Zakat Fitrah dan Saat Melakukannya
Oleh:
NAMA
:Irma Yusrina
Nurul Qamari
Mutiawati
Nurfajri
DOSPEN :Nasrun
.
SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM ALMUSLIM
BIREUEN PROVINSI ACEH
TAHUSN 2013
BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar
Belakang
Zakat
fitrah adalah mengeluarkan bahan makanan pokok dengan ukuran tertentu setelah
terbenamnya matahari pada akhir bulan Ramadhan (malam 1 Syawwal) dengan syarat-syarat
yang sudah ditentukan .Zakat fitrah diwajibkan ditahun kedua Hijriyah.Dasar
wajib zakat fitrah:
“Diriwayatkan dari Sayyidina Abdullah bin Umar, Sesungguhnya Rasulullah SAW mewajibkan zakat fitrah bulan Ramadhan berupa satu sho’ kurma atau satu sho’ gandum atas setiap orang muslim, merdeka atau budak, laki2 maupun perempuan“
Penjelasan Hadis Diantara keistimewaan yang dimiliki oleh umat Muhammad adalah penyucian diri dari berbagai macam maksiat dan harapan diterimanya ibadah puasa sekaligus memberikan kenikmatan kepada fakir miskin, sebagaimana yang disabdakan rasulullah SAW dalam sebuah hadis “Jauhkanlah mereka dari kehinaan meminta-minta pada hari itu”Beliau juga bersabda, “Puasa Ramadhan itu tergantung antara langit dan bumi yang tidak diangkat kecuali Zakat fitrah”
Zakat fitrah ini harus dibayarkan setiap orang yang mempunyai berlebihan dari apa yang yang dibutuhkan dirinya sendiri dan juga keluargana pada hari raya terbut. Jika mampu maka ia harus membayar zakat untuk dirinya dan juga orang-orang yang berada dibawah tanggungannya, baik itu isteri, anak, atau pelayan.
B. Rumusan Masalah
1. Apa Pengertian Zakat Fitrah ?
2. Apa Rukun dan Syarat Zakat Fitrah ?
3. Bagaimana Mengenai Waktu Pelaksanaan
Zakat Fitrah ?
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Pengertian Zakat Fitrah
Betapa
indahnya Islam memilih kalimat zakat untuk mengungkapkan hak harta yang wajib
dibayarkan oleh orang yang kaya kepada orang yang miskin. Secara etimologi
zakat berarti pensucian sebagai-mana firman Allah:
ôs% yxn=øùr& `tB $yg8©.y ÇÒÈ
Artinya :”Sesungguhnya beruntunglah
orang yang mensuci-kan jiwa itu”. (Asy-Syams: 9),
dan zakat berarti memuji dan menghargai seperti firman Allah:
dan zakat berarti memuji dan menghargai seperti firman Allah:
Zakat
juga bermakna tumbuh dan bertambah sebagaimana dikatakan zakatuz zar’i artinya
tatkala tum-buhan sedang tumbuh merekah dan bertambah. Semua makna di atas akan
terlihat jelas tatkala seseorang telah menunaikan zakat sebagaimana yang akan kami
jelas-kan dalam kitab ini.
Ulama
syari’ah menjelaskan bahwa yang dimak-sud dengan istilah zakat adalah hak yang berupa
harta yang wajib ditunaikan dalam harta tertentu untuk diberikan kepada
kelompok tertentu dan dalam waktu tertentu pula.
Zakat
adalah hak orang lain bukan pemberian dan karunia dari orang kaya kepada orang
miskin. Zakat adalah hak harta yang wajib dibayarkan dan syari’at Islam telah
mengkhususkan harta yang wajib dikeluar-kan serta kelompok orang yang berhak
menerima zakat, juga menjelaskan secara jelas tentang waktu yang tepat untuk
mengeluarkan kewajiban zakat
Allah
Ta’ala memberi dorongan untuk berzakat dengan firmanNya:
õè{ ô`ÏB öNÏlÎ;ºuqøBr& Zps%y|¹ öNèdãÎdgsÜè? NÍkÏj.tè?ur $pkÍ5 Èe@|¹ur öNÎgøn=tæ ( ¨bÎ) y7s?4qn=|¹ Ö`s3y öNçl°; 3 ....
