَ الطَّعَامِ، فَأَخَذْتُهُ فَقُلْتُ: لأَرْفَعَنَّكَ إِلَى رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: إِنِّي مُحْتَاجٌ وَعَلَيَّ عِيَالٌ وَبِي حَاجَةٌ شَدِيدَةٌ، فَخَلَّيْتُ عَنْهُ، فَلَمَّا أَصْبَحْتُ، قَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: " يَا أَبَا هُرَيْرَةَ، مَا فَعَلَ أَسِيرُكَ الْبَارِحَةَ؟..... فَرَصَدْتُهُ الثَّالِثَةَ فَجَاءَ يَحْثُو مِنَ الطَّعَامِ فَأَخَذْتُهُ.......
Dari Abu Hurairah radliyallaahu ‘anhu, ia berkata : “Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam pernah menugaskanku untuk menjaga (mengurus) zakat Ramadlaan (zakat fithri). Lalu seorang pendatang mendekatiku dan mengais-ngais makanan. Aku pun menangkapnya dan berkata kepadanya : “Demi Allah, sungguh aku akan hadapkan kamu kepada Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam”. Ia berkata : “Sesungguhnya aku adalah orang yang membutuhkan. Aku mempunyai keluarga yang mempunyai kebutuhan mendesak”. Akupun melepaskan orang itu. Pada pagi harinya, Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda : “Wahai Abu Hurairah, apa yang dilakukan tawananmu tadi malam ?”.….. Aku pun kembali mengintainya untuk yang ketiga kalinya (yaitu malam ketiga), (dan ternyata benar) ia datang mengais-ngais makanan, dan aku pun menangkapnya…..” [Diriwayatkan oleh Al-Bukhaariy no. 3275 & 5010, An-Nasaa’iy dalam Al-Kubraa no. 10729, Ibnu Khuzaimah no. 2269, dan yang lainnya].
Hadits di atas menunjukkan Abu Hurairah menjadi petugas zakat selama tiga hari sebelum akhirnya setan (jin) yang mencuri dilepaskan untuk yang terakhir kalinya.
Riwayat-riwayat di atas memberikan faedah pada kita sebagai berikut :
a.     Ibnu ‘Umar radliyallaahu ‘anhu membayarkan zakat fithri ketika petugas zakat telah mulai melaksanakan tugasnya.
b.     Ibnu ‘Umar radliyallaahu ‘anhu membayarkan zakat fithri sehari hingga tiga hari sebelum ‘Ied, pas ketika petugas zakat mulai melaksanakan tugasnya .
c.      Petugas zakat mulai membagikan zakat kepada orang yang berhak menerimanya  sehari begitu ada yang membayarkannya (yaitu sehari hingga tiga hari sebelum ‘Ied).
d.     Tidak ada aktivitas pembayaran zakat fithri – dan juga penyaluran kepada yang berhak – lebih dari tiga hari sebelum ‘Ied.
Inilah sunnah yang berlaku di jaman shahabat radliyallaahu ‘anhum.
Adapun pendapat yang membolehkan mempercepat lebih dari itu dengan mengqiyaskannya terhadap zakat maal, maka ini tertolak, karena zakat maal dibayarkan karena telah mencapai nishab dan satu haul. Adapun zakat fithri dibayarkan bukan berdasarkan nishab dan haul. Setiap muslim yang mempunyai kelebihan makanan pokok bagi dirinya dan orang-orang yang ditanggungnya untuk malam ‘Ied dan siangnya, menurut jumhur ulama, ia wajib mengeluarkan zakat fithri, baik ia miskin ataupun kaya.[4]
عَنْ مَعْمَرٍ، عَنِ الزُّهْرِيِّ، عَنِ الأَعْرَجِ، عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ، قَالَ: " كَانَ زَكَاةُ الْفِطْرِ عَلَى كُلِّ غَنِيٍّ وَفَقِيرٍ "
Dari Ma’mar, dari Az-Zuhriy, dari Al-A’raj, dari Abu Hurairah, ia berkata : “Zakat fithri wajib bagi setiap orang kaya dan miskin/faqir” [Diriwayatkan oleh ‘Abdurrazzaaq no. 5817; shahih].












                                                                                                          















BAB III
PENUTUP

Kesimpulan

        Membayar zakat itu berarti mensyukuri nikmat Allah. Nikmat yang disyukuri, dijanjikan oleh Allah akan ditambah.Kekayaan yang dikumpulkan oleh seseorang, belum tentu dari hasil jerih payah dan keringat sendiri, tapi bisa juga dari hasil tenaga para buruh yang bekerja padanya. Oleh karena itu ia harus membagi kekayaannya kepada fakir miskin dan asnaf lainnya.
        Zakat membuat hubungan antara si Kaya dan si Miskin jadi harmonis. Rukun dan saling membantu. Rasulullah bersabda : “Bukan golonganku orang (besar) yang tidak belas kasihan kepada orang kecil. dan juga bukan golonganku orang kecil yang tidak menghargai orang besar” Jadi zakat itu adalah uluran tangan orang besar kepada orang kecil atau miskin. Zakat mendidik orang jadi dermawan/pemurah. Manusia biasanya bersifat kikir padahal kikir itu dibenci Allah. Zakat menghindarkan kita dari sifat kikir.


















DAFTAR PUSTAKA


Kitab Hadits Bulughul Maram Min Adillatil Ahkam, Oleh : Al-Hafidz Ibnu Hajar Al- Ashqolani.
Saripatih Hadits al-Bukhari, Oleh: Mustafa Muhammad Imarah
Al Faridy, Hasan Rifa’i, Drs.,Panduan Zakat Praktis, Dompet Dhuafa Republia, 1996
Muhammad jawad Mugniyah, (1996). Fikih Lima Mazhab. Jakarta: Lentera.



[1] Kitab Hadits Bulughul Maram Min Adillatil Ahkam, Oleh : Al-Hafidz Ibnu Hajar Al- Ashqolani.
[2]. Saripatih Hadits al-Bukhari, Oleh: Mustafa Muhammad Imarah
[3] . Al Faridy, Hasan Rifa’i, Drs.,Panduan Zakat Praktis, Dompet Dhuafa Republia, 1996
              [4] . Muhammad jawad Mugniyah, (1996). Fikih Lima Mazhab. Jakarta: Lentera.


0 Response to "Zakat Fitrah dan Saat Melakukannya"

Post a Comment

Labels

Aceh ( 4 ) ARTIKEL ( 23 ) Bollywood ( 1 ) CERPEN ( 16 ) HABA ( 1 ) Hollywood ( 1 ) INDO ( 2 ) Makalah ( 97 ) Skript ( 1 ) SOSOK ( 10 ) Wisata ( 2 )