PENDIDIKAN SURAU
Oleh:
Kelompok 6
Nama :Amirullah
M. Haris
Ida Ismi
DOSPEN
:Nasrun. S.Ag, MA
.
SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM ALMUSLIM
BIREUEN PROVINSI ACEH
TAHUSN 2013
BAB I
PENDAHULUAN
A. Pendahuluan
Sejak Islam masuk ke Indonesia pada
abad VII M dan berkembang pesat pada abad XIII M dengan munculnya sejumlah
kerajaan Islam, pendidikan Islam pun berkembang mengikuti irama dan dinamika
perkembangan Islam tersebut. Dimana pun ada komunitas muslimin, disana ada
aktifitas pendidikan Islam yang dilaksanakan sesuai dengan kondisi dan situasi
ditempat mereka berada.
Pada masa awal perkembangan Islam,
tentu saja pendidikan formal yang sistematis belum terselenggara. Pendidikan
yang berlangsung dapat dikatakan umumnya bersifat informal, dan lebih berkait
dengan upaya-upaya dakwah Islamiyah, penyebaran, penanaman dasar-dasar
kepercayaan, dan ibadah Islam. Dalam kaitan itulah bisa dipahami kenapa proses
dakwah Islamiyah berlangsung secara bertahap, mulai dari yang amat sederhana,
sampai dengan tahap-tahap yang sudah terhitung modern dan lengkap. Dimulai
dakwah Islamiyah dari rumah-rumah, tetapi ketika masyarakat islam telah
terbentuk maka pendidikan diselenggarakan di masjid dan surau-surau. Proses pendidikan
pada kedua tempat ini dilakukan dalam halaqah atau lingkaran belajar.
Dari situlah semacam proses pendidikan
dan pengajaran Islam dirintis meskipun dimulai dalam bentuk yang sangat
sederhana, dan diikuti dengan penyampaian materi yang pertama kali yaitu
kalimat syahadat. Demikian diketahui praktisnya pendidikan Islam di surau atau
langgar, sehingga dalam arti yang sederhana dapat dikatakan sebagai lembaga
pendidikan formal dan sekaligus lembaga pendidikan sosial.
B. Rumusan
Masalah
1. Bagaimana
Sejarah dan gambaran Pendidikan Surau ?
2. Bagaimana
perkembangan dan Karakteristik
pendidikan Surau ?
3. Bagaimana
literature dan medernisasi Surau ?
BAB
II
PEMBAHASAN
A. Sejarah
Dan Gambaran Awal Surau
Kata surau adalah istilah Melayu-Indonesia dimana istilah ini banyak
digunakan di Minangkabau, Sumatra Selatan, Semenanjung Malaysia, Sumatra
Tengah, dan Patani (Thailand Selatan). Secara bahasa surau adalah tempat
penyembahan, dan menurut pengertian asalnya surau adalah bangunan kecil yang
dibangun untuk penyembahan arwah nenek moyang. Istilah surau itu merupakan
warisan dari agama Hindu-Budha atau para leluhur mereka yang menganut animisme,
dinamisme ataupun politeisme. Dengan datangnya Islam, surau juga mengalami
proses Islamisasi, tanpa harus mengalami perubahan nama.
Sebutan surau biasanya dikonotasikan dengan istilah langgar atau mushalla.