Artinya :”Ambillah zakat dari
sebagian harta mereka, dengan zakat itu kamu membersihkan dan mensuci-kan
mereka.” (At-Taubah: 103)
Dan
dari hadits Rasulullah bahwa beliau bersabda: “Sesungguhnya Allah menerima
sadaqah dan diambilnya dengan tangan kanan-Nya lalu dikem-bangkan untuk
seseorang di antara kalian, seperti seseorang di antara kalian memelihara anak
kuda yang dimilikinya, hingga sesuap makanan menjadi sebesar gunung Uhud”. (HR.
Ahmad dan At-Tirmidzi, hadits ini dishahihkan oleh beliau dari Abu Hurai-rah)
“Sesungguhnya Allah menerima sadaqah dan diambilnya dengan tangan kanan-Nya
lalu dikem-bangkan untuk seseorang di antara kalian, seperti seseorang di
antara kalian memelihara anak kuda yang dimilikinya, hingga sesuap makanan
menjadi sebesar gunung Uhud”. (HR. Ahmad dan At-Tirmidzi, hadits ini
dishahihkan oleh beliau dari Abu Hurai-rah).[1]
Sebaliknya
Allah memberi peringatan keras kepada orang-orang yang tidak menunaikan zakat
dengan firman-Nya: “Dan orang-orang yang menyimpan emas dan perak dan tidak
menafkahkannya pada jalan Allah, maka beritahukanlah kepada mereka, (bahwa
mereka akan mendapat) siksa yang pedih pada hari dipanaskan emas perak itu
dalam Neraka Jahannam, lalu dibakar dengannya dahi mereka, lambung dan punggung
mereka (lalu dikatakan) kepada mereka: “Inilah harta bendamu yang kamu simpan
untuk dirimu sendiri, maka rasakanlah sekarang akibat dari yang kamu simpan
itu”. (At-Taubah: 34-35)
Dan Rasulullah menjelaskan tentang bentuk siksa tersebut dalam haditsnya:
“Tidaklah seseorang yang memiliki simpanan harta lalu tidak mengeluarkan zakatnya melainkan akan dipanaskan dalam Neraka Jahannam, lalu dijadikan lempengan-lempengan yang akan disetrikakan di punggung dan dahinya hingga Allah memutuskan perkara di antara hamba-Nya pada suatu hari yang dihitung sehari sama dengan lima puluh ribu tahun”. (Muttafaq ‘alaih dari Abu Hurairah).
Dan Rasulullah menjelaskan tentang bentuk siksa tersebut dalam haditsnya:
“Tidaklah seseorang yang memiliki simpanan harta lalu tidak mengeluarkan zakatnya melainkan akan dipanaskan dalam Neraka Jahannam, lalu dijadikan lempengan-lempengan yang akan disetrikakan di punggung dan dahinya hingga Allah memutuskan perkara di antara hamba-Nya pada suatu hari yang dihitung sehari sama dengan lima puluh ribu tahun”. (Muttafaq ‘alaih dari Abu Hurairah).
Pedih dan beratnya siksaan itu dikarenakan
hak-hak orang miskin yang tertahan sehingga mereka harus merasakan kepedihan
dan kesengsaraan hidup akibat dari ulah orang-orang kaya yang menahan zakat.
Islam tidak hanya memberi sanksi di akhirat bahkan di dunia Allah memerintahkan
kepada negara untuk mengambil dengan paksa harta zakat dari mereka yang
mengha-langi zakat. Dan di antara kelebihan negara Islam adalah nega-ra yang
pertama kali dalam sejarah yang mengobarkan peperangan dalam rangka membela hak
orang fakir miskin sebagaimana yang terjadi pada zaman pemerintahan Abu Bakar
Ash-Shidiq dengan tegas beliau meme-rangi orang-orang yang menghalangi zakat.
Zakat adalah peraturan yang menjamin dan mem-berantas kesenjangan sosial yang tidak bisa hanya ditanggulangi dengan mengumpulkan sedekah per-orangan yang bersifat sunnah belaka. [2]
Zakat adalah peraturan yang menjamin dan mem-berantas kesenjangan sosial yang tidak bisa hanya ditanggulangi dengan mengumpulkan sedekah per-orangan yang bersifat sunnah belaka. [2]
Tujuan
utama disyari’atkan zakat adalah untuk mengeluarkan orang-orang fakir dari
kesulitan hidup yang melilit mereka menuju ke kemudahan hidup mereka sehingga
mereka bisa mempertahankan kehidupannya dan tujuan ini tampak jelas pada
kelompok penerima zakat dari kalangan gharim (orang terlilit hutang) dan ibnu
sabil (orang yang sedang dalam bepergian kehabisan bekal). Zakat juga berfungsi
sebagai pembersih hati bagi para penerima dari penyakit hasad dan dengki serta
pembersih hati bagi pembayar zakat dari sifat bakhil dan kikir.
