By: Mr.RJ
“Aku Tak Berjanji Untuk Sebuah Perasaan,
Tapi Aku Berjanji untuk sebuah kesetiaan, Sebab cinta yang sebenarnya bukanlah
apa yang bisa dimiliki seutuhnya, melainkan apa yang tak perlu untuk di genggam
tapi terasa dimiliki”
Itulah
untaian kata sederhana yang tersirat dalam sepucuk goresan tinta yang
ditinggalkan Aman. Sosok pemuda lugu, dengan keseharian menjadi sahabat
sekaligus pembawa keceriaan dan juga kesenangan bagi setiap orang yang berada
didekatnya.
Namun
siapa sangka pria berwajah lugu,murah senyum dan mudah bersahabat dengan segala
kalangan tersebut. Ternyata dibalik sandiwara keluguaanya itu menyimpan sejuta
misteri kehidupan yang tak kunjung satu helai bulu matapun dapat melihatnya,
termasuk andi teman sekamar yang hampir Sembilan tahun selalu setia setiap saat
bersamanya.
Hari
itu adalah hari dimana Aman tepat merayakan hari lahirnya yang ke-25, dan
seperti tahun-tahun sebelumnya ia pasti akan mendapatkan hadiah kejutan kado
yang beragam dari sahabat-sahabtanya. sebagai seorang pemuda yang kesehariannya
beraktifitas sebagai fotografer, Aman selalu disibukkan dengan kamera DLSR-Nya
yang seakan itu adalah kekasih hati yang selalu menemaninya kemanapun ia pergi.
Tak
heran jika aman menjadi sosok yang sangat tertutup dengan masalah pribadinya, Apalagi
menyangkut tentang kehidupan asmara. Apakah ia pernah jatuh hati kepada seorang
wanita yang dijumpainya ataupun baginya cinta bukanlah satu hal yang menjadi
prioritas utama dalam privasi kehidupan Aman.
Mentari
pagi pun mulai bersinar, menampakkan batang hidungnya sembari menemani irama
rintihan embun pagi yang menyirami setiap rerumputan dipagi hari. Aman bergegas
pergi menuju tempat diamana ia akan menjalankan rutinitas kesehariaanya sebagai
fotografer di salah satu acara resepsi pesta perkawinan.
Sesampainya
disana, ia sudah lengkap dengan peralatan yang akan digunakan untuk pemotretan
pasangan mempelai yang hendak melangsungkan sumpah janji suci “ijab Kabul” di
sebuah mesjid yang megah nan indah.
Sambil
menunggu klayen yang akan dating pada hari itu, aman duduk disudut teras mesjid
tersebut sambil membuka tas yang selalu ia bawa sebagai tempat menyimpan
peralatan kamera dan juga disana ia selalu membawa sebuah buku yang menjadi
teman kedua sekaligus tempat ia menuangkan setiap keluh kesah cerita kehidupan
yang ia jalani setiap harinya.
Dengan
sebatang rokok, secangkir kopi yang ia tegukkan pagi itu saat sedang menunggu
kedatangan pasangan mempelai terus saja ia nikmati, sekali-kali ia melepaskan
asap sigaret yang sedang ia hisap perlahan seakan memberi tanda bahwa hari itu
meskipun ia akan merayakan kebahagiaan hari lahirnya, tapi malah ia
diperlihatkan dengan sebuah hadiah kejutan yang menyayat batin hatinya.
Seakan
hari itu adalah hari terburuk yang ia
alami dalam sepanjang sejarah kehidupan Aman. Ternyata hari itu merupakan hari
diamana pertama ia merasakan betapa dunia ini tidak adil, dunia ini tidak
seindah dan sebaik yang ia rasakan dan lalui selama ini.
Aman
dikejutkan dengan pemandangan yang membuatnya tak bisa bersahabat dengan
keadaan yang seakan memaksa untuk tidak menerima kenyataan dalam hidup. Sehingga
ia harus berperang melawan kesakitan batin yang tak dapat dielakkan, kalau hari
itu sosok perempuan dari pasangan klayen yang akan diabadikan hari kebahagiaan
mereka dalam lensa kamera Aman adalah sosok wanita yang selama ini mengukir
indah dalam goresan pena setiap bait per bait lembaran catatan harian Aman.