Meskipun secara substantif term tersebut tidak sepenuhnya bisa disamakan begitu
saja. Karena dari segi kelahiran, surau muncul jauh sebelum langgar atau
mushalla berdiri. Penggunaan istilah langgar biasanya digunakan shalat dan
mengaji bagi kaum muslim di Jawa. Setelah melaksanakan ibadah shalat, para
jama’ah melanjutkan dengan membaca Al-Qur’an bersama yang dipimpin imam (guru)
yang ditunjuk sebagai pendidik di surau.[1]
Dalam
sejarah surau selain sebagai tempat ibadah, dakwah dan media berkumpul umat,
surau disinyalir sebagai salah satu institusi pendidikan Islam pertama di
Minangkabau Sumatera Barat. Surau memiliki peranan penting dalam gelombang
pertama pembaharuan Islam di Minangkabau sejak akhir abad 18.[2]Seruan
kembali kepada syari’ah yang bergema di kalangan pengikut tarekat di Timur
Tengah dan anak benua India, juga menemukan momentumnya dikalangan surau.[3]
Di Malaysia khususnya Kelantan, surau adalah pusat ritual Islam pedesaan,
tempat sholat jum’at, dan kegiatan-kegiatan keagamaan termasuk pendidikan. Dan
dibedakan fungsinya menjadi surau besar dan kecil, fungsi dari surau besar sama
umumnya dengan masjid di Indonesia sedangkan sebaliknya surau kecil berfungsi
sebagai tempat memberikan pelajaran dasar agama.[4]
Terlepas dari arsitekturnya, surau
menjadi bangunan keislaman. Istilah surau kemudian mengacu kepada suatu
masjid kecil yang biasanya tidak digunakan untuk sholat Jum’at. Surau bukanlah
masjid dalam pengertian umum, meskipun juga digunakan untuk berbagai kegiatan
keagamaan. Di indonesia, surau seperti juga masjid pada umumnya dikelola
masyarakat, baik dari segi dana pembangunan dan pengembangannya. Juga sangat
mungkin, surau berkaitan erat dengan kebudayaan pedesaan meski dalam
perkembangan lebih akhir surau dapat pula ditemukan di daerah urban.[5]
Terlebih dari penjelasan diatas
pendidikan surau mempunyai reputasi yang cukup besar terhadap penyebaran agama
Islam ke berbagai daerah dan wilayah sekitar Indonesia. Sebagai sebuah sarana
pendidikan agama, surau tetap dapat kita jumpai sampai sekarang, walaupun
eksistensinya kemungkinan tidak lagi sebagaimana peran di masa lalu, yakni kembali
pada fungsi semula sebagai tempat shalat, i`tikaf dan dzikir
B. Pertumbuhan dan
Perkembangan Surau
Sejarah pendidikan Islam dimulai sejak agama Islam masuk ke Indonesia kira-kira
abad ke-12. Menurut sejarah, agama Islam mula-mula masuk ke pulau Sumatra Utara
(Aceh), lalu Sumatra Barat (Minangkabau), berkembang ke Sulawesi, Ambon, dan
sampai ke Filipina. Kemudian tersiar ke pulau Jawa, Lampung, Palembang dan ke
seluruh kepulauan Indonesia.[6]
Maka tidaklah heran jika cikal bakal surau disandarkan pada daerah
Minangkabau.
Istilah surau di Minangkabau sudah dikenal sebelum datangnya Islam. Surau dalam
sistem adat Minangkabau adalah kepunyaan suku atau kaum sebagai pelengkap rumah
gadang, dimana anak laki-laki tak punya kamar di rumah orang tua mereka
sehingga mereka diharuskan tidur di surau. Kenyataan ini menyebabkan surau
menjadi tempat amat penting bagi pendewasaan generasi Minangkabau baik dari
segi ilmu pengetahuan maupun ketrampilan praktis lainnya.[7]
Fungsi surau tidak berubah setelah kedatangan Islam, hanya saja fungsi
keagamaannya semakin penting. Surau diperkenalkan pertama kali oleh Syekh
Burhannuddin di Ulakan Pariaman. Pada masa ini, eksistensi surau disamping
sebagai tempat shalat juga digunakan sebagai tempat mengajarkan ajaran Islam,
khususnya tarekat (suluk).[8]
Sehingga pada akhirnya murid-murid Syekh Burhanuddin yang memainkan peranan
penting dalam pengembangan surau sebagai lembaga pendidikan bagi generasi
selanjutnya.
Beberapa masalah dialami oleh surau-surau di Minangkabau, praktek tarekat yang
dikembangkan oleh masing-masing surau lebih banyak muatan mistisnya daripada
syari’at. Gejala tersebut dapat diketahui, meskipun Islam sudah dianut
masyarakat tetapi praktik mistis masih dilakukan. Melihat kondisi masyarkat
tersebut, Syekh Abdurrahman ulama dari Batu Hampar berusaha menyadarkan umat
dengan memberikan pemahaman mengenai ajaran Islam dan menghilangkan praktik
bid’ah khurafat. Untuk usaha tersebut Syekh Abdurrahman mendirikan surau yang
terkenal yaitu “Surau Dagang”.
