BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar
Belakang
Proses
pendidikan terjadi dalam lingkungan pendidikan dengan para stakeholder-nya
yaitu peserta didik, pendidik, orang tua, masyarakat dan pemerintah.
Keberhasilan dan kegagalan yang disebabkan oleh pelaksanaan kebijakan
pendidikan adalah informasi untuk perumusan kembali kebijakan. Kebijakan
pendidikan Islam tidak terlepas dari model H.AR Tilaar (2009) yang menyatakan
bahwa pendidikan di Indoensia seharusnya memperhatikan Evidence Information
Based yakni terkait antara teori, riset, kebijakan dan praktik pendidikan.
Pendidikan
Islam di Indonesia telah berlangsung lama bersamaan dengan masuknya Islam di
Indonesia. Sejumlah literatur tentang sejarah perkembangan Islam mensinyalir
bahwa Islam masuk dan disebar ke Indonesia melalui pedagang-pedagang yang
beragama Islam baik dari Asia maupun Timur Tengah.
Tujuan
dari makalah ini agar kita mengetahui problematika pendidikan Islam di
Indonesia dan ketika terjun dalam masyarakat. Baik secara langsung maupun tidak
langsung. Karena dengan mengetahuinya kita setidaknya sudah bisa mengantisipasi
segala problem yang akan kita hadapi saat berada dalam masyarakat khususnya
dalam hal pendidikan.
B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana
pengertian dan ruang lingkup pendidikan islam ?
2. Bagaimanakh pokok permasalahan pendidikan
islam di indonesia ?
3.
Apa saja factor yang mempengaruhi timbulnya problematika pendidikan islam di Indonesia ?
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Pengertian dan Ruang Lingkup Pendidikan Islam
Menurut
Prof. Sugarda Purbakawaca, dalam "Ensiklopedi Pendidikan"nya,memberikan
pengertian pendidikan, sebagai berikut: "Pendidikan dalam arti luas
meliputi semua perbuatan dan usaha dari generasi tua untuk mengalihkan
pengetahuannya, pengalamannya, kecakapannya serta ketrampilannya (orang
menamakan ini juga "mengalihkan" kebudayaan, dalam bahasa Belanda:
Cultuurover dracht) kepada generasi muda sebagai usaha menyiapkannya agar dapat
memenuhi fungsi hidupnya baik jasmani maupun rohani."
Setelah
membahas Pendidikan selanjutnya kita akan memaparkan tentang pendidikan Islam.
Berikut ini adalah beberapa pengertian Pendidikan Islam secara terminologi yang
diformulasikan oleh para ahli Pendidikan Islam, diantaranya adalah:
a. Menurut
al-Syaibaniy mengemukakan bahwa pendidikan Islam adalah proses mengubah tingkah
laku individu peserta didik pada kehidupan pribadi, masyarakat, dan alam
sekitarnya. Proses tersebut dilakukan dengan cara pendidikan dan pengajaran
sebagai suatu aktifitas asasi dan profesi diantara sekian banyak profesi asasi
dalam masyarakat.
b. Menurut
Muhammad Fadhil al-Jamaly, mendefinisikan pendidikan Islam sebagai upaya
mengembangkan, mendorong serta mengajak peserta didik hidup lebih dinamis
dengan berdasarkan nilai-nilai yang tinggi dan kehidupan yang mulia. Dengan proses
tersebut, diharapkan bisa membentuk pribadi peserta didik yang lebih sempurna,
baik yang berkaitan dengan potensi akal, perasaan, maupun perbuatannya.
c Ahmad
Tafsir mendefinisikan Pendidikan Islam sebagai bimbingan yang diberikan oleh
seseorang, agar ia berkembang secara maksimal sesuai dengan ajaran Islam.
Dari
batasan diatas, dapat disimpulkan bahwa pendidikan Islam adalah suatu sistem
yang memungkinkan seseorang (peserta didik) dapat mengarahkan kehidupannya
sesuai dengan ideologi Islam. Melalui pendekatan ini, ia akan dapat dengan
mudah membentuk kehidupan dirinya sesuai dengan nilai-nilai ajaran Islam yang
diyakininya.