Tak
lain dia adalah wanita yang selama ini aman idam-idamkan selama kurang lebih
delapan tahun lamanya. Aman berharap kelak ia akan bersanding dengan perempuan
itu kelak diatas pelaminan janji suci. Namun keinginan itu telah pupus begitu
saja seakan hilang ditelan bumi.
“Putri”,
itulah nama perempuan tersebut, yang hendak melangsungkan pernikahan dengan lelaki
lain. Aman pun terkejut, saat ia hendak memanggil seorang perempuan dari dalam
mobil yang ditumpangi putri dengan maksud kalau sekarang sudah saatnya para
mempelai segera bersiap untuk difoto pada beberapa adegan prawedding sambil
menunggu pengulung datang.
Lantas
Aman memanggil mempelai wanitanya yaitu putri.
“Mbak,
sepertinya ini sudah bisa kita mulai”, panggil Aman seraya berbalik
membelakangi pintu mobil.
“Iya
Mas, sebentar ya, saya pakai sepatu dulu”, sahut Putri sambil membuka tas
sepatunya di jok belakang mobil.
Lalu
tiba-tiba Aman pun sedikit terguncang, mendengar suara yang tak asing
ditelinganya. Ia mencoba memalingkan kembali pendangannya kebelakang, lantas ia
melihat gerak-gerik yang dikenalinya. Dan kemudian ia mencoba mendekati putri
seraya kembali berkata,
“kamu…,
kamu,, putri kan ?”, Tanya Aman terkejut.
“iya
mas”, jawabnya sambil menoleh ke arah Aman. Dan putri pun terkejut sambil
berkata.
“Aman,
kenapa kamu disini?”, Tanya putrid kembali.
“Aaaaa,
Aku…., Aku yang akan mengabadiakan moment berarti dalam kehidupan bahagiamu
hari ini yang baru akan dimulai.
Lantas
Aman pergi kembali menuju tempat dimana putri sedang ditunggu oleh calon
mempelai suaminya, yang akan diabadikan oleh Aman pemuda yang selama ini menaruh
harapan pada putri. Ia juga pernah dinanti
oleh sosok putri tentang kepastian sebuah pengakuan yang selama delapan tahun
belakangan, kalau Aman akan mendatangi Putri untuk mengatakan Bahwa Ia sangat
Berarti bagi Aman. Tapi kemudian lambat laun dianggap berlalu begitu saja.
Hingga
hari itu mereka dipertemukan dengan suasana yang tak membahagiakan satu sama
lain, termasuk putri. Meskipun ia akan melangsungkan pernikahan yang seharusnya
ia merasa sangat bahagia tapi malah ia dilanda kegalauan yang sangat mendalam.
Sebab
ia dipertemukan dengan harapan masa lalu yang sempat menyayat hati, tapi malah
dihari bahagianya ia justru dipertemukan dengan harapan yang tak pernah ada
kejelasan tersebut.
Dengan
mata berkaca-kaca Aman dan putrid pun menghadapi apa yang seharusnya menjadi
kenyataan pada hari itu, meski masih dalam keadaan sama-sama tak bisa menerima
satu sama lain.
Namun
takdir pada hari itu berkata lain, mereka diterpa rasa penasaran antara
keduanya. Hari itu pun berlalu begitu saja, aman pergi dengan mata berkaca-kaca
karena rasa patah hati serta juag merupakan itu adalah kado terpahit yang Aman
dapatkan dihari kelahirannya ke-25, dan putri pun menjalani kehidupan yang baru
dengan ketidakpastian diantara sanggup untuk mencintai dan juga akan selalu dicintai.
Setahun
setelah pertemuan itu berlalu Aman tak lagi bertemu dengan putri. Hanya saja
ketika itu ia sempat menitipkan selember kertas goresan pena yang berisikan
seuntai kata-kata isi hati Aman selama delapan tahun lamanya.
“Aku
Tak Berjanji Untuk Sebuah Perasaan, Tapi Aku Berjanji untuk sebuah kesetiaan”.
0 Response to "Cinta tapi bukan Cinta"
Post a Comment