ALIRAN JABARIYAH DAN QADARIYAH
Oleh:
NAMA
:Agussalim
Zulfikar
Aslam
Musa Asyari
Zakaria
DOSPEN :H. Achtiar Lc.
.
SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM ALMUSLIM
BIREUEN PROVINSI ACEH
TAHUSN 2013
BAB I
PENDAHULUAN
A.Latar Belakang
Persoalan
Iman (aqidah) agaknya merupakan aspek utama dalam ajaran Islam yang didakwahkan
oleh Nabi Muhammad. Pentingnnya masalah aqidah ini dalam ajaran Islam tampak
jelas pada misi pertama dakwah Nabi ketika berada di Mekkah. Pada periode
Mekkah ini, persoalan aqidah memperoleh perhatian yang cukup kuat dibanding
persoalan syari’at, sehingga tema sentral dari ayat-ayat al-Quran yang turun
selama periode ini adalah ayat-ayat yang menyerukan kepada masalah keimanan.[1]
Berbicara
masalah aliran pemikiran dalam Islam berarti berbicara tentang Ilmu Kalam.
Kalam secara harfiah berarti “kata-kata”. Kaum teolog Islam berdebat dengan
kata-kata dalam mempertahankan pendapat dan pemikirannya sehingga teolog
disebut sebagai mutakallim yaitu ahli debat yang pintar mengolah kata. Ilmu
kalam juga diartikan sebagai teologi Islam atau ushuluddin, ilmu yang membahas
ajaran-ajaran dasar dari agama. Mempelajari teologi akan memberi seseorang
keyakinan yang mendasar dan tidak mudah digoyahkan. Munculnya perbedaan antara
umat Islam. Perbedaan yang pertama muncul dalam Islam bukanlah masalah teologi
melainkan di bidang politik. Akan tetapi perselisihan politik ini, seiring
dengan perjalanan waktu, meningkat menjadi persoalan teologi.[2]
Perbedaan
teologis di kalangan umat Islam sejak awal memang dapat mengemuka dalam bentuk
praktis maupun teoritis. Secara teoritis, perbedaan itu demikian tampak melalui
perdebatan aliran-aliran kalam yang muncul tentang berbagai persoalan. Tetapi
patut dicatat bahwa perbedaan yang ada umumnya masih sebatas pada aspek
filosofis diluar persoalan keesaan Allah, keimanan kepada para rasul, para
malaikat, hari akhir dan berbagai ajaran nabi yang tidak mungkin lagi ada
peluang untuk memperdebatkannya. Misalnya tentang kekuasaan Allah dan kehendak
manusia, kedudukan wahyu dan akal, keadilan Tuhan. Perbedaan itu kemudian
memunculkan berbagai macam aliran, yaitu Mu'tazilah, Syiah, Khawarij, Jabariyah
dan Qadariyah serta aliran-aliran lainnya.
Makalah
ini akan mencoba menjelaskan aliran Jabariyah dan Qadariyah. Dalam makalah ini
penulis hanya menjelaskan secara singkat dan umum tentang aliran Jabariyah dan
Qadariyah. Mencakup di dalamnya adalah latar belakang lahirnya sebuah aliran
dan ajaran-ajarannya secara umum.
B.
Rumusan Masalah
1. Bagaimana latar belakang lahirnya aliran
Jabariyah ?
2. Bagaimana latar belakang lahirnya
aliran Qadariyah ?
3. Apa Refleksi aliran Jabariyah dan
Qadariyah ?
BAB II
PEMBAHASAN
1.
Aliran Jabariyah
(Fatalism/Presditinason)
A. Latar Belakang Lahirnya Jabariyah
Secara
bahasa Jabariyah berasal dari kata jabara yang mengandung pengertian memaksa.