Konsep dasar
pendidikan islam yakni usaha, kemanusiaan, perkembangan, proses, bimbingan oleh
manusia secara sadar. Ruang lingkup pendidikan islam ada tujuh:
1. Kehidupan beragama, agar perkembangan pribadi manusia sesuai dengan norma islam
2. Kehidupan keluarga, agar perkembangan menjadi keluarga sejahtera
1. Kehidupan beragama, agar perkembangan pribadi manusia sesuai dengan norma islam
2. Kehidupan keluarga, agar perkembangan menjadi keluarga sejahtera
3. Kehidupan
sosial, agar dapat berkembang menjadi sistem bebas dari penghisapan manusia
lain
4. Kehidupan
politik, agar tercipta sistem demokrasi yang sehat dan dinamis sesuai dengan
islam
5.
Budaya, agar menjadi manusia penuh keindahan dan kegairahan dengan nilai norma
6. Ekonomi, terbina masyarakat yang adil dna makmur dengna ridha Allah SWT
7. Pengetahuan, bertujuan agar berkembang menjadi alat untuk menapai kesejahteraan
6. Ekonomi, terbina masyarakat yang adil dna makmur dengna ridha Allah SWT
7. Pengetahuan, bertujuan agar berkembang menjadi alat untuk menapai kesejahteraan
umat manusia yang dikendalikan oleh iman
Pada
tataran filosofis dan praksis pendidikan Islam di Indonesia tak luput dari
bermacam persoalan baik yang bersifat akut maupun faktual. Persoalan akut
seperti diskursus yang tak kunjnung usai antara ilmu agama dan ilmu umum.
Sementara problema faktual lebih terkait pada masalah-masalah teknis
implementatif pelaksanaan pendidikan Islam.[1]
Peta pendidikan Islam meliputi pertama: pendidikaan keagamaan yakni diniyah,
pesantren; kedua: matakuliah/ pelajaran Agama Islam di IAIN/Perguruan Tinggi
& TK//SD/SMP/A; serta ketiga: pendidikan umum bercirikan Islam seperti
TKI/RA/BA, SDI/MI/MTs, SMUI/MA/K dan PTAI. Dalam makalah ini pembahasan
problematika pendidikan Islam lebih dititik beratkan pada hambatan terjadi di
pendidikan umum bercirikan Islam terutama tingkat sekolah dasar hingga menengah
yakni Madrasah Ibtidaiyah (SD). Madrasah Tsanawiyah (SMP) dan Madrasah Aliyah (SMA).
B. Pokok-Pokok
Permasalahan Pendidikan Islam
1.
Kualitas,
2.
Relevansi,
3.
Elitisme, dan
4.
Manajemen
Keempat masalah di atas merupakan
masalah besar, mendasar, dan multidimensional, sehingga sulit dicari ujung pangkal
pemecahannya. Permasalahan ini terjadi pada pendidikan secara umum di
Indonesia, termasuk pendidikan Islam yang dinilai justru lebih besar
problematikanya.
C. Kompleksitas Problem Pendidikan
Pendidikan
Islam juga dihadapkan dan terperangkap pada persoalan yang sama, bahkan apabila
diamati dan kemudian disimpulkan pendidikan Islam terkukung dalam kemunduran,
keterbelakangan, ketidak berdayaan, dan kemiskinan, sebagaimana pula yang
dialami oleh sebagian besar negara dan masyarakat Islam dibandingkan dengan mereka
yang non Islam. Katakan saja, pendidikan Islam terjebak dalam lingkaran yang
tak kunjung selesai yaitu persoalan tuntutan kualitas, relevansi dengan
kebutuhan, perubahan zaman, dan bahkan pendidikan apabila diberi “embel-embel
Islam”, dianggap berkonotasi kemunduran dan keterbelakangan, meskipun sekarang
secara berangsur-angsur banyak diantara lembaga pendidikan Islam yang telah
menunjukkan kemajuan. Tetapi pendidikan Islam dipandang selalu berada pada
posisi deretan kedua atau posisi marginal dalam sistem pendidikan nasional di
Indonesia. Dalam Undang- Undang sistem pendidikan nasional menyebutkan
pendidikan Islam merupakan sub-sistem pendidikan nasional.[2]
Pendidikan
Islam menjadi satu dalam sistem pendidikan nasional, tetapi predikat
keterbelakangan dan kemunduran tetap melekat padanya, bahkan pendidikan Islam
sering “dinobatkan” hanya untuk kepentingan orang-orang yang tidak mampu atau
miskin, memproduk orang yang eksklusif, fanatik, dan bahkan pada tingkah yang
sangat menyedihkan yaitu “terorisme-pun” dianggap berasal dari lembaga
pendidikan Islam, karena pada kenyataannya beberapa lembaga pendidikan Islam
“dianggap” sebagai tempat berasalnya kelompok tersebut. Walaupun “anggapan” ini
keliru dan dapat ditolak, sebab tidak ada lembaga-lembaga pendidikan Islam
manapun yang bertujuan untuk memproduk atau mencetak kelompok-kelompok orang
seperti itu. Tetapi realitas di masyakarat banyak perilaku kekerasan yang
mengatasnamakan Islam. Apakah ada sesuatu yang salah dalam sistem, proses, dan
orientasi pendidikan Islam.
