Langkahnya selalu bergerak. Entah sudah berapa titik singgahan, diapun tiada ingat lagi. “Tidak ingat, dan tidak mau ingat. Saya hanya ingin melangkah, dan melangkah, ” kata Darwati di sela pertemuan dengan ribuan ibu-ibu di Abdya, Kamis (24/11).
Asyiknya, langkah perempuan kelahiran Cot Rabo Tunong, Kecamat Peusangan Kabupaten Bireuen, 1973 ini sekalipun tidak menimbulkan “kreh kroh” alias gaduh.
Alumni PDPK tahun 1995 Unsyiah itu memang bukan Cut Nyak Dien, Cut Mutia atau malah Laksamana Malahayati yang kerap diilustrasikan sebagai sosok perempuan Aceh yang tampil dengan kekuatan narasi.

Tidak ada tempat yang didatanginya tanpa meninggalkan kesan humanis yang begitu kuat, dan itu bukan karena kekuatan uang atau dukungan lainnya. Kesan humanis yang kerap melekat dan tinggal pada orang yang ditemuinya adalah citra diri yang positif, sosok perempuan yang supel, ramah, bersedia mendengar dan sosok yang tidak membangun jarak.
“Saya biasa saja, datang, berbaur dan terjadilah semuanya secara alami, ” sebutnya merendah.

Sekali lagi, ia tidak menyampaikan apa-apa, apalagi yang sampai membuat lawan politik meradang, ia hanya datang, bertemu, salaman, saling menyapa, dan selesai.
Dan jangan ditanya soal gagasan. Di kepalanya yang selalu terlindungi oleh kerudung itu mengandung sejuta ide dan gagasan yang bagus. Tapi, baginya bukan gagasan yang lebih dikedepankan.
“Gagasan apapun, bila tidak didukung kekuatan silahturahim, saling percaya, dan saling bersatu hati, maka segenap gagasan yang hebat itu tidak berguna, ” sebutnya.
Itulah sebabnya ia terus melangkah dan melangkah, mengulur tangan persahabatan dan membantu apa yang mungkin bisa dibantu. Ada misi senyap yang sedang dilakukannya, yaitu mengetuk pintu hati kaum perempuan untuk ambil peran dalam memperbaiki negeri.
Baginya, kesadaran politik adalah kunci perbaikan negeri. Jika setiap perempuan sadar bahwa anak yang terdidik, suami yang terjaga, dan keluarga yang terpandu dapat dibangun maka setengah pekerjaan memperbaiki negeri sudah berhasil.
“Perempuan adalah kunci,” sebutnya.

Darwati memang sosok perempuan Aceh sepenuhnya. Karena itu, pandangannya tentang perempuan sebagai kunci tidak dalam artian kebarat-baratan. Islam dan kesadaran keacehan adalah pijakannya.

“Jadi, perempuan bukan hanya menjadi garda terdepan memenangkan Irwandi-Nova, tapi juga menjadi garda terdepan untuk sama-sama memperbaiki negeri, ” pungkasnya.
Sumber:http://www.acehtrend.co/darwati-a-gani-energi-politik-baru-perempuan-aceh/