Surau sebagai lembaga pendidikan Islam mulai surut peranannya karena disebabkan
beberapa hal. Pertama, selama perang Padri banyak surau yang terbakar dan Syekh
banyak yang meninggal. Kedua, Belanda mulai memperkenalkan sekolah
nagari. Ketiga, kaum intelektual muda muslim mulai mendirikan madrasah sebagai
bentuk ketidaksetujuan mereka terhadap praktik-praktik surau yang penuh dengan
bid’ah.
Ekspansi yang dilakukan kaum intelektual muda mengancam keberadaan surau sebagai
lembaga pendidikan. Untuk menjaga eksistensinya, ulama tradisional dan kaum
intelektual muda sepakat untuk memodernisasikan sistem pendidikan surau dengan
mendirikan madrasah modern sebagai alternatif pendidikan surau.[9]
Dan mereka sukses besar dengan upaya ini, sehingga banyak surau yang
ditransformasikan menjadi madrasah. Akibatnya murid surau merosot hebat. Tahun
1933, surau dilaporkan memiliki murid hanya sekitar 9.285 orang, sementara
madrasah mempunyai 25.292 pelajar. Dalam masa kemerdekaan, hanya beberapa surau
saja yang mampu bertahan, dan di masa akhir ini sebagian surau mulai menamakan
diri sebagai pesantren. Sedangkan surau sendiri lebih sekedar sebagai tempat
belajar membaca al-Qur’an atau arenasosialisasi anak-anak dan remaja.
Terlebih dari perkembangan dan pertumbuhan surau, posisinya sebagai lembaga
pendidikan Islam mampu mencetak ulama-ulama besar di tanah air dan menumbuhkan
semangat nasionalisme, terutama mengusir kolonialisme penjajah. Diantara para
alumni pendidikan surau adalah Haji Rasul, AR.At Mansur, Abdullah Ahmad,
Hamka.
C. Karakteristik Surau
Baik surau, langgar maupun masjid
hampir memiliki karakteristik yang sama dimana mempunyai peranan sangat urgen
tidak hanya sebagai tempat ibadah, tetapi difungsikan sebagai pusat kegiatan
pendidikan keislaman. Surau atau langgar sebelumnya merupakan tempat belajar
membaca dan menulis semata-mata dan setelah tersebarnya Islam, kegunaannya pun
bertambah luas menjadi tempat menghafal al-Qur’an dan pelajaran agama Islam,
tulis-menulis, ilmu hitung, tata bahasa, dan juga kesenian.[10]
Sistem pendidikan Islam di surau
bersifat elementer, dimulai dengan mempelajari abjad huruf Hijaiyyah atau
kadang langsung menirukan ucapan guru membaca al-Qur’an. Pendidikan di
surau dan langgar dikelola oleh seorang yang disebut ‘amil atau modin yang
memiliki tugas ganda baik sebagai guru juga sebagai pihak yang memberikan doa
pada waktu upacara keluarga atau desa. Pelajaran agama biasa diberikan pada
pagi atau petang hari antara 1 sampai 2 jam dengan jangka waktu umumnya sekitar
setahun.[11]
Metode yang dipakai dalam proses belajar mengajar di surau ada 2 macam yaitu
dengan sistem sorogan[12]
yang mana belum berkelas-kelas seperti sekarang dan sistem halaqah, anak-anak
belajar dengan duduk bersila di hadapan guru.[13]
Pelajaran awal yang diberikan adalah
belajar membaca huruf hijaiyyah (iqra’), setelah itu baru membaca al-Qur’an.
Sementara itu, juga diajarkan tata cara peribadatan (fiqih qouliyah dan
mu’amalah), serta masalah-masalah keimanan. Pendidikan al-Qur’an pada
pendidikan surau/langgar dibedakan kepada dua macam, yaitu:
1. Tingkatan rendah,
merupakan tingkatan pemula, yaitu mulainya mengenal huruf al-Qur’an sampai bisa
membacanya, diadakan pada tiap-tiap kampung, dan anak-anak hanya belajar pada
malam hari dan pagi hari sesudah shalat shubuh.