Di dalam kamus Munjid dijelaskan bahwa nama Jabariyah berasal dari kata jabara
yang mengandung arti memaksa dan mengharuskannya melakukan sesuatu. Salah satu
sifat dari Allah adalah al-Jabbar yang berarti Allah Maha Memaksa. Sedangkan
secara istilah Jabariyah adalah menolak adanya perbuatan dari manusia dan
menyandarkan semua perbuatan kepada Allah. Dengan kata lain adalah manusia
mengerjakan perbuatan dalam keadaan terpaksa (majbur).[3]
Menurut
Harun Nasution Jabariyah adalah paham yang menyebutkan bahwa segala perbuatan
manusia telah ditentukan dari semula oleh Qadha dan Qadar Allah. Maksudnya
adalah bahwa setiap perbuatan yang dikerjakan manusia tidak berdasarkan
kehendak manusia, tapi diciptakan oleh Tuhan dan dengan kehendak-Nya, di sini
manusia tidak mempunyai kebebasan dalam berbuat, karena tidak memiliki
kemampuan. Ada yang mengistilahlkan bahwa Jabariyah adalah aliran manusia
menjadi wayang dan Tuhan sebagai dalangnya.[4]
Adapun
mengenai latar belakang lahirnya aliran Jabariyah tidak adanya penjelelasan
yang sarih. Abu Zahra menuturkan bahwa paham ini muncul sejak zaman sahabat dan
masa Bani Umayyah. Ketika itu para ulama membicarakan tentang masalah Qadar dan
kekuasaan manusia ketika berhadapan dengan kekuasaan mutlak Tuhan.[5]
Adapaun tokoh yang mendirikan aliran ini menurut Abu Zaharah dan al-Qasimi
adalah Jahm bin Safwan, yang bersamaan dengan munculnya aliran Qadariayah.
Pendapat
yang lain mengatakan bahwa paham ini diduga telah muncul sejak sebelum agama
Islam datang ke masyarakat Arab. Kehidupan bangsa Arab yang diliputi oleh gurun
pasir sahara telah memberikan pengaruh besar dalam cara hidup mereka. Di tengah
bumi yang disinari terik matahari dengan air yang sangat sedikit dan udara yang
panas ternyata dapat tidak memberikan kesempatan bagi tumbuhnya pepohonan dan
suburnya tanaman, tapi yang tumbuh hanya rumput yang kering dan beberapa pohon
kuat untuk menghadapi panasnya musim serta keringnya udara.[6]
Harun
Nasution menjelaskan bahwa dalam situasi demikian masyarakat arab tidak melihat
jalan untuk mengubah keadaan disekeliling mereka sesuai dengan kehidupan yang
diinginkan. Mereka merasa lemah dalam menghadapi kesukaran-kesukaran hidup.
Artinya mereka banyak tergantung dengan Alam, sehingga menyebabakan mereka
kepada paham fatalisme.[7]
Terlepas
dari perbedaan pendapat tentang awal lahirnya aliran ini, dalam Alquran sendiri
banyak terdapat ayat-ayat yeng menunjukkan tentang latar belakang lahirnya
paham Jabariyah, diantaranya:
a.
QS ash-Shaffat: 96
وَاللَّهُ
خَلَقَكُمْ وَمَا تَعْمَلُونَ
Artinya: “Padahal Allah-lah yang
menciptakan kamu dan apa yang kamu perbuat itu".
b. QS al-Anfal: 17
b. QS al-Anfal: 17
Artinya: “Maka (yang sebenarnya) bukan kamu yang membunuh mereka, akan tetapi Allahlah yang membunuh mereka, dan bukan kamu yang melempar ketika kamu melempar, tetapi Allah-lah yang melempar. (Allah berbuat demikian untuk membinasakan mereka) dan untuk memberi kemenangan kepada orang-orang mukmin, dengan kemenangan yang baik. Sesungguhnya Allah Maha mendengar lagi Maha mengetahui.”
c. QS al-Insan: 30
Artinya : “Dan kamu tidak mampu (menempuh jalan itu), kecuali bila dikehendaki Allah. Sesungguhnya Allah adalah Maha mengetahui lagi Maha Bijaksana.”
Selain
ayat-ayat Alquran di atas benih-benih faham al-Jabar juga dapat dilihat dalam
beberapa peristiwa sejarah:
a.
Suatu ketika Nabi menjumpai sahabatnya yang sedang bertengkar dalam masalah
Takdir Tuhan, Nabi melarang mereka untuk memperdebatkan persoalan tersebut,
agar terhindar dari kekeliruan penafsiran tentang ayat-ayat Tuhan mengenai
takdir.
b.