B. Rukun Zakan Fitrah
Rukun zakat fitrah adalah segala sesuatu yang harus ada dalam pelaksanaan zakat fitrah.
Rukun zakat fitrah adalah segala sesuatu yang harus ada dalam pelaksanaan zakat fitrah.
- Rukun zakat fitrah adalah
sebagai berikut :
a) Niat untuk menunaikan zakat fitrah dengan
ikhlas,semata-mata karena Allah swt.
b) Ada orang yang menunaikan zakat fitrah
c) Ada orang yangmenerima zakat fitrah
d) Ada barang atau makanan pokok yang dizakatkan
C. Syarat Wajib Zakat Fitrah
- Syarat-syarat wajib zakat
fitrah adalah sebagai berikut :
a) Mempunyai kelebihan makanan pokok untuk dirinya dan
keluarganya pada malam Hari Raya Idulfitri
b) Masih hidup saat terbenamnya matahari pada akhir bulan
ramadahan
c) Beragama Islam,orang yang tidak beragama islam tidak
wajib menunaikan zakat fitrah.Apabila dia menunaikan zakat fitrah ,tidak sah.[3]
D.Waktu Pelaksanaan Zakat Fitrah
Zakat
fithri wajib ditunaikan sebelum pelaksanaan shalat ‘Iedul-Fithri.
عَنِ ابْنِ عُمَرَ رَضِيَ اللَّهُ
عَنْهُمَا أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَمَرَ بِزَكَاةِ
الْفِطْرِ قَبْلَ خُرُوجِ النَّاسِ إِلَى الصَّلَاةِ
Dari Ibnu ‘Umar radliyallaahu
‘anhumaa : Bahwasannya Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan
menunaikan zakat fithri sebelum orang-orang keluar melaksanakan shalat ‘Ied
[Diriwayatkan oleh Al-Bukhaariy no. 1509, Muslim no. 986, Abu Daawud no. 1610,
dan yang lainnya].
عَنْ ابْنِ عَبَّاسٍ، قَالَ: "
فَرَضَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ زَكَاةَ الْفِطْرِ
طُهْرَةً لِلصَّائِمِ مِنَ اللَّغْوِ وَالرَّفَثِ وَطُعْمَةً لِلْمَسَاكِينِ، مَنْ
أَدَّاهَا قَبْلَ الصَّلَاةِ فَهِيَ زَكَاةٌ مَقْبُولَةٌ، وَمَنْ أَدَّاهَا بَعْدَ
الصَّلَاةِ فَهِيَ صَدَقَةٌ مِنَ الصَّدَقَاتِ "
Dari Ibnu ‘Abbaas radliyallaahu
‘anhumaa, ia berkata : Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam
telah mewajibkan zakat fithri sebagai pembersih bagi orang yang berpuasa dari
perbuatan sia-sia dan kata-kata kotor, serta menjadi makanan bagi orang-orang
miskin. Barangsiapa yang menunaikannya sebelum shalat (‘Ied), maka ia
adalah zakat yang diterima. Dan barangsiapa yang menunaikannya setelah shalat (‘Ied),
maka ia hanyalah shadaqah biasa” [Diriwayatkan oleh Abu Daawud no. 1609, Ibnu
Majah no. 1827, Al-Haakim 1/409, dan yang lainnya. Dihasankan oleh Asy-Syaikh
Al-Albaaniy dalam Shahiih Sunan Abi Daawud 1/447 dan Irwaaul-Ghaliil 3/332
no. 843].
Tentu saja, jika ia menyengaja
membayarkan setelah usai shalat ‘Ied, ia berdosa karenanya.
Para
ulama berselisih pendapat, boleh tidaknya mempercepat pembayaran zakat fithri
sebelum waktu di atas. Ibnu Hazm rahimahullah berpendapat tidak boleh
mempercepat dari waktu asalnya. Adapun jumhur ulama memperbolehkannya, dan
inilah yang kuat.