2. Tingkatan atas,
pelajarannya selain tersebut diatas ditambah lagi dengan pelajaran lagu,
qasidah, barzanji, tajwid dan mengaji kitab perukunan.[14]
Adapun tujuan pendidikan di surau
adalah agar anak didik dapat membaca al-Qur’an dengan berirama dan baik tanpa
dirasakan keperluan untuk memahami isinya, mampu mengamalkan tata cara
beribadah dengan benar, serta memahami ajaran-ajaran keimanan sesuai dengan
al-Qur’an dan sunnah Rasulullah SAW. Pada penyelenggaraan pendidikan di surau
murid tidak dipungut biaya, akan tetapi tergantung kepada kerelaan orang tua
murid memberikan uang kesejahteraan sesuai dengan kemampuan masing-masing.
Dengan hal ini hubungan antara murid dan guru terus berlanjut walaupun kelak
murid tersebut melanjutkan pendidikannya ke lembaga yang lebih tinggi.[15]
Menariknya di Minangkabau, fungsi surau
dibedakan menurut sejarah pendirinya dan pengembangan penguasaan ilmu tertentu,
seperti contohnya surau pada masa Syekh Burhanuddin berfungsi sebagi
pusat-pusat tarekat terutama Syattariyah yang diterima Syekh Burhanuddin dari
Syekh Abdurrauf. Selain itu juga terdapat surau- surau yang menganut tarekat
Naqsabandiyah. Jika para penuntut ilmu di pesantren disebut “santri”, maka para
pelajar surau disebut “murid” ( sebuah terminologi sufi), dan dalam
perkembangan lanjut mereka disebut “urang siak” atau “faqih” yang artinya
kecenderungan baru penekanan pada fiqih dan syari’ah. Pada pihak lain, dalam
tradisi keulamaan Minangkabau tidak dikenal istilah kyai, namun ulama yang
menjadi pemimpin, dan sekaligus guru agama disebut syeikh, yaitu gelar yang
menunjukkan derajat keulamaan dan kealiman tertinggi.
Kemudian untuk mendukung keberhasilan
pendidikan di surau, maka dirumuskan juga tata tertib untuk para urang siak.
Urang siak yang melanggar tata tertib biasanya diberi hukuman yaitu dimasukkan
kedalam kolam dan disaksikan oleh urang siak yang lain. Namun, pada
perkembangan selanjutnya hukuman rendam tersebut diganti dengan hukuman pukul.[16]
Dalam pendidikan surau Minangkabau
tidak ada tingkatan atau kelas, namun didasarkan pada kompetensi penguasaan
ilmu tertentu, dan bukan pada jumlah tahun masa belajar di surau. Metode utama
sistem pengajarannya dengan ceramah, pembacaan, dan penghafalan. Banyak surau
yang mengambil spesialisasi dan terkenal dalam bidang ilmu tertentu, seperti
Surau Kamang terkenal dengan kekuatan ilmu alatnya yaitu bahasa arab, Surau
Kota Gedang dalam ilmu mantiq ma’ani, Surau Sumanik dalam tafsir dan fara’id,
Surau Kota Tua dalam bidang tafsir, Surau Talang dan Surau Salayo dalam
bidang nahwu. Serta Surau Ulakan memberikan pelajaran bahasa arab, tafsir
bahkan pengobatan.
Dengan demikian, sejak awal penyebaran Islam ke Indonesia dengan saluran
pendidikan Islam, surau telah menyumbangkan sebuah corak atau karakteristik
sistem pendidikan tersendiri. Apapun yang di ditemui sekarang, sesungguhnya
tidak serta merta melupakan sama sekali sejarah masa lalu.
D. Literatur yang digunakan
Surau
Sumber literatur keagamaan yang dijadikan acuan pembelajaran pendidikan di
Surau adalah Al-Qur’an dan Al-Sunnah. Sebagai sebuah literatur keagamaan yang
otentik, kedua sumber tersebut dapat dikaji sepanjang zaman. Apalagi notabene
pendidikan surau merupakan sebuah permulaan belajar, tentu pondasi yang perlu
ditanamkan terlebih dahulu adalah jiwa dan semangat Al-Qur’an dan Al-Sunnah.