Khalifah Umar bin al-Khaththab pernah menangkap seorang pencuri. Ketika
diintrogasi, pencuri itu berkata "Tuhan telah menentukan aku
mencuri". Mendengar itu Umar kemudian marah sekali dan menganggap orang
itu telah berdusta. Oleh karena itu Umar memberikan dua jenis hukuman kepada
orang itu, yaitu: hukuman potongan tangan karena mencuri dan hukuman dera
karena menggunakan dalil takdir Tuhan.
c.
Ketika Khalifah Ali bin Abu Thalib ditanya tentang qadar Tuhan dalam kaitannya
dengan siksa dan pahala. Orang tua itu bertanya,"apabila perjalanan
(menuju perang siffin) itu terjadi dengan qadha dan qadar Tuhan, tidak ada
pahala sebagai balasannya. Kemudian Ali menjelaskannya bahwa Qadha dan Qadha
Tuhan bukanlah sebuah paksaan. Pahala dan siksa akan didapat berdasarkan atas
amal perbuatan manusia. Kalau itu sebuah paksaan, maka tidak ada pahala dan
siksa, gugur pula janji dan ancaman Allah, dan tidak pujian bagi orang yang
baik dan tidak ada celaan bagi orang berbuat dosa.
d.
Adanya paham Jabar telah mengemuka kepermukaan pada masa Bani Umayyah yang tumbuh
berkembang di Syiria.[8]
Di samping
adanya bibit pengaruh faham jabar yang telah muncul dari pemahaman terhadap
ajaran Islam itu sendiri. Ada sebuah pandangan mengatakan bahwa aliran Jabar
muncul karena adanya pengaruh dari dari pemikriran asing, yaitu pengaruh agama
Yahudi bermazhab Qurra dan agama Kristen bermazhab Yacobit.[9]
Dengan
demikian, latar belakang lahirnya aliran Jabariyah dapat dibedakan kedalam dua
factor, yaitu factor yang berasal dari pemahaman ajaran-ajaran Islam yang
bersumber dari Alquran dan Sunnah, yang mempunyai paham yang mengarah kepada
Jabariyah. Lebih dari itu adalah adanya pengaruh dari luar Islam yang ikut andil
dalam melahirkan aliran ini.
Adapun
yang menjadi dasar munculnya paham ini adalah sebagai reaksi dari tiga perkara:
pertama, adanya paham Qadariyah, keduanya, telalu tekstualnya pamahaman agama
tanpa adanya keberanian menakwilkan dan ketiga adalah adanya aliran salaf yang
ditokohi Muqatil bin Sulaiman yang berlebihan dalam menetapkan sifat-sifat
Tuhan sehingga membawa kepada Tasybih.[10]
B. Ajaran-ajaran Jabariyah
Adapun
ajaran-ajaran Jabariyah dapat dibedakan menjadi dua kelompok, yaitu ekstrim dan
moderat.
Pertama,
aliran ekstrim. Di antara tokoh adalah Jahm bin Shofwan dengan pendapatnya
adalah bahwa manusia tidak mempu untuk berbuat apa-apa. Ia tidak mempunyai
daya, tidak mempunyai kehendak sendiri, dan tidak mempunyai pilihan. Pendapat
Jahm tentang keterpaksaan ini lebih dikenal dibandingkan dengan pendapatnya
tentang surga dan neraka, konsep iman, kalam Tuhan, meniadakan sifat Tuhan, dan
melihat Tuhan di akherat. Surga dan nerka tidak kekal, dan yang kekal hanya
Allah. Sedangkan iman dalam pengertianya adalah ma'rifat atau membenarkan
dengan hati, dan hal ini sama dengan konsep yang dikemukakan oleh kaum Murjiah.