D. Faktor-Faktor
yang Mempengaruhi Timbulnya Problematika Pendidikan Islam di Indonesia
Indonesia
merupakan negara yang mayoritas Islam. Akan tetapi dalam hal pendidikan,
pendidikan islam tidak menjadi mayoritas dalam kedudukan pendidikan nasional.
Sudah menjadi rahasia public bahwa pendidikan Islam di pandang selalu berada
pada posisi deretan kedua atau posisi marginal dalam system pendidikan
nasional. Padahal, pendidikan apa pun itu, Baik pendidikan nasional ataupun
pendidikan Islam, pada hakekat nya pendidikan adalah mengembangkan harkat
dan martabat manusia, memanusiakan manusia agar benar-benar mampu menjadi
khalifah.
Ini
mengindikasikan bahwa pendidikan islam di Indonesia masih dibalut sejumlah
problematika. Suatu Permasalahan dapat muncul dari elemen-elemen intern maupun
ektern yang ada di sekitar badan itu sendiri. Begitu juga dalam pendidikan,
bahwa problem-problem itu berakar dari penyebab eksternal dan penyebab internal.
Problem internal hingga ekternal pun hadir di tengah-tengah pendidikan Islam.[3]
Mulai dari permasalahan internal dalam hal managemen hingga persoalan ekternal
seperti politik dan ekonomi menambah sederet daftar problem yang mestinya
ditindak lanjuti.
1.
Faktor Internal
Yang
dimaksud dengan factor internal ialah hal-hal yang berasal dari dalam madrasah.
Adapun
faktor-faktor internal dalam pendidikan Islam,yaitu :
a.
Manajemen pendidikan Islam yang terletak pada ketidak jelasan tujuan yang
hendak di capai, ketidak serasian kurikulum terhadap kebutuhan masyarakat,
kurangnya tenaga pendidik yang berkualitas dan profesional, terjadinya salah
pengukuran terhadap hasil pendidikan serta masih belum jelasnya landasan yang
di pergunakan untuk menetapkan jenjang-jenjang tingkat pendidikan mulai dari
tingkat dasar hingga keperguruan tinggi.
Menurut
Moh Raqib bahwa problem mutu lulusan lembaga pendidikan islam selama ini
adalah alumni yang bisa dibilang tidak atau kurang kreatif. Indikasi hal
tersebut tampak pada alumni yang relative banyak tidak mendapat lapangan kerja
dan lebih mengandalkan untuk menjadi PNS sementara lowongan kerja untuk PNS
sangat terbatas. Ini menunjukkan rendahnya kreatifitas untuk menciptakan lowongan
kerja sendiri.
Tentunya
fenomena ketidakkreatifan peserta didik tentu saja tidak lepas dari system
pendidikan dan pembelajaran yang ada di lembaga pendidikan yang memenag sering
kali tidak menekankan peserta didik untuk bersikap kreatif. Padahal manegemen
siswa yang meliputi pengolahan siswa menjadi output yang menarik itu penting.
Hal ini menunjukkan bahwa menegemen pendidikan dalam lembaga pendidikan islam
pada umumnya belum mampu menyelenggarakan pembelajaran dan pengelolaan
pendidikan yang efektif dan berkualitas.
b.