Pendidikan awal surau yaitu
mengajarkan huruf hijaiyyah dan membaca al-Qur’an, maka kitab-kitab yang dipakai
pada waktu itu adalah kitab alif ba ta ( yang kita kenal dengan iqra’),
Juz’amma, kemudian mushaf al-Qur’an.[17] Setelah murid tamat mengaji al-Qur’an, mereka meneruskan pelajaran dengan
pengajian kitab yang terdiri dari beberapa ilmu yaitu ilmu Shorof-Nahwu, ilmu
Fiqh, Ilmu Tafsir, dan sebagainya.
Kitab yang dipakai dalam ilmu
Shorof pada awal tahun 1900 adalah Kitab Dhammun yaitu kitab
tulisan tangan dan tidak diketahui siapa pengarangnya dan tahun berapa
dikarang. Kitab Dhammun masih tetap dipakai sehingga sesudah tahun 1900.[18] Setelah tamat kitab Dhammun barulah diajarkan ilmu nahwu dengan
menggunakan Kitab Al-‘Awamil juga kitab yang masih ditulis tangan dan
tidak diketahui siapa pengarangnya. Sesudah tamat kitab al-‘Awamil barulah
diajarkan Kitab al-Kalamu yaitu Kitab Ajrumiah yang sampai sekarang
masih dipakai juga di pesantren dan madrasah-madrasah di dunia Islam.
Murid yang telah menamatkan pelajaran
ilmu Shorof dan Nahwu, lalau meneruskan pelajarannya mengaji ilmu Fiqh dengan
menggunakan Kitab al-Minhaj, karangan Imam Nawawi. Kitab ini masih
dipelajari juga di pesantren-pesantren dan madrasah di seluruh dunia Islam yang
menganut madhab Syafi’i.[19] Murid yang telah menamatkan kitab al-Minhaj dan ilmu Fiqh meneruskan
pelajarannya dengan mengaji pada ilmu Tafsir dengan mempelajari Kitab Tafsir
al-Jalalain. Pada tingkat pengajian kitab, pelajaran disampaikan dengan
sistem halaqah dimana murid duduk berlingkaran menghadap syeikh. Syeikh
mengajarkan pengajian kitab tersebut dengan membaca matan kitab dalam bahasa
arab, kemudian menterjemahkannya kata demi kata, lalu barulah diterangkan
maksudnya. Sistem mengajar tersebut masih diikuti oleh guru-guru agama sesudah
tahun 1900, bahkan sampai sekarang.
Memasuki abad XIX, perkembangan literatur
keagamaan ini semakin banyak karena ditengarahi adanya kontak secara langsung
antara ulama’-ulama’ Nusantara dengan ulama Timur Tengah. Maka dari
sinilah sistem pendidikan Islam mulai dirubah.[20]
Perbedaan yang nyata dalam masa perubahan yaitu dalam mempelajari suatu ilmu
tidak hanya menggunakan satu kitab saja untuk dikaji, namun bermacam-macam
kitab. Untuk ilmu Nahwu mempelajari kitab: Ajrumiah, Asymawi, Syekh Khalid,
Azhari, Qathrun Nada, Alfiah (Ibnu Aqil), dan lainnya. Untuk ilmu Shorof
mempelajari kitab: al-Kailani, Taftazani, dan lainnya. Untuk ilmu Fiqh
mempelajari kitab: Fathul Qarib, Fathul Mu’in, Iqnak, Fathul Wahab, Mahalli,
Waraqat, Jam’ul Jawami’, kadang-kadang juga kitab Tuhfah dan Nihayah. Untuk
ilmu Tafsir mempelajari kitab: Tafsir Jalālain, Baiḍawi, Khazin, dan lainnya.
Setelah murid-murid surau menamatkan
seluruh kitab-kitab pada ilmu Nahwu-Shorof, ilmu Fiqh, ilmu Tafsir, maka
tingkatan selanjutnya juga diajarkan ilmu Mantiq, ilmu Balaghah, dan ilmu
Tasawuf dan sebagainya dengan menggunakan kitab-kitab: Sullām, Idlāl-Mubham,
Jauhar Maknun/ Talkhis, Ihya’ Ūlūmuddin, ilmu Ma’ani, Ilmu Badi’ dan lainnya.