Kalam Tuhan adalah makhluk. Allah tidak mempunyai keserupaan dengan manusia
seperti berbicara, mendengar, dan melihat, dan Tuhan juga tidak dapat dilihat
dengan indera mata di akherat kelak.[11]
Aliran ini dikenal juga dengan nama al-Jahmiyyah atau Jabariyah Khalisah.[12]
Ja'ad bin
Dirham, menjelaskan tentang ajaran pokok dari Jabariyah adalah Alquran adalah
makhluk dan sesuatu yang baru dan tidak dapat disifatkan kepada Allah. Allah
tidak mempunyai sifat yang serupa dengan makhluk, seperti berbicara, melihat
dan mendengar. Manusia terpaksa oleh Allah dalam segala hal.[13]
Dengan
demikian ajaran Jabariyah yang ekstrim mengatakan bahwa manusia lemah, tidak
berdaya, terikat dengan kekuasaan dan kehendak Tuhan, tidak mempunyai kehendak
dan kemauan bebas sebagaimana dimilki oleh paham Qadariyah. Seluruh tindakan
dan perbuatan manusia tidak boleh lepas dari scenario dan kehendak Allah.
Segala akibat, baik dan buruk yang diterima oleh manusia dalam perjalanan
hidupnya adalah merupakan ketentuan Allah.
Kedua,
ajaran Jabariyah yang moderat adalah Tuhan menciptakan perbuatan manusia, baik
itu positif atau negatif, tetapi manusia mempunyai bagian di dalamnya. Tenaga
yang diciptakan dalam diri manusia mempunyai efek untuk mewujudkan
perbuatannya. Manusia juga tidak dipaksa, tidak seperti wayang yang
dikendalikan oleh dalang dan tidak pula menjadi pencipta perbuatan, tetapi
manusia memperoleh perbuatan yang diciptakan tuhan. Tokoh yang berpaham seperti
ini adalah Husain bin Muhammad an-Najjar yang mengatakan bahwa Tuhan
menciptakan segala perbuatan manusia, tetapi manusia mengambil bagian atau peran
dalam mewujudkan perbuatan-perbuatan itu dan Tuhan tidak dapat dilihat di
akherat. Sedangkan adh-Dhirar (tokoh jabariayah moderat lainnya) pendapat bahwa
Tuhan dapat saja dilihat dengan indera keenam dan perbuatan dapat ditimbulkan
oleh dua pihak.[14]
2. Aliran Qadariyah ( Free Will And Free Act)
A. Latar Belakang Lahirnya Aliran Qadariyah
Pengertian
Qadariyah secara etomologi, berasal dari bahasa Arab, yaitu qadara yang bemakna
kemampuan dan kekuatan. Adapun secara termenologi istilah adalah suatu aliran yang
percaya bahwa segala tindakan manusia tidak diinrvensi oleh Allah.
Aliran-aliran ini berpendapat bahwa tiap-tiap orang adalah pencipta bagi segala
perbuatannya, ia dapat berbuat sesuatu atau meninggalkannya atas kehendaknya
sendiri. Aliran ini lebih menekankan atas kebebasan dan kekuatan manusia dalam
mewujudkan perbutan-perbutannya. Harun Nasution menegaskan bahwa aliran ini
berasal dari pengertian bahwa manusia mempunyai kekuatan untuk melaksanakan
kehendaknya, dan bukan berasal dari pengertian bahwa manusia terpaksa tunduk
pada qadar Tuhan.[15]
Menurut
Ahmad Amin sebagaimana dikutip oleh Hadariansyah, orang-orang yang berpaham
Qadariyah adalah mereka yang mengatakan bahwa manusia memiliki kebebasan
berkehendak dan memiliki kemampuan dalam melakukan perbuatan. Manusia mampu
melakukan perbuatan, mencakup semua perbuatan, yakni baik dan buruk.[16]
Sejarah
lahirnya aliran Qadariyah tidak dapat diketahui secara pasti dan masih
merupakan sebuah perdebatan. Akan tetepi menurut Ahmad Amin, ada sebagian pakar
teologi yang mengatakan bahwa Qadariyah pertama kali dimunculkan oleh Ma’bad
al-Jauhani dan Ghilan ad-Dimasyqi sekitar tahun 70 H/689M.[17]
Ibnu
Nabatah menjelaskan dalam kitabnya, sebagaimana yang dikemukakan oleh Ahmad
Amin, aliran Qadariyah pertama kali dimunculkan oleh orang Irak yang pada
mulanya beragama Kristen, kemudian masuk Islam dan kembali lagi ke agama
Kristen. Namanya adalah Susan, demikian juga pendapat Muhammad Ibnu Syu’ib.