Jumhur
ulama kemudian berselisih pendapat berapa kadar mempercepat pembayaran zakat
fithri tersebut.
1. Madzhab Hanabilah.
Jumhur ulama madzhab Hanabilah
berpendapat tidak boleh mempercepat lebih dari 2 hari (sebelum ‘Ied). Sebagian
Hanaabilah membolehkan mempercepat setelah pertengahan Ramadlaan, sebagaimana
dibolehkan mempercepat adzan Fajr dan berangkat dari Muzdalifah (menuju Mina)
setelah pertengahan malam.
2. Madzhab Maalikiyyah.
Ada dua pendapat yang beredar dalam
kebolehan mempercepat sehari hingga tiga hari (ada yang membolehkan, ada pula
yang tidak).
3. Madzhab Asy-Syaafi’iyyah.
Jumhur membolehkan mempercepat mulai
dari awal bulan Ramadlaan. Pendapat lain ada yang merincinya, yaitu boleh mempercepatnya
mulai terbitnya fajar hari pertama bulan Ramadlaan hingga akhir bulan, namun
tidak boleh membayarnya di waktu malam pertama hari pertama bulan Ramadlaan –
karena waktu itu belum disyari’atkan untuk berpuasa. Pendapat lain, boleh
mempercepat dalam seluruh waktu pada tahun tersebut (sepanjang tahun).
4. Madzhab Al-Hanafiyyah.
Pendapat yang masyhur, mereka
membolehkan mempercepat pembayaran dari awal haul. Dihikayatkan dari
Ath-Thahawiy dan shahabat-shahabatnya bahwa mereka membolehkan mempercepat
secara mutlak tanpa perincian. Abul-Hasan Al-Karjiy membolehkan mempercepat
sehari atau dua hari (sebelum ‘Ied). Diriwayatkan dari Abu Haniifah bahwa ia
membolehkan mempercepat satu tahun hingga dua tahun. Diriwayatkan dari Al-Hasan
bin Ziyaad bahwa ia tidak membolehkan mempercepatnya.
[Diringkas dari Tharhut-Tatsriib
oleh Al-‘Iraaqiy, 4/465-466].
Yang raajih – wallaahu
a’lam – adalah pendapat yang membolehkan mempercepat sehari hingga tiga
hari, tidak boleh lebih dari itu. Dalilnya adalah :
عَنِ ابْنِ عُمَرَ رَضِيَ اللَّهُ
عَنْهُمَا، قَالَ: " فَرَضَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
صَدَقَةَ الْفِطْرِ أَوْ قَالَ: رَمَضَانَ عَلَى الذَّكَرِ وَالْأُنْثَى
وَالْحُرِّ وَالْمَمْلُوكِ صَاعًا مِنْ تَمْرٍ أَوْ صَاعًا مِنْ شَعِيرٍ، فَعَدَلَ
النَّاسُ بِهِ نِصْفَ صَاعٍ مِنْ بُرٍّ "، فَكَانَ ابْنُ عُمَرَ رَضِيَ
اللَّهُ عَنْهُمَا يُعْطِي التَّمْرَ فَأَعْوَزَ أَهْلُ الْمَدِينَةِ مِنَ
التَّمْرِ فَأَعْطَى شَعِيرًا، فَكَانَ ابْنُ عُمَرَ يُعْطِي عَنِ الصَّغِيرِ،
وَالْكَبِيرِ حَتَّى إِنْ كَانَ لِيُعْطِي عَنْ بَنِيَّ، وَكَانَ ابْنُ عُمَرَ
رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا يُعْطِيهَا الَّذِينَ يَقْبَلُونَهَا، وَكَانُوا
يُعْطُونَ قَبْلَ الْفِطْرِ بِيَوْمٍ أَوْ يَوْمَيْنِ
Dari Ibnu ‘Umar radliyallaahu
‘anhumaa, ia berkata : “Nabi shallallaahu 'alaihi wa sallam mewajibkan
zakat fithri - atau zakat Ramadlaan - bagi setiap laki-laki maupun
wanita, orang merdeka maupun budak; berupa satu shaa' kurma atau satu shaa'
gandum. Kemudian orang-orang menyamakannya dengan setengah shaa' burr”.