Kompensasi profesional guru yang masih sangat rendah. Para guru yang merupakan
unsur terpenting dalam kegiatan belajar mengajar, umumnya lemah dalam
penguasaan materi bidang studi, terutama menyangkut bidang studi umum,
ketrampilan mengajar, manajemen keles, dan motivasi mengajar. Para guru
seharusnya mempunyai kompetensi padagogik , kepribadian, profesional, dan
sosial. Faktanya tak jarang ditemui guru mengeluhkan nasibnya yang buruk,
guru tidak berkompeten untuk melakukan pengarahan; dan guru yang merasa bahwa
tugasnya hanya mengajar..
Rendahnya
kesejahteraan guru mempunyai peran dalam membuat rendahnya kualitas pendidikan
Indonesia. Berdasarkan survei FGII (Federasi Guru Independen Indonesia) pada
pertengahan tahun 2005, idealnya seorang guru menerima gaji bulanan serbesar Rp
3 juta rupiah. Sekarang, pendapatan rata-rata guru PNS per bulan sebesar Rp 1,5
juta. guru bantu Rp, 460 ribu, dan guru honorer di sekolah swasta rata-rata Rp
10 ribu per jam. Dengan pendapatan seperti itu, terang saja, banyak guru
terpaksa melakukan pekerjaan sampingan. Ada yang mengajar lagi di sekolah lain,
memberi les pada sore hari, menjadi tukang ojek, pedagang mie rebus, pedagang
buku/LKS, pedagang pulsa ponsel, dan sebagainya.
Dengan
adanya UU Guru dan Dosen, barangkali kesejahteraan guru dan dosen (PNS) agak
lumayan. Pasal 10 UU itu sudah memberikan jaminan kelayakan hidup. Di dalam
pasal itu disebutkan guru dan dosen akan mendapat penghasilan yang pantas dan
memadai, antara lain meliputi gaji pokok, tunjangan yang melekat pada gaji,
tunjangan profesi, dan/atau tunjangan khusus serta penghasilan lain yang
berkaitan dengan tugasnya. Mereka yang diangkat pemkot/pemkab bagi daerah
khusus juga berhak atas rumah dinas.
Tapi,
kesenjangan kesejahteraan guru swasta dan negeri menjadi masalah lain yang
muncul. Di lingkungan pendidikan swasta, masalah kesejahteraan masih sulit
mencapai taraf ideal. Diberitakan Pikiran Rakyat 9 Januari 2006, sebanyak 70
persen dari 403 PTS di Jawa Barat dan Banten tidak sanggup untuk menyesuaikan
kesejahteraan dosen sesuai dengan amanat UU Guru dan Dosen.
c.
SDM yang kurang
1)
Pemimpin sekolah yang lemah dalam komunikasi dan negosiasi. Pimpinan pendidikan
Islam bukan hanya sering kurang memiliki kemampuan dalam membangun komunikasi
internal dengan para guru, melainkan juga lemah dalam komunikasi dengan
masyarakat, orang tua, dan pengguna pendidikan untuk kepentingan
penyelenggaraan pendidikan yang berkualitas.
2)
Keadaan guru di Indonesia juga amat memprihatinkan. Kebanyakan guru belum
memiliki profesionalisme yang memadai untuk menjalankan tugasnya sebagaimana
disebut dalam pasal 39 UU No 20/2003 yaitu merencanakan pembelajaran,
melaksanakan pembelajaran, menilai hasil pembelajaran, melakukan pembimbingan,
melakukan pelatihan, melakukan penelitian dan melakukan pengabdian masyarakat.
Bukan itu saja,
sebagian guru di Indonesia bahkan dinyatakan tidak layak mengajar. Persentase
guru menurut kelayakan mengajar dalam tahun 2002-2003 di berbagai satuan
pendidikan sbb: untuk SD yang layak mengajar hanya 21,07% (negeri) dan 28,94%
(swasta), untuk SMP 54,12% (negeri) dan 60,99% (swasta), untuk SMA 65,29%
(negeri) dan 64,73% (swasta), serta untuk SMK yang layak mengajar 55,49%
(negeri) dan 58,26% (swasta).