Sementara W. Montgomery Watt menemukan dokumen lain yang menyatakan bahwa paham
Qadariyah terdapat dalam kitab ar-Risalah dan ditulis untuk Khalifah Abdul
Malik oleh Hasan al-Basri sekitar tahun 700M.[18]
Ditinjau
dari segi politik kehadiran mazhab Qadariyah sebagai isyarat menentang politik
Bani Umayyah, karena itu kehadiran Qadariyah dalam wilayah kekuasaanya selalu
mendapat tekanan, bahkan pada zaman Abdul Malik bin Marwan pengaruh Qadariyah
dapat dikatakan lenyap tapi hanya untuk sementara saja, sebab dalam
perkembangan selanjutnya ajaran Qadariyah itu tertampung dalam Muktazilah.[19]
B.
Ajaran-ajaran Qadariyah
Harun
Nasution menjelaskan pendapat Ghalian tentang ajaran Qadariyah bahwa manusia
berkuasa atas perbuatan-perbutannya. Manusia sendirilah yang melakukan
perbuatan baik atas kehendak dan kekuasaan sendiri dan manusia sendiri pula
yang melakukan atau menjauhi perbuatan-perbutan jahat atas kemauan dan dayanya
sendiri. Tokoh an-Nazzam menyatakan bahwa manusia hidup mempunyai daya, dan
dengan daya itu ia dapat berkuasa atas segala perbuatannya.[20]
Dengan
demikian bahwa segala tingkah laku manusia dilakukan atas kehendaknya sendiri.
Manusia mempunyai kewenangan untuk melakukan segala perbuatan atas kehendaknya
sendiri, baik berbuat baik maupun berbuat jahat. Oleh karena itu, ia berhak
mendapatkan pahala atas kebaikan yang dilakukannya dan juga berhak pula
memperoleh hukuman atas kejahatan yang diperbuatnya. Ganjaran kebaikan di sini
disamakan dengan balasan surga kelak di akherat dan ganjaran siksa dengan
balasan neraka kelak di akherat, itu didasarkan atas pilihan pribadinya
sendiri, bukan oleh takdir Tuhan. Karena itu sangat pantas, orang yang berbuat
akan mendapatkan balasannya sesuai dengan tindakannya.[21][22]
Faham
takdir yang dikembangkan oleh Qadariyah berbeda dengan konsep yang umum yang
dipakai oleh bangsa Arab ketika itu, yaitu paham yang mengatakan bahwa nasib
manusia telah ditentukan terlebih dahulu. Dalam perbuatannya, manusia hanya
bertindak menurut nasib yang telah ditentukan sejak azali terhadap dirinya.
Dengan demikian takdir adalah ketentuan Allah yang diciptakan-Nya bagi alam
semesta beserta seluruh isinya, sejak azali, yaitu hokum yang dalam istilah
Alquran adalah sunnatullah.
Secara alamiah sesungguhnya manusia telah memiliki takdir yang tidak dapat diubah. Manusia dalam demensi fisiknya tidak dapat bebruat lain, kecuali mengikuti hokum alam. Misalnya manusia ditakdirkan oleh Tuhan tidak mempunyai sirip seperti ikan yang mampu berenang di lautan lepas. Demikian juga manusia tidak mempunyai kekuatan seperti gajah yang mampu membawa barang seratus kilogram.
Secara alamiah sesungguhnya manusia telah memiliki takdir yang tidak dapat diubah. Manusia dalam demensi fisiknya tidak dapat bebruat lain, kecuali mengikuti hokum alam. Misalnya manusia ditakdirkan oleh Tuhan tidak mempunyai sirip seperti ikan yang mampu berenang di lautan lepas. Demikian juga manusia tidak mempunyai kekuatan seperti gajah yang mampu membawa barang seratus kilogram.
Dengan
pemahaman seperti ini tidak ada alasan untuk menyandarkan perbuatan kepada
Allah. Di antara dalil yang mereka gunakan adalah banyak ayat-ayat Alquran yang
berbicara dan mendukung paham itu :
Artinya :
“Kerjakanlah apa yang kamu kehendaki sesungguhnya Ia melihat apa yang kamu perbuat”.
(QS. Fush-Shilat : 40).