E. Modernisasi Surau
Sejak awal abad 20 masyarakat Islam di
Indonesia khususnya Minangkabau berada dalam situasi yang semakin terjepit.
Pada satu pihak, ia menghadapi tekanan-tekanan ekonomi dan politik yang semakin
berat dari kolonial Belanda, sedangkan di pihak lain ide-ide pembaharuan
keagamaan dalam segenap aspeknya semakin gencar pula gaungnya.
Di sisi lain modernisasi terhadap surau banyak disebabkan beberapa faktor
diantaranya: tekanan penjajah terhadap masyarakat khususnya Islam, surau tidak
mampu menjawab dinamika masyarakat (sosial-ekonomi), surau terlalu asyik dengan
kajian keagamaannya (fikih, dan tasawuf) yang kurang applicable, dan lainnya.
Graves menyebutkan bahwa pendidikan Islam pada masa Perang Paderi mulai
mengalami kemunduran, sementara pemerintah Hindia Belanda mulai gencar mendirikan
sekolah-sekolah sekuler.[21] Perkembangan baru di bidang pendidikan di Minangkabau berdampak
langsung terhadap eksistensi surau, dimana pada perang Paderi banyak
syeikh/guru agama yang tewas. Sehingga mengakibatkan banyak surau yang
terlantar karena tidak adanya syeikh/guru agama.
Mahmud Yunus menjelaskan bahwa pada dekade Perang Paderi, pendidikan Islam
mulai mengalami kemunduran. Namun demikian, pendidikan Islam yang berlangsung
di surau-surau tetap bertahan. Pendidikan Islam pada masa ini disebut Mahmud
Yunus sebagai sistem lama.[22] Sistem lama yang dimaksudkan adalah sistem halaqah dengan materi pelajaran
keagamaan yang praktis, seperti membaca al-Qur’an, tata cara ibadah, sifat dua
puluh (akidah) dan akhlak.
Sistem lama pendidikan Islam itu terlaksana sebelum tahun 1900, namun
setelah dekade tersebut sistem tersebut mengalami pembaharuan yang disebut masa
perubahan. Pembaharuan (modernisasi) sistem tersebut diantaranya:[23]
PERBANDINGAN
PENDIDIKAN ISLAM
|
||
No
|
Sistem
Lama
|
Masa
Perubahan
|
1.
|
Pelajaran
ilmu-ilmu tersebut
|
Pelajaran
ilmu-ilmu tersebut
|
diajarkan
satu persatu
|
dihimpun 2-6
ilmu sekaligus
|
|
2.
|
Pelajaran
ilmu Shorof didahulukan
|
Pelajaran
ilmu Nahwu didahulukan/
|
daripada
ilmu Nahwu
|
disamakan
dengan ilmu Shorof
|
|
3.
|
Buku
pelajaran yang mula-mula
|
Buku
pelajaran semuanya karangan
|
dikarang
ulama' Indonesia serta
|
ulama Islam
dahulu kala dan dalam
|
|
diterjemahkan
dengan bahasa
|
bahasa arab
|
|
Melayu
|
||
4.
|
Kitab-kitab
itu umumnya tulisan
|
Kitab-kitabnya
semua telah dicetak
|
Tangan
|
||
5.
|
Pelajaran
suatu ilmu umumnya
|
Pelajaran
suatu ilmu diajarkan dari
|
hanya
diajarkan dari satu macam
|
beberapa
macam kitab, dengan tingkatan
|
|
Kitab
|
rendah,
menengah, tinggi
|
|
6.
|
Toko kitab
belum ada hanya ada
|
Toko kitab
telah ada yang dapat me-
|
orang pandai
menyalin kitab dengan
|
mesankan
kitab-kitab dari Timur Tengah
|
|
tulisan
tangan
|
||
7.
|
Ilmu agama
sedikit sekali karena
|
Ilmu agama
telah luas berkembang
|
sedikit bacaan
|
karena telah
banyak kitab bacaan
|
|
8.