Kelayakan
mengajar itu jelas berhubungan dengan tingkat pendidikan guru itu sendiri. Data
Balitbang Depdiknas (1998) menunjukkan dari sekitar 1,2 juta guru SD/MI hanya
13,8% yang berpendidikan diploma D2-Kependidikan ke atas. Selain itu, dari
sekitar 680.000 guru SLTP/MTs baru 38,8% yang berpendidikan diploma
D3-Kependidikan ke atas. Di tingkat sekolah menengah, dari 337.503 guru, baru
57,8% yang memiliki pendidikan S1 ke atas. Di tingkat pendidikan tinggi, dari
181.544 dosen, baru 18,86% yang berpendidikan S2 ke atas (3,48% berpendidikan
S3).
d.
Campur tangannya organisasi massa (ormas) Islam yang memayungi sekolah-sekolah
berbasis keislaman. Keinginan ormas untuk menunjukkan jati diri politis cukup
kental dengan memasukkan sejumlah matapelajaran yang berkaitan dengan asal usul
pendirian ormas tersebut. Sebut saja misalnya ada materi kemuhammadiyahan yang
diberikan mulai dari sekolah dasar hingga ke perguruan tinggi. Demikian pula
materi ahlus sunnah wal jamaah diberikan untuk sekolah yang berbasis ormas
Nadhatul Ulama (NU) atau yang di dirikan oleh para tokoh NU. Sekolah atau
madrasah yang terkait kedua organisasi massa Islam terbesar di Indonesia itu
seolah ingin menunjukkan jati diri meraka masing-masing sebagai sekolah yang
"paling benar" dalam mengemban misi dan visi keislaman. Alhasil,
muatan kurikulum sekolah-sekolah berbasis ormas ini seakan ‘over dosis' karena
kelebihan beban. Sekolah-sekolah umum berbasis Islam ini tidak hanya harus
mengikuti kebijakan politis ormas yang melahirkannya dengan mengejawantahkan
kebijakan tersebut ke dalam kurikulum sekolah. [4]
Tetapi juga
tentunya harus mengkuti ketentuan dan kebijakan pemerintah dalam hal ini
Kementerian Pendidikan Nasional sebagai Pembina utama sekolah-sekolah tersebut.
Persoalan politis yang berasal dari internal umat Islam ini memang sudah menjadi ciri khas dari kedua organisasi keagamaan terbesar di Indonesia itu. Mereka saling berupaya secara sendiri-sendiri ingin menampilkan keunggulannya masing-masing. Konsekuensinya, penyelenggaraan pendidikan Islam yang ada di Indonesia ini berkembang tanpa sinergitas dan perbedaan yang diramu untuk suatu keunggulan yang lebih besar. Masing-masing ormas tetap ingin mempertahankan jati diri dan kekhasannya sendiri-sendiri.
Persoalan politis yang berasal dari internal umat Islam ini memang sudah menjadi ciri khas dari kedua organisasi keagamaan terbesar di Indonesia itu. Mereka saling berupaya secara sendiri-sendiri ingin menampilkan keunggulannya masing-masing. Konsekuensinya, penyelenggaraan pendidikan Islam yang ada di Indonesia ini berkembang tanpa sinergitas dan perbedaan yang diramu untuk suatu keunggulan yang lebih besar. Masing-masing ormas tetap ingin mempertahankan jati diri dan kekhasannya sendiri-sendiri.
Maka, untuk
kondisi saat ini masih sulit memimpikan kebersamaan antara kedua ormas tersebut
dalam bekerjasama untuk melahirkan sekolah-sekolah Islam yang efektif dan di
segani tidak hanya di Indonesia tetapi di kancah internasional.
2. Faktor
Eksternal
Faktor
berasal dari luar madrasah, tetapi berpengaruh terhadap perkembangan dan
dinamika madrasah.
Adapun
faktor-faktor eksternal yang dihadapi pendidikan Islam, meliputi :
a.
Adanya perlakuan diskriminatif pemerintah terhadap pendidikan Islam.
1). Alokasi dana yang diberikan pemerintah sangat jauh perbedaannya dengan
pendidikan yang berada di lingkungan Diknas. Terlepas itu semua, apakah itu
urusan Depag atau Depdiknas, mestinya alokasi anggaran negara pada pendidikan
Islam tidak terjadi kesenjangan, Padahal pendidikan Islam juga bermisi untuk
mencerdaskan bangsa, sebagaimana juga misi yang diemban oleh pendidikan umum.
kebijakan pemerintah yang kurang memerhatikan maksimal terkait dengan
penyelenggaraan pendidikan Islam.Walau diakui ada kemajuan tapi masih jauh dari
harapan rakyat Indonesia yang mayoritas berpenduduknya beragama Islam.