Artinya :
“Katakanlah kebenaran dari Tuhanmu, barang siapa yang mau beriman maka
berimanlah dan barang siapa yang mau kafir maka kafirlah”. (QS. Al-Kahfi : 29).
Artinya :
“dan mengapa ketika kamu ditimpa musibah (pada peperangan Uhud), Padahal kamu
telah menimpakan kekalahan dua kali lipat kepada musuh-musuhmu (pada peperangan
Badar), kamu berkata: "Darimana datangnya (kekalahan) ini?"
Katakanlah: "Itu dari (kesalahan) dirimu sendiri". Sesungguhnya Allah
Maha Kuasa atas segala sesuatu”. (QS.Ali Imran :165)
Artinya : “Sesungguhnya Allah tidak merobah Keadaan sesuatu kaum sehingga mereka merobah keadaan[Tuhan tidak akan merobah Keadaan mereka, selama mereka tidak merobah sebab-sebab kemunduran mereka.] yang ada pada diri mereka sendiri”. (QS.Ar-R’d :11)
3.Refleksi Faham Qadariyah dan Jabariyah :
Sebuah Perbandingan tentang Musibah
Dalam
paham Jabariyah, berkaitan dengan perbuatannya, manusia digambarkan bagai kapas
yang melayang di udara yang tidak memiliki sedikit pun daya untuk menentukan
gerakannya yang ditentukan dan digerakkan oleh arus angin. Sedang yang berpaham
Qadariyah akan menjawab, bahwa perbuatan manusia ditentukan dan dikerjakan oleh
manusia, bukan Allah. Dalam paham Qadariyah, berkaitan dengan perbuatannya,
manusia digambarkan sebagai berkuasa penuh untuk menentukan dan mengerjakan
perbuatannya.
Pada
perkembangan selanjutnya, paham Jabariyah disebut juga sebagai paham
tradisional dan konservatif dalam Islam dan paham Qadariyah disebut juga
sebagai paham rasional dan liberal dalam Islam. Kedua paham teologi Islam
tersebut melandaskan diri di atas dalil-dalil naqli (agama) - sesuai pemahaman
masing-masing atas nash-nash agama (Alquran dan hadits-hadits Nabi Muhammad) -
dan aqli (argumen pikiran). Di negeri-negeri kaum Muslimin, seperti di
Indonesia, yang dominan adalah paham Jabariyah. Orang Muslim yang berpaham
Qadariyah merupakan kalangan yang terbatas atau hanya sedikit dari mereka.
Kedua
paham itu dapat dicermati pada suatu peristiwa yang menimpa dan berkaitan
dengan perbuatan manusia, misalnya, kecelakaan pesawat terbang. Bagi yang
berpaham Jabariyah biasanya dengan enteng mengatakan bahwa kecelakaan itu sudah
kehendak dan perbuatan Allah. Sedang, yang berpaham Qadariyah condong mencari
tahu di mana letak peranan manusia pada kecelakaan itu.
Kedua
paham teologi Islam tersebut membawa efek masing-masing. Pada paham Jabariyah
semangat melakukan investigasi sangat kecil, karena semua peristiwa dipandang
sudah kehendak dan dilakukan oleh Allah. Sedang, pada paham Qadariyah, semangat
investigasi amat besar, karena semua peristiwa yang berkaitan dengan peranan
(perbuatan) manusia harus dipertanggungjawabkan oleh manusia melalui suatu
investigasi.
Dengan demikian, dalam paham Qadariyah, selain manusia dinyatakan sebagai makhluk yang merdeka, juga adalah makhluk yang harus bertanggung jawab atas perbuatannya. Posisi manusia demikian tidak terdapat di dalam paham Jabariyah. Akibat dari perbedaan sikap dan posisi itu, ilmu pengetahuan lebih pasti berkembang di dalam paham Qadariyah ketimbang Jabariyah.
Dengan demikian, dalam paham Qadariyah, selain manusia dinyatakan sebagai makhluk yang merdeka, juga adalah makhluk yang harus bertanggung jawab atas perbuatannya. Posisi manusia demikian tidak terdapat di dalam paham Jabariyah. Akibat dari perbedaan sikap dan posisi itu, ilmu pengetahuan lebih pasti berkembang di dalam paham Qadariyah ketimbang Jabariyah.