(Naafi’ berkata) : Adalah Ibnu 'Umar radliyallaahu 'anhumaa (bila
berzakat) dia memberikan kurma. Kemudian penduduk Madinah kesulitan mendapatkan
kurma, akhirnya ia (Ibnu ‘Umar) memberikan gandum. Ibnu 'Umar radliyallaahu
‘anhumaa memberikan zakatnya dari anak kecil, orang dewasa, hingga bayi sekalipun.
Dan Ibnu 'Umar radliyallaahu ‘anhumaa memberikan zakat fithri kepada
orang-orang yang menerimanya (petugas zakat), dan mereka (petugas) memberikan
zakat tersebut sehari atau dua hari sebelum ‘Iedul-Fithri” [Diriwayatkan oleh
Al-Bukhaariy no. 1511].
Dalam riwayat Ibnu Khuzaimah :
قُلْتُ: مَتَى كَانَ ابْنُ عُمَرَ
يُعْطِي الصَّاعَ؟ قَالَ: إِذَا قَعَدَ الْعَامِلُ، قُلْتُ: مَتَى كَانَ
الْعَامِلُ يَقْعُدُ؟ قَالَ: قَبْلَ الْفِطْرِ بِيَوْمٍ أَوْ يَوْمَيْنِ
Aku (Ayyuub) berkata : “Kapan Ibnu
‘Umar memberikan shaa’ zakatnya ?”. Naafi’ berkata : “Apabila petugas
pemungut zakat (‘aamil) telah duduk (bertugas)”. Aku berkata : “Kapankah
petugas pemungut zakat duduk ?”. Ia menjawab : “Sehari atau dua hari sebelum
‘Iedul-Fithri” [Shahiih Ibni Khuzaimah no. 2421].
Atau bisa juga tiga hari sebelum
‘Ied :
عَنْ نَافِعٍ، أَنَّ عَبْدَ اللَّهِ
بْنَ عُمَرَ كَانَ يَبْعَثُ بِزَكَاةِ الْفِطْرِ، إِلَى الَّذِي يُجْمَعُ عِنْدَهُ
قَبْلَ الْفِطْرِ: بِيَوْمَيْنِ، أَوْ ثَلَاثَةٍ
Dari Naafi’ : Bahwasannya ‘Abdullah
bin ‘Umar menyerahkan zakat Fithri kepada orang pengumpul zakat dua hari atau
tiga hari sebelum ‘Ied [Diriwayatkan oleh Maalik dalam Al-Muwaththa’ 2/301-302
no. 684].
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللَّهُ
عَنْهُ، قَالَ: وَكَّلَنِي رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
بِحِفْظِ زَكَاةِ رَمَضَانَ، فَأَتَانِي آتٍ يَحْثُو مِنَ الطَّعَامِ،
فَأَخَذْتُهُ فَقُلْتُ: لأَرْفَعَنَّكَ إِلَى رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: إِنِّي مُحْتَاجٌ وَعَلَيَّ عِيَالٌ وَبِي حَاجَةٌ
شَدِيدَةٌ، فَخَلَّيْتُ عَنْهُ، فَلَمَّا أَصْبَحْتُ، قَالَ النَّبِيُّ صَلَّى
اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: " يَا أَبَا هُرَيْرَةَ، مَا فَعَلَ أَسِيرُكَ
الْبَارِحَةَ؟..... فَرَصَدْتُهُ الثَّالِثَةَ فَجَاءَ يَحْثُو مِنَ الطَّعَامِ
فَأَخَذْتُهُ.......
Dari Abu Hurairah radliyallaahu
‘anhu, ia berkata : “Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam
pernah menugaskanku untuk menjaga (mengurus) zakat Ramadlaan (zakat fithri).
Lalu seorang pendatang mendekatiku dan mengais-ngais makanan. Aku pun menangkapnya
dan berkata kepadanya : “Demi Allah, sungguh aku akan hadapkan kamu kepada
Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam”. Ia berkata :
“Sesungguhnya aku adalah orang yang membutuhkan. Aku mempunyai keluarga yang
mempunyai kebutuhan mendesak”. Akupun melepaskan orang itu. Pada pagi harinya,
Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda : “Wahai Abu
Hurairah, apa yang dilakukan tawananmu tadi malam ?”.….. Aku pun kembali
mengintainya untuk yang ketiga kalinya (yaitu malam ketiga), (dan ternyata
benar) ia datang mengais-ngais makanan, dan aku pun menangkapnya…..”