|
Belum lahir
aliran baru dalam Islam
|
Mulai lahir
aliran baru dalam Islam yang
|
dibawa oleh
majalah al-Mannar di Mesir
|
Gerakan pembaharuan/modernisasi surau ini diprakarsai oleh Kaum Muda,[24] mereka tidak hanya mengadakan pembaharuan sistem namun juga berusaha
memurnikan kembali ajaran Islam. Tokoh reformasi utama dalam proses modernisasi
surau ini adalah Ahmad Khatib Al-Minangkabaui. Ulama-ulama lain yang
memodernisasikan surau yaitu: Syeikh Muhammad Thaib Umar, Syeikh Abdul Wahid
Tabat Gadang, Syeikh Abbas Abdullah, Syeikh Ibrahim Musa Parabek, Syeikh Sa’ad
Mungkar, Syeikh Abdul Karim Amrullah, Syeikh Daud Rasyidin, dan Syeikh Sultan
Darap Pariaman. Semuanya berkiprah dalam dunia pendidikan untuk melakukan
pembaharuan dan modernisasi surau yang telah terbelakang dan tertinggal akibat
hadirnya sekolah-sekolah sekuler yang didirikan oleh Hindia Belanda.
Sejak itu, eksistensi surau mulai bangkit dengan nuansa baru, meskipun
tetap menggunakan sistem halaqah yang tradisional. Surau yang mendapat sentuhan
modernisasi pertama adalah surau Tanjung Sungai Batusangkar yang didirikan oleh
Syeikh HM Tahib Umar tahun 1897, dan surau Parabek di Bukit Tinggi didirikan
oleh Syeikh Ibrahim Musa tahun 1908. Mahmud Yunus menyebutkan bahwa, gerakan
pembaharuan pendidikan Islam oleh para ulama ini merupakan gerakan pembaharuan
menjelang kelahiran madrasah sebagai masa perubahan.
Eksistensi surau sebagai salah satu institusi pendidikan Islam pertama di
Minangkabau sempat melakukan upaya modernisasi di tengah penetrasi Hindia
Belanda. Modernisasi tersebut menyangkut sistem kelembagaan yang lebih
akomodatif terhadap tuntunan perkembangan masyarakat Muslim. Modernisasi surau
ditandai oleh berdirinya institusi pendidikan Islam yang modern, seperti
Sekolah Adabiyah, Sumatra Thawalib, Madrasah Diniyah dan sebagainya yang cikal
bakalnya dari surau Jembatan Besi. Model-model lembaga pendidikan seperti
Sumatra Thawalib, Adabiyah dan Madrasah Diniyah tersebut adalah menggunakan kurikulum
yang tidak hanya mengajarkan pendidikan agama, tetapi juga memasukkan pelajaran
umum. Selanjutnya perkembangan organisasi-organisasi di bidang pendidikan yang
berasal dari surau ini, semakin memodernkan surau sebagai lembaga
pendidikan.
BAB
III
PENUTUP
Kesimpulan
Demikian kajian ini
didesain untuk memberikan pengayaan wawasan historis dan sosiologis tentang
pendidikan Islam pada masa permulaan dan pertumbuhannya di Indonesia. Sebab
jika mengungkap tentang sejarah pendidikan Islam di Indonesia, secara empiris
surau menjadi bukti sejarah yang tidak dapat dilupakan begitu saja.
Proses-proses pendidikan Islam di Nusantara ini telah mengalami perubahan yang
mendasar dari perjalanan kurun waktu ke waktu. Karena itu, mempelajari sejarah
sosial - pendidikan Islam - di sini lebih tepat
didefinisikan sebagai rekonstruksi realitas pada masa lalu, kini dan yang akan
datang.
DAFTAR PUSTAKA
Azra, Azumardi, Pendidikan
Islam Tradisi dan Modernisasi menuju Millenium Baru. (Jakarta: Logos
Wacana Ilmu, 1999).
Al-Abrasyi, M. Athiyyah, Al-Tarbiyyah al-Islamiyah. (Cairo: Darul
Ulum), tt.