Dalam
hal musibah gempa dan tsunami baru-baru ini, karena menyikapinya sebagai
kehendak dan perbuatan Allah, bagi yang berpaham Jabariyah, sudah cukup bila
tindakan membantu korban dan memetik "hikmat" sudah dilakukan.
Sedang
hikmat yang dimaksud hanya berupa pengakuan dosa-dosa dan hidup selanjutnya
tanpa mengulangi dosa-dosa. Sedang bagi yang berpaham Qadariyah, meski gempa
dan tsunami tidak secara langsung menunjuk perbuatan manusia, namun mengajukan
pertanyaan yang harus dijawab : adakah andil manusia di dalam
"mengganggu" ekosistem kehidupan yang menyebabkan alam
"marah" dalam bentuk gempa dan tsunami? Untuk itu, paham Qadariyah
membenarkan suatu investigasi (pencaritahuan), misalnya, dengan memotret lewat
satelit kawasan yang dilanda musibah.
BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
Menurut penulis solusi terhadap pandangan aliran Jabariyah dan Qodariyah yaitu bahwa manusia benar-benar memiliki kebebasan berkehendak dan karenanya ia akan dimintai pertanggungjawaban atas keputusannya, meskipun demikian keputusan tersebut pada dasarnya merupakan pemenuhan takdir (ketentuan) yang telah ditentukan. Dengan kata lain, kebebasan berkehendak manusia tidak dapat tercapai tanpa campur tangan Allah SWT, seperti seseorang yang ingin membuat meja, kursi atau jendela tidak akan tercapai tanpa adanya kayu sementara kayu tersebut yang membuat adalah Allah SWT. Dalam masalah Iman dan Kufur ajaran Jabariyah yang begitu lemah tetap bisa diberlakukan secara temporal, terutama dalam langkah awal menyampaikan dakwah Islam sehingga dapat merangkul berbagai golongan Islam yang masih memerlukan pengayoman. Di samping itu pendapat-pendapat Jabariyah sebenarnya didasarkan karena kuatnya iman terhadap qudrot dan irodat Allah SWT, ditambah pula dengan sifat wahdaniat-Nya.
Menurut penulis solusi terhadap pandangan aliran Jabariyah dan Qodariyah yaitu bahwa manusia benar-benar memiliki kebebasan berkehendak dan karenanya ia akan dimintai pertanggungjawaban atas keputusannya, meskipun demikian keputusan tersebut pada dasarnya merupakan pemenuhan takdir (ketentuan) yang telah ditentukan. Dengan kata lain, kebebasan berkehendak manusia tidak dapat tercapai tanpa campur tangan Allah SWT, seperti seseorang yang ingin membuat meja, kursi atau jendela tidak akan tercapai tanpa adanya kayu sementara kayu tersebut yang membuat adalah Allah SWT. Dalam masalah Iman dan Kufur ajaran Jabariyah yang begitu lemah tetap bisa diberlakukan secara temporal, terutama dalam langkah awal menyampaikan dakwah Islam sehingga dapat merangkul berbagai golongan Islam yang masih memerlukan pengayoman. Di samping itu pendapat-pendapat Jabariyah sebenarnya didasarkan karena kuatnya iman terhadap qudrot dan irodat Allah SWT, ditambah pula dengan sifat wahdaniat-Nya.
Sementara
bagi Qodariyah manusia adalah pelaku kebaikan dan juga keburukan, keimanan dan
juga kekufuran, ketaatan dan juga ketidaktaatan. Dari keterangan ajaran-ajaran
Jabariyah dan Qodariyah tersebut di atas yang terpenting harus kita pahami
bahwa mereka (Jabariyah dan Qodariyah) mengemukakan alasan-alasan dan
dalil-dalil serta pendapat yang demikian itu dengan maksud untuk menghindarkan
diri dari bahaya yang akan menjerumuskan mereka ke dalam kesesatan beragama dan
mencapai kemuliaan dan kesucian Allah SWT dengan sesempurna-sempurnanya.