2) Secara
politis kebijakan dan penyelenggaraan pendidikan di Indonesia diatur melalui UU
sistem pendidikan nasional no 20 tahun 2003 diakui memang memuat keberadaan
pendidikan Islam seperti madrasah dan pesantren. Namun pencantuman Madrasah
dalam UU itu sekedar "pelengkap" komponen utama pendidikan nasional.
Kenapa demikian? Karena dalam tataram praksis perhatian penyelenggara Negara
tampaknya lebih menaruh perhatian dan fokus pada sekolah-sekolah umum (dibawah
pengawasan Kemendiknas) baik dari sisi teknis peningkatan mutu persekolahan
maupun sisi anggaran yang tersedia. Padahal, menurut Undang-Undang Sistem
Pendidikan nasional (UUSPN), madrasah memiliki kedudukan dan peran yang sama
dengan lembaga pendidikan lainnya (persekolahan).
Dengan kenyataan ini seringkali tatkala membahas pengembangan
persekolahan, sistem pendidikan Islam (madrasah) tidak ikut dikaji secara baik
oleh pemangku kebijakan bahkan cenderung diabaikan "neglected
community".
3)
Desentralisasi, demokrasi dan otonomi merupakan isu yang mengemuka sekarang ini
sebagai dampak dari implementasi UU no.22 tahun 1999 tentang Pemerintahan
Daerah. Undang-undang itu menyatakan bahwa desentralisasi adalah azas dan
proses pembentukan otonomi daerah dan penyerahan wewenang pemerintah di bidang
tertentu oleh Pemerintah Pusat. Otonomi ini meliputi juga sektor pendidikan,
sehingga menampakkan kesan dualisme dalam pengelolaan pendidikan antara Pusat
dan Daerah. Pada bagian lain pendidikan umum berciirikan Islam (madrasah)
ditangani Kementerian Agama sedangkan sekolah umum bercirikan Islam diawasi
Kementereian Pendidikan Nasional. Padahal berdasarkan teori sistem yang
dikemukakan David Easton dalam HAR Tilaar (2009) manajemen pendidikan
memerlukan keterpaduan penggerakan sistem sebagai syarat penting keberhasilan
sistem .
Secara
sociocultural politis pendidikan Islam berlangsung semenjak masuknya Islam di
persada Nusantara. Sejak lama masyarakat menumbuh-kembangkan pendidikan Islam
baik di mesijid maupun pesantren dengan cara bergotong royong. Kemandirian
adalah cirri utama pemdidikan Islam kala itu. Hanya saja stigma pendidikan
Islam merupakan urusan akherat begitu mengental hingga mempengaruhi tumbuh
kembang disiplin ilmu selain agama. Padahal, dunia Barat maju seperti sekarang
ini tidak terlepas dari hasil kajian cendekiawan Muslim terdahulu. Di
Indonesia, dalam konteks sociocultural politics, skenario penjajah yang berciri
"devide et impera" sukses memisahkan urusan dunia dan ukhrowi,
efeknya terasa hingga kin tatkala muncul kesadaran untuk tidak memisahkan
keduanya.
b.
Paradigma birokrasi tentang pendidikan Islam selama ini lebih didominasi oleh
pendekatan sektoral dan bukan pendekatan fungsional. Pendidikan Islam tidak
dianggap bagian dari sektor pendidikan lantaran urusannya tidak di bawah
Depdiknas. Dan lebih tragis lagi adalah sikap diskriminatif terhadap prodak
atau lulusan pendidikan Islam.
c.
Paradigma masyarakat terhadap lembaga pendidikan islam masih sebelah mata.