[Diriwayatkan oleh Al-Bukhaariy no. 3275 & 5010, An-Nasaa’iy dalam Al-Kubraa
no. 10729, Ibnu Khuzaimah no. 2269, dan yang lainnya].
Hadits di atas menunjukkan Abu
Hurairah menjadi petugas zakat selama tiga hari sebelum akhirnya setan (jin)
yang mencuri dilepaskan untuk yang terakhir kalinya.
Riwayat-riwayat di atas memberikan
faedah pada kita sebagai berikut :
a. Ibnu ‘Umar radliyallaahu ‘anhu
membayarkan zakat fithri ketika petugas zakat telah mulai melaksanakan
tugasnya.
b. Ibnu ‘Umar radliyallaahu ‘anhu
membayarkan zakat fithri sehari hingga tiga hari sebelum ‘Ied, pas ketika
petugas zakat mulai melaksanakan tugasnya .
c. Petugas zakat mulai membagikan zakat
kepada orang yang berhak menerimanya sehari begitu ada yang
membayarkannya (yaitu sehari hingga tiga hari sebelum ‘Ied).
d. Tidak ada aktivitas pembayaran zakat
fithri – dan juga penyaluran kepada yang berhak – lebih dari tiga hari sebelum
‘Ied.
Inilah sunnah yang berlaku di jaman
shahabat radliyallaahu ‘anhum.
Adapun pendapat yang membolehkan
mempercepat lebih dari itu dengan mengqiyaskannya terhadap zakat maal,
maka ini tertolak, karena zakat maal dibayarkan karena telah mencapai
nishab dan satu haul. Adapun zakat fithri dibayarkan bukan berdasarkan nishab
dan haul. Setiap muslim yang mempunyai kelebihan makanan pokok bagi dirinya dan
orang-orang yang ditanggungnya untuk malam ‘Ied dan siangnya, menurut jumhur
ulama, ia wajib mengeluarkan zakat fithri, baik ia miskin ataupun kaya.[4]
عَنْ مَعْمَرٍ، عَنِ الزُّهْرِيِّ،
عَنِ الأَعْرَجِ، عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ، قَالَ: " كَانَ زَكَاةُ الْفِطْرِ
عَلَى كُلِّ غَنِيٍّ وَفَقِيرٍ "
Dari Ma’mar, dari Az-Zuhriy, dari
Al-A’raj, dari Abu Hurairah, ia berkata : “Zakat fithri wajib bagi setiap orang
kaya dan miskin/faqir” [Diriwayatkan oleh ‘Abdurrazzaaq no. 5817; shahih].
BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
Membayar zakat itu berarti mensyukuri
nikmat Allah. Nikmat yang disyukuri, dijanjikan oleh Allah akan ditambah.Kekayaan
yang dikumpulkan oleh seseorang, belum tentu dari hasil jerih payah dan
keringat sendiri, tapi bisa juga dari hasil tenaga para buruh yang bekerja
padanya. Oleh karena itu ia harus membagi kekayaannya kepada fakir miskin dan
asnaf lainnya.
Zakat
membuat hubungan antara si Kaya dan si Miskin jadi harmonis. Rukun dan saling
membantu. Rasulullah bersabda : “Bukan golonganku orang (besar) yang tidak
belas kasihan kepada orang kecil. dan juga bukan golonganku orang kecil yang
tidak menghargai orang besar” Jadi zakat itu adalah uluran tangan orang besar kepada
orang kecil atau miskin. Zakat mendidik orang jadi dermawan/pemurah. Manusia
biasanya bersifat kikir padahal kikir itu dibenci Allah. Zakat menghindarkan
kita dari sifat kikir.
DAFTAR
PUSTAKA
Kitab Hadits Bulughul Maram Min
Adillatil Ahkam, Oleh : Al-Hafidz Ibnu Hajar Al- Ashqolani.
Saripatih Hadits al-Bukhari, Oleh: Mustafa Muhammad Imarah
Saripatih Hadits al-Bukhari, Oleh: Mustafa Muhammad Imarah
Al Faridy, Hasan Rifa’i,
Drs.,Panduan Zakat Praktis, Dompet Dhuafa Republia, 1996
Muhammad
jawad Mugniyah, (1996). Fikih Lima Mazhab. Jakarta: Lentera.
0 Response to "Zakat Fitrah dan Saat Melakukannya"
Post a Comment