Penghindaran itu pun tidak mutlak dan tidak selama-lamanya, bahkan jika
dirasanya akan berbahaya pula, mereka pun tentu akan mencari jalan dan
dalil-dalil lain yang lebih tepat. Demikian makalah dari kami yang berjudul
“Jabariyah dan Qodariyah” kritik dan saran yang konstruktif sangat kami
harapkan demi perbaikan di masa mendatang.
Sebagai
penutup dalam makalah ini. Kedua aliran, baik Qadariyah ataupun Jabariyah nampaknya
memperlihatkan paham yang saling bertentangan sekalipun mereka sama-sama
berpegang pada Alquran. Hal ini menunjukkan betapa terbukanya kemungkinan
perbedaan pendapat dalam Islam.
DAFTAR PUSTAKA
Anwar, Rosihan, Ilmu Kalam, (Bandung: Puskata Setia, 2006), cet ke-2
Asmuni, Yusran, Dirasah Islamiyah: Pengantar Studi Sejarah Kebudayaan Islam
dan Pemikiran, (Jakarta: Raja
Grafindo Persada, 1996)
al-Qaththan, Manna Khalil, Studi Ilmu-ilmu Alqur'an, diterjemahkan dari
"Mabahits fi Ulum al-Qur'an. (Jakarta: Litera AntarNusa, 2004)
asy-Syahrastani, Muhammad ibn Abd al-Karim, al-Milal wa an-Nihal,
(Beirut-Libanon: Dar al-Kurub al-'Ilmiyah, t.th)
Daudy, Ahmad, Kuliah Ilmu Kalam, (Jakarta: Bulan Bintang, 1997)
Hadariansyah, AB, Pemikiran-pemikiran Teologi dalam Sejarah Pemikiran Islam,
(Banjarmasin: Antasari Press, 2008)
Maghfur, Muhammad, Koreksi atas Pemikiran Kalam dan Filsafat Islam, (Bangil:
al-Izzah, 2002)
Nasution, Harun, Teologi Islam: Aliran-aliran Sejarah Analisa Perbandingan,
(Jakarta: UI-Press, 1986), cet ke-5
an-Nasyar, Ali Syami, Nasy'at al-Fikr al-Falsafi fi al-Islam, (Cairo: Dar
al-Ma'arif, 1977)
Nata, Abudin, Ilmu Kalam, Filsafat dan Tasawuf, (Jakarta: Raja Grafindo
Persada, 1998)
Tim,
Enseklopedi Islam, "Jabariyah" (Jakarta: Ikhtiar Baru Van Hoeve, 1997
[1] . Manna Khalil al-Qaththan, Studi Ilmu-ilmu Alqur'an,
diterjemahkan dari "Mabahits fi Ulum al-Qur'an. (Jakarta: Litera
AntarNusa, 2004), h. 86
[2] .
Harun Nasution, Teologi Islam: Aliran-aliran Sejarah Analisa Perbandingan,
(Jakarta: UI-Press, 1986), cet ke-5, h. 1
[10] . Ali Syami an-Nasyar, Nasy'at al-Fikr al-Falsafi fi al-Islam,
(Cairo: Dar al-Ma'arif, 1977), h. 335
[11] . Rosihan Anwar, Ilmu Kalam., h. 67-68; Lihat juga
Hadariansyah, Pemikiran-pemikiran Teologi dalam Sejarah Islam, (Banjarmasin: Antasari Press, 2008), h. 79-80
[12] . Lihat asy-Syahrastani, Al-Milal wa an-Nihal,
(Beirut-Libanon: Dar al-Kurub al-'Ilmiyah, t.th);
[14] . Abudin Nata, Ilmu Kalam, Filsafat dan Tasawuf, (Jakarta:
Raja Grafindo Persada, 1998), h. 41-42; Yusran Asmuni, Dirasah Islamiyah:
Pengantar Studi Sejarah Kebudayaan Islam dan Pemikiran, (Jakarta: Raja Grafindo
Persada, 1996), h. 75
[15] . Rosihan Anwar, Ilmu Kalam., h. 70; Abudin Nata, Ilmu Kalam.,
h. 36; Hadariansyah,Pemikiran-pemikiran Teologi..,h.68
0 Response to "ALIRAN JABARIYAH DAN QADARIYAH"
Post a Comment