Lembaga pendidikan Islam merupakan alternatif terakhir setelah tidak
dapat diterima di lembaga pendidikan di lingkungan Diknas, itulah yang sering
kita temui di sebagian masyarakat kita. Pandangan masyarakat yang demikian menjadi
indicator rendahnya kepercayaan mereka terhadap lemabga pendidikan islam.[5]
Posisi
dan peran pendidikan Islam dengan keragaman lembaga yang dimilikinya masih
dipertanyakan. Seharusnya: Pendidikan Islam mampu menjalankan perannya sebagai
pendidikan alternatif yang menjanjikan masa depan. Tapi faktanya, Kehadiran
madrasah, sekolah dan perguruan tinggi Islam cenderung berafiliasi pada
ormas-ormas Islam seperti Muhammadiyah, NU, dan Persis atau badan-badan/
yayasan-yayasan Perguruan Islam. Yang Lebih parah lagi, kasus teroris yang
dalam kisah pendidikannya ada lulusan sekolah Isalm. Ini mungkin menjadi alas
an yang tidak cukup kuat, tetapi begitulah sebagian perspektif masyarakat yang
ada.Dengan demikian tugas Lembaga Pendidikan Islam yang ada di Indonesia untuk
menghasilkan output pendidikan yang tidak sekedar berkualiatas iman,tetapi juga
ilmu bisa terwujud.
BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
Problematika
pendidikan Islam dibedakan menjadi 2 sumber internal dan eksternal. Sumber
internal yang berasal dari dalam madrasah meliputi manajemen madrasah, SDM yang
kurang, dll. Sedangkan pada eksternal yang berasal dari luar meliputi kebijakan
pemerintah yang dikotomik dan paradigm yang negative oleh masyarakat terhadap
madrasah.
Diharapkan
adanya usaha sekolah-sekolah dan instansi terkait dengan dengan pendidikan
Islam untuk meciptakan pendidikan islam yang ideal, yaitu pendidikan islam yang
membina potensi spiritual, emosional dan intelegensia secara optimal. Ketiganya
terintegrasi dalam satu lingkaran.yang akhirnya membentuk paradigma baru di
masyarakat tentang kualitas yang menarik dari sekolah-seolah Islam.
Dengan
demikian sikap diskriminatif dan masalah paradigm yang buruk tentang kualitas
pendidikan di Sekolah Islam dapat perlahan berubah. Tentunya melalui konsep
integrated curriculum, proses pendidikan memberikan penyeimbangan antara
kajian-kajian agama dengan kajian lain [non-agama] dalam pendidikan Islam yang
merupakan suatu keharusan, menciptakan output pendidikan yang baik, apabila
menginginkan pendidikan Islam kembali survive di tengah perubahan masyarakat.
DAFTAR PUSTAKA
Musnandar,
Aries, Problematika Pendidikan Islam di Indonesia : Posted, 05 November 2011
dari http:// artikel.
Qurroti.Siti,.Problematika.Pendidikan.Islam,.dari.http..:.//ww.cribd.com/doc/28597217/Problematika-Pendidikan-Islam.
Raqib, Moh.
2009, Ilmu Pendidikan Islam : Pengembangan Pendidikan Integrative di Sekolah,
Keluarga dan Masyarakat, LKiS Yogjakarta : Yogjakarta
Zainal Abidin,
Muhammad, Problematika Pendidikan di Indonesia dan Solusi Pemecahannya.:Posted.pada.20..Februari..2010.dari.http://meetabied.wordpress.com/2010/02/20/problematika-pendidikan-di-Indonesia-dan
solusi-pemecahannya.
[1]. Raqib, Moh. 2009, Ilmu Pendidikan Islam :
Pengembangan Pendidikan Integrative di Sekolah, Keluarga dan Masyarakat, LKiS
Yogjakarta : Yogjakarta
[2]. Musnandar, Aries, Problematika Pendidikan
Islam di Indonesia : Posted, 05 November 2011 dari http:// artikel.
[3].Qurroti.Siti,.Problematika.Pendidikan.Islam,.dari.http..:.//ww.cribd.com/doc/28597217/Problematika-Pendidikan-Islam.
[4] . Raqib, Moh. 2009, Ilmu Pendidikan Islam :
Pengembangan Pendidikan Integrative di Sekolah, Keluarga dan Masyarakat, LKiS
Yogjakarta : Yogjakarta
[5]. Zainal Abidin, Muhammad, Problematika
Pendidikan di Indonesia dan Solusi Pemecahannya.:Posted.pada.20..Februari..2010.dari.http://meetabied.wordpress.com/2010/02/20/problematika-pendidikan-di-Indonesia-dan
solusi-pemecahannya.
0 Response to "PROBLEMATIKA PENDIDIKAN ISLAM DI INDONESIA"
Post a Comment