Ensiklopedi Islam, (Jakarta: PT. Ichtiar Baru Van Hove, 1993), Jilid 1, 87.
Graves, Elizabeth, The Minangkabau Response To The Dutch Colonial Rule
In The Nine Teenth Century, (New York: Cornel University, 1981).
Hasbullah, Sejarah Pendidikan Islam di Indonesia. (Jakarta, PT Raja
Grafindo Persada, 1996).
Mansur Malik”Syekh Abdurrahman” dalam Edwar (ed.), Riwayat Hidup dan
Perjuangan Ulama Besar Sumatra Barat, (Islamic Centre Sumatra Barat, 1981).
Nizar, Samsul, Sejarah
dan Pergolakan Pemikiran Pendidikan Islam. (Ciputat: Quantum Teacing,
1990).
Yunus, Mahmud, Sejarah Pendidikan Islam di Indonesia. (Jakarta:
Hidakarya Agung, 1985).
http://mujtahid-komunitaspendidikan.blogspot.com/2010/01
[2] . Gerakan pembaharuan dalam
Islam di Minangkabau muncul sejak dasawarsa akhir abad 18, yang kemudian
mengalami radikalisasi terutama oleh 3 orang haji yang baru kembali dari tanah
suci tahun 1803 yaitu Haji Miskin dari Pandaisikat Luhak Agam, Haji Sumanik orang
Luhak Tanah Datar dan haji Piobang dari Luhak Lima Puluh. Dimana ajaran Islam
yang mereka sebarkan banyak terpengaruh dari kaum Wahabi.
[3] . Azumardi Azra, Pendidikan
Islam Tradisi dan Modernisasi menuju Millenium Baru, (Jakarta: Logos
Wacana Ilmu, 1999), 119.
[7] . Surau sangat kental
dengan pengajaran agamanya. Disamping itu, hampir setiap surau di Minangkabau
selain mengajarkan agama, juga identik dengan mengajarkan silat yang berguna
untuk mempertahankan diri dan mengajarkan adat istiadat khususnya petatah petitih
serta tradisi anak nagari lainnya.
[8] . Samsul Nizar, Sejarah
dan Pergolakan Pemikiran Pendidikan Islam, (Ciputat: Quantum Teacing,
1990), 70.
[12] . Metode sorogan ialah
metode dimana santri menyodorkan sebuah kitab kepada kyai, kemudian kyai
memberi tuntunana bagaimana cara membacanya,
menghafalkannya, dan apabila telah meningkat dilanjutkan dengan menerjemahkan
dan mentafsirkan. Lebih jelas, baca Sujoko Prasojo, Profil Pesantren,
(Jakarta: LP3ES, 1982), 53.
[13] . Hasbullah, Sejarah
Pendidikan Islam di Indonesia, (Jakarta, PT Raja Grafindo Persada, 1996),
Cet-2, 22.
[16] . Mansur Malik”Syekh
Abdurrahman” dalam Edwar (ed.), Riwayat Hidup dan Perjuangan Ulama Besar
Sumatra Barat, (Islamic Centre Sumatra Barat, 1981), 9.
[18] . Kitab Dhammun ini masih
dipakai sampai memasuki sistem pendidikan Islam Indonesia pada masa perubahan (
1900-1908), dimana setelah kurun waktu tersebut lahirlah madrasah-madrasah yang
bersistem kelas maka beberapa kitab lama mulai dirubah/diganti
[20] . Masa ini disebut masa
perubahan ( 1900-1908), permulaan hakiki bagi masa perubahan itu adalah tahun
1897 yaitu sekembalinya H.M Thaib Umar dari Mekkah dan membuka surau di
Sungayang Batu Sangkar.
[21] . Graves, Elizabeth, The
Minangkabau Response To The Dutch Colonial Rule In The Nine Teenth Century,
(New York: Cornel University, 1981).
[24] . Para pengajar agama dan
pemuda-pemuda yang pernah pergi ke Makkah dan pulang ke Minangkabau, kemudian
mengajar di surau asalnya dan mengadakan gerekan pembaharuan surau-surau di
tempat mereka.
0 Response to "PENDIDIKAN SURAU"
Post a Comment